Cari Blog Ini

Rabu, 16 Desember 2020

Keberlakuan Peraturan Pemerintah yang Belum Ada Peraturan Pelaksanaannya

Pertanyaan
Jika ada suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang menegaskan tentang suatu hal pada ayat (1), kemudian ayat berikutnya menyatakan bahwa pelaksanaan dari ayat (1) akan diatur dengan Peraturan Menteri. Apakah itu berarti bahwa peraturan pada ayat tersebut tidak bisa berjalan tanpa adanya Peraturan Menteri? Meskipun Peraturan Menteri tersebut belum ada sampai PP tersebut resmi berlaku. Dan tidak dijelaskan pada PP tersebut kapan harus ada Peraturan Menteri. Terima kasih.


Ulasan Lengkap
Intisari:
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 

Peraturan Pemerintah

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) merumuskan:

 

Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

 

Jadi, Peraturan Pemerintah (“PP”) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Materi muatan PP adalah materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

 

Untuk menjalankan PP sebagaimana mestinya, acapkali ada perintah untuk mengatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Presiden (“Perpres”) atau Peraturan Menteri (“Permen”). Tetapi sebagian besar pasal dalam PP pada dasarnya tanpa perintah untuk pengaturan lebih lanjut dalam Perpres atau Permen. Perintah penerbitan Perpres dalam suatu rumusan PP adalah kewajiban bagi Pemerintah untuk menerbitkannya. Peraturan pelaksanaan itu kadang diatur ‘karena diperlukan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara’,[1] atau ‘dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan’.[2]

 

Keberlakuan Peraturan Pemerintah

Dalam hal seperti yang Anda tanyakan, menurut pandangan kami, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kapan suatu PP berlaku? Kedua, apakah operasional atau pelaksanaan PP ditentukan semata oleh peraturan teknis seperti Permen?

 

Jawaban atas pertanyaan pertama bisa ditemukan pada Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:

 

Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

 

Rumusan Pasal 87 UU 12/2011 di atas menunjukkan bahwa materi muatan PP berlaku dengan sendirinya pada tanggal diundangkan, atau pada tanggal lain yang disebutkan dalam PP tersebut.

 

Contohnya, PP Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (“PP 83/2008”) menyebutkan:[3]

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Ini berarti PP otomatis berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 31 Desember 2008.

 

Contoh PP yang berlaku pada tanggal tertentu yang ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”). Dalam PP 9/1975 disebutkan bahwa PP ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975, padahal PP itu diundangkan pada 1 April 1975. Jadi, tanggal pengundangan tidak selalu sama dengan tanggal berlakunya suatu PP.

 

Dengan demikian, dilihat dari berlakunya, PP sudah resmi berlaku pada waktu ditetapkan terlepas dari apakah Permen yang diperintahkan sudah terbit atau belum.

 

Jawaban atas pertanyaan kedua sebenarnya terletak pada frasa ‘menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya’ seperti yang disebut dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Pembentuk UUD 1945 tak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud ‘sebagaimana mestinya’, tetapi dapat dipahami sebagai keinginan agar operasionalisasi PP itu berjalan sepenuhnya. Agar berjalan sepenuhnya, maka perlu ada Permen atau peraturan pelaksanaan lain. Jadi, Permen itu didelegasikan demi kesempurnaan pelaksanaan PP. Namun ketiadaan Permen yang didelegasikan tak berarti membuat PP tidak berlaku.

 

Dengan mengambil komparasi PP sebagai peraturan pelaksanaan UU, maka pembentukan peraturan pelaksana yang disebut peraturan delegasi bertujuan untuk mengurangi kesulitan dan permasalahan di lapangan. Hanya saja, jarak penerbitan Permen yang diperintahkan dengan masa berlakunya PP akan mempengaruhi efektivitas pelaksanaan PP tersebut.[4]

 

Bagaimana jika Permen yang diperintahkan PP tidak diterbitkan? Menurut pandangan kami, persoalannya lebih pada efektivitas berlakunya PP, tak berpengaruh pada berlakunya PP karena berlakunya PP sudah ditetapkan dengan jelas.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Dasar 1945;

2.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

3.    Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

4.    Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

 

Referensi:

1.    Fitriani Ahlan Sjarif. Pembentukan Peraturan Delegasi dari Undang-Undang pada Kurun Waktu 199-2012. Disertasi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Juli 2015.

2.    Soehino. Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan (Setelah Dilakukan Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Yogyakarta: BPFE UGM, 2006.

3.    Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: Rajawali, 2010.

 


[1] Soehino. Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-Undangan (Setelah dilakukan Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Edisi Pertama. (Yogyakarta: Balai Penerbit Fakultas ekonomi UGM, 2006), hal. 46.

[2] Lihat Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

[3] Pasal 19 PP 83/2008

[4] Lihat Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 110.

Selasa, 01 Desember 2020

Jual Beli Tanah Pura-Pura

Oleh: Shanti Rachmadsyah, S.H.

Pertanyaan
Selamat siang Bapak/Ibu di tempat. Pada tahun 2003 Orang Tua saya terdesak uang untuk mengobati saudaranya yang sakit keras terpaksa meminjam uang dari rentenir dengan syarat sertifikat tanah sebagai jaminan dan dikenakan bunga tinggi. Kedua Orang Tua saya menanda tangani Akte Pengikatan Jual Beli dan Akte Kuasa Luas di hadapan Notaris yang ditunjuknya. Setelah berjalan beberapa bulan, terjadi sengketa karena denda-denda yang tidak pernah diperjanjikan dan pihak rentenir tidak mau membuat tanda terima atas penerimaan bunga pinjaman. Atas Gugatan Orang Tua saya Pengadilan malah menyatakan Akte Pengikatan Jual Beli dan Akte Kuasa Luas Sah dan Berkekuatan Hukum. Putusan tersebut telah berkekuatan Hukum Tetap. Saat ini, pihak rentenir menggugat Orang Tua saya untuk mengosongkan rumah dan menyerahkan tanah dan rumah kami kepadanya dengan alasan kami telah tidak berhak lagi. Perlu saya tambahkan, sampai saat ini belum pernah dibuat Akte Jual Beli (AJB) di hadapan PPAT (sertifikat masih atas nama Orang Tua saya) dan belum ada penyerahan tanah dan bangunan (kami masih tinggal/menguasai tanah dan rumah tersebut). Yang menjadi pertanyaan saya: 1. Menurut Undang-Undang yang berlaku apakah dengan Akte Pengikatan Jual Beli dan Akte Kuasa Luas yang telah dinyatakan Sah dan Berkekuatan Hukum tersebut telah terjadi Jual Beli dan Pengoperan Hak tanah dan rumah? 2. Menurut Undang-Undang yang berlaku apakah tanah dan rumah kami telah menjadi milik rentenir? 3. Menurut Undang-Undang yang berlaku apakah rentenir dijerat pidana kalau bisa tolong Undang-Undang atau Peraturannya (pasal-pasalnya). Atas bantuannya, saya ucapkan banyak terima kasih.


Punya pertanyaan lain ?
Silakan Login, atau Daftar ID anda.
Kirim Pertanyaan 

Ulasan Lengkap
1.      Akte Pengikatan Jual Beli (APJB) sendiri tidak dengan serta merta memindahkan hak atas tanah. APJB hanya merupakan perjanjian bahwa kedua belah pihak akan melakukan jual beli hak atas tanah. Jual beli tanah baru terjadi dengan dibuatnya Akta Jual Beli Tanah (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini sesuai dengan pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah:

 
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

 
Dalam APJB, memang biasanya dibuatkan kuasa-kuasa khusus untuk menjual. Akan tetapi, yang dibuat bukan Akta Kuasa Luas sebagaimana Anda sebutkan. Coba cek kembali akta tersebut, apakah yang dimaksudkan adalah surat kuasa umum ataukah surat kuasa mutlak?

 
Surat kuasa umum tidak boleh dipakai dalam jual beli tanah. Jual beli tanah harus menggunakan surat kuasa khusus. Akan tetapi, surat kuasa khusus tersebut tidak boleh berupa surat kuasa mutlak. Larangan surat kuasa mutlak ini diatur dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

 
Kuasa mutlak sendiri adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa. Kuasa seperti ini tidak boleh digunakan untuk tindakan hukum pemindahan hak atas tanah.

 
Jadi, hak milik atas tanah dan bangunan belum beralih dengan adanya APJB dan Akta Kuasa Luas tersebut.

 
2.      Karena hak milik atas tanah dan bangunan belum beralih, maka rumah dan tanah tersebut masih milik kedua orangtua Anda.

 
3.      Pengaturan tentang rentenir belum ada hukum pidana kita. Rentenir masih masuk dalam ranah hukum perdata, yaitu mengenai bunga yang terlampau tinggi. Menurut Pheo M. Hutabarat dan Asido M. Panjaitan dalam “The International Comparative Legal Guide To International Arbitration 2006”, bunga yang terlampau tinggi ini diatur dalam Woeker Ordonanntie 1938 (Staatsblad Tahun 1938 No. 524). Dalam ordonansi ini diatur bahwa apabila antara kewajiban-kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah pihak, dari semula terdapat suatu ketidak-seimbangan yang luar biasa, sedangkan satu pihak berbuat karena kebodohan dan keadaan terpaksa, yang telah disalahgunakan oleh pihak-lawannya, maka si berutang dapat meminta kepada hakim untuk menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya.

 
Demikian sepanjang yang kami tahu. Semoga bermanfaat.

 
Dasar hukum:

Woeker Ordonanntie 1938 (Staatsblad Tahun 1938 No. 524)
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah

Sumber: Hukum Online

Jangka Waktu Berlakunya Surat Kuasa Menjual

Pertanyaan
Saya mau tanya: 1. Berapa lama jangka waktu berlakunya surat kuasa menjual itu? 2. Apabila dalam perbankan, surat itu (surat kuasa menjual) disebutkan jangka waktunya setelah masa kredit habis, yang tercantum dalam perjanjian kredit, lalu dikuatkan dalam SKMHT (surat kuasa membebankan hak tanggungan) atau APHT (akta pemberian hak tanggungan), apakah bisa? Karena kita tahu sendiri, biaya untuk lelang cukup mahal.


Ulasan Lengkap

1.      Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam pasal 1792 – pasal 1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam pasal-pasal ini, tidak ada pengaturan mengenai jangka waktu berlakunya suatu surat kuasa. Jadi, jangka waktu berlakunya suatu surat kuasa bergantung pada kesepakatan para pihak, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPer.

 

Yang perlu diperhatikan adalah larangan surat kuasa mutlak, yaitu surat kuasa yang mengandung unsur “tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa”. Sesuai dengan pasal 1813 KUHPer, salah satu alasan berakhirnya pemberian kuasa adalah apabila pemberi kuasa menarik kembali kuasanya. Larangan kuasa mutlak ini diperkuat dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

 

2.      Kembali pada uraian di atas, tidak ada pengaturan secara khusus mengenai lamanya jangka waktu berlakunya surat kuasa menjual. Jangka waktu surat kuasa menjual bergantung pada kesepakatan para pihak. Jadi, apabila jangka waktu surat kuasa hendak diatur sampai berakhirnya perjanjian kredit, maka hal tersebut bisa saja dilaksanakan.


Sumber:Hukum Online

Surat Kuasa Penjualan

Pertanyaan
Si A memberi kuasa kepada advokat, khusus untuk menjual beberapa bidang tanah selanjutnya penerima kuasa berhak menerima uang hasil penjualan tanah tersebut, menandatangani kwitansi, menyimpan uang di rekening bersama antara advokat dan suami Si A. Sebelumnya ada surat perjanjian pembagian harta milik Si A (tanah dibeli ketika Si A sendiri belum menikah), akan dibagikan dengan rincian 40 persen untuk Si A selama masih hidup, 30 persen untuk keluarga dibagi rata dan kalau memiliki suami akan dikasih buat modal usaha, 22 persen diinfakkan, 8 persen untuk advokat. Pertanyaan: 1. Si A tidak merasa merasa membuat surat kuasa menjual namun ada tanda tangannya (masih diragukan kebenarannya) karena si A pernah disuruh menandatangani kertas kosong yang bermaterai, namun saat sekarang ini tanahnya sudah ada yang dijual oleh advokat. Bagaimana menurut hukum mengenai surat kuasa menjual tersebut dan penjualan tanah tersebut? 2. Kalau penjualan itu dinyatakan sah, apakah untuk harga harus ada kesepakatan si A atau tidak? Mengenai uangnya harus tetap diserahkan kepada Si A atau tidak? Bagaimana dengan isi dalam surat kuasa menjual di mana uangnya akan disimpan oleh advokat dan suami dengan alasan merujuk surat perjanjian pembagian harta? Sampai saat ini uangnya tidak pernah sampai ketangan Si A dan pembelinya pun tidak mengetahui hanya dan sekarang para pembeli berdatangan menanyakan tanahnya. Mohon penjelasannya.


Ulasan Lengkap

Ada beberapa hal yang tidak dipahami dari keterangan yang Anda berikan dalam kasus terkait, sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan dari kami. Pertanyaan tersebut yaitu, apa yang menjadi dasar dan alasan pihak A menandatangani blanko kosong yang kemudian disalahgunakan oleh pihak lain (in casu, pihak Advokat) untuk dijadikan sebagai ‘SURAT KUASA MENJUAL’? Pertanyaan lainnya adalah latar belakang dibuatnya perjanjian pembagian harta yang dibuat sebelum pihak A menikah dan dari isi perjanjian tersebut sudah mengindikasikan keterlibatan pihak Advokat dan calon suami, berarti sudah ada keterkaitan hubungan antara pihak A, calon suami, dan pihak Advokat. Hubungan-hubungan yang tidak jelas ini menjadi tanda tanya bagi kami.

 

Mengapa kami perlu mengetahui keterangan mengenai hal-hal terkait tersebut, karena sangat menentukan fokus jawaban yang diberikan. Mengingat terbatasnya info yang diberikan, maka jawaban diberikan secara umum.

 

Dalam pandangan kami, sepanjang pihak A dapat membuktikan bahwa tandatangannya disalahgunakan oleh pihak Advokat sebagai ‘SURAT KUASA MENJUAL TANAH-TANAH MILIK PIHAK A’, maka perbuatan pihak Advokat tersebut dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang mengandung unsur perbuatan curang berupa penipuan. Perbuatan Advokat tersebut harus dilaporkan pada kepolisian dengan menggunakan dasar pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Penipuan terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar disertai tipu muslihat/kelicikan-kelicikan untuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuan. Pasal 378 KUHP, selengkapnya menyebutkan :

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.

 

Selain itu, berdasarkan pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), bila ternyata pihak A dapat membuktikan adanya unsur penipuan yang dilakukan oleh pihak Advokat tersebut, maka “SURAT KUASA MENJUAL TANAH” tersebut, dapat dimintakan pembatalan melalui pengadilan oleh pihak A, sebagai pihak yang dirugikan dengan meminta penggantian biaya, kerugian, atau bunga. Pasal 1328 KUH Perdata, selengkapnya menyebutkan :

Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat”.

 

“Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan”.

 

Dari isi Surat Kuasa yang disebutkan, dapat dikategorikan Surat Kuasa dimaksud merupakan Surat Kuasa Umum atau Surat Kuasa Mutlak, karena obyeknya sangat luas. Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982, pada bagian kedua, menjelaskan pengertian mengenai Surat Kuasa Mutlak, yaitu :

a.       “Kuasa Mutlak adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa”.

b.      ”Kuasa Mutlak merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya”.

 

Pada prakteknya, jenis Surat Kuasa Multlak ini dilarang digunakan dalam proses pemindahan hak atas tanah/jual beli tanah, sebagaimana diatur dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 yang bertujuan mengatur ketertiban umum dalam bertransaksi jual beli tanah. Huruf c, konsideran Instruksi tersebut menyebutkan:

“Maksud dari larangan tersebut, untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan hak atas tanah secara terselubung dengan menggunakan bentuk “kuasa mutlak”. Tindakan demikian adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan tanah”.

 

Dalam peralihan hak atas tanah melalui proses jual beli yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), jual beli tanah hanya bisa menggunakan Surat Kuasa Khusus yang harus khusus obyeknya karena Surat Kuasa itu dilekatkan pada Akta jual belinya, dan dilampirkan Sertifikat asli hak atas tanah dimaksud. Dalam pasal 39 ayat (1) PP 24/1997 huruf a dan huruf d ditegaskan:

PPAT menolak untuk membuat akta, jika:

a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau

d. salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;”

 
 
 

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, menjelaskan bahwa Surat Kuasa Khusus dimaksud adalah Surat Kuasa Khusus yang bentuknya bisa Akta Notaris, dan yang dilegalisir oleh Notaris bila si pemberi kuasa tidak bisa hadir.

 

Berdasarkan keterangan di atas, maka pemindahan dan peralihan hak atas tanah melalui proses jual beli, baru terjadi apabila telah dipenuhi ketentuan persyaratan di atas dan dibuktikan adanya Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

Demikian penjelasan yang dapat kami berikan. Semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)

3.      Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

4.      Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

5.      Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah


Sumber: Hukum Online

Kuasa Umum atau Kuasa Khusus?

Pertanyaan
Bagaimana bila terdapat Kuasa Menjual atas obyek tanah dan bangunan pihak pemberi kuasa telah meninggal sebelum tindakan hukum untuk menjual dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Apakah Surat Kuasa tidak menjadi gugur dengan meninggalnya si pemberi kuasa? Apakah hal yang dikuasakan tersebut masih bisa dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Mohon penjelasan.


Ulasan Lengkap

1.      Surat kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih (pasal 1975 KUHPer). Dalam surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.

 

Mengenai unsur tidak dapat dipindahkan ke pihak lain, itu merupakan salah satu hak yang dapat dimasukkan dalam pemberian kuasa, yaitu hak substitusi, sebagaimana diatur dalam pasal 1803 KUHPer. Hak substitusi tersebut memberikan hak bagi penerima kuasa untuk mensubstitusikan kewenangannya sebagai penerima kuasa kepada orang lain untuk bertindak sebagai penggantinya. Jadi, kata-kata “Kuasa ini diberikan tanpa hak untuk memindahkannya kepada pihak lain, baik sebagian maupun seluruhnya” bukan menunjukkan bahwa surat kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali, namun menunjukkan bahwa penerima kuasa tidak boleh menunjuk orang lain untuk menggantikannya melaksanakan kuasa tersebut.

 

2.      Pasal 1796 KUHPer menyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Pasal ini selanjutnya menjelaskan bahwa untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.

 

Jadi, surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.

 

Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.


Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)


Sumber: Hukum Online


Surat Kuasa dalam Hal Pemberi Kuasa Meninggal Dunia

Pertanyaan

Bagaimana bila terdapat Kuasa Menjual atas obyek tanah dan bangunan pihak pemberi kuasa telah meninggal sebelum tindakan hukum untuk menjual dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Apakah Surat Kuasa tidak menjadi gugur dengan meninggalnya si pemberi kuasa? Apakah hal yang dikuasakan tersebut masih bisa dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Mohon penjelasan.


Ulasan Lengkap
Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan pemberian kuasa dalam pasal 1792 hingga pasal 1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Pemberian kuasa, menurut pasal 1792 KUHPer, adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

 
Menurut pasal 1813 KUHPer salah satu sebab berakhirnya pemberian kuasa adalah dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa. Jadi, berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa surat kuasa gugur atau berakhir ketika si pemberi kuasa ataupun si (penerima) kuasa meninggal.

 
Karena kekuasaan berasal dari si pemberi kuasa, maka dengan meninggalnya si pemberi kuasa otomatis kekuasaan yang diberikan kepada si penerima kuasa pun akan hilang atau gugur. Dengan demikian, si penerima kuasa tidak lagi dapat melaksanakan urusan -- dalam hal ini menjual hak atas tanah dan bangunan -- atas nama si pemberi kuasa (yang telah meninggal).

 
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)


Sumber: Hukum Online

Ciri dan Isi Surat Kuasa Khusus


Ulasan Lengkap
Ketentuan mengenai pemberian kuasa secara tersirat dapat kita temui dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPer"). Pemberian kuasa ini dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa(lihat Pasal 1793 KUHPer).

 
Pemberian kuasa ini dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa (lihat Pasal 1795 KUHPer).Dan untuk tujuan pemberian kuasa tersebut, pemberi kuasa dapat memberikan surat kuasa (tertulis), antara lain:

a.     Surat Kuasa Khusus
Surat kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih (lihat Pasal 1975 KUHPer). Dalam surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.

 
b.     Surat Kuasa Umum
Surat kuasa umum, berdasarkan Pasal 1796 KUHPer, dinyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Sehingga, surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.

 
Jadi, yang membedakan surat kuasa khusus dan surat kuasa umum antara lain adalah:
 
Lebih jauh mengenai surat kuasa ini simak:
-            Kuasa Umum atau Kuasa Khusus?;

-            Surat Kuasa dan Surat Tugas.

Dalam praktik, dikenal pula yang disebut dengan surat kuasa mutlak. Simak juga artikel mengenai Surat Kuasa Mutlak.

 
Memang dalam praktiknya, kekurangan, ketidaktepatan dan kesalahan dalam pembuatan surat kuasa tidak dapat dihindari. Namun, perlu digarisbawahi bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui yang dikuasakan kepadanya (lihat Pasal 1797 KUHPer).

 
Adanya salah kaprah tentang konsep kuasa umum dan kuasa khusus dalam praktik juga dibahas Rachmad Setiawan dalam buku “Hukum Perwakilan dan Kuasa.” Dia menulis antara lain bahwa praktik mengartikan suatu kuasa khusus adalah kuasa yang harus dinyatakan secara terperinci sehingga mengandung kriteria spesialitas. Kalau tak rinci maka dianggap kuasa umum. Praktik ini, menurut Rachmad, sangat keliru. Pengertian khusus dan umum, menurutnya, tidak mengacu kepada rinci atau tidak rincinya kuasa yang diberikan, melainkan dilihat apakah yang dikuasakan itu mengandung tindakan hukum tertentu atau tidak tertentu alias semua tindakan hukum.

 
Dalam artikel hukumonline “Kuasa, ‘Jalan di Tempat’ Sejak Nusantara Merapat” lebih jauh dijelaskan pendapat Rachmad sebagai berikut:

 
“… Kuasa Umum itu kuasa untuk melakukan tindakan apa saja, dan juga bisa hal tertentu saja. Tapi sebatas tindakan pengurusan atau hal-hal umum. Perbuatannya, biasanya nggak terlalu signifikan. ‘Pengurusan sehari-hari lah,’ paparnya. Dalam BW ada di Pasal 1796. Namun dari kuasa umum ini, jika hendak melakukan penguasaan, diperlukan syarat-syarat. Disebutkan bahwa tindakan penguasaan itu harus dinyatakan dengan tegas.

 
“Sedangkan kuasa khusus, lanjutnya, kuasa untuk satu dua perbuatan tertentu. Khusus, paparnya, karena bisa melakukan tindakan hukum penguasaan. Mengacu pada BW ada di 1795. Contoh kuasa khusus ini adalah kuasa menyewakan rumah, mengakhiri sewa, dan bila perlu menagih uang sewa rumah sekaligus kwitansinya. Sementara kalau kuasa umum tadi hanya untuk mengurus rumahnya, urainya.”

 
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)



Rabu, 11 November 2020

Panduan Lengkap Pendirian Yayasan di Indonesia yang wajib Anda Ketahui

Yayasan sebagai badan hukum privat sudah dikenal sejak dahulu bahkan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Putusan Hoogerechtshof Tahun 1884 dan Putusan Mahkamah Agung No. 124/Sip/1973 sebagai yurisprudensi dijadikan dasar agar tidak terjadi kekosongan hukum mengenai Yayasan. UU No. 16 Tahun 2001 kemudian diubah dengan adanya Undang-Undang No 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) atas dasar untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.

Untuk mengetahui seluk beluk mengenai yayasan, apa saja kegiatan yang dapat dilakukan, tata cara maupun persyaratan yang harus dipenuhi untuk pendirian yayasan di Indonesia, mari simak penjelasannya dalam artikel ini.

Apa itu Yayasan
Yayasan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Atas dasar tersebut, maka maksud dan tujuan dari yayasan harus sesuai dengan undang-undang yaitu untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan; bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan; serta maksud dan tujuan wajib dicantumkan didalam anggaran dasar yayasan.

Dengan demikian maka yayasan tidak dapat didirikan dengan maksud dan tujuan selain dari tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Badan hukum yayasan terdiri dari tiga organ yaitu pembina, pengurus, dan pengawas. Yayasan tidak mempunyai anggota karena yayasan tidak terdiri dari sekutu-sekutu seperti CV atau pemegang saham dalam Perseroan Terbatas atau badan usaha lain yang digerakkan oleh anggota-anggotanya.

Selayaknya suatu badan hukum, yayasan mempunyai kekayaan tertentu yang terpisah dari harta pendirinya. Kekayaan tersebut berupa aset yang didapatkan dari modal awal pendiri yang telah dipisahkan dan dimasukkan ke dalam harta yayasan. Harta kekayaan awal yayasan yang dimasukkan oleh pendiri dapat berupa uang atau barang. Tujuan dilakukan pemisahan adalah agar untuk memperjelas bahwa kekayaan awal dari yayasan tidak lagi menjadi bagian dari harta pribadi atau harta bersama pendirinya. 

Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Yayasan
Pasal 3 ayat (1) UU Yayasan menyebutkan bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Jenis kegiatan usaha harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan yang diantaranya mencakup hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.

Atas kegiatan usaha yang dilakukan oleh yayasan, hasil dari kegiatan tersebut tidak diperbolehkan untuk dibagi kepada pembina, pengurus, dan pengawas. Alasan ini didasarkan pada Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan bahwa seseorang yang menjadi anggota pembina, pengurus dan pengawas yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap. Maka dari itu, hasil kegiatan usaha yang diperoleh nantinya masuk menjadi kekayaan yayasan. Para organ yayasan juga dilarang untuk merangkap sebagai direksi atau pengurus dan dewan komisaris dari badan usaha yang didirikan oleh yayasan.

Selain mengadakan kegiatan usaha, yayasan juga dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha. Ketentuan berdasarkan Pasal 7 UU Yayasan mengharuskan penyertaan dalam bentuk usaha yang prospektif dengan nilai paling banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan yayasan.

Tugas dan Wewenang Organ Yayasan

1. Pembina
Kedudukan pembina diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU Yayasan yang berbunyi Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang ini atau anggaran dasar.

Berdasarkan kedudukan tersebut, wewenang yang dimiliki Pembina mencakup:
1. keputusan mengenai perubahan anggaran dasar;
2. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas;
3. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
4. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
5. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan

Yang dapat diangkat sebagai anggota pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Jika karena sebab apapun yayasan tidak mempunyai pembina, maka paling lambat 30 hari terhitung sejak kekosongan tersebut anggota pengurus dan pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat pembina.

Perlu diingat bahwa kewenangan dari pembina untuk mengangkat dan memberhentikan pengurus dan pengawas bukan berarti pembina dapat ikut campur mengenai tugas dan wewenang mereka. Pasal 29 UU Yayasan menegaskan bahwa anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan/atau anggota pengawas untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain. Hal yang sama berlaku pula untuk anggota pengurus dan anggota pengawas yang tertera dalam Pasal 31 ayat (3) dan 40 ayat (4) UU Yayasan.

Adapun kewajiban yang harus dilakukan oleh pembina yaitu mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun. Rapat tersebut membahas mengenai evaluasi kekayaan, hak dan kewajiban yayasan tahun lampau sebagai dasar pertimbangan perkiraan mengenai perkembangan yayasan kedepannya.

2. Pengurus
Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU Yayasan.

Pengurus yayasan merupakan orang perseorangan yang cakap dan mampu melakukan perbuatan hukum. Pelarangan untuk merangkap jabatan sebagai anggota pembina dan anggota pengawas juga diterapkan kepada pengurus berdasarkan Pasal 31 ayat (3) UU Yayasan. 

Pengangkatan pengurus dilakukan oleh pembina berdasarkan hasil rapat pembina. Jangka waktu sejak diangkatnya pengurus berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU Yayasan adalah lima tahun dan dapat diangkat kembali sesuai dengan aturan anggaran dasar yayasan. Adapun susunan dari pengurus sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, dan seorang bendahara.

Pemberhentian pengurus dapat dilakukan setiap saat jika pembina menilai pengurus melakukan tindakan yang merugikan yayasan. Pemberhentian tersebut dilakukan berdasarkan keputusan rapat pembina. Tata cara dan susunan pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian pengurus diatur dalam anggaran dasar.

Terkait dengan pelaksanaan kepentingan dan tujuan yayasan, pengurus bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan tersebut serta berhak untuk mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dengan kewenangan tersebut, pengurus yang menjalankan tugas diluar ketentuan anggaran dasar dan mengakibatkan kerugian bagi yayasan atau pihak ketiga bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang ditimbulkan. Maka dari itu, Pengurusan harus dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan Pasal 35 ayat (2) UU Yayasan.

Kegiatan kepengurusan ternyata boleh dilakukan oleh selain pengurus yaitu pelaksana kegiatan yayasan. Penjelasan Pasal 35 ayat (3) menyebutkan pelaksana kegiatan sebagai pengurus harian yayasan yang melaksanakan kegiatan yayasan sehari-hari. Berbeda dengan pengurus, pelaksana kegiatan dimungkinkan untuk mendapatkan gaji atau upah atas pekerjaannya. Pengurus juga dapat memberhentikan atau mengangkat pelaksana kegiatan selama ia melakukannya atas dasar itikad baik serta untuk kepentingan dan tujuan yayasan. 

3. Pengawas
Layaknya tugas komisaris dalam Perseroan Terbatas, Pengawas Yayasan adalah organ yayasan yang betugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Yayasan paling kurang harus memiliki satu pengawas yang wewenang, tugas dan tanggung jawabnya diatur dalam anggaran dasar yayasan. Pengawas yang dapat diangkat oleh yayasan adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum.

Pengawas yayasan dapat diangkat dan diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan rapat pembina yang dilakukan selaras dengan anggaran dasar. Pengangkatan pengawasan dilakukan untuk masa jabatan lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Jika terdapat hal-hal yang dinilai tidak sesuai dengan tugas kepengurusan, pengawas dapat memberhentikan sementara pengurus dengan menyebutkan alasannya dan melaporkan secara tertulis kepada pembina.

Jika dalam kurun masa jabatan pengawas melakukan kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan yayasan pailit dan kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian, maka setiap anggota pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Namun bila anggota pengawas dapat membuktikan sebaliknya, ia tidak ikut bertanggung jawab atas kerugian yayasan.

Sumber Kekayaan Yayasan
Bab V UU Yayasan mengatur mengenai kekayaan yayasan, dimana dalam Pasal 26 ayat (1) disebutkan kekayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. Kekayaan yang dimaksud dapat juga bersumber dari:
1. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat. Berupa sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima yayasan, baik dari negara, masyarakat, maupun pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
2. Berdasarkan ketentuan hukum perwakafan;
3. Hibah;
4. Hibah wasiat. Besarannya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum waris;
5. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan atau perundang-undangan. Misalnya deviden, bunga tabungan bank, sewa Gedung, atau perolehan hasil usaha yayasan.

Selain dari sumber-sumber diatas, yayasan dapat pula mendapatkan bantuan dari Negara berdasarkan Pasal 27 UU Yayasan. 

Mengenai minimal kekayaan awal yang harus dipenuhi untuk membuat yayasan berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Yayasan (PP Yayasan) adalah Rp 10 juta. Nominal tersebut merupakan aset yang dipisahkan dan berasal dari harta kekayaan pribadi. Pemisahan harta harus disertai dengan surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan yayasan.

Atas segala kekayaan yayasan baik berupa uang atau barang, Pasal 5 UU Yayasan melarang kekayaan untuk dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.

Tata Cara Pendirian Yayasan di Indonesia
Yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan cara memisahkan sebagian harta pendirinya untuk dijadikan kekayaan awal yayasan. Pendirian yayasan di Indonesia juga dapat dilakukan berdasarkan surat wasiat terbuka (Pasal 8 dan 9 PP Yayasan) dengan mencantumkan ketentuan anggaran dasar yayasan yang akan didirikan atau pendirian yayasan dilaksanakan oleh pelaksana wasiat sebagaimana yang dituliskan dalam surat wasiat.

Kekayaan awal yang harus dipersiapkan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU Yayasan adalah minimal Rp 10 juta. Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia yang berisi kesepakatan para pendiri untuk melaksanakan kegiatan yayasan dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

Adapun hal-hal yang harus dipersiapkan sebelum menghadap notaris adalah nama para pendiri yayasan, nama yayasan yang akan didirikan, jumlah kekayaan awal yayasan, dokumen identitas seperti KTP dan NPWP dari pendiri, pembina, pengurus dan pengawas yayasan, surat pernyataan kesediaan orang yang ditunjuk sebagai pengurus pembina, dan pengawas yayasan, dan bukti modal kekayaan awal yayasan.

Setelah dibuat akta pendirian, notaris wajib memberikan permohonan tertulis terkait pengesahan badan hukum yayasan kepada Menteri Kementerian Hukum dan HAM dalam jangka waktu 10 hari sejak akta pendirian yayasan ditandatangani. Pengesahan terhadap permohonan tersebut maksimal diberikan atau ditolak dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Dan jika diperlukan pertimbangan dari instansi lain yang terkait, pengesahan diberikan atau ditolak maksimal 14 hari sejak jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima.

Perlu diingat bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan sebelum yayasan memperoleh status badan hukum, berdasarkan Pasal 13 A UU Yayasan menjadi tanggung jawab pengurus secara tanggung renteng.

Setelah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, akta pendirian wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pengumuman tersebut dilakukan oleh Menteri dengan jangka waktu maksimal 14 (empat belas) hari sejak tanggal akta pendirian yayasan disahkan oleh Menteri. Biaya yang dikenakan untuk pengumuman ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Pendirian Yayasan di Indonesia Oleh Orang Asing Pendirian
Undang-undang Yayasan membuka kesempatan bagi warga negara asing yang ingin mendirikan yayasan di Indonesia. Pasal 9 ayat (5) UU Yayasan mengatur untuk yayasan yang didirikan oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, syarat dan tata caranya diatur dengan Peraturan Pemerintah yaitu PP No. 63 Tahun 2008 yang telah diubah dengan PP No. 2 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU Yayasan (PP Yayasan).

Yayasan yang didirikan oleh baik orang perseorangan asing atau badan hukum asing harus mempersiapkan dokumen sebagai berikut: (Pasal 11 ayat (1) dan (2) PP Yayasan)
1. identitas pendiri atau badan hukum asing yang sah;
2. pemisahan harta kekayaan pribadi sendiri paling sedikit Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dibuktikan dengan surat pernyataan pendiri/badan hukum asing mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut;
3. surat pernyataan pendiri/pengurus badan hukum bahwa kegiatan yayasan yang akan didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Untuk yayasan yang didirikan oleh orang asing atau bersama-sama dengan orang Indonesia, salah satu pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara wajib dijabat oleh warga negara Indonesia. Bagi pengurus yang merupakan warga negara asing wajib bertempat tinggal di Indonesia dengan memiliki Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS). Hal yang sama harus dimiliki oleh anggota pembina dan anggota pengawas dengan tambahan izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

Yayasan asing juga dapat melakukan kegiatan di Indonesia berdasarkan Pasal 26 PP Yayasan dengan cara bermitra dengan yayasan yang didirikan orang Indonesia yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan tersebut. Kemitraan harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan yang dapat dilakukan hanya terbatas dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Pembubaran Yayasan
Pembubaran yayasan berdasarkan Pasal 62 UU Yayasan dapat dikarenakan atas jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir, tujuan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai, dan/atau putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yaitu yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, tidak mampu membayar utang setelah dinyatakan pailit atau harta kekayaan yayasan tidak cukup melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut.

Jika yayasan berakhir karena jangka waktu dan tujuan, pembina menunjuk likuidator untuk membereskan harta kekayaan yayasan, sedangkan jika yayasan bubar karena pailit maka berlaku peraturan perundang-undangan di bidang Kepailitan. Yayasan yang telah bubar tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali untuk membereskan kekayaan dalam proses likuidasi.

Likuidator atau kurator yang ditunjuk melakukan pemberesan kekayaan yayasan harus mengumumkan pembubaran yayasan di surat kabar harian maksimal lima hari setelah tanggal penunjukkannya. Pengumuman juga harus dilakukan paling lambat 30 hari setelah proses likuidasi berakhir.

Saat proses likuidasi berakhir, likuidator atau kurator wajib melaporkan pembubaran kepada pembina maksimal tujuh hari. Hal yang perlu digarisbawahi adalah jika laporan pembubaran dan pengumuman hasil likuidasi tidak dilakukan, maka bubarnya yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga.

Adapun terhadap sisa hasil likuidasi yayasan yang bubar harus diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dengan yayasan yang bubar. Jika tidak maka akan diserahkan kepada negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan tersebut. 

Demikian seluk beluk dan tata cara pendirian yayasan di Indonesia. Semoga bermanfaat. Untuk berita seputar yayasan lainnya dapat diakses melaui link ini.

Sumber: Panduan Lengkap Pendirian Yayasan di Indonesia yang wajib Anda Ketahui

Status Hukum Yayasan Sebelum Berlakunya UU Yayasan

Pertanyaan
Sebelum UU Yayasan disahkan, apakah yayasan merupakan badan hukum? Kalau bukan, kenapa dia bisa menjadi pemegang saham PT? Apa dasarnya ya?


Pertanyaan
Sebelum UU Yayasan disahkan, apakah yayasan merupakan badan hukum? Kalau bukan, kenapa dia bisa menjadi pemegang saham PT? Apa dasarnya ya?


Ulasan Lengkap
 

Status Hukum Yayasan Sebelum Ada UU tentang Yayasan

Perlu diketahui bahwa sebelum disahkannya Undang-Undang Yayasan, di Indonesia tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang Yayasan. Kata Yayasan memang terdapat dalam beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 365, 899, 900, 1680) dan Rv (Pasal 6 ayat 3, dan pasal 236), namun dalam pasal-pasal tersebut tidak terdapat definisi ataupun "aturan main" yang jelas tentang Yayasan. Demikian yang dijelaskan oleh Eryanto Nugroho dalam artikel Pendirian Yayasan.

 

Masih bersumber dari laman yang sama, yayasan di Indonesia selama ini hanya merujuk pada Yurisprudensi putusan Hoogerechtshof tahun 1884 dan Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124K/Sip/1973.

 

Menurut Gatot Supramono dalam bukunya Hukum Yayasan di Indonesia (hal. 3) yang mengutip Ali (Badan Hukum, terbitan Alumni 1999, hal. 91), Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124K/Sip/1973 ini telah mempertimbangkan kedudukan suatu yayasan sebagai badan hukum.

Untuk memperkuat apakah Yayasan sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 16/2001”) dan perubahannya adalah badan hukum, kami mengutip beberapa pendapat ahli:

Soebekti dalam Kamus Hukum:

Yayasan adalah suatu badan hukum dibawah pimpinan suatu badan pengurus dengan tujuan sosial dan tujuan tertentu yang legal.

Gatot Supramono dalam bukunya Hukum Yayasan di Indonesia (hal. 2)

Yayasan di masa lalu, maksudnya keberadaan yayasan sebelum negara kita memiliki Undang-Undang Yayasan tahun 2001, landasan hukumnya tidak begitu jelas, karena belum ada aturannya secara tertulis. Yayasan yang didirikan pada waktu itu menggunakan hukum kebiasaan yang ada dalam praktik. Demikian pula dalam menjalankan kegiatannya mendasarkan pada hukum kebiasaan. Meskipun demikian selama itu Yayasan dikehendaki berstatus badan hukum.

Sehubungan dengan itu, masih bersumber dari buku Gatot Supramono (hal. 2) yang mengutip Rido dalam buku Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, dan Wakaf (hal. 118), dengan mendasarkan pengertian Yayasan yang dikemukakan oleh Scholten, mengatakan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

1. Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan.
2. Mempunyai tujuan sendiri (tertentu).
3. Mempunyai alat perlengkapan.
 
Jadi, sebelum berlakunya UU 16/2001, Yayasan sudah berstatus sebagai badan hukum. Setelah berlakunya UU 16/2001 pun:

a. Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau
b. Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait,
 

tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan paling lambat lima tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan UU 16/2001.


Kemudian terdapat perubahan mengenai jangka waktu untuk menyesuaikan Anggaran Dasar yang semula pada UU 16/2001 adalah paling lambat lima tahun, menjadi paling lambat tiga tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”).

Yayasan sebagai Badan Hukum Dapat Menjadi Pemegang Saham PT

Karena Yayasan sebelum keberlakuan UU 16/2001 sudah berstatus badan hukum, berarti jika melihat kepada pendapat dari Rido yang didasarkan dari pengertian Yayasan yang dikemukakan oleh Scholten sebagaimana dijelaskan di atas, Yayasan mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pendiri atau pengurus, mempunyai tujuan sendiri dan juga mempunyai alat perlengkapan, oleh karena itu menurut hemat kami, Yayasan dapat melakukan perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum.

Karena itu, Yayasan dapat menjadi pemegang saham dalam Perseroan Terbatas. Hal tersebut diatur dalam Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”), bahwa yang dimaksud dengan “orang” yang merupakan pemegang saham adalah perseorangan, baik warga Negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, sebelum UU 16/2001 tentang Yayasan disahkan, Yayasan sudah merupakan badan hukum didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124K/Sip/1973 dan juga pendapat dari Soebekti dan Gatot Supramono. Kemudian, karena Yayasan sebelum keberlakuan UU 16/2001 sudah berstatus badan hukum, berarti Yayasan mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pendiri atau pengurus dan dapat melakukan perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum. Oleh karena itu, Yayasan dapat menjadi pemegang saham dalam Perseroan Terbatas. Hal tersebut diatur dalam Penjelasan Pasal 7 UU PT, bahwa yang dimaksud dengan “orang” yang merupakan pemegang saham adalah perseorangan, baik warga Negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.

 

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagiamana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
 

Referensi:

Soebekti. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 2000

Supramono, Gatot. Hukum Yayasan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2008


Minggu, 18 Oktober 2020

Perbedaan Das Sollen dengan Das Sein

Das Sollen dan Das Sein dalam Penemuan Hukum dan Penelitian Hukum
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel ’Peristiwa Konkret’ ke ‘Peristiwa Hukum’, menurut Sudikno Mertokusumo, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein).
 
Lebih lanjut menurut Sudikno, peristiwa konkret perlu dicarikan hukumnya yang bersifat umum dan abstrak. Peristiwa konkret harus dipertemukan dengan peraturan hukum. Peristiwa konkret harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya, peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkretnya agar dapat diterapkan.
 
Hal senada juga disampaikan oleh Sabian Utsman dalam bukunya Metodologi Penelitian Hukum Progresif, (hal.17), das sollen dan das sein ditemukan dalam penelitian hukum. Penelitian hukum setidaknya mendiskusikan antara apa yang seharusnya hukum sebagai fakta hukum (das sollen) yang diungkapkan para ahli hukum dalam tataran teoritik (law in the books), pada tataran ini lebih pada kajian dasar-dasar normatif (hukum dalam bentuk cita-cita bagaimana seharusnya) dengan apa yang senyatanya (das sein) lebih kepada hukum sebagai fakta, yaitu hukum yang hidup berkembang dan berproses di masyarakat (law in action).
 
Selisih Antara Das Sollen dan Das Sein[1]
Sabian mencontohkan das sollen dan das sein sebagai berikut:
Seharusnya (Das Sollen)     = Pemerkosaan itu melanggar hukum
Senyatanya (Das Sein)        = Pemerkosaan itu tidak mudah dihukum
 
Pertanyaan: Mengapa pemerkosa sering dinyatakan tidak terbukti bersalah pada saat pemeriksaan pengadilan? Dalam hal ini ada selisih antara das sollen dan das sein, dimana seharusnya pemerkosa itu dihukum karena perbuatan tersebut benar-benar dilakukan, tetapi senyatanya sering tidak terbukti bersalah sesuai ketentuan yang berlaku.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan das sollen dan das sein itu tidak sama. Das sollen itu adalah peraturan hukum yang bersifat umum, sedangkan das sein adalah suatu peristiwa konkret. Das sollen dan das sein ditemukan dalam penelitian hukum. Das sollen adalah apa yang seharusnya hukum sebagai fakta hukum yang diungkapkan para ahli hukum dalam tataran teoritik (law in the books), yakni hukum dalam bentuk cita-cita bagaimana seharusnya; sedangkan (das sein) lebih kepada hukum sebagai fakta (yang senyatanya), yaitu hukum yang hidup berkembang dan berproses di masyarakat (law in action).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Referensi:
Sabian Utsman. 2014. Metodologi Penelitian Hukum Progresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Sumber: Hukum Online

Jumat, 28 Agustus 2020

Proses PKPU Sementara dan PKPU Tetap

    Pertanyaan

    Bagaimanakah proses PKPU sementara dan PKPU tetap? Apakah merupakan suatu rangkaian proses atau terpisah satu sama lain?
     
     
     
    Ulasan:
    Terima Kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
    Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) adalah prosedur yang dapat dilakukan debitor untuk menghindari kepailitan. Menurut Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”), debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU. Tujuan pengajuan PKPU adalah agar debitor dapat mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kreditor, baik kreditor preferen maupun konkuren.
     
    Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu. Permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit, harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.[1] Selama PKPU berlangsung, terhadap debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit.[2] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak artikel Perbedaan Antara Kepailitan dengan PKPU.
     
    Permohonan PKPU
    PKPU diajukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari 1 kreditor maupun oleh kreditor.[3] Permohonan PKPU diajukan ke Pengadilan Niaga dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.[4] Prosedur permohonan PKPU dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 224 UU KPKPU sebagai berikut:
     
    1. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.
    2. Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya.
    3. Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.
    4. Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.
    5. Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.
    6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
    Adapun bunyi Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU KPKPU adalah sebagai berikut:
     
    1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.
    2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
    3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayatayat tersebut.
    4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
    5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
     
    Penjelasan lebih lanjut tentang permohonan PKPU dapat disimak artikel Bisakah Seorang Kreditor Saja Menjadi Pemohon PKPU?.
     
    Prosedur PKPU
    Sehubungan dengan pertanyaan Anda, prosedur PKPU mencakup tahap PKPU Sementara dan PKPU Tetap. Kedua tahap tersebut merupakan satu rangkaian prosedur. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Efektivitas PKPU dalam Mencegah Kepailitan, terdapat 2 (dua) periode PKPU, yaitu: PKPU Sementara yang berlangsung paling lama 45 hari[5] dan PKPU Tetap yang berlangsung paling lama 270 hari jika disetujui oleh Kreditor melalui pemungutan suara.[6]
     
    Prosedur PKPU adalah sebagai berikut:
    1. Debitor/kreditor memohonkan PKPU sebelum diajukannya permohonan pailit maupun pada waktu permohonan pailit diperiksa.
    1. Apabila pemohon adalah Debitor, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya, serta dapat juga melampirkan rencana perdamaian.[7]
    2. Apabila pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang, dan Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.[8]
    1. Permohonan PKPU diajukan ke Ketua Pengadilan.[9] Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan PKPU pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.[10] Panitera kemudian menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.[11] Dan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang;[12]
    2. Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, Pengadilan Niaga dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan PKPU Sementara dan menunjuk seorang seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus untuk bersama debitor mengurus harta debitor;[13]
    3. Dalam hal permohonan diajukan oleh kreditor, Pengadilan Niaga dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor;[14]
     
    Menurut Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 425), merupakan kepentingan semua pihak agar Pengadilan Niaga secepatnya memberikan PKPU Sementara agar kesepakatan yang dicapai antara debitor dan para kreditornya tentang rencana perdamaian betul-betul efektif. Oleh karena itu, tepat sekali ditentukan batas waktu bagi Pengadilan Niaga untuk mengabulkan PKPU Sementara yaitu tiga hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan tersebut.
     
    Lebih lanjut menurut Sutan Remy, dengan ketentuan jangka waktu tersebut, pengadilan dengan sendirinya harus memberikan PKPU Sementara sebelum akhirnya pengadilan memberikan keputusan mengenai PKPU Tetap, yaitu setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana semestinya.
     
    1. Paling lama 45 hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan, segera setelah putusan PKPU Sementara diucapkan, Pengadilan Niaga melalui pengurus wajib memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang;[15]
    2. Dalam hal Debitor tidak hadir dalam sidang, PKPU berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama;[16]
    3. Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU Sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama Hakim Pengawas dan nama serta alamat pengurus;[17]
    4. PKPU Sementara berlaku sejak tanggal putusan PKPU tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang diselenggarakan;[18]
    5. Apabila rencana perdamaian dilampirkan pada permohonan PKPU Sementara atau telah disampaikan oleh Debitor sebelum sidang, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dapat dilakukan;[19]
    6. Apabila kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian atau rencana perdamaian debitor belum siap menyampaikannya, atas permintaan Debitor, Kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU Tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya;[20]
    7. Dalam hal PKPU Tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, dalam jangka waktu 45 hari, Debitor dinyatakan pailit.[21]
    8. Apabila Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU Sementara diucapkan.[22]
    9. Pemberian PKPU Tetap berikut perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan:[23]
      1. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan
      2. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
    10. Dalam jangka waktu PKPU Sementara berakhir, karena Kreditor tidak menyetujui pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau perpanjangannya sudah diberikan, tetapi sampai dengan batas waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari belum tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, pengurus pada hari berakhirnya jangka waktu tersebut wajib memberitahukan hakim pengawas dan hakim pengawas harus menyatakan debitor pailit pada hari berikutnya.[24]
     
    Jadi, menjawab pertanyaan Anda, PKPU Tetap dan PKPU Sementara merupakan satu rangkaian proses yang dimulai dengan PKPU Sementara terlebih dahulu dan kemudian berdasarkan hasil voting dari kreditor, pemberian PKPU Tetap berikut perpanjangannya dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
     
    Referensi:
    Sutan Remy Sjahdeini. 2016 Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Jakarta: Prenadamedia Group.
     
     
     

    [1] Pasal 229 ayat (3) dan (4) UU KPKPU
    [2] Pasal 260 UU KPKPU
    [3] Pasal 222 ayat (1) UU KPKPU
    [4] Pasal 224 ayat (1) jo. Pasal 3 dan Pasal 1 angka 7 UU KPKPU
    [5] Pasal 225 UU KPKPU
    [6] Pasal 228 UU KPKPU
    [7] Pasal 224 ayat (2) UU KPKPU
    [8] Pasal 224 ayat (3) dan (4) UU KPKPU
    [9] Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (1) UU KPKPU
    [10] Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (2) UU KPKPU
    [11] Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (4) UU KPKPU
    [12] Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (5) UU KPKPU
    [13] Pasal 225 ayat (2) UU KPKPU
    [14] Pasal 225 ayat (3) UU KPKPU
    [15] Pasal 225 ayat (4) UU KPKPU
    [16] Pasal 225 ayat (5) UU KPKPU
    [17] Pasal 226 ayat (1) UU KPKPU
    [18] Pasal 227 UU KPKPU
    [19] Pasal 228 ayat (3) UU KPKPU
    [20] Pasal 228 ayat (4) UU KPKPU
    [21] Pasal 228 ayat (5) jo. Pasal 225 ayat (4) UU KPKPU
    [22] Pasal 228 ayat (6) UU KPKPU
    [23] Pasal 229 ayat (1) UU KPKPU
    [24] Pasal 230 ayat (1) UU KPKPU

Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan

Pertanyaan
Mana yang berhak lebih didahulukan untuk dipenuhi pelunasan piutangnya, apakah kreditur preferen (upah buruh/karyawan dan pajak) atau kreditur separatis (pemegang agunan/jaminan kebendaan)?


Pemberesan Harta Pailit
Dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) disebutkan bahwa kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan “pemberesan” adalah penguangan aktiva untuk membayar atau melunasi utang.[1]
 
Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.[2] Insolvensi sendiri menurut Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU 37/2004 adalah keadaan tidak mampu membayar. Oleh karena itu, kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur apabila:[3]
  1. usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU 37/2004, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak; atau
  2. pengurusan terhadap perusahaan debitur dihentikan.
 
Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun jika penjualan di muka umum tidak tercapai, maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin hakim pengawas.[4]
 
Kedudukan Para Kreditur
Ketika proses penjualan baik melalui pelelangan umum ataupun penjualan di bawah tangan telah selesai, kurator kemudian wajib menyusun suatu daftar pembagian harta pailit untuk dimintakan persetujuan kepada hakim pengawas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (1) UU 37/2004.
 
Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa dikenal tiga jenis kreditur. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 berbunyi:
 
Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.
Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Yang dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
 
Adapun mengenai kreditur separatis diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
 
Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 14-15) juga menjelaskan hal serupa. Kreditur separatis atau disebut kreditur pemegang hak jaminan (secured creditor) harus memperoleh pelunasan piutang lebih dahulu dibandingkan dengan kreditur preferen yaitu kreditur dengan hak istimewa atau hak untuk didahulukan (preferred creditor), kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Ketentuan ini sehubungan dengan Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
 
Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.
 
Namun berkenaan dengan hak-hak istimewa tersebut, kita tidak bisa melupakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU 28/2007”) yang berbunyi:
 
Pasal 21 ayat (1) UU 28/2007
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
 
Pasal 21 ayat (3) UU 28/2007
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
    1. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
    2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
    3. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
 
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka menuruh hemat kami, tagihan pajak adalah hak istimewa yang didahulukan dari piutang para kreditur separatis.
 
Kedudukan Upah Pekerja
Struktur hierarki sebagaimana disebutkan di atas kembali mengalami perubahan sejak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 (“Putusan MK 67/2013”). Putusan tersebut mengubah ketentuan dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), yang berbunyi:
 
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
 
Dalam amar putusannya, Putusan MK 67/2013 menyatakan bahwa:
 
Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;
 
Sementara itu, hak-hak pekerja/buruh lainya menjadi prioritas istimewa setelah penyelesaian tagihan pajak dan utang seperatis.
 
Maka menjawab pertanyaan Anda, penulis berpendapat bahwa urutan prioritas antara pajak, upah pekerja/buruh, dan kreditur separatis dalam tingkatan kedudukan kreditur dapat diurutkan sebagai berikut:
  1. Upah pokok pekerja/buruh yang belum dibayarkan;
  2. Pajak negara;
  3. Kreditur separatis/pemegang hak jaminan kebendaan;
  4. Hak-hak pekerja/buruh yang lainnya seperti pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sudah diberlakukan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
 
Putusan:
 
Referensi:
Sutan Remy Sjahdeini. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Prenadamedia Group: Jakarta, 2016.
 

[1] Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU 37/2004
[2] Pasal 178 ayat (1) UU 37/2004
[3] Pasal 184 ayat (1) UU 37/2004
[4] Pasal 185 ayat (1) dan (2) UU 37/2004




Jumat, 17 Juli 2020

Pembatalan Perjanjian Sepihak, Apakah Wanprestasi Atau Perbuatan Melawan Hukum?

Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum.

Sebagai Advokat dan Konsultan Hukum praktek perlu saya jelasan, berdasarkan beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dinyatakan bahwa pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk perbuatan melawan hukum. Beberapa Yurisprudensi yang dimaksud sebagai berikut:
I. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4/Yur/Pdt/2018, menyatakan:
“pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum”
II. Putusan Mahkamah Agung No. 1051 K/Pdt/2014 tanggal 12 November 2014, menyatakan:
“Bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain denga kesepakatan kedua belah pihak.”
III. Putusan Mahkamah Agung No. 580 PK/Pdt/2015 tanggal 17 Februari 2016, menyatakan:
Bahwa penghentian Perjanjian Kerjasama secara sepihak tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu Tergugat harus membayar kerugian yang dialami Penggugat;”
IV. Putusan Mahkamah Agung No. 28 K/Pdt/2016 tanggal 17 November 2016, menyatakan:
“Bahwa sesuai fakta persidangan terbukti Penggugat adalah pelaksana proyek sesuai dengan Surat Perintah Mulai Kerja yang diterbitkan oleh Tergugat I, proyek mana dihentikan secara sepihak oleh Para Tergugat, sehingga benar para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum.
Sumber Link