Cari Blog Ini

Jumat, 17 Juli 2020

Pembatalan Perjanjian Sepihak, Apakah Wanprestasi Atau Perbuatan Melawan Hukum?

Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum.

Sebagai Advokat dan Konsultan Hukum praktek perlu saya jelasan, berdasarkan beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dinyatakan bahwa pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk perbuatan melawan hukum. Beberapa Yurisprudensi yang dimaksud sebagai berikut:
I. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4/Yur/Pdt/2018, menyatakan:
“pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum”
II. Putusan Mahkamah Agung No. 1051 K/Pdt/2014 tanggal 12 November 2014, menyatakan:
“Bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain denga kesepakatan kedua belah pihak.”
III. Putusan Mahkamah Agung No. 580 PK/Pdt/2015 tanggal 17 Februari 2016, menyatakan:
Bahwa penghentian Perjanjian Kerjasama secara sepihak tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu Tergugat harus membayar kerugian yang dialami Penggugat;”
IV. Putusan Mahkamah Agung No. 28 K/Pdt/2016 tanggal 17 November 2016, menyatakan:
“Bahwa sesuai fakta persidangan terbukti Penggugat adalah pelaksana proyek sesuai dengan Surat Perintah Mulai Kerja yang diterbitkan oleh Tergugat I, proyek mana dihentikan secara sepihak oleh Para Tergugat, sehingga benar para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum.
Sumber Link

Hukumnya Membatalkan Perjanjian Sepihak

Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata :

Adanya kesepakatan keduabelah pihak. Maksud dari kata sepakat adalah, keduabelah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita. Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19th bagi laki-laki, 16 th bagi wanita. Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
Adanya Obyek. Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
Adanya kausa yang halal. Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Syarat angka 1 dan 2 adalah syarat subyektif, sedangkan syarat angka 3 dan 4 adalah syarat obyektif. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapa tdibatalkan. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan perjanjian tersebut. Perjanjian dengan sendirinya tetap mengikat keduabelah pihak selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak memintakan pembatalan. Batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan perjanjian tersebut.
Syarat batal suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata 
 

Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbalbalik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.


Kesimpulan dari pasal tersebut adalah syarat agar suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak adalah perjanjian harus timbalbalik, terdapat wanprestasi, dan pembatalannya harus dimintakan kepada hakim. Jika pembatalan yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka dapat dikatakan perbuatan pembatalan tersebut melanggar undang-undang, yakni pasal 1266 KUH Perdata tadi. Selain itu,
Jika pembatalan tersebut mengandung kesewenang-wenangan, atau menggunakan posisi dominannya untuk memanfaatkan posisi lemah (keadaan merugikan) pada pihak lawan, maka halterse butter masuk dalam perbuatan melawan hukum, karena kesewenang-wenangan atau memanfaatkan posisi lemah atau keadaan merugikan dari pihak lawan di luar dari pelaksanaan kewajiban yang diatur dalam perjanjian, sehingga bukan merupakan wanprestasi, namun lebih kearah melanggar kewajiban hukumnya untuk selalu beritikad baik dalam perjanjian.


Perjanjian dapat dibatalkan jika memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 1266 KUHPerdata tersebut. Jika dilakukan pembatalan sepihak dan merugikan pihak lain, maka dapat dikatakan perbuatan tesrebut adalah perbuatan melawan hukum (PMH).
Pihak yang keberatan dengan perbuatan pembatalan tersebut, dapat menggugat melalui Pengadilan Negeri, maka jika gugatannya diterima ada konsekuensi yang harus diterima oleh pihak yang membatalkan perjanjian secara sepihak tadi.