Cari Blog Ini

Sabtu, 28 September 2019

Tentang Kumulasi Pidana dalam Pasal 65 ce


Pertanyaan


Terkait kejahatan dalam Pasal 65, apa yang dimaksud dengan comulatie



Ulasan Lengkap

Terima kasih atas pertanyaan Saudara.

Saya asumsikan yang anda maksud dengan Pasal 65 dalam pertanyaan anda adalah Pasal 65 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang memang mengatur mengenai gabungan tindak pidana (concursus).

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP adalah mengenai pengakumulasian/penggabungan tindak pidana yang dikenal dengan nama concursus realis. Gabungan tindak pidana ini diartikan sebagai beberapa tindak pidana yang dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dilakukan oleh hanya satu orang. Concursus bisa dianggap sebagai kebalikan dari penyertaan tindak pidana, yaitu keadaan ketika satu tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang.

Selengkapnya, Pasal 65 KUHP berbunyi sebagai berikut:

(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.

(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

 

Singkatnya, Pasal 65 KUHP mengatur mengenai gabungan beberapa tindak pidana dalam beberapa perbuatan yang berdiri sendiri. Pasal ini tidak mengindikasikan apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sejenis atau perbuatan yang berbeda, hanya menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan diancam dengan pidana pokok yang sejenis.

 

Pidana pokok diatur dalam Pasal 10 (a) KUHP, yang terdiri dari:

(i).      Pidana mati;

(ii).     Pidana penjara;

(iii).      Pidana kurungan;

(iv).      Pidana denda; dan pidana tutupan

 

Dengan demikian, apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang berbeda pada waktu yang berbeda, maka tindak-tindak pidana tersebut harus ditindak secara tersendiri dan dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Hukuman terhadap orang yang melakukan tindak-tindak pidana tersebut kemudian dikumulasikan atau digabung namun jumlah maksimal hukumannya tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.

 

Contoh: dalam rentang waktu 5 tahun seseorang melakukan pencurian, penganiayaan, dan pembunuhan. Pencurian diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP, penganiayaan diancam dengan pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP, dan pembunuhan (Pasal 338 KUHP) diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun. Ketiga tindakan tersebut apabila diakumulasikan menjadi total 22 tahun 2 bulan, namun hal ini tidak dapat serta merta diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pidana terberat di sini adalah pidana penjara 15 tahun yang diterapkan kepada tindak pidana pembunuhan dan sepertiga dari 15 tahun adalah 5 tahun, sehingga pidana maksimal yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana tersebut adalah 20 tahun meskipun secara akumulatif orang tersebut patut dipenjara selama 22 tahun 2 bulan.

Demikian jawaban saya, semoga menjawab pertanyaan Saudara.

Terima kasih.

 

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52dc749cdefb3/tentang-kumulasi-pidana-dalam-pasal-65-kuhp/

Minggu, 08 September 2019

Sahkah Pemberian Hibah yang Tidak Disetujui Anak?

Pertanyaan

Seorang ayah memberikan hibah sebidang tanah kepada anak angkatnya namun tidak disetujui oleh anak kandungnya. Apakah pemberian hibah itu sah menurut hukum yang berlaku?


Ulasan Lengkap

Hibah harus memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), bahwa hibah merupakan pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang-barang bergerak (dengan akta Notaris) maupun barang tidak bergerak (dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah – “PPAT”) pada saat pemberi hibah masih hidup.

Hibah merupakan kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan kepada siapa saja yang ia kehendaki. Jadi, pemberi hibah bertindak secara aktif menyerahkan kepemilikan hartanya kepada penerima hibah.

Namun kebebasan selalu dibatasi dengan hak pihak lain. Di dalam harta pemberi hibah, terdapat hak bagian mutlak (legitieme portie) anak sebagai ahli warisnya dan hak ini dilindungi undang-undang. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang lain juga dibatasi maksimum hanya sebesar 1/3 harta. Jadi, jika memang hibah melanggar hak anak, maka anak dapat menggugat pemberian hibah. Namun jika anak tidak mempermasalahkan, maka hibah tetap bisa dilaksanakan.

Untuk mencegah terjadinya tuntutan di kemudian hari, dalam praktik selalu disyaratkan adalah Surat Persetujuan dari anak(-anak) kandung Pemberi Hibah. Dengan demikian, pemberian hibah harus memperhatikan persetujuan dari para ahli waris dan jangan melanggar hak mutlak mereka. Hak mutlak adalah bagian warisan yang telah di tetapkan oleh undang-undang untuk masing-masing ahli waris (lihat Pasal 913 BW).

 
Ketidaksetujuan anak bisa jadi karena ada kekhawatiran berkurangnya harta warisan yang akan mereka dapatkan atau bisa jadi karena anak-anak tidak senang kepada penerima hibah, segala hal bisa saja menjadi alasan pembenar.

Dalam hal kebebasan selalu dibatasi dengan hak pihak lain, diakomodasi dengan baik oleh undang-undang. Undang-undang tetap menghormati hak pemilik harta untuk berbagi, tanpa merugikan hak para ahli waris.

Untuk non muslim, akan tunduk pada aturan yang ada di Pasal 881 ayat (2) BW, yang mengatakan bahwa “dengan sesuatu pengangkatan waris atau hibah yang demikian, si yang mewariskan (dan menghibahkan-red) tak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”. Dalam BW terdapat penggolongan ahli waris yang dengan dasar golongan itu, menentukan seberapa besar hak mutlak mereka. Saudara dapat membacanya di www.irmadevita.com.

Untuk muslim tunduk pada Pasal 209 Kompilasi Hukum Islampenegasan SKB MA dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan Qs Al-Ahzab (33): 4-5, bahwa pemberian hibah harus taat pada ketentuan batas maksimum sebesar 1/3 dari seluruh harta pemberi hibah.

Kesimpulannya, jika dapat dibuktikan bahwa pemberian hibah tersebut tidak melebihi 1/3 harta peninggalan pewaris (dalam sistem kewarisan Islam) atau tidak melanggar legitieme portie dari ahli waris (dalam sistem kewarisan perdata Barat), maka hibah terhadap anak angkat tetap dapat dilaksanakan. Untuk jelasnya bisa di baca di buku saya yang berjudul: “Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS” (Kaifa, 2012).

 

Demikian, semoga bermanfaat




 https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52b6b33d954dd/sahkah-pemberian-hibah-yang-tidak-disetujui-anak/

Kamis, 05 September 2019

Tata Cara Pembuatan Surat Perjanjian/Kontrak



Hal-hal mengenai Kontrak 


Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai  hubungan bisnis antara orang dengan orang atau orang dengan perusahaan dalam urusan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam pakai dll Kegiatan ini menyangkut perikatan dalam ranah privat dan diatur dalam berbagai aturan antara lain Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan hukum Adat. Kegiatan tersebut biasanya tertuang dalam bentuk tertulis yang sehari-hari sering kita lihat, kita saksikan bahkan kita lakukan sendiri dalam pembuatan kontrak,rekes maupun surat-surat resmi lainnya 

Beberapa contoh perjanjian kegiatan yang sering dilakukan masyarakat seperti jual-beli, sewa-menyewa maupun pinam pakai yang disajikan dibawah ini dapat  menjadi acuan  untuk memenuhi kebutuhan kita dalam melakukan salah satu kegiatan ekonomi tesebut.  Pada prinsipnya hubungan bisnis ini menganut kebebasan masing-masing untuk berkontrak dan menganut azas “Pacta Sunt Servanda” yaitu semua persetujuan yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dan harus dilaksanakan  dengan itikad baik. (Psl 1338 KUHPer). Pada umumnya perikatan lahir dari persetujuan atau karena undang-undang (Psl.1233 KUHPer). Perikatan diartikan sebagai  memberikan sesuatu,berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Psl. 1234 KUHPer). Sedangkan persetujuan /perjanjian merupakan perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seorang maupun lebih (Psl. 1313 KUHPer). Agar suatu persetujuan/perjanjian dianggap sah harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu :

Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan diri (Psl. 1320 ayat (1) KUHPer)


Kecakapan untuk melakukan perikatan (Psl. 1320 ayat (2) KUHPer)


Mengenai suatu pokok persoalan tertentu (Psl. 1320 ayat (3) KUHPer)


Oleh sebab yang tidak terlarang (Psl. 1320 ayat (3) KUHPer)


 Suatu persetujuan dapat diadakan  dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Persetujuan cuma-cuma adalah perjanjian yang dilakukan satu pihak yang akan memberikan suatu keuntungan bagi pihak lain dengan tidak menerima imbalan. Sedangkan persetujuan dengan memberatkan mewajibkan para pihak memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Perjanjian tidak terlaksanan atau mempunyai kekuatan mengikat apabila timbul dari kekhilafan atau diperoleh karena paksaan atau penipuan Psl. 1321 KUHPer).  Setiap orang berwenang untuk membuat perjanjian/perikatan kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap untuk itu (Psl 1329. KUHPer) meliputi :

Anak yang belum dewasa (Psl. 1330 ayat (1) KUHPer)


Seseorang dibawah pengampuan (Psl. 1330 ayat (2) KUHPer)


Wanita yang telah kawin (Psl. 1330 ayat (2) KUHPer). (Catatan:  Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No.3/1963 tanggal 5 September 1963 yang menyatakan bahwa Psl 108 dan 110 KUHPer yang mengatur seorang istri dalam melakukan perbuatan hukum dan menghadap di muka pengadilan harus seizin suami sudah tidak berlaku lagi)


Semua orang yang oleh undang-undang dilarang membuat perjanjian/persetujuan tertentu (Psl. 1330 ayat (3) KUHPer).


Persetujuan mengikat apabila dengan tegas ditentukan didalamnya, namun juga menurut sifat persetujuannya dapat dituntut berdasarkan keadilan, kepatutan dan undang-undang (Pasal 1339 KUH Per).   Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak  atau disebabkan alasan karena undang-undang (Pasal 1338 KUH Per). Perikatan yang dibuat karena paksaan, penyesatan atu penipuan menimbulkan tututan pembatalannya (Pasal 1449 KUH Per).. Bila tuntutan pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi waktunya berdasarkan ketentuan undang-undang yang khusus maka pembatasan ditetapkan 5 tahun dan mulai diberlakukan : (Pasal 1454 KUH Per).

1.      Untuk  kebelumdewasaan terhitung sejak hari kedewasaan;

2.      Untuk pengampuan sejak pencabutan pengampuan

3.      Untuk paksaan sejak paksaan itu berhenti

4.      Untk penyesatan atau penipuan sejak diketahuinya penyesatan atau penipuan

5.      Untuk perbuatan seorang bersuami yang dilakukan tanpa surat kuasa si suami terhitung  sejak pembubaran perkawinan.     

6.      Untuk segala tindakan yang tidak diwajibkan  yang dilakukan debitur yang menyebabkan kerugian kreditur,

Sejak adanya kesadaran  perlunya dibatalkan (Psl 1341 dan 1454 KUHPer) Bagi salah satu pihak yang perikatannya tidak dipenuhi pihak lain dapat memilih tindakan  untuk memaksa pihak lain untuk memenuhi persetujuan apabila masih dimungkinkan atau menuntut pembatalan persetujuan dengan penggantian biaya kerugian dan bunga (1267 KUHPer) Penggantian kerugian dapat dilakukan apabila pihak lain telah dinyatakan lalai untuk memenuhi kewajibannya dan telah melampaui tenggang wakltu yang ditentukan sejak pemberitahuan. ( Pas 1243 KUHPer)  Debitor harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga apababila ia tidak dapat membuktikan tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu pelaksanaan perikatan itu disebabkan oleh keadaan yang tidak terduga diluar kemampuan/kekuasaannya (force majeur) serta bukan karena itikad buruk ( Psl 1244 dan Psl 1245 KUHPer). Biaya ganjti rugi dan bunga yang dapat dituntut kreditur terdiri atas kerugian yang telah didertitanya dan keuntungan yang sedianya akan diperolehnya. Psl 1245 KUHPer).      

    

“Perancangan Kontrak”

Perancangan Kontrak (Contract Drafting) tidak sama dengan Hukum Perjanjian (Law of Contract). Dalam perancangan kontrak adalah bagaimana kita mewujudkan aspirasi dalam bahasa hukum sehingga kata demi kata dan kalimat yang tertuang dapat dibuktikan di mata hukum atau persidangan. Kalimat yang tertuang jangan berupa kalimat yang ambigu, tidak jelas, tidak limitatif, dan tidak tegas. Hal yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara mengamankan dengan baik, hak dan kewajiban masing-masing pihak,tidak melanggar ketentuan dan peraturan yang berlaku. Anatomi Kontrak terdiri dari:

1.      bagian Pendahuluan – sub bag pembuka berisi kata pembuka, termasuk penyingkatan judul perjanjian dan tanggal perjanjian. – sub bagian pencantuman identitas para pihak berisi elaborasi dari pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian. – sub bagian Penjelasan berisi penjelasan mengapa para pihak membuat perjanjian.

2.      ISI a. Klausula Definisi mengatur tentang berbagai definisi interpretasi maupun konstruksi dalam perjanjian (untuk menghidnari salah tafsir) b. Klausula Transaksi menterjemahkan transaksi c. Klausula Spesifik mengatur spesifikasi Barang dan/atau Jasa yang dibutuhkan. d. Klausula Ketentuan Umum

3.      Penyelesaian Sengketa Dalam pemerintah yaitu harus di dalam negeri dan sesuai hukum Indonesia.

4.      Lampiran Yang harus kita telaah yaitu Isi di klausula transaksi dan klausula spesifik.

” Perjanjian/Kontrak”

1.      Pengertian Perjanjian adalah suatu ikatan atau hubungan hukum mengenai benda-benda (barang) atau kebendaan (jasa) antara dua pihak atau lebih, dimana para pihak tersebut saling berjanji atau dianggap saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

2.      Unsur-unsur Perjanjian/Kontrak

3.      jenis Perjanjian Pengadaan

Syarat Sahnya Perjanjian

KUH Perdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.

Adapun keempat syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut adalah :

1. Sepakat meeka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju atau seria sekata mereka mengenai hal hal yang pokok dari perjanjian yang di adakan itu. Apa yang di kehendaki oleh pihak yang satu jugadikehendaki pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik, misalnya seorang penjualsuatu benda untuk mendapatkan uang, sedangkan si pembeli mengiginkan benda itu dari yang menjualnya .

Dalam hal ini kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus di nyatakan

ad.2. kecakapan untuk membuat perjanjian .

Kecakapan disini orang yang cakap yang dimaksudkan adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21tahun tetapi teklah pernah kawin . sedangkan UU No 1 tahun 1974 pasal 7 pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun . tidak termasuk otang otang yang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh pengadilan diputuskan berada dibawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami .

Mengenai seorang perempuan yang masih bersuami setelah dikeluarkan surat edaran mahkamah agung No . 3 Tahun 1963 , maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah di perbolehkan menghadap di muka pengadilan tampa seizin suami .

ad.3. suatu hal tertentu

Suatu hal tertenru makudnya adalah sekurang kurangnya macam atau jenis benda dalam perjanjian itu sudah di tentukan , misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah di mungkinkan asal disebut macam atau jenis dan rupanya , sedangkan jual beli beras 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis , warna dan rupanya dapat dibatalkan .

ad.4. suatu sebab yang halal

Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri . sebab yang tidak halal adalah yang berlawanan dengan undang undang kesusilsaan dan ketertiban umum

Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama, yaitu sepakat mereka yang mengingatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek pejanjian .

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek subjek prjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dengan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.

Apabila syarat subjek tidak dipenuhi, maka perjanjianya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjiaan itu dibatalkan .

Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal jika tidak di penuhi


Sumber dari : “Contoh-contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi Sehari-hari”, Jilid 1-3 (Prof. Mr. Dr. S. Gautama)



http://artikelhukum88.blogspot.com/2012/10/tata-cara-pembuatan-surat.html?m=1