Kantor Hukum "ADIL INDONESIA" Gadingwetan, Belangwetan, Klaten Utara, Klaten 57436 Phone and Fax. 0272-330532 Mobile.085643988879,081393100929 Mail. dematadewa@gmail.com
Cari Blog Ini
Rabu, 16 Desember 2020
Keberlakuan Peraturan Pemerintah yang Belum Ada Peraturan Pelaksanaannya
Selasa, 01 Desember 2020
Jual Beli Tanah Pura-Pura
Jangka Waktu Berlakunya Surat Kuasa Menjual
Ulasan Lengkap
1. Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam pasal 1792 – pasal 1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam pasal-pasal ini, tidak ada pengaturan mengenai jangka waktu berlakunya suatu surat kuasa. Jadi, jangka waktu berlakunya suatu surat kuasa bergantung pada kesepakatan para pihak, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPer.
Yang perlu diperhatikan adalah larangan surat kuasa mutlak, yaitu surat kuasa yang mengandung unsur “tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa”. Sesuai dengan pasal 1813 KUHPer, salah satu alasan berakhirnya pemberian kuasa adalah apabila pemberi kuasa menarik kembali kuasanya. Larangan kuasa mutlak ini diperkuat dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
2. Kembali pada uraian di atas, tidak ada pengaturan secara khusus mengenai lamanya jangka waktu berlakunya surat kuasa menjual. Jangka waktu surat kuasa menjual bergantung pada kesepakatan para pihak. Jadi, apabila jangka waktu surat kuasa hendak diatur sampai berakhirnya perjanjian kredit, maka hal tersebut bisa saja dilaksanakan.
Sumber:Hukum Online
Surat Kuasa Penjualan
Ulasan Lengkap
Ada beberapa hal yang tidak dipahami dari keterangan yang Anda berikan dalam kasus terkait, sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan dari kami. Pertanyaan tersebut yaitu, apa yang menjadi dasar dan alasan pihak A menandatangani blanko kosong yang kemudian disalahgunakan oleh pihak lain (in casu, pihak Advokat) untuk dijadikan sebagai ‘SURAT KUASA MENJUAL’? Pertanyaan lainnya adalah latar belakang dibuatnya perjanjian pembagian harta yang dibuat sebelum pihak A menikah dan dari isi perjanjian tersebut sudah mengindikasikan keterlibatan pihak Advokat dan calon suami, berarti sudah ada keterkaitan hubungan antara pihak A, calon suami, dan pihak Advokat. Hubungan-hubungan yang tidak jelas ini menjadi tanda tanya bagi kami.
Mengapa kami perlu mengetahui keterangan mengenai hal-hal terkait tersebut, karena sangat menentukan fokus jawaban yang diberikan. Mengingat terbatasnya info yang diberikan, maka jawaban diberikan secara umum.
Dalam pandangan kami, sepanjang pihak A dapat membuktikan bahwa tandatangannya disalahgunakan oleh pihak Advokat sebagai ‘SURAT KUASA MENJUAL TANAH-TANAH MILIK PIHAK A’, maka perbuatan pihak Advokat tersebut dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang mengandung unsur perbuatan curang berupa penipuan. Perbuatan Advokat tersebut harus dilaporkan pada kepolisian dengan menggunakan dasar pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Penipuan terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar disertai tipu muslihat/kelicikan-kelicikan untuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuan. Pasal 378 KUHP, selengkapnya menyebutkan :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.
Selain itu, berdasarkan pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), bila ternyata pihak A dapat membuktikan adanya unsur penipuan yang dilakukan oleh pihak Advokat tersebut, maka “SURAT KUASA MENJUAL TANAH” tersebut, dapat dimintakan pembatalan melalui pengadilan oleh pihak A, sebagai pihak yang dirugikan dengan meminta penggantian biaya, kerugian, atau bunga. Pasal 1328 KUH Perdata, selengkapnya menyebutkan :
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat”.
“Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan”.
Dari isi Surat Kuasa yang disebutkan, dapat dikategorikan Surat Kuasa dimaksud merupakan Surat Kuasa Umum atau Surat Kuasa Mutlak, karena obyeknya sangat luas. Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982, pada bagian kedua, menjelaskan pengertian mengenai Surat Kuasa Mutlak, yaitu :
a. “Kuasa Mutlak adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa”.
b. ”Kuasa Mutlak merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya”.
Pada prakteknya, jenis Surat Kuasa Multlak ini dilarang digunakan dalam proses pemindahan hak atas tanah/jual beli tanah, sebagaimana diatur dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 yang bertujuan mengatur ketertiban umum dalam bertransaksi jual beli tanah. Huruf c, konsideran Instruksi tersebut menyebutkan:
“Maksud dari larangan tersebut, untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan hak atas tanah secara terselubung dengan menggunakan bentuk “kuasa mutlak”. Tindakan demikian adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan tanah”.
Dalam peralihan hak atas tanah melalui proses jual beli yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), jual beli tanah hanya bisa menggunakan Surat Kuasa Khusus yang harus khusus obyeknya karena Surat Kuasa itu dilekatkan pada Akta jual belinya, dan dilampirkan Sertifikat asli hak atas tanah dimaksud. Dalam pasal 39 ayat (1) PP 24/1997 huruf a dan huruf d ditegaskan:
“PPAT menolak untuk membuat akta, jika:
a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau
d. salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;”
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, menjelaskan bahwa Surat Kuasa Khusus dimaksud adalah Surat Kuasa Khusus yang bentuknya bisa Akta Notaris, dan yang dilegalisir oleh Notaris bila si pemberi kuasa tidak bisa hadir.
Berdasarkan keterangan di atas, maka pemindahan dan peralihan hak atas tanah melalui proses jual beli, baru terjadi apabila telah dipenuhi ketentuan persyaratan di atas dan dibuktikan adanya Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian penjelasan yang dapat kami berikan. Semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
5. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah
Sumber: Hukum Online
Kuasa Umum atau Kuasa Khusus?
Ulasan Lengkap
1. Surat kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih (pasal 1975 KUHPer). Dalam surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.
Mengenai unsur tidak dapat dipindahkan ke pihak lain, itu merupakan salah satu hak yang dapat dimasukkan dalam pemberian kuasa, yaitu hak substitusi, sebagaimana diatur dalam pasal 1803 KUHPer. Hak substitusi tersebut memberikan hak bagi penerima kuasa untuk mensubstitusikan kewenangannya sebagai penerima kuasa kepada orang lain untuk bertindak sebagai penggantinya. Jadi, kata-kata “Kuasa ini diberikan tanpa hak untuk memindahkannya kepada pihak lain, baik sebagian maupun seluruhnya” bukan menunjukkan bahwa surat kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali, namun menunjukkan bahwa penerima kuasa tidak boleh menunjuk orang lain untuk menggantikannya melaksanakan kuasa tersebut.
2. Pasal 1796 KUHPer menyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Pasal ini selanjutnya menjelaskan bahwa untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
Jadi, surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.
Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
Sumber: Hukum Online
Surat Kuasa dalam Hal Pemberi Kuasa Meninggal Dunia
Pertanyaan
Bagaimana bila terdapat Kuasa Menjual atas obyek tanah dan bangunan pihak pemberi kuasa telah meninggal sebelum tindakan hukum untuk menjual dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Apakah Surat Kuasa tidak menjadi gugur dengan meninggalnya si pemberi kuasa? Apakah hal yang dikuasakan tersebut masih bisa dilaksanakan oleh Penerima Kuasa? Mohon penjelasan.