Cari Blog Ini

Senin, 02 Desember 2024

Bisakah Menuntut Pacar Anak yang Enggan Menikahinya?

 

Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. 

Perkawinan Harus Persetujuan Kedua Belah Pihak

Sesuai aturan Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa:

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka tiada seorangpun dapat dipaksa atau memaksa orang lain untuk menikah. Karena itu, Anda sebagai orang tua juga tidak dapat menuntut atau memaksakan seorang anak laki-laki untuk menikahi putri Anda, meskipun dengan alasan atau kondisi seperti yang Anda jelaskan.

Usia Perkawinan

Selain itu, dari penjelasan Anda yang menyebutkan bahwa mereka masih duduk di bangku SMA, maka kami asumsikan putri Anda dan pacarnya tersebut masih berusia sekitar 15 sampai 18 tahun. Terkait ini, Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019 menyatakan:

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.

Adapun jika pihak laki-laki dan perempuan belum memenuhi syarat batas umur untuk melakukan perkawinan tersebut, maka berlaku Pasal 20 UU Perkawinan yang menyatakan:

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Jadi, dalam hal laki-laki dan perempuan tersebut belum memenuhi syarat batas umur untuk melakukan perkawinan, maka pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan. Akan tetapi perlu diketahui dalam Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 diatur mengenai penyimpangan terhadap batasan umur untuk melakukan perkawinan, yaitu:

Dalam hal penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai dengan bukti-bukti pendukung yang cukup.

Jadi, dapat dilakukan penyimpangan terhadap batas umur untuk melakukan perkawinan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan. Permintaan dispensasi (untuk perkawinan di bawah umur) tersebut harus dilakukan oleh orang tua pihak laki-laki dan atau orang tua pihak perempuan dengan alasan yang sangat mendesak disertai dengan bukti-bukti pendukung yang cukup.

Dengan kata lain, Anda tidak dapat mengajukan permintaan dispensasi tanpa alasan yang mendesak.

Selain itu, menurut hemat kami, untuk melaksanakan perkawinan di bawah umur 21 tahun, juga harus dengan persetujuan dari orang tua anak laki-laki tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pengaturan Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa:

Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Berdasarkan hal-hal yang kami uraikan di atas, jika Anda hendak menikahkan putri Anda dengan anak laki-laki tersebut, sebaiknya Anda membicarakan hal ini secara baik-baik dengan anak laki-laki tersebut dan orang tuanya.

Langkah Hukum Menuntut Pacar Anak Anda Melalui Jalur Pidana

Sebagai upaya terakhir, jika putri Anda belum berusia 18 tahun, Anda juga dapat menempuh jalur pidana yaitu dengan melaporkan si laki-laki kepada kepolisian atas dasar dugaan tindak pidana persetubuhan dengan anak sebagaimana disebut dalam Pasal 76D UU 35/2014 yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Adapun sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelakunya diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) Perppu 1/2016 yang ditetapkan sebagai undang-undang oleh UU 17/2016:

  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Oleh karena itu, laki-laki tersebut dapat dituntut pidana jika dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak perempuan (yang masih termasuk anak) Anda untuk melakukan persetubuhan dengannya, berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 jo.Pasal 76D UU 35/2014, meskipun perempuan tersebut (anak Anda) tidak sampai hamil.

Baca juga: Sistem Peradilan Pidana Anak serta Pendekatan Restoratif dan Diversi

Demikian jawaban dari kami terkait pertanyaan menuntut pacar anak Anda sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan kedua kalinya diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

 

 Sumber:Hukum Online

Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya

 

Renie Aryandani, S.H.

Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

Apa itu Pelecehan Seksual

Disarikan dari Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, mengutip buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, karya R. Soesilo, istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian menurut R. Soesilo tersebut berarti segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang dikatakan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai “imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments”.

Lalu, menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.[1]

Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Jenis-jenis Pelecehan Seksual

Masih bersumber dari Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual, antara lain (hal. 4):

  1. perkosaan;
  2. intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan;
  3. pelecehan seksual;
  4. eksploitasi seksual;
  5. perdagangan perempuan untuk tujuan seksual;
  6. prostitusi paksa;
  7. perbudakan seksual;
  8. pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
  9. pemaksaan kehamilan;
  10. pemaksaan aborsi;
  11. pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
  12. penyiksaan seksual;
  13. penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
  14. praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
  15. kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Jerat Hukum Pelecehan Seksual dalam KUHP

Kemudian, pada dasarnya dalam hukum pidana di Indonesia tidak dikenal istilah pelecehan seksual, melainkan istilah perbuatan cabul dan kejahatan terhadap kesusilaan/tindak pidana kesusilaan. Perbuatan tersebut diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[2] yakni pada tahun 2026, sebagai berikut:

KUHPUU 1/2023

Pasal 281

Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta[3]:

  1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
  2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Pasal 406

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta[4] setiap orang yang:

a. melanggar kesusilaan di muka umum; atau

b. melanggar kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut.

Penjelasan Pasal 406 huruf a

Yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.

Pasal 289

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Pasal 414

(1)Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:

a. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta;[5]

b. secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atau

c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

(2) Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Pasal 290

Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun:

  1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
  2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
  3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Pasal 415

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, setiap orang yang:

a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya; atau

b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga anak.

 

Penjelasan Pasal 415

Yang dimaksud dengan "perbuatan cabul" adalah kontak seksual yang berkaitan dengan nafsu birahi, kecuali perkosaan.

Pasal 291

  1. Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun;
  2. Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Pasal 416

  1. Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 dan Pasal 415 mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
  2. Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 dan Pasal 415 mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Pasal 292

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

 

Pasal 293

  1. Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
  2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
  3. Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan dan 12 bulan.

Pasal 417

Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga anak, untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Penjelasan Pasal 417

Tindak pidana dalam ketentuan ini adalah perbuatan menggerakkan seseorang yang belum dewasa, belum kawin, dan berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 294

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama:

  1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
  1. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Pasal 418

1. Setiap orang yang melakukan percabulan dengan anak kandung, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh atau dididik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

2. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun:

a. Pejabat yang melakukan percabulan dengan bawahannya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; atau

b. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada Lembaga pemasyarakatan, lembaga negara, tempat latihan karya, rumah pendidikan, rumah yatim dan/atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga, rumah, atau panti tersebut.

 

Penjelasan Pasal 418 ayat (1)

Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini dikenal dengan inses.

Pasal 295

(1) Diancam:

  1. dengan pidana penjara paling lama 5 tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
  2. dengan pidana penjara paling lama 4 tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.

 

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

Pasal 419

  1. Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh dengan orang yang diketahui atau patut diduga anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Pasal 296

Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.[6]

Pasal 420

Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.

 

Pasal 421

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419 atau Pasal 420 dilakukan sebagai kebiasaan atau untuk menarik keuntungan sebagai mata pencaharian pidananya dapat ditambah 1/3.

Penjelasan Pasal 421

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberantas tempat pelacuran.

 

Pasal 422

  1. Setiap orang yang menggerakkan, membawa, menempatkan, atau menyerahkan anak kepada orang lain untuk melakukan percabulan, pelacuran, atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menjanjikan anak memperoleh pekerjaan atau janji lainnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

Penjelasan Pasal 422

Termasuk Tindak Pidana ini adalah mengirimkan laki-laki atau perempuan yang belum dewasa itu ke daerah lain
atau ke luar negeri guna melakukan pelacuran atau perbuatan lain yang melanggar kesusilaan

 

Pasal 423

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 sampai dengan Pasal 422 merupakan tindak pidana kekerasan seksual.


Jadi, pelaku pelecehan seksual dapat dijerat dengan menggunakan pasal percabulan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 s.d. 296 KUHP atau Pasal 406 s.d. 423 UU 1/2023 dengan tetap memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing-masing. Jika bukti-bukti dirasa cukup, penuntut umum akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.

Selengkapnya mengenai pasal-pasal kejahatan terhadap kesusilaan dapat Anda baca dalam Bab XIV KUHP dan Bab XV UU 1/2023.

Jerat Hukum Pelecehan Seksual dalam UU TPKS

Dalam UU TPKS, pelecehan seksual adalah salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik dan pelecehan seksual non-fisik,[7] sebagai berikut:

  1. Pelecehan seksual non-fisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.[8] Adapun contoh perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.[9] Lalu, berdasarkan Pasal 5 UU TPKS, orang yang melakukan pelecehan seksual non-fisik bisa dipidana penjara maksimal 9 bulan dan/atau denda maksimal Rp10 juta.
  1. Pelecehan seksual fisik terdiri dari tiga bentuk yaitu:[10]
  • Perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Menurut Pasal 6a UU TPKS, orang yang melakukan perbuatan ini dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp50 juta.
  • Perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Orang yang melakukan perbuatan ini berpotensi dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp30 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 6b UU TPKS.
  • Penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau orang lain. Menurut Pasal 6c UU TPKS, perbuatan ini dapat dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp300 juta.

Sebagai informasi, jika merujuk pada asas lex specialis derogat legi generali, maka ketentuan yang berlaku adalah UU TPKS karena merupakan peraturan yang secara khusus mengatur tentang pelecehan seksual. Walau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur pelecehan seksual sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 serta UU TPKS. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.

Pembuktian Pelecehan Seksual

Menjawab pertanyaan Anda terkait pembuktian pelecehan seksual, pembuktian pelecehan seksual dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 KUHAP, menggunakan 5 macam alat bukti, yaitu:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Baca juga: Alat Bukti Sah Menurut Pasal 184 KUHAP

Terkait saksi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 65/2010 memperluas makna definisi saksi dalam KUHAP, sehingga yang dimaksud dengan saksi termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (hal. 92).

Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa Visum et Repertum. Menurut Kamus Hukum oleh J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo, Visum et Repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan.

Meninjau pada definisi di atas, maka Visum et Repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP. Penggunaan Visum et Repertum sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP:

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, hakim yang akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan.

Baca juga: Pengakuan Pelaku Cabul dan Visum et Repertum sebagai Alat Bukti

Adapun alat bukti dalam UU TPKS, diatur dalam Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
      1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
      2. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
      3. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
  2. Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.
  3. Termasuk alat bukti surat yaitu:
      1. surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
      2. rekam medis;
      3. hasil pemeriksaan forensik; dan/atau
      4. hasil pemeriksaan rekening bank.

Langkah Hukum Jika Menjadi Korban Pelecehan Seksual

  1. Menghubungi Orang Terpercaya

Pertama-tama, korban pelecehan seksual dapat terlebih dahulu menghubungi keluarga terdekat atau kerabat terpercaya guna memberitahukan kejadian tersebut. Mungkin bagi sebagian korban, terasa sulit untuk menceritakan kembali kejadian pelecehan seksual yang dialami dengan berbagai kondisi takut, cemas, trauma, dan lain-lain. Namun demikian, korban pelecehan seksual tetap memerlukan support dari orang terpercaya.

  1. Laporkan Tindakan Tersebut Ke Polisi

Korban dapat mendatangi kantor kepolisian terdekat di sekitar tempat tinggal, korban juga bisa membawa kerabat maupun keluarga yang sebelumnya telah mengetahui kronologi kejadian secara lengkap. Jika pelecehan seksual berupa tindakan fisik, korban wajib melaporkan kasus tersebut sesegera mungkin karena berkaitan dengan proses Visum et Repertum untuk alat bukti. Prosedur melaporkan tindak pidana ke kantor polisi dapat Anda baca pada artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.

  1. Menunggu Hasil Penyidikan

Proses ini membutuhkan kesabaran ekstra di dalamnya. Pasalnya, dalam praktiknya, dibutuhkan waktu kurang lebih selama 3 bulan untuk melanjutkan kejadian tersebut ke meja hijau dan memulai persidangan pertama hingga pelaku dijerat menggunakan pasal pelecehan seksual.

  1. Hilangkan Rasa Trauma

Langkah lainnya yang tak kalah penting adalah menghilangkan atau mengatasi rasa trauma, takut, cemas pasca kejadian pelecehan seksual. Korban dapat mencari bantuan konseling ke psikolog atau dokter guna mengembalikan kondisi mental.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

Referensi:

  1. J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009;
  2. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, yang diakses pada Kamis, 22 Februari 2024 pukul 14.00 WIB.

[1] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, hal. 6

[4] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023

[5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023

[6] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1000 kali

[8] Pasal 5 UU TPKS

[9] Penjelasan Pasal 5 UU TPKS

[10] Pasal 6 UU TPKS

 

Sumber:Hukum Online