Cari Blog Ini

Rabu, 16 Desember 2020

Keberlakuan Peraturan Pemerintah yang Belum Ada Peraturan Pelaksanaannya

Pertanyaan
Jika ada suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang menegaskan tentang suatu hal pada ayat (1), kemudian ayat berikutnya menyatakan bahwa pelaksanaan dari ayat (1) akan diatur dengan Peraturan Menteri. Apakah itu berarti bahwa peraturan pada ayat tersebut tidak bisa berjalan tanpa adanya Peraturan Menteri? Meskipun Peraturan Menteri tersebut belum ada sampai PP tersebut resmi berlaku. Dan tidak dijelaskan pada PP tersebut kapan harus ada Peraturan Menteri. Terima kasih.


Ulasan Lengkap
Intisari:
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 

Peraturan Pemerintah

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) merumuskan:

 

Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

 

Jadi, Peraturan Pemerintah (“PP”) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Materi muatan PP adalah materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

 

Untuk menjalankan PP sebagaimana mestinya, acapkali ada perintah untuk mengatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Presiden (“Perpres”) atau Peraturan Menteri (“Permen”). Tetapi sebagian besar pasal dalam PP pada dasarnya tanpa perintah untuk pengaturan lebih lanjut dalam Perpres atau Permen. Perintah penerbitan Perpres dalam suatu rumusan PP adalah kewajiban bagi Pemerintah untuk menerbitkannya. Peraturan pelaksanaan itu kadang diatur ‘karena diperlukan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara’,[1] atau ‘dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan’.[2]

 

Keberlakuan Peraturan Pemerintah

Dalam hal seperti yang Anda tanyakan, menurut pandangan kami, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kapan suatu PP berlaku? Kedua, apakah operasional atau pelaksanaan PP ditentukan semata oleh peraturan teknis seperti Permen?

 

Jawaban atas pertanyaan pertama bisa ditemukan pada Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:

 

Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

 

Rumusan Pasal 87 UU 12/2011 di atas menunjukkan bahwa materi muatan PP berlaku dengan sendirinya pada tanggal diundangkan, atau pada tanggal lain yang disebutkan dalam PP tersebut.

 

Contohnya, PP Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (“PP 83/2008”) menyebutkan:[3]

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Ini berarti PP otomatis berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 31 Desember 2008.

 

Contoh PP yang berlaku pada tanggal tertentu yang ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”). Dalam PP 9/1975 disebutkan bahwa PP ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975, padahal PP itu diundangkan pada 1 April 1975. Jadi, tanggal pengundangan tidak selalu sama dengan tanggal berlakunya suatu PP.

 

Dengan demikian, dilihat dari berlakunya, PP sudah resmi berlaku pada waktu ditetapkan terlepas dari apakah Permen yang diperintahkan sudah terbit atau belum.

 

Jawaban atas pertanyaan kedua sebenarnya terletak pada frasa ‘menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya’ seperti yang disebut dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Pembentuk UUD 1945 tak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud ‘sebagaimana mestinya’, tetapi dapat dipahami sebagai keinginan agar operasionalisasi PP itu berjalan sepenuhnya. Agar berjalan sepenuhnya, maka perlu ada Permen atau peraturan pelaksanaan lain. Jadi, Permen itu didelegasikan demi kesempurnaan pelaksanaan PP. Namun ketiadaan Permen yang didelegasikan tak berarti membuat PP tidak berlaku.

 

Dengan mengambil komparasi PP sebagai peraturan pelaksanaan UU, maka pembentukan peraturan pelaksana yang disebut peraturan delegasi bertujuan untuk mengurangi kesulitan dan permasalahan di lapangan. Hanya saja, jarak penerbitan Permen yang diperintahkan dengan masa berlakunya PP akan mempengaruhi efektivitas pelaksanaan PP tersebut.[4]

 

Bagaimana jika Permen yang diperintahkan PP tidak diterbitkan? Menurut pandangan kami, persoalannya lebih pada efektivitas berlakunya PP, tak berpengaruh pada berlakunya PP karena berlakunya PP sudah ditetapkan dengan jelas.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Dasar 1945;

2.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

3.    Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

4.    Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

 

Referensi:

1.    Fitriani Ahlan Sjarif. Pembentukan Peraturan Delegasi dari Undang-Undang pada Kurun Waktu 199-2012. Disertasi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Juli 2015.

2.    Soehino. Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan (Setelah Dilakukan Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Yogyakarta: BPFE UGM, 2006.

3.    Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: Rajawali, 2010.

 


[1] Soehino. Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-Undangan (Setelah dilakukan Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Edisi Pertama. (Yogyakarta: Balai Penerbit Fakultas ekonomi UGM, 2006), hal. 46.

[2] Lihat Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

[3] Pasal 19 PP 83/2008

[4] Lihat Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 110.

Selasa, 01 Desember 2020

Jual Beli Tanah Pura-Pura

Oleh: Shanti Rachmadsyah, S.H.

Pertanyaan
Selamat siang Bapak/Ibu di tempat. Pada tahun 2003 Orang Tua saya terdesak uang untuk mengobati saudaranya yang sakit keras terpaksa meminjam uang dari rentenir dengan syarat sertifikat tanah sebagai jaminan dan dikenakan bunga tinggi. Kedua Orang Tua saya menanda tangani Akte Pengikatan Jual Beli dan Akte Kuasa Luas di hadapan Notaris yang ditunjuknya. Setelah berjalan beberapa bulan, terjadi sengketa karena denda-denda yang tidak pernah diperjanjikan dan pihak rentenir tidak mau membuat tanda terima atas penerimaan bunga pinjaman. Atas Gugatan Orang Tua saya Pengadilan malah menyatakan Akte Pengikatan Jual Beli dan Akte Kuasa Luas Sah dan Berkekuatan Hukum. Putusan tersebut telah berkekuatan Hukum Tetap. Saat ini, pihak rentenir menggugat Orang Tua saya untuk mengosongkan rumah dan menyerahkan tanah dan rumah kami kepadanya dengan alasan kami telah tidak berhak lagi. Perlu saya tambahkan, sampai saat ini belum pernah dibuat Akte Jual Beli (AJB) di hadapan PPAT (sertifikat masih atas nama Orang Tua saya) dan belum ada penyerahan tanah dan bangunan (kami masih tinggal/menguasai tanah dan rumah tersebut). Yang menjadi pertanyaan saya: 1. Menurut Undang-Undang yang berlaku apakah dengan Akte Pengikatan Jual Beli dan Akte Kuasa Luas yang telah dinyatakan Sah dan Berkekuatan Hukum tersebut telah terjadi Jual Beli dan Pengoperan Hak tanah dan rumah? 2. Menurut Undang-Undang yang berlaku apakah tanah dan rumah kami telah menjadi milik rentenir? 3. Menurut Undang-Undang yang berlaku apakah rentenir dijerat pidana kalau bisa tolong Undang-Undang atau Peraturannya (pasal-pasalnya). Atas bantuannya, saya ucapkan banyak terima kasih.


Punya pertanyaan lain ?
Silakan Login, atau Daftar ID anda.
Kirim Pertanyaan 

Ulasan Lengkap
1.      Akte Pengikatan Jual Beli (APJB) sendiri tidak dengan serta merta memindahkan hak atas tanah. APJB hanya merupakan perjanjian bahwa kedua belah pihak akan melakukan jual beli hak atas tanah. Jual beli tanah baru terjadi dengan dibuatnya Akta Jual Beli Tanah (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini sesuai dengan pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah:

 
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

 
Dalam APJB, memang biasanya dibuatkan kuasa-kuasa khusus untuk menjual. Akan tetapi, yang dibuat bukan Akta Kuasa Luas sebagaimana Anda sebutkan. Coba cek kembali akta tersebut, apakah yang dimaksudkan adalah surat kuasa umum ataukah surat kuasa mutlak?

 
Surat kuasa umum tidak boleh dipakai dalam jual beli tanah. Jual beli tanah harus menggunakan surat kuasa khusus. Akan tetapi, surat kuasa khusus tersebut tidak boleh berupa surat kuasa mutlak. Larangan surat kuasa mutlak ini diatur dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

 
Kuasa mutlak sendiri adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa. Kuasa seperti ini tidak boleh digunakan untuk tindakan hukum pemindahan hak atas tanah.

 
Jadi, hak milik atas tanah dan bangunan belum beralih dengan adanya APJB dan Akta Kuasa Luas tersebut.

 
2.      Karena hak milik atas tanah dan bangunan belum beralih, maka rumah dan tanah tersebut masih milik kedua orangtua Anda.

 
3.      Pengaturan tentang rentenir belum ada hukum pidana kita. Rentenir masih masuk dalam ranah hukum perdata, yaitu mengenai bunga yang terlampau tinggi. Menurut Pheo M. Hutabarat dan Asido M. Panjaitan dalam “The International Comparative Legal Guide To International Arbitration 2006”, bunga yang terlampau tinggi ini diatur dalam Woeker Ordonanntie 1938 (Staatsblad Tahun 1938 No. 524). Dalam ordonansi ini diatur bahwa apabila antara kewajiban-kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah pihak, dari semula terdapat suatu ketidak-seimbangan yang luar biasa, sedangkan satu pihak berbuat karena kebodohan dan keadaan terpaksa, yang telah disalahgunakan oleh pihak-lawannya, maka si berutang dapat meminta kepada hakim untuk menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya.

 
Demikian sepanjang yang kami tahu. Semoga bermanfaat.

 
Dasar hukum:

Woeker Ordonanntie 1938 (Staatsblad Tahun 1938 No. 524)
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah

Sumber: Hukum Online

Jangka Waktu Berlakunya Surat Kuasa Menjual

Pertanyaan
Saya mau tanya: 1. Berapa lama jangka waktu berlakunya surat kuasa menjual itu? 2. Apabila dalam perbankan, surat itu (surat kuasa menjual) disebutkan jangka waktunya setelah masa kredit habis, yang tercantum dalam perjanjian kredit, lalu dikuatkan dalam SKMHT (surat kuasa membebankan hak tanggungan) atau APHT (akta pemberian hak tanggungan), apakah bisa? Karena kita tahu sendiri, biaya untuk lelang cukup mahal.


Ulasan Lengkap

1.      Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam pasal 1792 – pasal 1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam pasal-pasal ini, tidak ada pengaturan mengenai jangka waktu berlakunya suatu surat kuasa. Jadi, jangka waktu berlakunya suatu surat kuasa bergantung pada kesepakatan para pihak, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPer.

 

Yang perlu diperhatikan adalah larangan surat kuasa mutlak, yaitu surat kuasa yang mengandung unsur “tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa”. Sesuai dengan pasal 1813 KUHPer, salah satu alasan berakhirnya pemberian kuasa adalah apabila pemberi kuasa menarik kembali kuasanya. Larangan kuasa mutlak ini diperkuat dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

 

2.      Kembali pada uraian di atas, tidak ada pengaturan secara khusus mengenai lamanya jangka waktu berlakunya surat kuasa menjual. Jangka waktu surat kuasa menjual bergantung pada kesepakatan para pihak. Jadi, apabila jangka waktu surat kuasa hendak diatur sampai berakhirnya perjanjian kredit, maka hal tersebut bisa saja dilaksanakan.


Sumber:Hukum Online

Surat Kuasa Penjualan

Pertanyaan
Si A memberi kuasa kepada advokat, khusus untuk menjual beberapa bidang tanah selanjutnya penerima kuasa berhak menerima uang hasil penjualan tanah tersebut, menandatangani kwitansi, menyimpan uang di rekening bersama antara advokat dan suami Si A. Sebelumnya ada surat perjanjian pembagian harta milik Si A (tanah dibeli ketika Si A sendiri belum menikah), akan dibagikan dengan rincian 40 persen untuk Si A selama masih hidup, 30 persen untuk keluarga dibagi rata dan kalau memiliki suami akan dikasih buat modal usaha, 22 persen diinfakkan, 8 persen untuk advokat. Pertanyaan: 1. Si A tidak merasa merasa membuat surat kuasa menjual namun ada tanda tangannya (masih diragukan kebenarannya) karena si A pernah disuruh menandatangani kertas kosong yang bermaterai, namun saat sekarang ini tanahnya sudah ada yang dijual oleh advokat. Bagaimana menurut hukum mengenai surat kuasa menjual tersebut dan penjualan tanah tersebut? 2. Kalau penjualan itu dinyatakan sah, apakah untuk harga harus ada kesepakatan si A atau tidak? Mengenai uangnya harus tetap diserahkan kepada Si A atau tidak? Bagaimana dengan isi dalam surat kuasa menjual di mana uangnya akan disimpan oleh advokat dan suami dengan alasan merujuk surat perjanjian pembagian harta? Sampai saat ini uangnya tidak pernah sampai ketangan Si A dan pembelinya pun tidak mengetahui hanya dan sekarang para pembeli berdatangan menanyakan tanahnya. Mohon penjelasannya.


Ulasan Lengkap

Ada beberapa hal yang tidak dipahami dari keterangan yang Anda berikan dalam kasus terkait, sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan dari kami. Pertanyaan tersebut yaitu, apa yang menjadi dasar dan alasan pihak A menandatangani blanko kosong yang kemudian disalahgunakan oleh pihak lain (in casu, pihak Advokat) untuk dijadikan sebagai ‘SURAT KUASA MENJUAL’? Pertanyaan lainnya adalah latar belakang dibuatnya perjanjian pembagian harta yang dibuat sebelum pihak A menikah dan dari isi perjanjian tersebut sudah mengindikasikan keterlibatan pihak Advokat dan calon suami, berarti sudah ada keterkaitan hubungan antara pihak A, calon suami, dan pihak Advokat. Hubungan-hubungan yang tidak jelas ini menjadi tanda tanya bagi kami.

 

Mengapa kami perlu mengetahui keterangan mengenai hal-hal terkait tersebut, karena sangat menentukan fokus jawaban yang diberikan. Mengingat terbatasnya info yang diberikan, maka jawaban diberikan secara umum.

 

Dalam pandangan kami, sepanjang pihak A dapat membuktikan bahwa tandatangannya disalahgunakan oleh pihak Advokat sebagai ‘SURAT KUASA MENJUAL TANAH-TANAH MILIK PIHAK A’, maka perbuatan pihak Advokat tersebut dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang mengandung unsur perbuatan curang berupa penipuan. Perbuatan Advokat tersebut harus dilaporkan pada kepolisian dengan menggunakan dasar pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Penipuan terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar disertai tipu muslihat/kelicikan-kelicikan untuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuan. Pasal 378 KUHP, selengkapnya menyebutkan :

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.

 

Selain itu, berdasarkan pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), bila ternyata pihak A dapat membuktikan adanya unsur penipuan yang dilakukan oleh pihak Advokat tersebut, maka “SURAT KUASA MENJUAL TANAH” tersebut, dapat dimintakan pembatalan melalui pengadilan oleh pihak A, sebagai pihak yang dirugikan dengan meminta penggantian biaya, kerugian, atau bunga. Pasal 1328 KUH Perdata, selengkapnya menyebutkan :

Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat”.

 

“Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan”.

 

Dari isi Surat Kuasa yang disebutkan, dapat dikategorikan Surat Kuasa dimaksud merupakan Surat Kuasa Umum atau Surat Kuasa Mutlak, karena obyeknya sangat luas. Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982, pada bagian kedua, menjelaskan pengertian mengenai Surat Kuasa Mutlak, yaitu :

a.       “Kuasa Mutlak adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa”.

b.      ”Kuasa Mutlak merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya”.

 

Pada prakteknya, jenis Surat Kuasa Multlak ini dilarang digunakan dalam proses pemindahan hak atas tanah/jual beli tanah, sebagaimana diatur dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 yang bertujuan mengatur ketertiban umum dalam bertransaksi jual beli tanah. Huruf c, konsideran Instruksi tersebut menyebutkan:

“Maksud dari larangan tersebut, untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan hak atas tanah secara terselubung dengan menggunakan bentuk “kuasa mutlak”. Tindakan demikian adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan tanah”.

 

Dalam peralihan hak atas tanah melalui proses jual beli yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), jual beli tanah hanya bisa menggunakan Surat Kuasa Khusus yang harus khusus obyeknya karena Surat Kuasa itu dilekatkan pada Akta jual belinya, dan dilampirkan Sertifikat asli hak atas tanah dimaksud. Dalam pasal 39 ayat (1) PP 24/1997 huruf a dan huruf d ditegaskan:

PPAT menolak untuk membuat akta, jika:

a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau

d. salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;”

 
 
 

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, menjelaskan bahwa Surat Kuasa Khusus dimaksud adalah Surat Kuasa Khusus yang bentuknya bisa Akta Notaris, dan yang dilegalisir oleh Notaris bila si pemberi kuasa tidak bisa hadir.

 

Berdasarkan keterangan di atas, maka pemindahan dan peralihan hak atas tanah melalui proses jual beli, baru terjadi apabila telah dipenuhi ketentuan persyaratan di atas dan dibuktikan adanya Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

Demikian penjelasan yang dapat kami berikan. Semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)

3.      Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

4.      Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

5.      Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah


Sumber: Hukum Online

Kuasa Umum atau Kuasa Khusus?

Pertanyaan
Bagaimana bila terdapat Kuasa Menjual atas obyek tanah dan bangunan pihak pemberi kuasa telah meninggal sebelum tindakan hukum untuk menjual dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Apakah Surat Kuasa tidak menjadi gugur dengan meninggalnya si pemberi kuasa? Apakah hal yang dikuasakan tersebut masih bisa dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Mohon penjelasan.


Ulasan Lengkap

1.      Surat kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih (pasal 1975 KUHPer). Dalam surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.

 

Mengenai unsur tidak dapat dipindahkan ke pihak lain, itu merupakan salah satu hak yang dapat dimasukkan dalam pemberian kuasa, yaitu hak substitusi, sebagaimana diatur dalam pasal 1803 KUHPer. Hak substitusi tersebut memberikan hak bagi penerima kuasa untuk mensubstitusikan kewenangannya sebagai penerima kuasa kepada orang lain untuk bertindak sebagai penggantinya. Jadi, kata-kata “Kuasa ini diberikan tanpa hak untuk memindahkannya kepada pihak lain, baik sebagian maupun seluruhnya” bukan menunjukkan bahwa surat kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali, namun menunjukkan bahwa penerima kuasa tidak boleh menunjuk orang lain untuk menggantikannya melaksanakan kuasa tersebut.

 

2.      Pasal 1796 KUHPer menyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Pasal ini selanjutnya menjelaskan bahwa untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.

 

Jadi, surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.

 

Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.


Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)


Sumber: Hukum Online


Surat Kuasa dalam Hal Pemberi Kuasa Meninggal Dunia

Pertanyaan

Bagaimana bila terdapat Kuasa Menjual atas obyek tanah dan bangunan pihak pemberi kuasa telah meninggal sebelum tindakan hukum untuk menjual dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Apakah Surat Kuasa tidak menjadi gugur dengan meninggalnya si pemberi kuasa? Apakah hal yang dikuasakan tersebut masih bisa dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Mohon penjelasan.


Ulasan Lengkap
Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan pemberian kuasa dalam pasal 1792 hingga pasal 1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Pemberian kuasa, menurut pasal 1792 KUHPer, adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

 
Menurut pasal 1813 KUHPer salah satu sebab berakhirnya pemberian kuasa adalah dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa. Jadi, berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa surat kuasa gugur atau berakhir ketika si pemberi kuasa ataupun si (penerima) kuasa meninggal.

 
Karena kekuasaan berasal dari si pemberi kuasa, maka dengan meninggalnya si pemberi kuasa otomatis kekuasaan yang diberikan kepada si penerima kuasa pun akan hilang atau gugur. Dengan demikian, si penerima kuasa tidak lagi dapat melaksanakan urusan -- dalam hal ini menjual hak atas tanah dan bangunan -- atas nama si pemberi kuasa (yang telah meninggal).

 
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)


Sumber: Hukum Online

Ciri dan Isi Surat Kuasa Khusus


Ulasan Lengkap
Ketentuan mengenai pemberian kuasa secara tersirat dapat kita temui dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPer"). Pemberian kuasa ini dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa(lihat Pasal 1793 KUHPer).

 
Pemberian kuasa ini dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa (lihat Pasal 1795 KUHPer).Dan untuk tujuan pemberian kuasa tersebut, pemberi kuasa dapat memberikan surat kuasa (tertulis), antara lain:

a.     Surat Kuasa Khusus
Surat kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih (lihat Pasal 1975 KUHPer). Dalam surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.

 
b.     Surat Kuasa Umum
Surat kuasa umum, berdasarkan Pasal 1796 KUHPer, dinyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Sehingga, surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.

 
Jadi, yang membedakan surat kuasa khusus dan surat kuasa umum antara lain adalah:
 
Lebih jauh mengenai surat kuasa ini simak:
-            Kuasa Umum atau Kuasa Khusus?;

-            Surat Kuasa dan Surat Tugas.

Dalam praktik, dikenal pula yang disebut dengan surat kuasa mutlak. Simak juga artikel mengenai Surat Kuasa Mutlak.

 
Memang dalam praktiknya, kekurangan, ketidaktepatan dan kesalahan dalam pembuatan surat kuasa tidak dapat dihindari. Namun, perlu digarisbawahi bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui yang dikuasakan kepadanya (lihat Pasal 1797 KUHPer).

 
Adanya salah kaprah tentang konsep kuasa umum dan kuasa khusus dalam praktik juga dibahas Rachmad Setiawan dalam buku “Hukum Perwakilan dan Kuasa.” Dia menulis antara lain bahwa praktik mengartikan suatu kuasa khusus adalah kuasa yang harus dinyatakan secara terperinci sehingga mengandung kriteria spesialitas. Kalau tak rinci maka dianggap kuasa umum. Praktik ini, menurut Rachmad, sangat keliru. Pengertian khusus dan umum, menurutnya, tidak mengacu kepada rinci atau tidak rincinya kuasa yang diberikan, melainkan dilihat apakah yang dikuasakan itu mengandung tindakan hukum tertentu atau tidak tertentu alias semua tindakan hukum.

 
Dalam artikel hukumonline “Kuasa, ‘Jalan di Tempat’ Sejak Nusantara Merapat” lebih jauh dijelaskan pendapat Rachmad sebagai berikut:

 
“… Kuasa Umum itu kuasa untuk melakukan tindakan apa saja, dan juga bisa hal tertentu saja. Tapi sebatas tindakan pengurusan atau hal-hal umum. Perbuatannya, biasanya nggak terlalu signifikan. ‘Pengurusan sehari-hari lah,’ paparnya. Dalam BW ada di Pasal 1796. Namun dari kuasa umum ini, jika hendak melakukan penguasaan, diperlukan syarat-syarat. Disebutkan bahwa tindakan penguasaan itu harus dinyatakan dengan tegas.

 
“Sedangkan kuasa khusus, lanjutnya, kuasa untuk satu dua perbuatan tertentu. Khusus, paparnya, karena bisa melakukan tindakan hukum penguasaan. Mengacu pada BW ada di 1795. Contoh kuasa khusus ini adalah kuasa menyewakan rumah, mengakhiri sewa, dan bila perlu menagih uang sewa rumah sekaligus kwitansinya. Sementara kalau kuasa umum tadi hanya untuk mengurus rumahnya, urainya.”

 
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)