Cari Blog Ini

Jumat, 28 Agustus 2020

Proses PKPU Sementara dan PKPU Tetap

    Pertanyaan

    Bagaimanakah proses PKPU sementara dan PKPU tetap? Apakah merupakan suatu rangkaian proses atau terpisah satu sama lain?
     
     
     
    Ulasan:
    Terima Kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
    Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) adalah prosedur yang dapat dilakukan debitor untuk menghindari kepailitan. Menurut Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”), debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU. Tujuan pengajuan PKPU adalah agar debitor dapat mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kreditor, baik kreditor preferen maupun konkuren.
     
    Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu. Permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit, harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.[1] Selama PKPU berlangsung, terhadap debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit.[2] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak artikel Perbedaan Antara Kepailitan dengan PKPU.
     
    Permohonan PKPU
    PKPU diajukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari 1 kreditor maupun oleh kreditor.[3] Permohonan PKPU diajukan ke Pengadilan Niaga dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.[4] Prosedur permohonan PKPU dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 224 UU KPKPU sebagai berikut:
     
    1. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.
    2. Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya.
    3. Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.
    4. Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.
    5. Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.
    6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
    Adapun bunyi Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU KPKPU adalah sebagai berikut:
     
    1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.
    2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
    3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayatayat tersebut.
    4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
    5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
     
    Penjelasan lebih lanjut tentang permohonan PKPU dapat disimak artikel Bisakah Seorang Kreditor Saja Menjadi Pemohon PKPU?.
     
    Prosedur PKPU
    Sehubungan dengan pertanyaan Anda, prosedur PKPU mencakup tahap PKPU Sementara dan PKPU Tetap. Kedua tahap tersebut merupakan satu rangkaian prosedur. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Efektivitas PKPU dalam Mencegah Kepailitan, terdapat 2 (dua) periode PKPU, yaitu: PKPU Sementara yang berlangsung paling lama 45 hari[5] dan PKPU Tetap yang berlangsung paling lama 270 hari jika disetujui oleh Kreditor melalui pemungutan suara.[6]
     
    Prosedur PKPU adalah sebagai berikut:
    1. Debitor/kreditor memohonkan PKPU sebelum diajukannya permohonan pailit maupun pada waktu permohonan pailit diperiksa.
    1. Apabila pemohon adalah Debitor, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya, serta dapat juga melampirkan rencana perdamaian.[7]
    2. Apabila pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang, dan Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.[8]
    1. Permohonan PKPU diajukan ke Ketua Pengadilan.[9] Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan PKPU pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.[10] Panitera kemudian menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.[11] Dan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang;[12]
    2. Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, Pengadilan Niaga dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan PKPU Sementara dan menunjuk seorang seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus untuk bersama debitor mengurus harta debitor;[13]
    3. Dalam hal permohonan diajukan oleh kreditor, Pengadilan Niaga dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor;[14]
     
    Menurut Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 425), merupakan kepentingan semua pihak agar Pengadilan Niaga secepatnya memberikan PKPU Sementara agar kesepakatan yang dicapai antara debitor dan para kreditornya tentang rencana perdamaian betul-betul efektif. Oleh karena itu, tepat sekali ditentukan batas waktu bagi Pengadilan Niaga untuk mengabulkan PKPU Sementara yaitu tiga hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan tersebut.
     
    Lebih lanjut menurut Sutan Remy, dengan ketentuan jangka waktu tersebut, pengadilan dengan sendirinya harus memberikan PKPU Sementara sebelum akhirnya pengadilan memberikan keputusan mengenai PKPU Tetap, yaitu setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana semestinya.
     
    1. Paling lama 45 hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan, segera setelah putusan PKPU Sementara diucapkan, Pengadilan Niaga melalui pengurus wajib memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang;[15]
    2. Dalam hal Debitor tidak hadir dalam sidang, PKPU berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama;[16]
    3. Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU Sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama Hakim Pengawas dan nama serta alamat pengurus;[17]
    4. PKPU Sementara berlaku sejak tanggal putusan PKPU tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang diselenggarakan;[18]
    5. Apabila rencana perdamaian dilampirkan pada permohonan PKPU Sementara atau telah disampaikan oleh Debitor sebelum sidang, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dapat dilakukan;[19]
    6. Apabila kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian atau rencana perdamaian debitor belum siap menyampaikannya, atas permintaan Debitor, Kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU Tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya;[20]
    7. Dalam hal PKPU Tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, dalam jangka waktu 45 hari, Debitor dinyatakan pailit.[21]
    8. Apabila Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU Sementara diucapkan.[22]
    9. Pemberian PKPU Tetap berikut perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan:[23]
      1. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan
      2. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
    10. Dalam jangka waktu PKPU Sementara berakhir, karena Kreditor tidak menyetujui pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau perpanjangannya sudah diberikan, tetapi sampai dengan batas waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari belum tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, pengurus pada hari berakhirnya jangka waktu tersebut wajib memberitahukan hakim pengawas dan hakim pengawas harus menyatakan debitor pailit pada hari berikutnya.[24]
     
    Jadi, menjawab pertanyaan Anda, PKPU Tetap dan PKPU Sementara merupakan satu rangkaian proses yang dimulai dengan PKPU Sementara terlebih dahulu dan kemudian berdasarkan hasil voting dari kreditor, pemberian PKPU Tetap berikut perpanjangannya dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
     
    Referensi:
    Sutan Remy Sjahdeini. 2016 Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Jakarta: Prenadamedia Group.
     
     
     

    [1] Pasal 229 ayat (3) dan (4) UU KPKPU
    [2] Pasal 260 UU KPKPU
    [3] Pasal 222 ayat (1) UU KPKPU
    [4] Pasal 224 ayat (1) jo. Pasal 3 dan Pasal 1 angka 7 UU KPKPU
    [5] Pasal 225 UU KPKPU
    [6] Pasal 228 UU KPKPU
    [7] Pasal 224 ayat (2) UU KPKPU
    [8] Pasal 224 ayat (3) dan (4) UU KPKPU
    [9] Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (1) UU KPKPU
    [10] Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (2) UU KPKPU
    [11] Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (4) UU KPKPU
    [12] Pasal 224 ayat (6) jo. Pasal 6 ayat (5) UU KPKPU
    [13] Pasal 225 ayat (2) UU KPKPU
    [14] Pasal 225 ayat (3) UU KPKPU
    [15] Pasal 225 ayat (4) UU KPKPU
    [16] Pasal 225 ayat (5) UU KPKPU
    [17] Pasal 226 ayat (1) UU KPKPU
    [18] Pasal 227 UU KPKPU
    [19] Pasal 228 ayat (3) UU KPKPU
    [20] Pasal 228 ayat (4) UU KPKPU
    [21] Pasal 228 ayat (5) jo. Pasal 225 ayat (4) UU KPKPU
    [22] Pasal 228 ayat (6) UU KPKPU
    [23] Pasal 229 ayat (1) UU KPKPU
    [24] Pasal 230 ayat (1) UU KPKPU

Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan

Pertanyaan
Mana yang berhak lebih didahulukan untuk dipenuhi pelunasan piutangnya, apakah kreditur preferen (upah buruh/karyawan dan pajak) atau kreditur separatis (pemegang agunan/jaminan kebendaan)?


Pemberesan Harta Pailit
Dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) disebutkan bahwa kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan “pemberesan” adalah penguangan aktiva untuk membayar atau melunasi utang.[1]
 
Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.[2] Insolvensi sendiri menurut Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU 37/2004 adalah keadaan tidak mampu membayar. Oleh karena itu, kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur apabila:[3]
  1. usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU 37/2004, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak; atau
  2. pengurusan terhadap perusahaan debitur dihentikan.
 
Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun jika penjualan di muka umum tidak tercapai, maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin hakim pengawas.[4]
 
Kedudukan Para Kreditur
Ketika proses penjualan baik melalui pelelangan umum ataupun penjualan di bawah tangan telah selesai, kurator kemudian wajib menyusun suatu daftar pembagian harta pailit untuk dimintakan persetujuan kepada hakim pengawas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (1) UU 37/2004.
 
Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa dikenal tiga jenis kreditur. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 berbunyi:
 
Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.
Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Yang dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
 
Adapun mengenai kreditur separatis diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
 
Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 14-15) juga menjelaskan hal serupa. Kreditur separatis atau disebut kreditur pemegang hak jaminan (secured creditor) harus memperoleh pelunasan piutang lebih dahulu dibandingkan dengan kreditur preferen yaitu kreditur dengan hak istimewa atau hak untuk didahulukan (preferred creditor), kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Ketentuan ini sehubungan dengan Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
 
Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.
 
Namun berkenaan dengan hak-hak istimewa tersebut, kita tidak bisa melupakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU 28/2007”) yang berbunyi:
 
Pasal 21 ayat (1) UU 28/2007
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
 
Pasal 21 ayat (3) UU 28/2007
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
    1. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
    2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
    3. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
 
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka menuruh hemat kami, tagihan pajak adalah hak istimewa yang didahulukan dari piutang para kreditur separatis.
 
Kedudukan Upah Pekerja
Struktur hierarki sebagaimana disebutkan di atas kembali mengalami perubahan sejak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 (“Putusan MK 67/2013”). Putusan tersebut mengubah ketentuan dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), yang berbunyi:
 
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
 
Dalam amar putusannya, Putusan MK 67/2013 menyatakan bahwa:
 
Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;
 
Sementara itu, hak-hak pekerja/buruh lainya menjadi prioritas istimewa setelah penyelesaian tagihan pajak dan utang seperatis.
 
Maka menjawab pertanyaan Anda, penulis berpendapat bahwa urutan prioritas antara pajak, upah pekerja/buruh, dan kreditur separatis dalam tingkatan kedudukan kreditur dapat diurutkan sebagai berikut:
  1. Upah pokok pekerja/buruh yang belum dibayarkan;
  2. Pajak negara;
  3. Kreditur separatis/pemegang hak jaminan kebendaan;
  4. Hak-hak pekerja/buruh yang lainnya seperti pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sudah diberlakukan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
 
Putusan:
 
Referensi:
Sutan Remy Sjahdeini. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Prenadamedia Group: Jakarta, 2016.
 

[1] Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU 37/2004
[2] Pasal 178 ayat (1) UU 37/2004
[3] Pasal 184 ayat (1) UU 37/2004
[4] Pasal 185 ayat (1) dan (2) UU 37/2004