Cari Blog Ini

Selasa, 05 Maret 2024

Surat Kuasa Umum dan Surat Khusus


 

Dalam mengurus kegiatan sehari-hari, seringkali dilakukan pelimpahan kuasa dari seseorang kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan atas nama pemberi kuasa. Hukum perdata mengatur pelimpahan kuasa tersebut dengan menuangkannya ke dalam suatu surat pernyataan yang sering disebut sebagai surat kuasa. Surat kuasa dibuat sebagai bukti penerimaan wewenang atau kewajiban dari pihak pemberi kuasa kepada pihak penerima kuasa.[1]

Kehadiran surat kuasa menjadi hal yang penting karena terkadang seseorang berhalangan untuk melakukan sesuatu, sehingga perlu meminta bantuan pihak lain untuk melakukannya. Misalnya, A sebagai pemilik tanah hendak melakukan jual beli tanah dengan B. Akan tetapi, karena A berhalangan hadir, A memberikan kuasa kepada C untuk melakukan jual beli tanah milik A kepada B atas nama A. Terkait hal tersebut, terdapat pelimpahan kuasa dari A kepada C untuk menjual tanah kepada B atas nama A yang dibuat dalam bentuk surat kuasa.

Secara umum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) memberikan definisi surat kuasa sebagai surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu.[2] 

Selain itu, surat kuasa telah diatur dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang menyatakan:

“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”

Berdasarkan kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa surat kuasa merupakan suatu dokumen yang di dalamnya berisi segala pernyataan yang berkaitan dengan pelimpahan kekuasaan atau wewenang kepada penerima kuasa guna melakukan perbuatan hukum, untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Adapun dua macam surat kuasa jika ditinjau segi substansi yaitu, pemberian kuasa dilakukan secara umum yang meliputi segala kepentingan dari pemberi kuasa atau secara khusus yang hanya meliputi kepentingan tertentu.[3]

Akan tetapi, pada praktiknya masih terdapat kebingungan masyarakat dalam membedakan surat kuasa umum dan surat kuasa khusus. Lantas apa saja perbedaannya?

Penjelasan mengenai surat kuasa umum dapat ditemukan dalam Pasal 1796 KUHPerdata, yang berbunyi:

“Pemberi kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk memindahtangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik di atasnya, atau lagi untuk membuat suatu perdamaian, atau pun sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata tegas.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat terlihat bahwa surat kuasa umum merupakan surat yang sengaja dibuat oleh para pihak agar penerima kuasa dapat mengurusi kepentingan dari pemberi kuasa mengenai hal-hal sederhana atau umum.

Adapun contoh ilustrasi penggunaan surat kuasa umum adalah ketika A membeli sebuah sepeda motor pada tanggal 20 Januari 2024. Saat hendak mengurus dokumen dan mengambil sepeda motor tersebut pada tanggal 24 Januari 2024, A sedang berhalangan, sehingga A meminta B untuk mengurus dokumen serta mengambil sepeda motor pada dealer tersebut. Agar B dapat melakukan tindakan untuk mengurus dan mengambil motor yang sebelumnya telah dibeli A secara sah, A dan B perlu membuat surat kuasa yang berisi keterangan bahwa A memberikan kuasa kepada B untuk mewakilinya dalam arti seluas-luasnya dalam perkara penyelesaian transaksi pembelian motor milik A.

Selain mengenal surat kuasa umum, dalam KUHPerdata juga dikenal surat kuasa khusus yang perlu dibuat dalam hal dilakukan perbuatan hukum memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, yang tidak dapat dilakukan dengan surat kuasa umum. 

Definisi surat kuasa khusus telah diatur dalam Menurut Pasal 1795 KUHPerdata, surat kuasa khusus didefinisikan sebagai:

“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, yang dimaksud dengan surat kuasa khusus adalah surat yang di dalamnya telah disebutkan secara jelas tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa, seperti memindahtangankan barang atau hipotek, membuat suatu perdamaian, ataupun tindakan lainnya yang hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa atau pemiliknya.

Berbeda dengan surat kuasa umum, surat kuasa khusus tidak hanya dapat digunakan sebagai pemberian kuasa dalam melakukan tindakan keperdataan. Surat kuasa khusus dapat menjadi dasar penerima kuasa dalam bertindak mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan.

Bahkan, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1994, surat kuasa yang diajukan oleh pihak yang berperkara di pengadilan harus berbentuk surat kuasa khusus. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa surat kuasa khusus yang dibuat untuk bertindak mewakili di pengadilan harus dicatatkan dalam Register Kuasa Khusus di kepaniteraan pada badan peradilan dimana akan dicantumkan.[4]

Selanjutnya pada sisi formatif, terdapat perbedaan format penulisan surat kuasa umum dengan surat kuasa khusus. Adapun, hal mendasar yang menjadi perbedaannya adalah dalam pembuatan surat kuasa khusus, pada bagian sub-judul dicantumkan frasa “surat kuasa khusus”, sedangkan dalam surat kuasa umum, pada bagian sub-judul dicantumkan frasa “surat kuasa umum”.[5] 

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar isi dari surat kuasa umum hanya meliputi pengurusan segala kepentingan pemberi kuasa yang bersifat umum saja dan tidak untuk melakukan pengurusan kepentingan hukum yang bersifat khusus dan esensial.

Sementara itu, isi dari surat kuasa khusus meliputi kepentingan hukum pemberi kuasa yang terperinci mengenai apa yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa dengan cakupan wewenang yang lebih luas yang dapat bersifat esensial.

Selain itu, surat kuasa umum tidak dapat dijadikan dasar untuk mewakili maupun mendampingi pemberi kuasa di hadapan pengadilan, sedangkan surat kuasa khusus merupakan syarat penting yang digunakan oleh penerima kuasa sebagai bukti berhak mewakili dan mendampingi pemberi kuasa selama proses pengadilan. 

 

 

 

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, (Staatsblad 1847 Nomor 23).

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus. 

Referensi:

[1] Tim Redaksi Kumparan, Surat Kuasa: Pengertian dan Ciri-Cirinya Yang Perlu Diketahui, https://kumparan.com/berita-update/surat-kuasa-pengertian-dan-ciri-cirinya-yang-perlu-diketahui-1v6CfrNBMXb/full (diakses pada 15 Agustus 2023).

[2] KBBI, Surat Kuasa, https://kbbi.web.id/surat (diakses pada 15 Agustus 2023).

[3] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2014), halaman 458.

[4] Tim Redaksi Hukumonline, 3 Perbedaan Surat Kuasa Umum dan Surat Kuasa Khusus, https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-surat-kuasa-umum-dan-surat-kuasa-khusus-cl5976/ (diakses pada 15 Agustus 2023).

[5] Ibid. 



Sumber: LBH PENGAYOMAN

 
 

Mengenal Beberapa Asas dalam Hukum Acara Perdata


Hukum acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan hukum formil yang digunakan untuk mempertahankan keberlangsungan hukum perdata materiil dalam hal adanya tuntutan hak.[1] Adapun hukum perdata materiil yang dimaksud meliputi segala peraturan perundang-undangan yang mengatur kepentingan antarwarga negara perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lain.[2] Hukum formil tersebut merupakan peraturan hukum yang berisi ketentuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Selain itu, hukum acara perdata juga mengatur tata cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan dan melaksanakan putusan.

Adapun dalam hukum acara perdata terdapat beberapa asas yang berlaku yaitu:

1) hakim bersifat menunggu,
2) hakim pasif,
3) sifat terbukanya persidangan,
4) mendengar kedua belah pihak,
5) putusan harus disertai alasan-alasan,
6) beracara dikenakan biaya dan
7) tidak ada keharusan mewakilkan.[2]

Asas yang pertama, hakim bersifat menunggu, berarti bahwa segala ajuan tuntutan hak sepenuhnya diserahkan pada pihak yang berkepentingan. Apabila tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim yang mengurus perkara (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore).[4]

Berikutnya, dalam memeriksa perkara, hakim harus bersikap pasif yang artinya adalah ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hal ini merupakan ketentuan yang diharuskan dalam asas hakim pasif. Asas hakim pasif juga dikenal sebagai asas ultra petita non cognoscitur yang menghendaki hakim untuk hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan padanya. Dengan kata lain, hakim hanya menentukan hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak, sehingga hakim dilarang menambah maupun memberikan lebih dari yang diminta para pihak.[5] Sebagai contoh, apabila hakim ditugaskan dengan suatu kasus Wanprestasi yang ternyata disertai penipuan, hakim tersebut hanya diperkenankan mengadili perkara Wanprestasinya saja.

Selain itu, persidangan yang dilaksanakan juga harus terbuka untuk umum, sehingga setiap orang diperbolehkan untuk hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Adapun keterbukaan yang dimaksud dalam asas tersebut dilakukan guna memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan dan menjamin objektivitas agar hakim bersikap adil serta tidak memihak.[6]

Selanjutnya, hakim dalam beracara perdata juga harus memperlakukan para pihak dengan sama, tidak memihak dan mendengarkan mereka bersama-sama. Adapun alur gugatan dalam persidangan meliputi beberapa tahap yaitu:

1) pembacaan gugatan,
2) jawaban,
3) replik oleh penggugat dan
4) replik dari tergugat.[7]

Asas ini juga dikenal dengan asas audi et alteram partem yang berarti hakim harus mendengar dan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak dalam menyampaikan informasi dan keterangan.[8] Hal ini didukung dengan adanya Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Selain itu, putusan yang diberikan hakim juga harus memuat alasan-alasan sebagai dasar untuk mengadili agar menjadi pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum.[9] Terlebih lagi, dalam hukum acara perdata, berperkara juga akan dikenakan biaya kepaniteraan, panggilan, pemberitahuan dan material. Bahkan, jika pihak yang sedang berperkara meminta bantuan pengacara, pihak tersebut juga harus mengeluarkan biaya untuk jasa pengacaranya.

Terakhir, hukum tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili perkaranya kepada orang lain. Artinya, setiap orang yang berkepentingan dapat melewati dan menjalani pemeriksaan di persidangan secara langsung. Hal tersebut dapat mempermudah hakim untuk mengetahui lebih jelas perkara yang sedang diperiksa. Akan tetapi, seorang wakil juga dapat bermanfaat bagi hakim dalam persidangan karena mereka dianggap beritikad baik dalam memberikan bantuan dan tahu akan hukum jika wakilnya adalah sarjana hukum. Dengan kata lain, seorang wakil dapat memperlancar jalannya peradilan hukum.[10]

Sebagai kesimpulan, hukum acara perdata merupakan hukum formil yang menjamin berjalannya hukum perdata materiil. Adapun dalam beracara perdata, terdapat asas-asas yang berfungsi sebagai pedoman untuk membantu seluruh kegiatan dan pelaksanaan acara perdata dalam persidangan. Asas-asas tersebut juga dapat membantu memberikan perlindungan hukum, transparansi dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara maupun masyarakat.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).

Referensi:

[1] Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2018), halaman 2.

[2] Wahyono Darmabrata, Asas-asas Hukum Perdata (Jakarta: Universitas Hukum Indonesia, 2003), halaman 12.

[3] Sudikno Mertukusumo, Op.Cit., halaman 11.

[4] Ibid., halaman 11.

[5] Bambang Sugeng Ariadi dkk., Kajian Penerapan Asas Ultra Petita pada Petitum Ex Aequo Et Bono, Jurnal Yuridika, Volume 29-Nomor 1, April 2014, halaman 104.

[6] Ibid., halaman 14.

[7] Dwi Handayani, Kajian Filosofis Prinsip Audi Et Alteram Partem dalam Perkara Perdata, Jurnal Nasional, Volume 14-Nomor 2, Juli 2020, halaman 390.

[8] Iman Hadi, “Tentang Posita, Petitum, Replik dan Duplik”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c454b656489/replik-duplik-posita-petitum (diakses pada 8 Juli 2021).

[9] Sudikno Mertukusumo, Op Cit., halaman 15.

[10] Ibid., halaman 18.

 

 

 

Sumber: LBH PENGAYOMAN

 
 

POLITIK TEGAK LURUS (antara patuh dan takut)


Memaknai sebuah kalimat seringkali dapat hanya diartikan secara gramatikal tetapi lebih sering secara politik dikemas dengan makna secara cara etimologis sengaja diciptakan sebagai sebuah jargon untuk menguatkan tetapi sekaligus untuk melemahkan situasi yang terjadi.

TEGAK LURUS apakah akan dimaknai secara etimologis atau secara gramatikal adalah sebuah tujuan pemaknaan yang membuat pilu terhadap sikap dan perilaku langsung saja disajikan untuk membuat sebuah dikotomi antara kelompok yang mendukung dan kelompok yang membangkang.

Secara demokrasi hal ini bertentangan dengan harmonisasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara karena konsep demokratisasi adalah mendukung semua program yang dijalankan eksekutif dimonitor oleh legislatif dan ditegakkan hukumnya oleh yudikatif namun trias politika ini saat ini sudah tidak mungkin dapat tercapai lagi hanya sebuah wacana yang sudah usang karena konsep demokratisasi lebih dimaknai pada secara bersama-sama semua harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan dan keputusan yang hasilnya telah ditetapkan untuk dibagi secara bersama-sama oleh eksekutif maka disitulah mereka yang tidak tegak lurus dimaknai sebagai pembangkang kebijakan.

Padahal oposisi seharusnya diberikan ruang untuk melihat sesuatu yang tidak terinventarisir dengan baik oleh kebijakan eksekutif yang menjadi sebuah kajian evaluasi dan perbaikan sehingga akan menguatkan posisi eksekutif dalam menjalankan amanah Undang-undang dan membuat kebijakan politik yang berpihak untuk kesejahteraan rakyat. Termasuk untuk menjaga kebijakan eksekutif yang menyimpang agar dapat dikontrol secara normatif untuk dikembalikan kedalam koridor yang telah diatur dan ditetapkan oleh aturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika saat ini oposisi dimaknai secara premis minor maka yang terjadi adalah tidak ada yang berani untuk mengungkapkan kebenaran karena semua telah disepakati untuk dijalankan bersama-sama kemudian semua saling tutup mata dan tutup mulut, yang penting sama-sama dapat melindungi antara satu dan lainnya. Inilah yang terjadi saat ini dalam konsepsi politik pemerintah yang transaksional. Terhadap yang berseberangan dianggap tidak mendukung konsep pemerintah dalam menjalankan tugas kenegaraan dan merupakan lawan politik yang harus ditundukkan.

Dalam politik Tegak Lurus inilah yang kemudian secara bersamaan civil society telah tereduksi secara sistematis dalam sebuah koalisi diparlemen untuk mendukung pemerintah. Sehingga jeritan rakyat hanya sebuah ilusi yang mudah terabaikan oleh kepentingan kelompok diparlemen karena lebih menikmati hasil koalisi dengan hadiah proyek dan deal-deal jabatan daripada menjaga amanah yang melekat di pundak yang diucapkan saat sumpah dan pelantikan.

Hanya menunggu waktu dengan keyakinan dan kekuatan do'a bahwa akan dan masih ada manusia hebat yang tak pernah takut untuk berteriak atas nama kebenaran dan sementara saat ini tetap nikmati saja segala kebuntuan yang suatu saat akan menemukan jalannya.

Politik tegak lurus yang disampaikan di atas berbeda dengan konsep pandangan ustadz Abu Ridlo dalam bukunya "Politik Tegak Lurus PKS" yang didasarkan pada ketaatan proses dakwah politik yang ada dalam Al qur'an, Assunnah dan sirah Nabi Muhammad SAW. dimana seluruh gerakan dalam dakwah politik harus mengimplementasikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam aktivitas mereka.

 

 

Late Post, 14 Februari 2024
Arief K. Syaifulloh, SH., MH.

Rabu, 18 Januari 2023

Praktik Ngindung (Numpang Tinggal) Dari Kacamata Hukum

Muhammad Yasin, S.H., M.H. 

Berdasarkan pemahaman kami, ngindung merujuk pada kata mengindung, yang basisnya berasal dari kata induk. Kata ngindung lazim dikenal di Yogyakarta untuk menggambarkan orang atau warga yang belum memiliki rumah diperbolehkan tinggal di wilayah kraton milik Sultan. Lama kelamaan terbentuk kampung ngindung. Selain ngindung, ada juga yang disebut magersari. Bedanya, ngindung biasanya dikenakan uang sewa tanah, sedangkan magersari tidak dikenakan sewa tanah.

Dalam bukunya Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-Undangan Indonesia, Ni’matul Huda mengatakan orang yang ngindung (turut menghuni) berkewajiban menjalankan tugas-tugas yang berhubungan dengan tanah/rumah. Misalnya, kerig desa, ronda, membuat/memperbaiki/memelihara bendungan, dan selokan jalan desa. 

Ni’matul Huda membagi ngindung atas dua jenis, yaitu ngindung biasa (mempunyai rumah sendiri di atas tanah orang lain), dan ningdung tlosor yang mengandung arti sama sekali tidak mempunyai tanah sendiri, semata-mata dia hidup dalam rumah bukan miliknya yang berada di atas tanah milik orang lain (2013: 211).

Jika yang Anda maksud praktik numpang tinggal di rumah milik orang lain (ngindung tloso), maka praktik semacam itu sebenarnya tak hanya terjadi di Yogyakarta. Sangat mungkin ditemukan praktiknya di tempat lain. Kita tahu masyarakat Indonesia memiliki keragaman hukum agraria (Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, 2010: 3) yang perlu didalami dan didekati dengan baik.

Dalam kasus ini, seperti yang Anda ceritakan, tanah beserta bangunan di atasnya adalah pembelian almarhumah nenek Anda. Jika benar-benar nenek Anda punya bukti pembelian atau sertifikat atas tanah tersebut, tentu posisi Anda akan lebih kuat. Sehingga, menjawab pertanyaan pertama Anda, posisi ketiga pengindung sebenarnya tidak terlalu kuat untuk mengklaim sebagai pemegang hak atas tanah dan bangunan, apalagi jika mengklaim sebagai pemilik. 

Sayang, tak dijelaskan apakah para pengindung tersebut sekadar numpang tinggal atau mereka sebenarnya membayar sewa. Jika yang terjadi adalah sewa menyewa, maka dalam hubungan ini berlaku ketentuan sewa menyewa dalam Pasal 1548 s.d. Pasal 1600 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).

Menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda, kami mencoba merujuk pada tulisan Ni’matul Huda. Dosen UII Yogyakarta ini menyebut adanya kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan orang yang numpang. Misalnya, tidak boleh mengalihkan tanah/rumah kepada pihak ketiga. Dalam konteks pertanyaan, jelas bukti hak milik dipegang keluarga Anda.

Mengenai kewajiban membayar pesangon, kami belum menemukan dasar hukum dimaksud. Pesangon adalah istilah yang lebih dikenal dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu pembayaran kepada pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya. Jika istilah itu hendak dipakai dalam konteks ini, maka menurut kami, penting untuk melihat bagaimana dulu perjanjian ngindung diatur. Jika tak ada ketentuan yang tegas mengatur kewajiban itu, maka tak ada kewajiban Anda untuk membayar. Bahkan menurut Ni’matul Huda, jika pengindung tidak menaati syarat-syarat perjanjian, maka haknya bisa dicabut (2013: 210). Tetapi penting untuk dicatat, bahwa ada kewajiban pengindung untuk menjaga dan memelihara rumah/tanah tersebut selama ditempati. Menjaga dan memelihara itu tentu mengeluarkan biaya. Maka sudah sewajarnya pemilik memberikan uang penggantian yang layak atau semacam kompensasi kepada pengindung (meskipun perhitungannya tidak akan mudah). 

Jika pemilik hendak menjual tanah/rumah, penting untuk memastikan tanah/rumah tersebut tidak dalam penguasaan orang lain. Kalau masih ada pengindung yang bertahan, Anda akan mengalami kesulitan menjualnya. Dalam tulisan berjudul ‘Aspek Hukum Ngindung’ yang dimuat dalam laman kumham-jogja.info, BH. Andri Ariaji mengatakan memang ada problem sosial dan hukum yang timbul sehubungan dengan status menempati rumah/tanah orang lain yang tak jelas. Apalagi pengindung adalah keturunan ahli waris yang tidak tahu riwayat tanah tersebut.

Solusi yang paling tepat menurut kami adalah membicarakan maksud Anda secara baik-baik, melalui musyawarah. Dalam musyawarah itu, misalnya, kedua belah pihak membuat perjanjian yang tegas-tegas menyebut batas waktu ngindung, serta hak dan kewajiban para pihak. Jika tetap tidak bisa, berdasarkan bukti sertifikat, Anda bisa menempuh upaya hukum pidana atau perdata. Tuduhannya, bisa berupa menempati rumah/tanah tanpa hak. Hak milik atas tanah/rumah, dalam konsepsi hukum perdata, adalah hak yang paling sempurna. Pemilik bisa melakukan tindakan hukum apapun (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan menghancurkan) asalkan tidak melanggar Undang-Undang dan hak orang lain (Subekti, 2001: 69-70).

 

 

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (lazim dikenal sebagai UUPA).

Referensi:

Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (penyunting). Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia. Jakarta: HuMA-Van Vollenhoven Institute – KITLV. Jakarta: 2010.

Ni’matul Huda. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-Undangan Indonesia. Bandung: Nusa Media, 2013.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. xxix. Jakarta: Intermasa, 2001.

 

Sumber: Hukum Online

 

 

 

 

 

ISTILAH DALAM PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

1.

Panitera

:

Seseorang yang bertugas mencatat dan mengurusi urusan//berkas-berkas persidangan perceraian.

 

2.

Ketua Hakim Pengadilan Agama

:

Seseorang yang memimpin/mengepalai lembaga Pengadilan Agama. 


3.

Ketua Hakim Majelis

:

Seseorang yang mengetuai para Hakim dalam suatu sidang.

4.

Hakim Anggota

:

Seseorang hakim yang menjadi Hakim anggota dalam satu kelompok majelis.

 

5.

Penggugat (dalam Pengadilan Agama)

:

Seseorang (istri) yang mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama.

 

6.

Tergugat (dalam Pengadilan Agama)

:

Seseorang (suami) yang digugat cerai di Pengadilan Agama.

7.

Pemohon

:

Seseorang (suami) yang mengajukan permohonan cerai talaq pada istrinya di Pengadilan Agama.

 

8.

Termohon

:

Seseorang (istri) yang diajukan permohonan cerai talaq oleh suaminya.

 

9.

Gugatan cerai / cerai gugat

:

Berkas/surat cerai yang diajukan oleh si istri kepada suaminya.

 

10.

Permohonan cerai talaq

:

Berkas/surat permohonan suami utk mengucapkan talaq agar dapat bercerai dengan istrinya.

 

11.

Jawaban

:

Berkas/surat tanggapan dari si Tergugat (Termohon).

12.

Replik

:

Berkas/surat dari Penggugat (Pemohon) tentang tanggapan dari adanya Jawaban Tergugat (Termohon).

 

13.

Duplik

:

Berkas/surat dari Tergugat (Termohon) tentang tanggapan dari adanya Replik si Penggugat (Pemohon).

 

14.

Sidang saksi/pembuktian

:

Sidang dimana para pihak (Penggugat/Tergugat) memperlihatkan bukti-bukti dan membawa saksi-saksi untuk mendukung dan membuktikan dalil-dalil dalam surat/berkas proses cerainya.

 

15.

Kesimpulan

:

Berkas/surat dari para pihak untuk menyimpulkan surat-surat berkas-berkas yang telah diserahkan pada pengadilan.

16.

Petitum

:

Permintaan yang diajukan oleh para pihak.

17.

Hak pemeliharaan anak

:

Adalah hak yang diperebutkan oleh para pihak untuk mendapatkan hak memelihara anaknya.

18.

Harta gono-gini

:

Adalah harta yang dihasilkan selama masa perkawinan.

19.

Nafkah iddah

:

Nafkah yang diberikan mantan suami kepada mantan istrinya setelah bercerai, dimana nafkah itu diberikan selama masa idah setelah bercerai.

 

20.

Mut’ah

:

Adalah pemberian (kado) terakhir dari mantan suami kepada mantan istrinya sebagai adanya akibat perceraian.

 

21.

Nusyus

:

Adalah keadaan dimana si suami atau istri meninggalkan kewajibannya sebagai seorang suami atau istri.

 

22.

Syiqaq

:

Adalah suatu alasan cerai yang disebabkan adanya perselisihan yang terus menerus atau adanya perbedaan prinsip yang sangat mendasar yang tidak mungkin disatukan/didamaikan kembali.

 

23.

Verstek

:

Adalah putusan sidang tanpa sama sekali hadirnya si Tergugat (Tergugat tidak pernah datang menghadiri sidang walaupun sudah dipanggil dengan layak oleh pengadilan). 


Sumber: Berbagai Artikel