Cari Blog Ini

Selasa, 28 Februari 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM OLEH KOPERASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1995
TENTANG
PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM OLEH KOPERASI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan anggota koperasi, maka kegiatan usaha simpan pinjam perlu ditumbuhkan dan dikembangkan;

b. bahwa kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a harus dikelola secara berdaya guna dan berhasil guna;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Pasal 44 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, maka dipandang perlu untuk mengatur kegiatan usaha simpan pinjam oleh Koperasi dalam Peraturan Pemerintah;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3502);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM OLEH KOPERASI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan:

1. Kegiatan usaha simpan pinjam adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan, calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya.

2. Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang kegiatannya hanya usaha simpan pinjam.

3. Unit Simpan Pinjam adalah unit koperasi yang bergerak di bidang usaha simpan pinjam, sebagai bagian dari kegiatan usaha Koperasi yang bersangkutan.

4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh anggota, calon anggota, koperasi-koperasi lain dan atau anggotanya kepada koperasi dalam bentuk tabungan, dan simpanan koperasi berjangka.

5. Simpanan Berjangka adalah simpanan di koperasi yang penyetorannya dilakukan sekali dan penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan koperasi yang bersangkutan.

6. Tabungan Koperasi adalah simpanan di koperasi yang penyetorannya dilakukan berangsur-angsur dan penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati antara penabung dengan koperasi yang bersangkutan dengan menggunakan Buku Tabungan Koperasi.

7. Pinjaman adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu disertai dengan pembayaran sejumlah imbalan.

8. Menteri adalah Menteri yang membidangi koperasi.

BAB II
ORGANISASI

Bagian Pertama
Bentuk Organisasi

Pasal 2

(1) Kegiatan usaha simpan pinjam hanya dilaksanakan oleh Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam.

(2) Koperasi Simpan Pinjam dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder.

(3) Unit Simpan Pinjam dapat dibentuk oleh Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder.

Bagian Kedua
Pendirian

Pasal 3

(1) Pendirian Koperasi Simpan Pinjam dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan dan tata cara pengesahan Akta Pendirian dan perubahan Anggaran Dasar Koperasi.

(2) Permintaan pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan tambahan lampiran:

a. rencana kerja sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
b. administrasi dan pembukuan;
c. nama dan riwayat hidup calon Pengelola;
d. daftar sarana kerja.

(3) Pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku sebagai izin usaha.

Pasal 4

(1) Permintaan pengesahan Akta Pendirian Koperasi yang membuka Unit Simpan Pinjam diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).

(2) Pengesahan Akta Pendirian Koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku sebagai izin usaha.

Pasal 5

(1) Koperasi yang sudah berbadan hukum dan akan memperluas usahanya di bidang simpan pinjam wajib mengadakan perubahan Anggaran Dasar dengan mencantumkan usaha simpan pinjam sebagai salah satu usahanya.

(2) Tatacara perubahan Anggaran Dasar dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Permintaan pengesahan perubahan Anggaran Dasar diajukan dengan disertai tambahan lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).

(4) Pengesahan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku sebagai izin usaha.
Bagian Ketiga
Jaringan Pelayanan

Pasal 6

(1) Untuk meningkatkan pelayanan kepada anggota, Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam dapat membuka jaringan pelayanan simpan pinjam.

(2) Jaringan pelayanan simpan pinjam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:
a. Kantor Cabang yang berfungsi mewakili Kantor Pusat dalam menjalankan kegiatan usaha untuk menghimpun dana dan penyalurannya serta mempunyai wewenang memutuskan pemberian pinjaman;
b. Kantor Cabang Pembantu yang berfungsi mewakili Kantor Cabang dalam menjalankan kegiatan usaha untuk menghimpun dana dan penyalurannya serta mempunyai wewenang menerima permohonan pinjaman tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan pemberian pinjaman;
c. Kantor Kas yang berfungsi mewakili Kantor Cabang dalam menjalankan kegiatan usaha untuk menghimpun dana.

Pasal 7

(1) Pembukaan Kantor Cabang harus memperoleh persetujuan dari Menteri.

(2) Pembukaan Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Kas tidak diperlukan persetujuan Menteri tetapi harus dilaporkan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak pembukaan kantor.

BAB III
PENGELOLAAN

Pasal 8

(1) Pengelolaan kegiatan usaha simpan pinjam dilakukan oleh Pengurus.

(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh Pengelola yang diangkat oleh Pengurus.

(3) Pengelola sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab kepada Pengurus.

(4) Pengelola sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat berupa perorangan atau badan usaha, termasuk yang berbentuk badan hukum.

(5) Dalam melaksanakan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengelola wajib mengadakan kontrak kerja dengan Pengurus.

Pasal 9

(1) Dalam hal Pengelola adalah perorangan, wajib memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut:

a. tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang keuangan dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
b. memiliki akhlak dan moral yang baik;
c. mempunyai keahlian di bidang keuangan atau pernah mengikuti pelatihan simpan pinjam atau magang dalam usaha simpan pinjam.

(2) Dalam hal Pengelola adalah badan usaha wajib memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut:

a. memiliki kemampuan keuangan yang memadai;
b. memiliki tenaga managerial yang berkualitas baik.

Pasal 10

Dalam hal Pengurus secara langsung melakukan pengelolaan terhadap usaha simpan pinjam maka berlaku ketentuan mengenai persyaratan Pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).

Pasal 11

Dalam hal pengelolaan dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) orang, maka:

a. sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah Pengelola wajib mempunyai keahlian di bidang keuangan atau pernah mengikuti pelatihan di bidang simpan pinjam atau magang dalam usaha simpan pinjam.

b. di antara Pengelola tidak boleh mempunyai hubungan keluarga sampai darajat ke satu menurut garis lurus ke bawah maupun ke samping.

Pasal 12

(1) Pengelolaan Unit Simpan Pinjam dilakukan secara terpisah dari unit usaha lainnya.

(2) Pendapatan Unit Simpan Pinjam setelah dikurangi biaya penyelenggaraan kegiatan unit yang bersangkutan, dipergunakan untuk keperluan sebagai berikut:

a. dibagikan kepada anggota secara berimbang berdasarkan nilai transaksi;
b. pemupukan modal Unit Simpan Pinjam;
c. membiayai kegiatan lain yang menunjang Unit Simpan Pinjam.

(3) Sisa pendapatan Unit Simpan Pinjam setelah dikurangi biaya dan keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diserahkan kepada koperasi yang bersangkutan untuk dibagikan kepada seluruh anggota koperasi.

(4) Pembagian dan penggunaan keuntungan Unit Simpan Pinjam diajukan oleh Pengurus Unit Simpan Pinjam untuk mendapat persetujuan para anggota yang telah mendapat pelayanan dari Unit Simpan Pinjam.

Pasal 13

(1) Sisa Hasil Usaha yang diperoleh Koperasi Simpan Pinjam setelah dikurangi dana cadangan, dipergunakan untuk :

a. dibagikan kepada anggota secara berimbang berdasarkan jumlah dana yang ditanamkan sebagai modal sendiri pada koperasi dan nilai transaksi;
b. membiayai pendidikan dan latihan serta peningkatan ketrampilan;
c. insentip bagi Pengelola dan karyawan;
d. keperluan lain untuk menunjang kegiatan koperasi.

(2) Penentuan prioritas atau besarnya dana untuk penggunaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, c, dan d diputuskan oleh Rapat Anggota.

Pasal 14

(1) Dalam menjalankan usahanya, Pengelola wajib memperhatikan aspek permodalan, likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas guna menjaga kesehatan usaha dan menjaga kepentingan semua pihak yang terkait.

(2) Aspek permodalan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. modal sendiri koperasi tidak boleh berkurang jumlahnya dan harus ditingkatkan;
b. setiap pembukaan jaringan pelayanan, harus disediakan tambahan modal sendiri;
c. antara modal sendiri dengan modal pinjaman dan modal penyertaan harus berimbang.

(3) Aspek likuiditas yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

a. penyediaan aktiva lancar yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban jangka pendek;
b. ratio antara pinjaman yang diberikan dengan dana yang telah dihimpun.

(4) Aspek solvabilitas yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. penghimpunan modal pinjaman dan modal penyertaan didasarkan pada kemampuan membayar kembali;
b. ratio antara modal pinjaman dan modal penyertaan dengan kekayaan harus berimbang.

(5) Aspek rentabilitas yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. rencana perolehan Sisa Hasil Usaha (SHU) atau keuntungan ditetapkan dalam jumlah yang wajar untuk dapat memupuk permodalan, pengembangan usaha, pembagian jasa anggota dengan tetap mengutamakan kualitas pelayanan;

b. ratio antara Sisa Hasil Usaha (SHU) atau keuntungan dengan aktiva harus wajar.

(6) Untuk menjaga kesehatan usaha, Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam tidak dapat menghipotekkan atau menggadaikan harta kekayaannya.

(7) Pelaksanaan ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 15

(1) Pengelola Koperasi berkewajiban merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan simpanan berjangka dan tabungan masing-masing penyimpan kepada pihak ketiga dan kepada anggota secara perorangan, kecuali dalam hal yang diperlukan untuk kepentingan proses peradilan dan perpajakan.

(2) Permintaan untuk mendapatkan keterangan mengenai simpanan berjangka dan tabungan sehubungan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh pimpinan instansi yang menangani proses peradilan atau perpajakan kepada Menteri.

BAB IV
PERMODALAN

Pasal 16

(1) Koperasi Simpan Pinjam wajib menyediakan modal sendiri dan dapat ditambah dengan modal penyertaan.

(2) Koperasi yang memiliki Unit Simpan Pinjam wajib menyediakan sebagian modal dari koperasi untuk modal kegiatan simpan pinjam.

(3) Modal Unit Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa modal tetap dan modal tidak tetap.

(4) Modal Unit Simpan Pinjam dikelola secara terpisah dari unit lainnya dalam Koperasi yang bersangkutan.

(5) Jumlah modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan modal tetap Unit Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh berkurang jumlahnya dari jumlah yang semula.

(6) Ketentuan mengenai modal yang disetor pada awal pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 17

(1) Selain modal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16, Koperasi Simpan Pinjam dapat menghimpun modal pinjaman dari:

a. anggota;
b. koperasi lainnya dan atau anggotanya;
c. bank dan lembaga keuangan lainnya;
d. penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
e. sumber lain yang sah.

(2) Unit Simpan Pinjam melalui Koperasinya dapat menghimpun modal pinjaman sebagai modal tidak tetap dari:

a. anggota;
b. koperasi lainnya dan atau anggotanya;
c. bank dan lembaga keuangan lainnya;
d. penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
e. sumber lain yang sah.

(3) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya dilakukan dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

BAB V
KEGIATAN USAHA

Pasal 18

(1) Kegiatan usaha simpan pinjam dilaksanakan dari dan untuk anggota, calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya.

(2) Calon anggota koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota.

Pasal 19

(1) Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam adalah:

a. menghimpun simpanan koperasi berjangka dan tabungan koperasi dari anggota dan calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya;

b. memberikan pinjaman kepada anggota, calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya.

(2) Dalam memberikan pinjaman, Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam wajib memegang teguh prinsip pemberian pinjaman yang sehat dengan memperhatikan penilaian kelayakan dan kemampuan pemohon pinjaman.

(3) Kegiatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam dalam melayani koperasi lain dan atau anggotanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian kerjasama antar koperasi.

Pasal 20

(1) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam mengutamakan pelayanan kepada anggota.

(2) Apabila anggota sudah mendapat pelayanan pinjaman sepenuhnya maka calon anggota dapat dilayani.

(3) Apabila anggota dan calon anggota sudah mendapat pelayanan sepenuhnya, koperasi lain dan anggotanya dapat dilayani berdasarkan perjanjian kerjasama antar koperasi yang bersangkutan.

(4) Pinjaman kepada anggota koperasi lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan melalui koperasinya.

Pasal 21

(1) Rapat Anggota menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian pinjaman baik kepada anggota, calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya.

(2) Ketentuan mengenai batas maksimum pinjaman kepada anggota berlaku pula bagi pinjaman kepada Pengurus dan Pengawas.

Pasal 22

(1) Dalam hal terdapat kelebihan dana yang telah dihimpun, setelah melaksanakan kegiatan pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam dapat:
a. menempatkan dana dalam bentuk giro, deposito berjangka, tabungan, sertifikat deposito pada bank dan lembaga keuangan lainnya;
b. pembelian saham melalui pasar modal;
c. mengembangkan dana tabungan melalui sarana investasi lainnya.

(2) Ketentuan mengenai penempatan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 23

(1) Penghimpunan dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 19 dilakukan dengan pemberian imbalan.

(2) Imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Rapat Anggota.

BAB VI
PEMBINAAN

Pasal 24

Pembinaan dan pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam dilakukan oleh Menteri.

Pasal 25

Untuk terciptanya usaha simpan pinjam yang sehat, Menteri menetapkan ketentuan tentang prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha koperasi.

Pasal 26

(1) Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam melalui koperasi yang bersangkutan wajib menyampaikan laporan berkala dan tahunan kepada Menteri.

(2) Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi tahunan bagi Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam tertentu wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan.

(3) Tatacara dan pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 27

(1) Menteri dapat melakukan pemeriksaan terhadap Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.

(2) Dalam hal terjadi pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam yang bersangkutan.

Pasal 28

(1) Dalam hal Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam mengalami kesulitan yang mengganggu kelangsungan usahanya, Menteri dapat memberikan petunjuk kepada Pengurus untuk melakukan tindakan sebagai berikut:

a. penambahan modal sendiri dan atau modal penyertaan;
b. penggantian Pengelola;
c. penggabungan dengan koperasi lain;
d. penjualan sebagian aktiva tetap;
e. tindakan lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

(2) Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam dianggap mengalami kesulitan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila mengalami salah satu atau gabungan dari hal-hal sebagai berikut:

a. terjadi penurunan modal dari jumlah modal yang disetorkan pada waktu pendirian;
b. penyediaan aktiva lancar tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban jangka pendek;
c. jumlah pinjaman yang diberikan lebih besar dari jumlah simpanan berjangka dan tabungan;
d. mengalami kerugian;
e. Pengelola melakukan penyalahgunaan keuangan;
f. Pengelola tidak melaksanakan tugasnya.

(3) Dalam hal kesulitan tidak dapat diatasi, Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam dapat dibubarkan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan ini.

BAB VII
PEMBUBARAN

Pasal 29

(1) Pembubaran Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam dilakukan oleh Rapat Anggota.

(2) Dalam hal terjadi kondisi yang menyebabkan Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam harus dibubarkan dan koperasi yang bersangkutan tidak melakukan pembubaran, maka Menteri dapat:

a. meminta kepada Rapat Anggota Koperasi yang bersangkutan untuk membubarkan;
b. melakukan pembubaran dengan disertai sanksi administratif kepada Pengurus Koperasi yang bersangkutan.

(3) Pelaksanaan pembubaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan di bawah pengawasan Menteri.

Pasal 30

Dalam melakukan pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, pihak yang mengambil keputusan pembubaran wajib mempertimbangkan masih adanya harta kekayaan Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam yang dapat dicairkan untuk memenuhi pembayaran kewajiban yang bersangkutan.

Pasal 31

(1) Pembubaran Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam oleh Menteri dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi hal tersebut, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah ini.

(2) Penyelesaian lebih lanjut sebagai akibat dari pembubaran Unit Simpan Pinjam oleh Menteri dilakukan oleh koperasi yang bersangkutan.

Pasal 32

(1) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992, pembubaran Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam diupayakan tidak melalui ketentuan kepailitan.

(2) Dalam hal kondisi Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam yang mengarah kepada kepailitan tidak dapat dihindarkan, sebelum mengajukan kepailitan kepada instansi yang berwenang, Pengurus Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam yang bersangkutan wajib meminta pertimbangan Menteri.

(3) Persyaratan dan tata cara mengajukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 33

Dalam masa penyelesaian, pembayaran kewajiban Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam dilakukan berdasarkan urutan sebagai berikut:

a. gaji pegawai yang terutang;
b. biaya perkara di Pengadilan;
c. biaya lelang;
d. pajak Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam;
e. biaya kantor, seperti listrik, air, telepon, sewa dan pemeliharaan gedung;
f. penyimpan dana atau penabung, yang pembayarannya dilakukan secara berimbang untuk setiap penyimpan/ penabung dalam jumlah yang ditetapkan oleh Tim Penyelesaian berdasarkan persetujuan Menteri;
g. kreditur lainnya.

Pasal 34

(1) Segala biaya yang berkaitan dengan penyelesaian dibebankan pada harta kekayaan Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam yang bersangkutan dan dikeluarkan terlebih dahulu dari dana yang ada atau dari setiap hasil pencairan harta tersebut.

(2) Biaya pegawai, kantor dan pencairan harta kekayaan selama masa penyelesaian disusun dan ditetapkan oleh pihak yang melakukan pembubaran.

(3) Honor Tim Penyelesaian ditetapkan oleh pihak yang melakukan pembubaran dalam jumlah yang tetap dan atau berdasarkan prosentase dari setiap hasil pencairan harta kekayaan.

Pasal 35

Apabila setelah dilakukan pembayaran kewajiban dan biaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 masih terdapat sisa harta kekayaan Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam, maka:

a. dalam hal Koperasi Simpan Pinjam, sisa harta tersebut dibagikan kepada anggota Koperasi Simpan Pinjam.
b. dalam hal Unit Simpan Pinjam, sisa harta tersebut diserahkan kepada koperasi yang bersangkutan.

Pasal 36

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran dan penyelesaian Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam diatur dalam Keputusan Menteri.

BAB VIII
SANKSI

Pasal 37

(1) Dalam hal koperasi tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) serta Pasal 27 ayat (2), koperasi yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif.

(2) Koperasi yang melaksanakan kegiatan simpan pinjam tanpa izin dikenakan sanksi administratif berupa pembubaran dan sanksi administratif lainnya.

(3) Persyaratan dan tata cara sanksi administratif diatur oleh Menteri.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 38

Untuk meningkatkan perkembangan usaha perkoperasian, Menteri mengadakan bimbingan dan penyuluhan kepada kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan simpan pinjam bagi anggotanya agar kelompok masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatannya tersebut dalam bentuk koperasi.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

Koperasi Simpan Pinjam dan koperasi yang mempunyai Unit Simpan Pinjam yang sudah berjalan pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku tetap melaksanakan kegiatan usahanya, dengan ketentuan wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 1995
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1995
TENTANG
PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM
OLEH KOPERASI

UMUM

Pasal 44 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan bahwa Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota dan calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya. Ketentuan tersebut menjadi dasar dan kekuatan hukum bagi koperasi untuk melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam baik sebagai salah satu atau satu-satunya kegiatan usaha koperasi.

Atas dasar itu maka pelaksanaan kegiatan Simpan Pinjam oleh koperasi tersebut harus diatur secara khusus sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Perkoperasian. Peraturan tersebut dimaksudkan agar di satu pihak tidak bertentangan dengan Undang-undang Perbankan dan di lain pihak untuk mempertegas kedudukan Koperasi Simpan Pinjam pada koperasi yang bersangkutan sebagai koperasi atau Unit Usaha Koperasi yang memiliki ciri bentuk dan sistematis tersendiri.

Kegiatan usaha simpan pinjam ini sangat dibutuhkan oleh para anggota koperasi dan banyak manfaat yang diperolehnya dalam rangka meningkatkan modal usaha para anggotanya. Hal itu terlihat akan kenyataan bahwa koperasi yang sudah berjalan pada umumnya juga melaksanakan usaha simpan pinjam.

Sehubungan dengan hal tersebut dalam Peraturan Pemerintah ini dimuat ketentuan dengan tujuan agar kegiatan simpan pinjam oleh koperasi tersebut dapat berjalan dan berkembang secara jelas, teratur, tangguh dan mandiri.

Di samping itu juga memuat ketentuan untuk mengantisipasi prospek perkembangan di masa depan, di mana faktor permodalan bagi usaha anggota dan usaha koperasi sangat menentukan kelangsungan hidup koperasi dan usaha anggota yang bersangkutan.

Sebagai penghimpun dana masyarakat walaupun dalam lingkup yang terbatas, kegiatan Usaha Simpan Pinjam memiliki karakter khas, yaitu merupakan usaha yang didasarkan pada kepercayaan dan banyak menanggung resiko. Oleh karena itu pengelolaan harus dilakukan secara profesional dan ditangani oleh pengelola yang memiliki keahlian dan kemampuan khusus, dengan dibantu oleh sistem pengawasan internal yang ketat.
Dalam rangka itulah maka di samping koperasi sendiri harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha simpan pinjam tersebut, Pemerintah juga perlu melakukan pembinaan dan pengawasan melalui Menteri yang membidangi koperasi. Pengawasan dilakukan oleh Menteri untuk menghindarkan terjadinya penyimpangan yang dampaknya sangat merugikan anggota dan hilangnya kepercayaan anggota.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Peraturan Pemerintah ini disusun agar pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi dapat menjamin keberadaan kelancaran dan ketertiban usaha simpan pinjam oleh koperasi.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1
Cukup jelas

Angka 2
Cukup jelas

Angka 3
Cukup jelas

Angka 4
Cukup jelas

Angka 5
Cukup jelas

Angka 6
Cukup jelas

Angka 7
Cukup jelas

Angka 8
Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam berlaku sebagai izin usaha adalah dengan dikeluarkannya surat keputusan pengesahan Akta Pendirian koperasi tersebut sudah dapat melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam.

Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan koperasi yang sudah berbadan hukum adalah koperasi yang telah memperoleh pengesahan Akta Pendirian dan koperasi tersebut sudah melaksanakan kegiatan usaha tetapi bukan kegiatan usaha simpan pinjam.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan dalam ayat (2) ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tatacara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Tempat Pelayanan Simpan Pinjam (TPSP) yang selama ini ada, berfungsi sebagai Kantor Cabang.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dalam hal Anggaran Dasar tidak memuat ketentuan mengenai kewenangan Pengurus untuk mengangkat Pengelola, maka apabila Pengurus bermaksud mengangkat Pengelola, Pengurus mengajukan rencana pengangkatan Pengelola kepada Rapat Anggota.

Dalam hal Anggaran Dasar memuat ketentuan mengenai kewenangan Pengurus untuk mengangkat Pengelola, maka untuk melaksanakan kewenangan tersebut Pengurus tetap terlebih dahulu mengajukan rencana pengangkatan Pengelola kepada Rapat Anggota untuk mendapat persetujuan.

Sekalipun pengangkatan Pengelola memerlukan pengajuan rencana kepada Rapat Anggota, tetapi kewenangan untuk memilih dan mengangkat Pengelola tetap ada pada Pengurus.

Rencana pengangkatan Pengelola yang diajukan kepada Rapat Anggota dimaksud di atas antara lain meliputi persyaratan tugas dan wewenang, imbalan jasa, jaminan, perjanjian kerja dan nama calon Pengelola (apabila sudah ada).

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Yang dimaksud dengan keahlian di bidang keuangan adalah meliputi pengetahuan dasar pembukuan, perbankan atau simpan pinjam.

Ayat (2)

Huruf a
Yang dimaksud dengan kemampuan keuangan yang memadai adalah termasuk memiliki permodalan yang sehat setelah diaudit.

Huruf b
Yang dimaksud dengan tenaga managerial yang baik adalah pimpinan dan staf dari badan usaha yang akan diserahi tugas sebagai Pengelola harus mempunyai kemampuan untuk mengelola usaha serta mempunyai moral dan akhlak yang baik.

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Ketentuan ini berlaku baik bagi Pengurus yang secara langsung melaksanakan pengelolaan maupun Pengelola yang diangkat oleh Pengurus.

Pasal 12

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dilakukan secara terpisah dari unit usaha lainnya adalah Unit Simpan Pinjam ini mempunyai sistim manajemen, administrasi pembukuan dan keuangan sendiri.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksudkan transaksi adalah meliputi transaksi simpanan, pinjaman atau keduanya.

Huruf b
Yang dimaksud pemupukan modal adalah modal sendiri yang terdapat pada Unit Simpan Pinjam yang bersangkutan.

Huruf c
Termasuk kegiatan yang menunjang Unit Simpan Pinjam adalah pendidikan.

Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa kepada anggota yang tidak ikut transaksi dalam Unit Simpan Pinjam diberikan pula bagian dari keuntungan Unit Simpan Pinjam.

Ayat (4)
Besarnya pembagian dan penggunaan keuntungan Unit Simpan Pinjam diusulkan dan diajukan oleh Pengurus dan disetujui oleh para anggota yang telah mendapat pelayanan dari Unit Simpan Pinjam.

Pasal 13

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan jumlah dana yang ditanamkan adalah jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib yang diserahkan kepada koperasi.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Dimaksudkan untuk memberikan rangsangan bagi Pengelola dan karyawan agar supaya bekerja lebih baik. Pengertian Pengelola di sini meliputi Pengurus dan Pengelola yang diangkat oleh Pengurus.

Huruf d
Yang dimaksud dengan keperluan lain adalah keperluan yang digunakan untuk perkembangan dan kelancaran usaha koperasi yang bersangkutan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)
Pengertian Pengelola di sini meliputi Pengurus dan Pengelola yang diangkat oleh Pengurus.

Ayat (2)
Huruf a
Apabila ada anggota koperasi yang mengambil simpanan pokok dan simpanan wajib hanya dapat dilaksanakan apabila telah ada modal pengganti dari anggota baru minimal sebesar simpanan pokok dan simpanan wajib yang akan diambil.

Huruf b
Ketentuan tersebut dimaksudkan agar pengeluaran investasi jaringan pelayanan dibiayai dengan modal sendiri sehingga tidak memberatkan keuangan koperasi yang bersangkutan.

Huruf c
Ketentuan ini tidak ditetapkan secara kuantitatip tetapi harus diperhitungkan sendiri oleh koperasi dengan maksud apabila terjadi resiko atas modal yang berasal dari pinjaman dapat ditutup oleh modal sendiri.

Ayat (3)
Huruf a
Untuk menumbuhkan dan memantapkan tingkat kepercayaan penyimpan, maka koperasi wajib menjaga likuiditasnya agar dapat memenuhi kewajiban atau membayar hutang jangka pendek, terutama untuk membayar simpanan yang akan ditarik oleh penyimpan.

Huruf b
Ratio ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana yang telah dihimpun untuk pemanfaatan pemberian pinjaman, dengan tetap memperhitungkan aspek likuiditas.

Ayat (4)
Huruf a
Dalam menghimpun modal pinjaman dan modal penyertaan koperasi wajib memperhitungkan terlebih dahulu kemampuannya untuk dapat memenuhi kewajiban jangka pendek dan jangka panjang berdasarkan kekayaan yang dimiliki, agar koperasi tersebut dapat melaksanakan kegiatan usahanya dan tetap dipercaya.

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan rentabilitas yang wajar adalah keadaan dimana ratio antara keuntungan dibandingkan dengan kekayaannya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.

Ratio yang tidak terlalu tinggi dengan maksud bahwa koperasi tidak semata-mata mengejar keuntungan, sedangkan ratio tidak terlalu rendah dengan maksud agar koperasi tersebut dapat tetap berkembang.

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Pengertian Pengelola di sini meliputi Pengurus dan Pengelola yang diangkat oleh Pengurus.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)
Modal sendiri dalam pasal ini adalah modal yang berasal dari sumber-sumber sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992, termasuk di dalamnya yang disetorkan sebagai prasyarat untuk memperoleh pengesahan Akta Pendirian ataupun pengesahan perubahan Anggaran Dasar. Di samping modal sendiri, Koperasi dapat pula melakukan pemupukan modal penyertaan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Modal tetap dimaksud adalah meliputi modal yang disetor pada awal pendirian dan modal tambahan yang tidak dapat diambil kembali.

Modal tidak tetap dimaksud adalah modal yang dapat diambil kembali sesuai dengan perjanjian. Modal ini dapat berasal dari modal penyertaan atau pinjaman pihak ke tiga, sepanjang hal tersebut dilakukan melalui Koperasi yang bersangkutan.

Ayat (4)
Dasar pertimbangan pemisahan kegiatan Usaha Simpan Pinjam dari unit usaha yang lain, antara lain karena pengelolaan di bidang keuangan bagi jenis usaha ini membutuhkan spesifikasi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang lain baik dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pengawasan maupun administrasinya.

Hal ini dimaksudkan pula agar dana simpanan koperasi berjangka dan tabungan koperasi yang dipercayakan oleh penyimpan untuk disimpan di koperasi harus aman dan cukup tersedia bila sewaktu-waktu ditarik oleh penyimpan.

Ayat (5)

Jumlah modal sendiri bagi Koperasi Simpan Pinjam atau modal tetap dalam Unit Simpan Pinjam tidak boleh berkurang dari modal yang disetorkan pada saat pengesahan Akta Pendirian atau pengesahan perubahan Anggaran Dasarnya. Hal ini dimaksudkan agar koperasi tersebut dapat menjaga kelangsungan hidupnya.

Ayat (6)
Ketentuan modal awal ini diatur untuk memenuhi kelayakan usaha simpan pinjam.

Pasal 17

Ayat (1)
Penghimpunan modal pinjaman oleh Koperasi Simpan Pinjam dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar koperasi yang bersangkutan dan ketentuan lain yang berlaku.

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c 
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (2)
Penghimpunan modal pinjaman oleh Unit Simpan Pinjam dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar koperasi yang bersangkutan dan ketentuan lain yang berlaku.

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud calon anggota adalah orang perorang/ koperasi yang telah melunasi pembayaran simpanan pokok kepada koperasinya, tetapi secara formal belum sepenuhnya melengkapi persyaratan administratif, antara lain belum menandatangani Buku Daftar Anggota.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan azas pemberian pinjaman yang sehat adalah pemberian pinjaman yang didasarkan atas penilaian kelayakan dan kemampuan permohonan pinjaman.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pelayanan kepada calon anggota hanya diberikan apabila yang bersangkutan sekalipun secara formal belum sepenuhnya terdaftar sebagai anggota, tetapi secara material telah memenuhi dan melaksanakan persyaratan administratif keanggotaan koperasi yang bersangkutan.

Ayat (3) 
Perjanjian kerjasama dimaksud dinyatakan sah apabila ditandatangani sekurang-kurangnya oleh ketua dan sekretaris masing-masing koperasi.

Ayat (4)
Dalam pemberian pinjaman kepada anggota koperasi lain yang bertanggung jawab terhadap pinjaman tersebut pada prinsipnya tetap anggota yang bersangkutan. Namun koperasi lain tersebut tetap ikut bertanggung jawab atas pengembalian pinjaman bila peminjam tidak mengembalikan pinjamannya.
Pasal 21

Ayat (1)
Ditetapkannya batas maksimum pemberian pinjaman dilakukan dalam rangka menjaga kesehatan usaha koperasi dan agar koperasi tersebut memprioritaskan pelayanannya kepada anggota.

Ayat (2)
Dengan ketentuan ini maka hak Pengurus dan Pengawas dalam menerima pinjaman sama seperti hak anggota dan tidak ada keistimewaan tertentu.

Pasal 22

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Pemberian imbalan dapat berupa bunga atau dalam bentuk lainnya antara lain berupa prinsip bagi hasil.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25

Ketentuan tentang prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian yang ditetapkan oleh Menteri dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi usaha simpan pinjam yang dilakukan oleh koperasi dalam menjaga kesehatan usahanya. Ketentuan tersebut terutama berkaitan dengan aspek keuangan dan sistem pengelolaan usaha simpan pinjam, dan khusus mengenai aspek keuangan diperlukan pedoman yang bersifat kuantitatif. Pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian ini diperlukan karena pada hakekatnya usaha simpan pinjam merupakan sarana pengelolaan dana.

Pasal 26

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap koperasi setiap waktu apabila terjadi indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh koperasi yang bersangkutan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Tindakan penggabungan dalam hal ini dilakukan hanya untuk Koperasi Simpan Pinjam.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Tindakan lain dalam hal ini misalnya membentuk lembaga yang berfungsi untuk menangani kesulitan koperasi.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b 
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Ayat (3)
Pengertian pembubaran untuk Unit Simpan Pinjam adalah penutupan.

Pasal 29

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Sanksi administratif dimaksud antara lain berupa denda.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 30
Ketentuan ini berlaku dalam hal pembubaran terjadi karena kesulitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak dapat diatasi, atau karena hal lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992. Tujuannya adalah untuk melindungi penyimpan dana.

Pasal 31

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 32

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 33
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

--------------------------------

CATATAN

Kutipan: LEMBAR LEPAS SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1995

Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen

Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen

Kategori:Hukum Pidana

1. Apa saja unsur-unsur pemalsuan dokumen? 2. Apa saja bentuk-bentuk pemalsuan dokumen?

Jawaban:

Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 

Sebelumnya, kami menyimpulkan bahwa dokumenyang Anda maksud di sini adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian). Demikian definisi dokumen yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang kami akses dari laman resmi Pusat Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

 

Tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

 

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

 

Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:

 

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

1.    akta-akta otentik;

2.    surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

3.    surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:

4.    talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

5.    surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

 

R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.

 

Surat yang dipalsukan itu harus surat yang:

1.    dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);

2.    dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);

3.    dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu); atau

4.    surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa (misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).

 

Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:

1.    membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).

2.    memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu.

3.    memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.

4.    penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto dalam ijazah sekolah).

 

Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas adalah: (Ibid, hal. 196)

1.    pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan;

2.    penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup;

3.    yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.

Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.

4.    Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.

 

Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik. Surat otentik, menurut Soesilo adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, oleh pegawai umum seperti notaris (hal. 197).

 

Sebagai contoh kasus dapat kita jumpai dalamPutusan Mahkamah Agung Nomor 71 PK/Pid/2005. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa dengan sengaja menggunakan surat pemberitahuan pajak tentang (SPPT) palsu atau yang dipalsukan dengan cara mengubah data di dalamnya. Hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pemalsuan surat” dan menghukumnya dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.

 

Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

Putusan:

Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 PK/Pid/2005.

 

Referensi:

1.    R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

2.    http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 8 Oktober 2014 pukul 15.48 WIB








http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen

Contoh Surat Kuasa Pelapor Kasus Pidana


SURAT KUASA

Yang bertanda tangan dibawah ini kami  :
N a m a      : Tn./Ny.
Pekerjaan   : ...........................................
Alamat        : ............................
Selanjutnya disebut dengan Pemberi Kuasa.
Dengan ini  mengaku dan menyatakan memberikan kuasa kepada :
ARIEF K. SYAIFULLOH , SH., MH.
Advokat  / Penasihat Hukum
Alamat   Kantor:................................................
 
KHUSUS
 
Untuk menjadi penasehat /kuasa/hukum saya / kami  dalam perkara : PIDANA .
Sebagai  : KUASA HUKUM / PENASIHAT HUKUM PELAPOR
Untuk membuat dan menyampaikan laporan adanya tindak pidana penganiayaan sebagai mana diatur dan diancam dalam pasal..... KUHP serta ketentuan pidna lainnya terhadap orang yang bernama Tn./Ny. yang beralamat di ................................. daerah Kepolisian.......
   
Selanjutnya kepada pemegang kuasa ini kami berikan wewenang penuh untuk mewakili pemberi kuasa menghadap dan berbicara didepan pejabat pemerintah/ Swasta , membuat dan menandatangani surat surat yang diajukan sebagai bukti bukti dan saksi saksi menolak bukti bukti dan saksi dalam keteranganya yang tidak benar, mengajukan permohanan,membuat dan menanda tangani perdamain, dan melakukan upaya hukum yang baik dan berguna bagi pemberi kuasa serta diperbolehkan menurut hukum Acara.
Kemudian kepadanya diberikan pula  hak “Substitusi “ sebagaian atau seluruhnya kepada orang lain.
                                                                               Yogyakarta,   tanggal ....bulan....tahun...
Yang  diberi Kuasa Yang memberi kuasa                      
                                                                                                 materai Rp.6.000,-
ARIEF K. SYAIFULLOH,SH.,MH.

Pengertian Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) Dalam Hukum Perdata

Akibat suatu perbuatan yang bertentangan (melawan) dengan hukum diatur juga oleh hukum, meskipun akibat itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini, siapa yang melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan karena
perbuatan itu. Jadi, karena suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum timbullah suatu perikatan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan.
Asas tersebut tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Jadi, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata adalah suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena kesalalahannya menimbulkan kerugian kepada orang lain. 
Seseorang dikatakan melawan hukum apabila perbuatan yang dilakukannya tersebut memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu :
Adanya suatu perbuatan.Perbuatan tersebut melawan hukum.Adanya kesalahan dari pihak pelaku.Adanya kerugian bagi korban.Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Perbuatan melawan hukum sendiri dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.Perbuatan melawan hukum tanpa kesengajaan.Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Bentuk perbuatan melawan hukum terbagi menjadi :
Nofeasance, yaitu merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum.Misfeasance, yaitu perbuatan yang dilakukan secara salah, dan perbuatan mana merupakan kewajibannya.Malfeasance, yaitu perbuatan yang dilakukan, padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.
Dalam sejarah hukum,  di Indonesia perbuatan melawan hukum yang disebutkan dalam pasal 1365 KUH Perdata telah diperluas pengertiannya, dikatakan seseorang melawan hukum, apabila berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (melalaikan sesuatu) dengan :
Melanggar hak orang lain, maksudnya ialah melanggar hak subyektif orang lain. Menurut Meijers ciri dari hak subyektif  adalah suatu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak perorangan yang meliputi  kebebasan, kehormatan, dan nama baik. Serta hak-hak atas harta kekayaan, seperti hak-hak kebendaan dan hak-hak mutlak lainnya.Bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu. Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang didasarkan pada hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban hukum di atas adalah kewajiban hukum menurut undang-undang atau yang tertulis, seperti perbuatan pidana.Bertentangan dengan baik kesusilaan maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai kehormatan orang lain atau barang orang lain. Kesusilaan yang dimaksud adalah norma-norma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma-norma hukum. Sedangkan asas-asas pergaulan masyarakat dalam arti perbuatan yang dilakukan harus mempertimbangkan kepentingan sendiri dengan kepentingan orang lain dan  mengikuti apa yang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang layak dan patut.
Yang dapat dianggap bertentangan dengan kepatutan adalahperbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak, serta perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, di mana menurut manusia normal hal tersebut harus diperhatikan. (dari buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia - Drs. C.S.T. Kansil, SH, Ikhtisar Ilmu Hukum - Muchsin, dan KUH Perdata).

http://legalstudies71.blogspot.co.id/2015/06/pengertian-perbuatan-melawan-hukum.html?m=1

PENGERTIAN SUBJEK HUKUM DAN OBJEK HUKUM

PENGERTIAN SUBJEK HUKUM DAN OBJEK HUKUM

- Subjek hukum
Subjek hukum ialah suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak/kewajiban/kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu. Pada dasarnya subjek hukum dapat dibedakan atas:
a. Orang
b. Badan hukum Objek hukum ialah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum dimana segala hak dan kewajiban serta kekuasan subjek hukum berkaitan di dalamnya. Misalkan benda-benda ekonomi, yaitu benda-benda yang untuk dapat diperoleh manusia memerlukan “pengorbanan”  dahulu sebelumnya. 
Ø Subjek Hukum
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum atau segala pendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Setiap manusia, baik warga negara maupun prang asing adalah subjek hukum.
Jadi dapat dikatakan, bahwa setiap manusia adalah subjek hukum sejak is dilahirkan sampai meninggal dunia.
Sebagai subjek hukum, manusia mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak¬ha knya, a kan teta pi dalam hukum, tidak sem ua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu. Mereka digolongkan sebagai orang yang “tidak cakap” atau “kurangcakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan¬perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
Ø Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1330, mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:
a)    Orang yang belum dewasa.
b)    Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), seperti orang yang dungu, sakit ingatan, dan orang boros.
c)     Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).
Selain manusia sebagai subjek hukum, di dalam hukum terdapat pula badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti layaknya seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka hakim.
Ø Badan hukum sebagai subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a)    Badan hukum publik, seperti negara, propinsi, dan kabupaten.
b)    Badan hukum perdata, seperti perseroan terbatas (PT), yayasan, dan koperasi.
- Objek Hukum
Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi objek suatu hubungan hukum karena hal itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Dalam bahasa hukum, objek hukum dapatjuga disebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/atau dimiliki subyek hukum. Misalnya, Andi meminjamkan buku kepada Budi. Di sini, yang menjadi objek hukum dalam hubungan hukum antara Andi dan Budi adalah buku. Buku menjadi objek hukum dari hak yang dimiliki Andi.
Objek hukum dapat berupa benda, baik benda yang bergerak, (misalnya mobil dan hewan) maupun benda tidak bergerak (misalnya tanah dan bangunan). Di samping itu, objek hukum dapat berupa benda berwujud (misalnya tanah, bangunan, dan mobil) maupun benda tidak berwujud (misalnya hak cipta, hak merek, dan hak paten).



SUMBER:

ASAS-ASAS HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA


ASAS-ASAS HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA

Menurut terminology bahasa, yang dimaksud asas ada dua pengertian. Yaitu yang pertama adalah dasar, alas, pondamen. Sedangkan arti asas yang kedua adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat.
Dan menurut bellefroid mengatakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan.
Jadi kesimpulannya, bahwa asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.
Di bawah ini terdapat macam-macam asas yang berlaku di Indonesia. Berikut beberapa macam asas-asas hukum. Diantaranya :
1.      Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars.
Bahwa para pihak harus didengar. Contohnya, apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja.
2.      Bis de eadem re ne sit action atau Ne bis in idem
Mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya. Contohnya, periksa Pasal 76 KUH Pidana.
3.      Clausula rebus sic stantibus.
Suatu syarat dalam hukum Internasional bahwa suatu perjanjian antar Negara masih tetap berlaku, apabila situasi dan kondisinya tetap sama.
4.      Cogitationsis poenam nemo patitur
Tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya.
5.      Concubitus facit nuptias
Perkawinan dapat terjadi karena hubungan kelamin
6.      Die normatieven kraft des faktischen
Perbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative. Contoh pada Pasal 28 UU No.4 tahun 2004.
7.      De gustibus non est disputandum
Mengenai selera tidak dapat disengketakan.
8.   Errare humanum est, turpe in errore perseverrare
Membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk memprtahankan terus kekeliruan tersebut.
9.   Fiat justitia ruat coelum atau fiat justicia pereat mundus.
Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan.
10.  Geen straf zonder schuld
Tiada hukuman tanpa kesalahan.
11.   Hodi mihi cras tibi
Ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat.
12.  In dubio pro reo
Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa.
13.  Juro suo uti nemo cogitur
Tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya. Contohnya, orang yang berpiutang tidak mempunyai kewajiban untuk menagih terus.
14.  Koop breekt geen huur
Jual beli tidak memutuskan sewa menyenya. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih tangan. Contohnya, pada pasal 1576 KUH Perdata.
15.   Lex dura sed tamen scripta atau Lex dura sed ita scripta
Undang – undang bersifat keras (memaksa), sehingga tidak dapat diganggu gugat dan telah tertulis. Contohnya, pada Pasal 11 KUH Pidana.
16.  Lex niminem cogit ad impossibilia
Undang-undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Contohnya, periksa Pasal 44 KUH Pidana.
17.  Lex superior derogat legi inferior
Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah tingkatannya , lihat dalam Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004
18.  Lex posterior derogat legi priori
Peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya. Contohnya, UU No.14 Tahun 1992 tentang UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengesampingkan UU No. 13 Tahun 1965.
19.  Lex specialis derogate legi generali
Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum. Contohnya, pemberlakuan KUH Dagang terhadap KUH perdata dalam hal perdagangan.
20.  Matrimonium ratu et non consummatum
Perkawinan yang dilakukan secara formal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin. Contohnya, perkawinan suku sunda
21.  Melius est accieperer quam facerer injuriam
Lebih baik mengalmi ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan.
22.  Nullum crimen nulla poena sine lege
Tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya
Analisisnya :
Tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya?  Bahwa semua kejahatan yang terjadi diindonesia adalah yang melanggar undang -undang. karena pernyataan diatas menyatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya, jadi suatu tindak kejahatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila melanggar undang – undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
23.  Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan dalam ketentuan pidana dalam UU yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. Lebih jelasnya lihat Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana.
24.  Nemo plus juris tarnsferre potest quam ipse habet
Tak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki.
25.  Opinio necessitates
Keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hkum kebiasaan.
26.  Pacta sunt servanda
Setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik. Lebih jelas periksa Pasal 1338 KUH Perdata.
27.  Presumption of innocence
Bias juga disebut asas praduga tidak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan yang tepat. Liah penjelasan di Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP butir 3C.
28.  Quiquid est in territorio, etiam est de territorio
Asas hukum dalam internasional yang menyatakan bahwa apa yang ada berada dalam batas-batas wilayah Negara tunduk kepada hukum Negara itu.
29.  Qui tacet consentire videtur
Siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui.
30.  Res nullius credit occupant
Benda yang ditelantarkan pemiliknya dapat diambil untuk dimiki.
31.  Res judicata pro veritate habeteur
Putusan hakim dianggap benar sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya.
32.  Summum ius summa injuria
Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi.
33.  Similia similibus
Dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula, tidak pilih kasih.
34.  Testimonium de auditu
Kesaksian dapat didengar dari orang lain.
35.  Unus testis nullus testis
Satu orang saksi bukanlah saksi. Lebih jelas lihat Pasal 185 ayat 2 KUHAP.
36.  Ut sementem feceris ita metes
Siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya. Dan sipa yang menabur angin, dialah yang akan menuai badai.
37.  Vox populi vox dei
Suara rakyat adalah suara Tuhan.
38.  Verba Volant scripta manent.
Kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa yang ditulis tetap ada.    

Sumber :
http://adampamrahman.blogspot.co.id/2012/03/asas-asas-hukum-yang-berlaku-di.html?m=1

FORMAT PENYUSUNAN LEGAL OPINION

Format Penyusunan Legal Opinion


Sampai saat ini Indonesia belum memiliki format dan standar baku yang mengikat bagi seluruh Advokat Indonesia berkenaan dengan bentuk Legal Opinion. Sehubungan dengan tidak adanya format dan standar baku pembuatan Legal Opinion yang mengikat seluruh advokat di Indonesia, dalam prakteknya bentuk Legal Opinion yang baik setidak-tidaknya mempunyai kerangka dasar yang memuat hal-hal sebagai berikut:
1.    Pendahuluan
2.    Permasalahan yang dimintakan Legal Opinion.
3.    Bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada seperti informasi, data-data dan dokumen-dokumen.
4.    Dasar hukum dan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan.
5.    Uraian fakta-fakta dan kronologis.
6.    Analisa hukum
7.    Pendapat hukum
8.    Kesimpulan dan saran-saran atau solusi permasalahan.
Adapun butir-butir dari hal-hal yang terdapat dalam kerangka dasar tersebut di atas akan diterangkan sebagai berikut:
1. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi penjelasan atas dasar apa advokat membuat Legal Opinion, yaitu apakah berdasarkan permintaan secara tertulis dari klien melalui surat atau secara lisan yang disampaikan dalam rapat yang dihadiri klien, agar advokat memberikan pendapat hukum atas permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dihadapi klien atau didasarkan karena diperlukan sebelum menangani suatu perkara.
2. Permasalahan yang dimintakan Legal Opinion
Pada bagian permasalahan ini dijelaskan masalah pokok yang dihadapi klien yang diminta untuk dibuatkan Legal Opinion. Permasalahan tersebut mengacu pada persoalan hukum yang diuraikan atau yang disampaikan klien dalam suratnya ketika mengajukan permintaan Legal opinion. Namun apabila ternyata persoalan hukum yang diuraikan klien tidak jelas atau kurang jelas, maka advokat akan membantu merumuskan permasalahan klien tersebut. Bila terdapat lebih dari satu persoalan hukum dimana berkaitan satu sama lain maka permasalahan-permasalahan dimaksud harus disampaikan secara jelas dan sistematis.
3. Bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada seperti informasi, data-data dan dokumen-dokumen
Bagian ini berisi uraian tentang dokumen-dokumen, informasi material yang berbentuk tertulis maupun lisan yang diperoleh dari klien itu sendiri maupun dari pihak ketiga lainnya dan juga berisi informasi tambahan yang terkait dengan pokok permasalahan yang dapat ditambahkan pada Legal Opinion untuk mendukung pokok permasalahan. Bahan-bahan ini dapat diketahui dan ditentukan setelah advokat terlebih dahulu melakukan Legal Due Diligence (Legal Audit).
Bagian ini juga berisi pernyataan dari advokat mengenai sumber fakta yang dipergunakan dalam penyusunan Legal Opinion yaitu bahwa Legal Opinion dapat dibuat berdasarkan dokumen asli dan/ atau dokumen fotokopi dan/atau keterangan-keterangan lisan klien kepada advokat, sejak diterima sampai dengan tanggal dikeluarkannya Legal Opinion. Dokumen-dokumen dan keterangan lisan tersebut menjadi dasar untuk mencari dan menggali fakta-fakta.
4. Dasar hukum dan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan
Bagian ini berisi uraian tentang ketentuan perundang-undangan dan peraturan terkait lainnya yang dijadikan dasar bagi advokat untuk membuat pendapat hukum. Dalam bagian ini juga dijelaskan batasan penafsiran Legal Opinion yang dibuat oleh advokat, yaitu bahwa Legal opinion yang dimaksud hanya dapat ditafsirkan menurut ketentuan hukum Negara Indonesia. Legal Opinion tersebut tidak dapat ditafsirkan menurut ketentuan hukum dari negara lain selain negara Republik Indonesia.
5. Uraian fakta-fakta dan kronologis
Bagian ini berisi uraian fakta-fakta yang relevan dengan permasalahan berdasarkan dokumen asli dan/atau fotokopi dan/atau berdasarkan keterangan lisan dari klien sampai dengan tanggal dikeluarkannya Legal Opinion dan disusun secara kronologis dengan maksud agar pembaca memahami asal mula pokok permasalahan dan perkembangannya.
6. Analisa hukum
Bagian ini menguraikan analisa dan pertimbangan hukum advokat atas pokok permasalahan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
7. Pendapat hukum
Berisi uraian tentang pendapat Advokat atas pokok permasalahan yang didasarkan pada analisa dan pertimbangan hukum atas fakta-fakta, informasi serta dokumen terkait dengan pokok permasalahan sehingga dapat diketahui jawaban atas permasalahan yang ada. Pendapat hukum disampaikan dengan selalu terfokus pada permasalahan, sistematis dan tidak berbelit-belit.
8. Kesimpulan dan saran-saran atau solusi permasalahan
Berisi uraian tentang kesimpulan yang didapatkan berdasarkan hasil analisa setelah melakukan seluruh tahap-tahap pembuatan Legal Opinion yang telah dipaparkan sebelumnya. Setelah mendapatkan kesimpulan, advokat lalu memberikan saran-saran dan/atau solusi bagi penyelesaian persoalan hukum yang telah dibahas dalam Legal Opinion tersebut. Sangat diharapkan Advokat memberikan lebih dari satu saran dan/atau solusi terhadap masalah yang dimintakan Legal Opinion, dengan tujuan agar klien atau pihak lain yang berkepentingan dapat memilih salah satu dari saran dan/atau solusi yang terbaik menurut pandangannya



http://www.suduthukum.com/2014/04/format-penyusunan-legal-opinion.html?m=1

Membuka-buka HP Suami atau Isteri

Membuka-buka HP Suami atau Isteri

Diam-diam Membuka HP Suami, Apakah Melanggar Hukum?
Kategori:Telekomunikasi & Teknologi
Dalam Pasal 30 (1) UU ITE disebutkan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.” Kaitannya dengan pasal tersebut apakah apabila istri membuka hp atau sms milik suami tanpa sepengetahuan suaminya bisa dikenakan pasal ini? Dan apakah pasal ini termasuk delik aduan? Terima kasih.
Jawaban:

Yth. Rekan Hukumonline yang baik,
Contoh yang Saudara pertanyakan sangat menarik untuk dibahas dengan pendekatan hukum.
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) merupakan delik laporan. Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi properti dan juga privasi seseorang. Hanya pemilik atau yang memiliki hak yang dapat mengakses suatu Sistem Elektronik. Tidak hanya itu, di dalam satu Sistem Elektronik terdapat informasi, dan tiap informasi memiliki nilai, baik nilai yang bersifat pribadi maupun nilai ekonomis, sehingga privasi dan kepentingan pemilik atau pihak yang berhak tersebut dilindungi oleh ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU ITE.
Menurut Pasal 30 ayat (1) UU ITE, yang dimaksud“dengan sengaja” ialah tahu dan menghendaki suatu perbuatan yang dilarang, atau mengetahui dan menghendaki timbulnya akibat yang dilarang. Dalam konteks pasal ini, sengaja memiliki makna mengetahui dan menghendaki mengakses Komputer atau Sistem Elektronik milik orang lain.
Tanpa hak maksudnya tidak memiliki hak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun alas hukum lain yang sah, seperti perjanjian perusahaan, atau perjanjian jual beli. Sedangkan, unsur melawan hukum dapat bersifat formil maupun materiil. Melawan hukum secara formil maksudnya melanggar peraturan perundang-undangan, sedangkan melawan hukum materiil maknanya tidak hanya terhadap pelanggaran menurut undang-undang, tetapi juga melawan hukum yang tidak tertulis.
Unsur mengakses mengandung makna melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik, termasuk berada (secara virtual) dalam Sistem Elektronik yang dimaksud.
Pertanyaan yang menjadi dasar dari kasus ini ialah apakah istri atau suami memiliki hak untuk mengakses Sistem Elektronik milik suami atau istri? Penting untuk dimengerti bahwa hubungan keluarga sedarah dekat, yaitu antara suami dan istri, antara anak dan orang tua, antar-saudara sedarah, merupakan hubungan yang memiliki karakteristik khusus sehingga dalam penerapan ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU ITE memerlukan pendekatan yang tersendiri pula.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir batin yang dimaksud tentunya menghasilkan hak dan kewajiban yang tidak perlu diatur secara tertulis lebih lanjut. Setiap orang memiliki hak privasi, tetapi, ikatan lahir batin antara suami istri yang timbul akibat hubungan perkawinan membuat privasi suami dan istri menyatu sampai pada batas tertentu. Maksudnya, ada perbuatan-perbuatan yang menurut umum, dan menurut batas kewajaran, dapat dilakukan oleh suami atau istri meskipun perbuatan tersebut ‘mengganggu’ atau ‘melanggar’ privasi istri atau suami. Hal ini juga dapat diberlakukan terhadap hubungan keluarga sedarah dekat lainnya.
Oleh karena itu, menjawab pertanyaan Saudara, perbuatan istri (dan suami) yang membuka hp atau sms milik suami (atau istri) tanpa sepengetahuan suaminya (atau istrinya) tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan ‘tanpa hak’, sepanjang perbuatan tersebut masih merupakan batas yang wajar. Ruang lingkup ‘batas yang wajar’ dapat menjadi permasalahan tersendiri, dan harus dipahami kasus per kasus.  

Dasar hukum:

Referensi:
Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta, Tata Nusa.


http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt50fa5ca5c544b/diam-diam-membuka-hp-suami--apakah-melanggar-hukum

ANAK MONDOK USIA DINI

ANAK MONDOK USIA DINI

diangkat dari kisah nyata "BEBAN PSIKOLOGIS ANAK MONDOK USIA DINI"
Cerita dari salah satu ustadz di pesantren di Al Irsyad Salatiga.
Dia berdiam seorang diri menatap gelapnya malam diluar bangunan asrama tepatnya di selasar menuju masjid  sambil termenung. Sementara santri santri lainnya asyik bercengkrama di kamar asrama dan sebagian bersiap siap untuk tidur, karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.45 WIB.
Aku lihat dia melihat ku keliling di depan 2 asrama besar, karena kebetulan malam itu aku punya kesempatan untuk  nengok  keadaan santri di malam hari. Kemudian aku hampiri santri tersebut.
 "Assalamualaikum kaifa hal Hanif ?" Tanyaku. "Bekher ustadz", jawab santri tersebut sambil malas menanggapi sapaanku,  kemudiaan aku lanjutkan, berbincang dengannya, " Eich udah kabir (besar) kok nangis ?", tanyaku lagi, "Iya ustadz kemaren katanya mama,  mau kesini jenguk aku, tapi g jadi jadi. Padahal janjinya hari ini ke sini," katanya dengan wajah murung.
ilustrasiOh... mau telepon mama nanya jam berapa berangkat ke sininya  ?" Tanyaku...
Ia mengangguk dan wajahnya jadi sumringah.
Kupinjamkan HP, dan dia bercakap di depanku...
Mama jadi kesini jam berapa? Tanyanya....
Wajahnya tiba-tiba berubah, matanya berkaca-kaca.
Oh .... iya.... iya udah gak apa-apa... tapi nanti mama jenguk aku yaa?? Kapan ma??
Wajahnya terlihat semakin kecewa dan air matanya mulai jatuh, di serahkan hp yang masih tersambung.
Halo.. assalamualaikum... afwan um,  gimana? Tanyaku...
Iya ustadz.. tolong kasih pengertian anak saya yaa... saya gak bisa jenguk. Sebenernya sih kita emang gak mau sering jenguk, karena kita gak mau dia terlalu manja. Dia bulak-balik minta ijin pulang, cuma takutnya kalau dibawa pulang dia gak mau balik lagi ke pondok. Biarin aja lah mau nangis terus sekarang ini,  ana insya Allah percaya sama pondok, nanti juga lama-lama biasa, kata sang bunda di ujung telepon sana.
Keningku mengernyit mendengar ucapan sang bunda, gak dijengukin aja um, barang sesekali, soalnya tidak hanya sekali ini saya dapatin putranya nangis terus, mohon kasih pengertian putranya? Kasihan um putranya sedih. Ku coba melobby hatinya...
Enggak lah ustadz, biarin aja. Nanti juga lama-lama biasa, suaranya terdengar yakin diujung telepon...
Baiklah... bukankah setiap orang tua memiliki hak memilih cara mendidik anak-anaknya.
Ku tutup telepon, ku tarik nafas panjang dan menghembuskanya pelan-pelan. Kutatap mata berurai air mata tanpa isak, hanya ditemani tatapan kosong entah memandang apa.
Mama belum bisa kesini Nif... nanti kalau mama gak repot mama mu nanti ke sini. Sementara ini biarkan ustadz yang  jadi orang tua buat mu yaa... boleh? Tanyaku...
Dia mengangguk lemah, air matanya semakin banjir, kali ini pundaknya hingga terguncang-guncang menahan isak. Sesak rasanya dada ini melihatnya, tapi kucoba untuk berusaha menenangkannya.
Yaa sudah... keluarin aja sedihnya sampai puas.. boleh kok nangis..boleh kataku...kubiarkan dia menangis.
Aku kayak dibuang ustadz, santri lain di telepon, ditengok, diajak jalan ke Salatiga, Solo, Yogya, sedangkan aku enggak. Ana sedih tadz, gak ada tempat ngadu, gak ada tempat cerita, ana sendirian ucapnya ditengah isak.
Iyaa... sekarang kan yang nengok ustadz, kamu kan g sendirian, ada musyrif ada wali kelas. ada teman teman kamu yang juga dari jauh mondok disini.., sudahlah nanti kamu boleh cerita ke ustadz,  boleh ngadu, "g usah takut dibilang "lemes" (*sering ngadu*) "istilah santri di pondok". Sembari menenangkan.
Dia menganggukk.. perlahan tangis dan isaknya mereda.
Dia bercerita bagaimana dia merasa tertekan atas sikap teman-teman sekelasnya, merasa terintimidasi dengan sikap teman sekamarnya. Ia sedang merasa sedih karena merasa diperlakukan tidak adil. Aku hanya mendengarkan hingga ia selesai bercerita lalu memberi sedikit nasehat. Ia semakin terlihat tenang.
Makanan kesenanganmu apa? Tanyaku
Sop Iga.. jawabnya..
Ya udah nanti minggu depan In sya Allah kita jalan ke Salatiga, tahu Joglo Bu Rini kan... disana sop iganya enak lho...
Beneran ustadz soalnya ana sering denger santri lain klo diajak makan sama ortunya kesitu, katanya "Ajib stadz" tpi ana g tahu tempatnya ?  Tanyanya...
Insya Allah nanti ustadz ajak kamu. cuma enak apa enggaknya enggak tau, kan ustadz g tahu kayak apa seleramu, yang penting nanti kita jalan....kataku
Dia tersenyum....
Ustadz g pulang... ini sudah malam ?
Iya bentar lagi ? Tapi kamu jangan nangis lagi yaaa...
ustadz sdh biasa kok sampai malam kayak gini,  kan g sering sering.
Wajahnya jadi sumringah....
Udah sana segera tidur sudah hampir jam 23.00, jangan lupa lapor musyrif nanti dighoib lho.. semangat yaa nak...
Dia tersenyum dan kembali bersemangat.
Melihatnya berlari-lari kecil membuatku terharu...sesederhana itu saja sebenarnya menyenangkan hatimu...
Bagiku intensitas kita berkomunikasi dan menjenguk anak-anak bukan soal percaya tidak percaya pada pihak pondok. Tapi soal kewajiban orang tua memenuhi hak psikologis anak yang masih jadi kewajiban orang tua.
Anak laki-laki usia 12-13 tahun belum usia baligh dimana dalam islam dianjurkan untuk dekat dengan orang tuanya.
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” “Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa hadits tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).
Hadits tersebut sebenarnya membicarakan tentang pengasuhan anak ketika terjadi suami-istri bercerai, siapakah yang berhak mengasuh anak tersebut.
Namun hadits itu juga mengandung faedah lainnya. Hadits tersebut berisi penjelasan bahwa sebaiknya anak tidak jauh dari ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena usia tersebut, anak masih butuh kasih sayang orang tua, terutama ibunya.
Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan berbagai media yang mengancam aqidah dan akhlak,  maka kebanyakan orang tua yang sadar akan dampak negatif  tersebut,  banyak memilih memasukkan anaknya kedalam pesantren agar tertanam erat aqidah dan akhlaknya, tapi bukan berarti boleh melepaskan begitu saja hak anaknya untuk dekat dengan orang tua.
Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu Ayyub, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1283. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
Maka untuk mengakomodir kewajiban orang tua menanamkan aqidah dan akhlak mulia anak dan melindungi dari lingkungan yang berpotensi merusak akhlak, sebelum usianya baligh beberapa orang tua yang memiliki dasar pemahaman sesuai hadits ini akan menjaga kualitas komunikasi dan kedekatan dengan anak.
Banyak orang tua berpikir..aah lama-lama juga terbiasa...lama-lama juga betah tanpa mempertimbangkan hak psikologis dan batin anak. Menjadi betah di pondok karena sekedar terbiasa akan berbeda hasilnya dengan menjadi betah karena merasa pondok tak ubahnya rumah yang tetap terisi aroma kasih sayang orang tua karena proses adaptasi bertahap dengan pendampingan orang tua.
Pondok yang paling cocok dengan anak-anak diusia dini bukanlah pondok yang walaupun jauh dengan memiliki asatidzah yang hebat dan fasilitas yang mantap, tapi pondok yang dekat dan tidak menjauhkan anak anak baik dari segi jarak maupun mental, agar chemistry kedekatan anak dan orang tua tetap terjaga. Dan ingatt usia 12-14 tahun adalah masa pubertas anak yang sarat dengan gejolak jiwa yang perlu kedekatan komunikasi.
Berapa banyak anak yang lulus pondok kualitas akhlak dan aqidahnya lebih buruk daripada yang tidak mondok?
Berapa banyak orang yang hafidz Alquran namun gagal mengimplementasikan makna alquran sesungguhnya.
Berapa banyak anak yang lulus dari pondok kehilangan kelembutan cinta karena merasa kurang dicintai.
Berapa banyak anak yang justru hambar hubungannya dengan orang tua dan menjalankan kewajibannya pada orang tua hanya sekedar kewajiban tanpa cinta.
Walau bagaimanapun semua tergantung anaknya dan orang tuanya. Karena ustadz / ustadzah hanyalah fasilitator dan fasilitas hanyalah pendukung. Sedang dasar akhlak dan aqidah anak anak tetaplah kewajiban kita sebagai orang tua karena kita yang akan dihisab soal itu, bukan ustad/ustadzahnya.
Banyak orang tua mampu menjadikan anak-anak yang shalih, tapi tidak semua anak shalih ingat untuk selalu ingat mendoakan orang tuanya saat ada, apalagi setelah tiada. Karena antara ada dan tiada orang tua, mereka biasa  merasa orang tuanya tidak ada di masa-masa ia membutuhkannya.
Semoga kita bisa jadi orang tua yang dirindukan surga karena doa anak-anak shalih kita. In syaa Allah.
Barokallahu fiikum,
Renungan untuk kita semua yang anaknya di pondok....




http://www.kumpulankonsultasi.com/2016/10/diangkat-dari-kisah-nyata-beban-psikologi-anak-mondok-usia-dini.html?m=1