Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Apa itu Pelecehan Seksual
Disarikan dari Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, mengutip buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, karya R. Soesilo, istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian menurut R. Soesilo tersebut berarti segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang dikatakan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai “imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments”.
Lalu, menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.[1]
Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
Jenis-jenis Pelecehan Seksual
Masih bersumber dari Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual, antara lain (hal. 4):
- perkosaan;
- intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan;
- pelecehan seksual;
- eksploitasi seksual;
- perdagangan perempuan untuk tujuan seksual;
- prostitusi paksa;
- perbudakan seksual;
- pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
- pemaksaan kehamilan;
- pemaksaan aborsi;
- pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
- penyiksaan seksual;
- penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
- praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
- kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Jerat Hukum Pelecehan Seksual dalam KUHP
Kemudian, pada dasarnya dalam hukum pidana di Indonesia tidak dikenal istilah pelecehan seksual, melainkan istilah perbuatan cabul dan kejahatan terhadap kesusilaan/tindak pidana kesusilaan. Perbuatan tersebut diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[2] yakni pada tahun 2026, sebagai berikut:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta[3]:
| Pasal 406 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta[4] setiap orang yang: a. melanggar kesusilaan di muka umum; atau b. melanggar kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut. Penjelasan Pasal 406 huruf a Yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. |
Pasal 289 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. | Pasal 414 (1)Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: a. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta;[5] b. secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atau c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. (2) Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. |
Pasal 290 Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun:
| Pasal 415 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, setiap orang yang: a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya; atau b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga anak.
Penjelasan Pasal 415 Yang dimaksud dengan "perbuatan cabul" adalah kontak seksual yang berkaitan dengan nafsu birahi, kecuali perkosaan. |
Pasal 291
| Pasal 416
|
Pasal 292 Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. | |
Pasal 293
| Pasal 417 Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga anak, untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Penjelasan Pasal 417 Tindak pidana dalam ketentuan ini adalah perbuatan menggerakkan seseorang yang belum dewasa, belum kawin, dan berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. |
Pasal 294 (1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama:
| Pasal 418 1. Setiap orang yang melakukan percabulan dengan anak kandung, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh atau dididik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. 2. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun: a. Pejabat yang melakukan percabulan dengan bawahannya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; atau b. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada Lembaga pemasyarakatan, lembaga negara, tempat latihan karya, rumah pendidikan, rumah yatim dan/atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga, rumah, atau panti tersebut.
Penjelasan Pasal 418 ayat (1) Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini dikenal dengan inses. |
Pasal 295 (1) Diancam:
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga. | Pasal 419
|
Pasal 296 Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.[6] | Pasal 420 Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. |
Pasal 421 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419 atau Pasal 420 dilakukan sebagai kebiasaan atau untuk menarik keuntungan sebagai mata pencaharian pidananya dapat ditambah 1/3. Penjelasan Pasal 421 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberantas tempat pelacuran. | |
Pasal 422
Penjelasan Pasal 422 Termasuk Tindak Pidana ini adalah mengirimkan laki-laki atau perempuan yang belum dewasa itu ke daerah lain | |
Pasal 423 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 sampai dengan Pasal 422 merupakan tindak pidana kekerasan seksual. |
Jadi, pelaku pelecehan seksual dapat dijerat dengan menggunakan pasal percabulan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 s.d. 296 KUHP atau Pasal 406 s.d. 423 UU 1/2023 dengan tetap memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing-masing. Jika bukti-bukti dirasa cukup, penuntut umum akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.
Selengkapnya mengenai pasal-pasal kejahatan terhadap kesusilaan dapat Anda baca dalam Bab XIV KUHP dan Bab XV UU 1/2023.
Jerat Hukum Pelecehan Seksual dalam UU TPKS
Dalam UU TPKS, pelecehan seksual adalah salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik dan pelecehan seksual non-fisik,[7] sebagai berikut:
- Pelecehan seksual non-fisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.[8] Adapun contoh perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.[9] Lalu, berdasarkan Pasal 5 UU TPKS, orang yang melakukan pelecehan seksual non-fisik bisa dipidana penjara maksimal 9 bulan dan/atau denda maksimal Rp10 juta.
- Pelecehan seksual fisik terdiri dari tiga bentuk yaitu:[10]
- Perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Menurut Pasal 6a UU TPKS, orang yang melakukan perbuatan ini dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp50 juta.
- Perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Orang yang melakukan perbuatan ini berpotensi dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp30 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 6b UU TPKS.
- Penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau orang lain. Menurut Pasal 6c UU TPKS, perbuatan ini dapat dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp300 juta.
Sebagai informasi, jika merujuk pada asas lex specialis derogat legi generali, maka ketentuan yang berlaku adalah UU TPKS karena merupakan peraturan yang secara khusus mengatur tentang pelecehan seksual. Walau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur pelecehan seksual sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 serta UU TPKS. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.
Pembuktian Pelecehan Seksual
Menjawab pertanyaan Anda terkait pembuktian pelecehan seksual, pembuktian pelecehan seksual dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 KUHAP, menggunakan 5 macam alat bukti, yaitu:
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
Baca juga: Alat Bukti Sah Menurut Pasal 184 KUHAP
Terkait saksi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 65/2010 memperluas makna definisi saksi dalam KUHAP, sehingga yang dimaksud dengan saksi termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (hal. 92).
Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa Visum et Repertum. Menurut Kamus Hukum oleh J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo, Visum et Repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan.
Meninjau pada definisi di atas, maka Visum et Repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP. Penggunaan Visum et Repertum sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, hakim yang akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan.
Baca juga: Pengakuan Pelaku Cabul dan Visum et Repertum sebagai Alat Bukti
Adapun alat bukti dalam UU TPKS, diatur dalam Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut:
- Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
- alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
- alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
- Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.
- Termasuk alat bukti surat yaitu:
- surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
- rekam medis;
- hasil pemeriksaan forensik; dan/atau
- hasil pemeriksaan rekening bank.
Langkah Hukum Jika Menjadi Korban Pelecehan Seksual
- Menghubungi Orang Terpercaya
Pertama-tama, korban pelecehan seksual dapat terlebih dahulu menghubungi keluarga terdekat atau kerabat terpercaya guna memberitahukan kejadian tersebut. Mungkin bagi sebagian korban, terasa sulit untuk menceritakan kembali kejadian pelecehan seksual yang dialami dengan berbagai kondisi takut, cemas, trauma, dan lain-lain. Namun demikian, korban pelecehan seksual tetap memerlukan support dari orang terpercaya.
- Laporkan Tindakan Tersebut Ke Polisi
Korban dapat mendatangi kantor kepolisian terdekat di sekitar tempat tinggal, korban juga bisa membawa kerabat maupun keluarga yang sebelumnya telah mengetahui kronologi kejadian secara lengkap. Jika pelecehan seksual berupa tindakan fisik, korban wajib melaporkan kasus tersebut sesegera mungkin karena berkaitan dengan proses Visum et Repertum untuk alat bukti. Prosedur melaporkan tindak pidana ke kantor polisi dapat Anda baca pada artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
- Menunggu Hasil Penyidikan
Proses ini membutuhkan kesabaran ekstra di dalamnya. Pasalnya, dalam praktiknya, dibutuhkan waktu kurang lebih selama 3 bulan untuk melanjutkan kejadian tersebut ke meja hijau dan memulai persidangan pertama hingga pelaku dijerat menggunakan pasal pelecehan seksual.
- Hilangkan Rasa Trauma
Langkah lainnya yang tak kalah penting adalah menghilangkan atau mengatasi rasa trauma, takut, cemas pasca kejadian pelecehan seksual. Korban dapat mencari bantuan konseling ke psikolog atau dokter guna mengembalikan kondisi mental.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.
Referensi:
- J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009;
- Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, yang diakses pada Kamis, 22 Februari 2024 pukul 14.00 WIB.
[1] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, hal. 6
[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)
[3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1000 kali
[4] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023
[5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023
[6] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1000 kali
[7] Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”)
[8] Pasal 5 UU TPKS
[9] Penjelasan Pasal 5 UU TPKS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar