Cari Blog Ini

Selasa, 28 November 2017

Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi


BAB I
PENDAHULUAN
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa ‘korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”
A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.
Dewasa ini korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, seperti meningkatkan penerimaan pajak dan standar hidup masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, serta berkontribusi positif terhadap pertumbuhan suatu negara. Bahkan, dalam beberapa aspek peranan korporasi melebihi peranan dan pengaruh suatu negara.
Namun demikian, peranan penting dan positif korporasi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara seringkali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran yang mengarah pada hukum pidana. Tidak jarang korporasi melakukan unfair business yang tidak hanya merugikan suatu negara dan konsumen, tapi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Ketika korporasi melakukan tindak pidana, maka ia dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan baik ditujuukan kepada pengurusnya maupun ditujukan langsung kepada korporasi.
Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum pidana bukan merupakan hal baru dan tidak menimbulkan persoalan hukum yang berarti. Permasalahan baru muncul manakala korporasi melakukan tindak pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.
Atas dasar perbuatan dari tindakan kejahatan korporasi, menimbulkan pertanyaan besar bagaimanakah pengaturan sanksi pidana terhadap korporasi? Apakah cukup memadai pengaturan sanksi pidana pada korporasi dan model sanksi pidana manakah yang ideal dan dapat diterapkan terhadap korporasi, dalam rangka menanggulangi kejahatan korporasi dan bagaimanakah pertanggung jawaban pidana korporasi?.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian tindak pidana korporasi
Dalam Black’s Law Dictionary, Any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”. Artinya Setiap tindak pidana yang dilakukan dan karenanya dibebankan kepada perusahaan karena kegiatan pejabat atau karyawan (misalnya, penetapan harga, pembuangan limbah beracun), sering disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Satjipto Rahardjo, Badan hasil ciptaan hukum yang terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya unsur memasukkan unsur animus yang membuat badan mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka oleh penciptanya kematiannya ditentukan oleh hukum.
Chidir Ali, Hukum memberikan kemungkinan dengan memenuhi syarat – syarat tertentu bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawahan dan karenanya dapat menjalankan hak – hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggung jawabkan, namun demikian badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantaraan orang biasa. Akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggungjawaban korporasi.
Bismar Nasution dalam paper ”kejahatan korporasi dan pertanggungjawabannya” memberikan ilustrasi yang panjang mengenai kejahatan korporasi. Menurutnya kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Bahwa Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya.
Pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi , siapa yang akan bertanggungjawab ? Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?
B.Masalah Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi
Adanya pergeseran pandangan bahwa korporasi juga merupakan subjek hukum pidana disamping manusia alamiah. Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non protest sudah mengalami perubahaan dengan menerima konsep pelaku fungsional. Sehubungan dengan penerimaann konsep pelaku fungsional tersebut, bagaimanakah pertanggung jawaban korporasi dalam hukum pidana? Dikemukakan dalam rangka fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana korporasi.
1.Penentuan kapan suatu korporasi dinyatakan sebagai pelaku atau telah melakukan tindak pidana dan kapan suatu tindak pidana telah dilakukan atas nama suatu korporasi merupakan hal yang harus dirumuskan secara tegas seperti terdapat pada undang-undang telekomunikasi, usaha perasuransian, pengelolaan lingkungan hidup dan pemberantasan tindak pidana ekonomi serta pemberanntasan tindak pidana korupsi. Sebab rumusan yang tidak tegas seperti yang terdapat dalam undang-undang pasar modal, undang-undang larangan praktik monopoli dan perasaingan usaha tidak sehat akan menimbulkan persoalan dalam penegakan hukum.
2.Kriteria-kriteria apa yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk dapat digunakan sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi. Sebab pertanggung jawaban dalam hukum pidana senantiasa dikaitkan dengan masalah kesalahan, yaitu mennyangkut kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan atau kealpaan dan unsur ketiadaan alasan pemaaf
3.Pidana apakah yang lebih tepat untuk dikenakan terhadap korporasi.
Didalam pertanggungjawaban pidana mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:
a.Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
b.Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;
c.Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab;
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus lah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu di ancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaraan, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan, karenanya penguruslah yang diacam pidana dan dipidana.
Ketentuan yang mengatur hal tersebut diatas dianut oleh KUHP, seperti misalnya Pasal 169 KUHP, Pasal 398 dan 399 KUHP.
Pasal 169 KUHP berbunyi:
1.Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum di ancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2.Turut seta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan pelanggaran, di ancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3.Terhadap pendiri atau pengurus, pidana dapat di tambah sepertiga.
Pasal 169 KUHP adalah pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum, yaitu turut serta dalam perkumpulan yang terlarang. Apabila dilakukan oleh pengurus atau pendiri perkumpulan/korporasi tersebut, maka ada pemberantasan pemidanaan, yaitu terhadap pendiri atau pengurus suatu korporasi apabila melakukan suatu tindak pidana yaitu turut serta dalam perkumpulan yang terlarang pidananya lebih berat bila dibandingkan dengan bukan pendiri atau pengurus. Jadi demikian, yang dapat dimintain pertanggungjawaban dan dipidana adalah orang/pengurusannya dan bukan korporasi itu sendiri.
Pasal 398 KUHP berbunyi : “seseorang pengurus atau komisaris perseorangan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan di ancaman dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”:
1.Jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar kerugian diderita oleh perseroan maskapai atau pekumpulan.
2.Jika yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseorangan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahuinya tak dapat dicegah keadaan pailit atau penyelesainnya.
3.Jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang diterangkan dalam pasal 6 ayat pertama Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan pasal 27 ayat pertama Ordonasi tentang Makapai Andil Indonesia, atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan tulisan yang disimpan menurut pasal tadi tidak dapat diperlihatkan dalam keadaan takberubah.
Pasal tersebut juga menerangkan tidak membebankan tanggungjawab pidana pada korporasinya, tetapi pada pengurus atau komisarisnya, hal serupa juga terdapat dalam ketentuan pasal 399 KUHP, yaitu merupakan tindak pidana yang menyangkut pengurus atau perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Dalam ketentuan KUHP tersebut jelas menganut subjek dalam hukum pidana adalah orang, hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 KUHP. Dalam hal ini badan hukum (korporasi) tak dapat dipidana karena pertanggung jawaban korporasi belum dikenal, dengan pengaruh yang sangat kuat asas societes deliquere non potest. Yaitu bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas societes deliquere non potest.
Omar Seno Adji, Guru besar hukum pidana Universitas Indonesia dan mantan ketua Mahkamah Agung RI, menyatakan…..kemungkinan adannya pemidanaan terhadap persekutuan, ia didasarkan tidak saja atas pertimabangan utilitis, melainkan atas dasar yang teroritis dapat dibenarkan.
Korporasi dapat di pertanggungjawabkan secara pidana jika kita lihat dengan menghubungkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menganut bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara langsung.
Contoh ketentuan yang menentukan korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:
1.Undang-undang No 7 Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (pasal 5);
2.Undang-undang No 6 Tahun 1984, tentang Pos (pasal 19 ayat (3));
3.Undang-undang No 5 Tahun 1997, tentang Psikotropika (pasal 5 ayat (3));
4.Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (pasal 20);
5.Undang-undang No. 15 Tahun 2003 jo. Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (pasal 4 ayat (1));
Permasalahan selanjutnya yaitu kapankah suatu korporasi dapat dikatakan melakukan suatu tindak pidana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka untuk tindak pidana ekonomi diatur dalam Pasal 15 ayat (2), yaitu berbunyi ;
“suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu atas nama badan hukum, suatu perseroaan, suatu perikatan orang, atau suatu yayasan, jika tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroaan, perikatan atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.”
Setelah melihat rumusan dalam pasal 15 ayat (2), tenyata belum jelas mengenai ketegasan dalam batasan atau ukuran yang dipakai untuk menentukan suatu tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh suatu badan hukum atau korporasi. Hanya saja, dikatakan batasan atau ukurannya disebutkan, yaitu ;
1.Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain ; atau
2.Berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum.
Dalam hubungan nya dengan batasan adanya ‘hubungan kerja’, suprapto dalam disertasinya yang berjudul Hukum Pidana Ekonomi Ditinjau dalam Rangka Pembangunan Nasional, menyatakan ;
‘ini adalah suatu fiksi, ialah dalam hal ini suatu badan dianggap melakukan hal yang tidak dilakukannya, tetapi dilakukan oleh orang yang ada dalam hubungan kerja pada badan itu”
Selanjutnya ada “hubungan lain” dikatakan oleh suprapto :
“Keganjilan lebih menonjol bilamana digunakan dasar “hubungan lain” yang disebut dalam pasal 15 ayat (2) untuk mempertanggungjawabkan suatu badan atas perbuatan orang lain. Hubungan lain itu misalnya terdapat perseroan terbatas dan seseorang yang mewakilinya dalam penjualan barang-barangnya, yang hanya mendapat komisi (commissie agent), jadi tidak dalam hubungan kerja dengna badan tersebut”
Sehubungan dengan “orang yang bertindak dalam hubungan lain-lain” A.Z. Abidin memberikan jalan keluarnya untuk menghindari pengertian yang luas, yaitu terhadap “orang melakukan kejahatan dalam hubungan lain” dengan korporasi, perlu dibatasi sehingga hanya orang yang melakukan kejahatan ekonomi dalam Hubungan fungsional dengan korporasi yang dapat melibatkan korporasi dalam kejahatan yang dibuat orang itu (in the course of carrying on the affairs of the corporation)
Hampir senada, tenttang delik-delik yang tidak dapat dilakukan korporasi, maka sudarto menyatakan dalam sistem hukum inggris korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi dalam melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasnya. Delik –delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik :
1.Yang satu-satunya ancaman pidanannya hanya bisa dilakukan kepada orang biasa, misalnya pembunuhan (Murder, manslaughter);
2.Yang hanya bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya perkosaan
Menurut Andi Hamzah, patut pula diingat bahwa korporasi itu tidaka mungkin dipidana, karena jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh korprorasi, delik itu harus ada ancamana pidana alternatif dendanya. Apabila korporasi dapat diperatanggungjawabkan untuk seluruh macam delik, maka seluruh rumusan delik didalam KUHP harus ada pidana alternatif denda sebagaimana hanya dengan W.v.s belanda sekarang ini.
Berdasarkan hal tersebut maka korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik seperti di negera belanda, tetapi harus ada pembatasan, yaitu delik-delik yang bersifat personal yang menurut kodratnya dapat dilakukan oleh manusia, seperti perkosaan, dan pembunuhan, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
Menyangkut pertanggungjawaban korporasi dapat dikemukakan suatu ilustrasi yang sangat menarik dibidang pidana ekonomi yang menimbulkan perbedaan pendapat antara Suprapto dan Roeslan Saleh. Kasusnya sebagai bertikut:
“seorang manejer dari suatu perusahaan menjual suatu jenis barang dengan harga lebih tinggi dari pada harga tertinggi yang diperkenankan oleh pemerintah. Menaikkan harga terlarang itu tidak sepengetahuan direktur PT dan jika ia mengetahui tentu akan menggagalkannya.”
Menanggapi kasus ini, khsususnya mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum, Suprapto pada intinya berpendapat bahwa tidaklah mungkin badan hukum dipertanggungjawabkan juga atass perbuatan orang lain(manejer) yang dilakukan dengan sengaja. Hal ini di anggap tidak mungkin karena badan hukum tidak ada unsur kesengajaan. Jadi suprapto berkata walaupun sebenarnya delik ekonomi itu ( yaitu dengan sengaja menaikkan harga terlaran) dilakukan oleh manejer yang ada hubungan kerja dengan PT sebagai badan hukum, seperti disebut dalam pasal 15 ayat 2 undang-undang tindak pidana ekonomi, namun tetap badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila ternyata tidak ada unsur kesengajaan pada PT (badan hukum) itu di konstruksikan pada tidak adanya kesengajaan pada diri direktur PT.
Suprapto menyatakan pendapatnya sebagai berikut :” jika badan termasuk harus pula bertanggungjawab atas perbuatan seseorang yang melakukan perwakilan untuknya seperti tersebut di atas, dapatlah di mengerti bahwa terlalu jauh diperluasnya pertanggungjawaban.”
C.Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif sudah diakui, bahwa korporasi dapat di pertanggung jawabkan secara pidana dan dapat dijatuhkan pidana. Di negara belanda untuk menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana beradasarkan pada Arrest “Kleuterschool babel”, yang menyatakan bahwa perbuatan dari pererorangan/orang pribadi dapat dibebankan pada badan hukum/ korporasi apabila perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari badan hukum.
Manejer sekaligus kepala bagian belanja suatu perusahaan ekspor pada tahun 1952 hendak memperoleh izin ekspor dan/atau devisa untuk mengespor sejumlah partai kawat yang dilapisi seng finlandia. Untuk keperluan itu dia mengisi formulir-formulir yang dialamatkan kepada dinas impor dan ekspor pusat di s’Gravenhage dengan menerangkan bahwa barang tersebut berasal dari belanda, yang sepenuhnya dibuat diperusahaannya sendiri di negara Belanda, walaupun barang-barang itu impor dari berlgia dengan membayar memakai valuta belgia. Di hadapan pengadilan pemilik perusahaan yang pemiliknya memang tunggal, bahwa dialah yang sebagai pemilik perusahaan itu bertanggung jawab mengenai apa yang telah dilakukan oleh manejer ekspor sekaligus kepala belanjanya (kepala pemasaran), pada tahun 1952 telah diserahi kekuasaan penuh. Karena dia telah menyerahkan kepadanya untuk mengurusi masalah ekspor dan untuk meminta izin ekspor dan devisa.
Pengdilan rendahan yang menjatuhkan pidana bagi pengusaha tersebut, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dalam suatu perusahaan dengan pemilim tunggal apabila dibawahnya melakukan suatu perbuatan yang masih dalam hubungan kerja, sebagai akibat dari perintah umum, dalam suasana perusahaan itu harus dianggap sebagai dilakukan oleh pemilik perusahaan yang merupakan milik tunggal tersebut.
Pada tingkat banding, pengadilan menjatuhkan pidana pada sipemilik perusahaan tersebut. Pertimbangan yang menyatakan bahwa apabila hukum pidana dalam bidang hukum ekonomi sering menggunakan istilah kolektif, hampir selalu orang-orang melakukan perbuatan secara tidak langsung. Akan tetapi, sering kali melalui seseorang atau lebih perantara, sehingga mengakibatkan bahwa yang dianggap sebagai “Pleger’ dari perbuatan yang terlarang tersebut ialah pemilik perusahaan. Walaupun pemilik perusahaan itu tidak mengetahui terjadinya perbutan terlarang tersebut, yang sesungguhnya ia tidak memeberi perintah secara khusus kepada bawahannya. Pada tingkat kasasi, pertimbangan hakim/ pengadilan rendahan dan pengadilan tinggi tersebut sebagai suatu yang tidak adil.
Dari putusan tersebut diatas dapat diambil dua kriteria untuk menetapkan tanggungjawab pemilik perusahaan sebagai pemilik tunggal terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya. Kriteria tersebut ialah:
1.Tertuduh dapat mengatur apakah perbuatan tersebut terjadi atau tidak;
2.Perbuatan itu termasuk perbuatan yang terjadi menurut perkembangan selanjutnya oleh tertuduh diterima atau biasa diterima.
Kedua kriteria tersebut dapat digunakan dalam delik fungsional, dimana pembuat fungsional dapat menempati kedudukan sebagai Pleger (pelaku).
1.Kesengajaan dan Kealpaan pada Korporasi
Apabila suatu badan hukum dituntut telah melakukan suatu tindak pidana baik yang dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan, pertanyaan akan timbul apakah dan bagaimanakah badan hukum/korporasi yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan (menselijke psyche), dan unsur-unsur Psychis (de pyshische bestanddelen), dapat memenuhi unsur kesengajaan atau “opzet” dan kealpaan?
Sangat sulit untuk menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan pada badan hukum pertama-tama berbeda jika kesengajaan itu pada kenyataanya terletak dalam politik perusahaan, atau berada dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Dalam hubungan ini adanya suatu macam “suasana kejiwaan” (pyscheschklimaat) yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan kita pada suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar (koppelbazen B.V), yang ‘didirikan untuk melakukan kekacauan”. Oleh karena itu , dengan melihat kenyataan tesebut, maka perusahaan tidak dapat menjalankan perusahaannya.
Kejadian tersebut harus diselesaikan dengan konstruksi pertanggung jawaban, kesengajaan dari perorangan yang bertindak atas nama perserikatan/badan usaha, dimana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut.
Suprapto menyatakan, jika hukum memperkenankan badan-badan melakukan perbuatan-perbuatan sebagai orang-orang, dengan melalui alat-alatnya, maka dapatlah dimengerti, bahwa pada badan-badan bisa didapatkan kesalahan apabila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individual, karena hal ini mengenai badan sebagai seuatu Kolektivitet, dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dibebankan kapada pengurusnya.
Di Indonesia badan hukum publik berupa negara di samping badan-badan negara. Provinsi atau daerah tingkat II baik kabupaten maupun kota merupakan badan hukum publik. Apabila badan hukum tersebut melakukan suatu tindak pidana apakah dapat dipertanggungjawabkan secara pidana? Apabila badan hukum publik tersebut sepanjang melakukan perbutan yang dilakukan dibidang lalu lintas prekonomia atau telah terjadi privatisasi dalam melakukan kegiatannya sehari-hari, yang tidak menyangkut kedudukan badan hukum tersebut sebagai penguasa, maka badan hukum tesebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan dapat dipidana. Apabila melakukan suatu tindak pidana, tetapi bertindak dengan kapasitas sebagai pengurus dengan tujuan untuk memelihara kepentingan umum/masyarakat, apabila melakukan suatu tindak pidana badan hukum tesebut tidak dapat dipidana dan dipertanggungjawabkan secara pidana.
2.Alasan Pengahapusan pidana pada Korporasi
Korporasi sebagai subjek hukum pidana pada dasarnya harus diakui korporasi dapat menunjuk pada alasan-alasan penghapus pidana yang berkaitan dengan gejala kejiwaan tertentu. Seperti keadaan sakit jiwa (Pasal 44 KUHP) maupun pembelaan yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP). Kedua alasan ini mensyaratkan adanya suatu keadaan kejiwaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia.
Sesuai dengan sifat kemandirian alasan-alasan penghapus pidana harus dicari pada korporasi itu sendiri. Mungkin terjadi pada diri seseorang terdapat alasan pengahapus pidana tetapi tidak demikian halnya pada korporasi, sekalipun berbuat orang tersebut telah dianggap sebagai perbuatan korporasi.
Sebagai contoh :
Seorang sopir truk terpaksa bersedia untuk mengangkut narkotik karena jiwa keluarganya terancam. Sementara itu perusahaan pengangkutan tempat sopir itu bekerja, atas dasar pertimbangan untuk memperoleh keuntungan telah membiarkan atau mengijinkan mengangkut narkotik tersebut padahal perusahaan tersebut sesungguhnya mampu untuk mencegah perbuatan pengangkutan narkotik tanpa perlu mengorbankan kepentingan pihak sopir sebagai karyawan perusahaan.
Dari contoh di atas, pada diri sopir terdapat situasi daya paksa (overmacht), sedangkan korporasi tetap dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Berbeda halnya apabila perusahaan membiarkan pengangkutan narkotik atas dasar pertimbangan untuk melindungi kepentingan sopir sebagai karyawan dan perusahaan tidak mampu mencegah pengangkutan narkotik itu, maka keadaan daya paksa pada diri sopir sebagai karyawan, sesungguhnya telah diambil alih oleh korporasi.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya alasan penghapus pidana pada korporasi tidak selalu dapat dicari secara terpisah antara perorangan dan korporasi, dalam beberapa hal mungkin terjadi suatu korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan .
D.Jenis-jenis (pidana) yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi dalam peraturan perundang-undangan Di Indonesia.
Kebijakan legislasi dalam peraturan perundang-udangan yang berlaku di Indonesia, yang mengatur tentang jenis sanksi pidana terhadap korporasi tenyata beravariasi, sebagai contoh dapat di kemukakan sebagai berikut :
1.Undang-undang No 7 Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
a.Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun (pasal 7 ayat (1) sub b);
b.Perampasan barang-barang yang tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. Sub d);
c.Pencabutan seluruh atau sebgaian hak- hak tetentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun (Pasal 7 ayat (1) sub e);
d.Pengumuman putusan hakim (Pasal 7 ayat (1) sub f);
e.Tindakan tata tertib, seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan, tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan hak jasa-jasa untuk memperabaiki akibat satu sama lain (Pasal 8 sub a, b, c, d); dan
f.Pidana denda, sebab menurut pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib dalam pasal 8 harus bersama-sama dengan sanksi pidana, dan sanksi pidana yang tepat dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda.
Catatan, sistem penjatuhan pidana yang dianut dalam Undang-undang Tindak pidana Ekonomi adalah “sistem dua jalur” atau “double track system” , artinya sanksi berupa pidana dan tindakan dijatuhkan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata tertib.\
2.Undang-undang No 6 tahun 1984 tentang pos
a.Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana denda; dan
b.Tindakan tata tertib (Pasal 19 ayat (3) jo pasal 19 ayat (1) dan (2)).
Dalam Undang-undang ini juga di anut Stelsel Pidana “sistem dua jalur, sama seperti dalam Tindak Pidana Ekonomi.
3.Undang-undang No 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.
Dapat dijatuhi hukuman;
a.Pidana denda (Pasal 20 ayat (1), ayat (3), pasal 22 ayat (1)); dan
b.Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha ketenagalistrikan (Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2)).
Dalam Undang-undang ini terdapat kelemahan pemidanaan khususnya terhadap Pemegang Kuasa Usaha Ketenegalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan, adalah tidak adanya ketentuan khusus mengenai sanksi pidana bagi korporasi yang ancaman pidananya tunggal yaitu pidana penjara (Pasal 21 ayat (2)). Disamping itu, juga tidak adanya aturan pengganti apabila denda tidak dibayar oleh korporasi.
4.Undang-undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
a.Menurut pasal 59 ayat (3), korporasi yang melakukan tindak pidana dalam pasal 59 hanya dikenakan dengan Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah);
b.Menurut pasal 70, korporasi yang melakukan tindak pidana dalam pasal 60 sampai dengan Pasal 64 dikenakan;
1.Pidana denda sebesar dua kali yang diancamkan; dan
2.Dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
5.Undang-undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
a.Pidana denda diperberat (pasal 78 ayat (4) samapai pada pasal 82);
b.Tidak ada ketentuan ekspilisit, bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan.
Barda Nawawi menyatakan bahwa dalam pasal 91 dikatan;
“penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam undang-undang ini, kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau denda tidak lebih dari 5.000.000,- (lima juta rupiah), dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang beralaku” dapat menjadi masalah, apakah dapat berlaku untuk korporasi atau tidak, karena dalam pasal itu tidak disebut ‘penjatuhan pidana terhadap korporasi”. Namun, dapat juga ditafsirkan berlaku untuk korporasi, karena pasal itu mengandung pernyataan umum tentanng penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam Undang-undang ini. Sekiranya Pasal 91 ini dimaksudkan juga untuk korporasi, hal ini masih menimbulkan masalah. Dikatakan masalah karena penjelasan pasal 91 menunjuk pada pidana pencabutan hak menurut KUHP, yaitu pasal 35 ayat (1) butir 1, butir2, dan butir 6, yaitu hak memegang jabatan; hak memasuki Angkatan bersenjata; dan hak menjalani pencarian tertentu. Padahal, pencabutan hak dalam KUHP itu bersifat individual, tidak ditujukan pada korporasi. Sehubungan dengan permasalahan diatas, seyogianya ditegaskan saja secara eksplisit, bahwa terhadap korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan, khususnya berupa pencabutan izin usaha.”
6.Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
1.Pidana pokok berupa pidana denda diperberat dengan sepertiga (pasal 45)
2.Tindakan tata tertib ( padal47 ) berupa ;
a.Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ; dan/atau
b.Penutupan perusahaan (seluruhnya/sebagian); dan/atau
c.Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d.Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
e.Meniadakan apaa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f.Menempatakan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
7.Undang-undang No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Untuk koprorasi dapat dijatuhi hukuman pidana denda (pasal 48). Disamping itu juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa;
a.Pencabutan izin usaha; atau
b.Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya lima tahun; atau
c.Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain (pasal 49).
Barda Nawawi menyatakan ;
“ Namun sangat disayangkan tindakan administratif tidak dapat diintegrasikan ke dalam sistem pertanggungjawaban pidana untuk korporasi. Artinya sanksi itu tidak merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim/pengadilan sekiranya korporasi diajukan sebagai pelaku tindak pidana. Seharusnya jenis sanksi “tindakan administratif” itu diintegrasikan dalam sistem sanksi pidana atau sistem pertanggung jawaban pidana, seperti “tindakan tata tertib” dalam UU Tindak Pidana Ekonomi (UU no 7 Drt. 1955).
8.Undang-undang No 8 tahun 1999 Pelindungan Konsumen
a.Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap “pelaku usaha” adalah pidana denda (Pasal 62);
b.Pidana tambahan, berupa ;
a)Perampasan barang tertentu;
b)Pengumuman keputusan hakim;
c)Pembayaran ganti rugi;
d)Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e)Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
f)Pencabutan izin usaha (pasal 63)
9.Undang-undang No 31 tahun 1999 jo undang-undang no 21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimummnya ditambah/diperberat 1/3 (satu pertiga) (pasal 20 ayat (7)).
Ketentuan tersebut cukup wajar sebab dari dua jenis pidan pokok yang diancamkan yaitu penjara dan denda, hanya pidana denda yang cocok dan dapat diterapkan untuk korporasi. Akan tetapi, juga dapat di pertimbangkan sebgaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1) dapat diterapkan terhadap korporasi, yaitu sanksi berupa penutupan perusahaan/korporasi untuk waktu tertentu atau pencabutan hak /izin usaha. Sebagai catatan pidana denda untuk korporasi tidak ditentukan ketentuan khusus tentang pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar korporasi. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena apabila denda tidak dibayar tunduk pada ketentuan Pasal 30 KUHP, yaitu diganti dengan kurungan pengganti denda selama 6 bulan, dan ini tidak dapat diterapkan terhadap korporasi dan hanya tepat diterapkan terhadap subjek tindak pidana berupa orang.
10.Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap badan usaha/badan hukum adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiga (pasal 56 ayat (2)). Dalam undang-undang ini pidana denda yang diancamkan paling tinggi Rp. 60.000.000.000,- (enam puluh miliar rupiah) (pasal 52, 54 dan 55).
11.Undang-undang No 15 tahun 2002 jo Undang-undang No 25 tahun Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pidana yang dapat di jatuhkan dalam undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah;
a.Pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah satu pertiga (pasal 5 ayat (1)).
b.Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi (pasal 5 ayat (2)).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
a.Pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat dilakukan oleh : korporasi, pengurus atau pengurus dan korporasi.
b.Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah denda dengan pemberatan yaitu ditambah 1/3 (sepertiga), tetapi tidak diatur bagaimana jika denda tidak dibayar oleh korporasi.
c.Pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh korporasi, untuk itu pidana berupa penutupan korporasi untuk jangka waktu tertentu, atau pencabutan ijin korporasi, atau pembatasan terhadap aktivitas korporasi dapat dijadikan alternatif pengganti.
d.Dari keseluruhan pidana yang dijatuhkan terhadap tindakan korporasi penjatuhan dari pidana yang di tentukan berupa denda dan pencabutan hak tertentu namun sanksi pidana terhadap orang yang menajalankan tindakan dari atas nama korporasi tersebut tidak diatur, melainkan masih menggunakan pidana umum yang di atur dalam KUHP.
Contoh seperti pembunuhan.
B. SARAN
Banyaknya masih kelemahan dalam beberapa peraturan khusus yang mengatur tentang perbuatan korporasi, baik itu kelemahan aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi, maupun kelemahan umum yang berpengaruh terhadap aturan pemidanaan
(pertanggungjawaban pidana) korporasi maka kita mengharapkan adanya satu peraturan khusus yang mengatur tentang Tindak Pidana Koprorasi.

DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Adji, Oemar Seno, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, jakarta.
Abidin, A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, jakarta.
Arief, Barda Nawawi., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Aditya Bakti, Bandung.
Hamzah,A, Tanggung Jawab Korporasai dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, jakarta .
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi,Kencana Prenada
Media Group,cetakan ke-2, jakarta.
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Ctk.
Pertama, Sekolah Tinggi Hukum Bandung.
Saleh, Roeslan. Tentang Tindak-tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta
;BPHN.
Setiyono. H, Kejahatan Korporasi ,Bayumedia Publishing, malang.
Suprapto, Hukum Pidana Ekonomi Ditinjau dalam Rangka Pembangunan Nasional, Widjaja,
Jakarta.
Sudarto, Pembidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Masalah-masalah Hukum, FH-UNDIP,
Semarang.
B.WEBSITE
Bismar Nasution, http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/




https://www.google.co.id/amp/s/aieadja44.wordpress.com/2012/10/23/pertanggungjawaban-tindak-pidaana-korporasi/amp/

Selasa, 29 Agustus 2017

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) BERDASARKAN UU. NO. 37 TAHUN 2004

Oleh : Arif Indra Setyadi

A.     Pengertian PKPU

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun PKPU ini sangat berkaitan erat dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) debitur terhadap hutang-hutangnya kepada pihak kreditor.

Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tundaan pembayaran hutang (suspension of payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim Pengadilan Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini pada dasarnya merupakan sejenis legal moratorium (rencana perdamaian).

B. Maksud dan Tujuan PKPU

Adapun yang menjadi maksud dan tujuan PKPU adalah sesuai dengan yang tercantum pada ketentuan pasal 222 ayat (2) dan (3) UU No. 37 Tahun 2004 :

“(2)  Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat 
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.

(3)     Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapatmelanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya."

Dimana dari pasal tersebut dapat diartikan bahwa secara umum, maksud dari PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk memungkinkan seseorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.

C.  Jenis-jenis PKPU

Berdasarkan sifatnya, PKPU dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :

1.      PKPU Sementara

Merupakan PKPU yang penetapannya dilakukan sebelum sidang dimulai, dan harus dikabulkan oleh pengadilan setelah pendaftaran dilakukan.

2.      PKPU Tetap

Merupakan PKPU yang ditetapkan setelah sidang berdasarkan persetujuan dari para kreditor.

D.  Para Pihak dalam PKPU

Para pihak yang terkait dalam PKPU antara lain adalah sebagai berikut :

1.      Debitor

Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan debitor adalah orang yang mempunyai hutang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.

Sesuai dengan pasal 222 UU No. 37 tahun 2004, debitor yang mempunyai lebih dari satu kreditor dapat mengajukan PKPU bila ia tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Maksud pengajuan oleh debitor ini ialah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Debitor yang mengajukan ini dapat berupa debitor perorangan ataupun debitor badan hukum

2.      Kreditor

Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka (2) UU No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.Kreditor dalam PKPU adalah :

a.       Kreditor separatis

Diatur dalam pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004. Yang dimaksud dengan kreditor separatis adalah kreditur yang memiliki jaminan hutang kebendaan (hak jaminan), seperti pemegang hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, dll.

b.      Kreditor preferen

Berdasarkan pada pasal 1139 dan pasal 1149 KUHPer, yang dimaksud dengan kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas sesuai dengan yang diatur oleh Undang-undang yang bersangkutan.

c.       Kreditor konkuren

Berdasarkan pada Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditor golongan ini adalah semua Kreditor yang tidak masuk Kreditur separatis dan tidak termasuk Kreditur preferen.

Berdasarkan pada pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.

3.   Bank Indonesia

      Apabila debitor adalah sebuah bank, maka bank Indonesia yang berwenang mengajukan PKPU. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)

4.   Badan pengawas pasar modal

      Apabila yang menjadi pihak debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)

5.   Menteri Keuangan

      Apabila yang menjadi debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)

6.   Hakim pengawas

      Selain mengangkat pengurus, setelah putusan PKPU sementara dikabulkan oleh pengadilan maka pada saat itu juga diangkat Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas ini pada dasarnya juga sama dengan tugas Hakim Pengawas dalam kepailitan, yaitu mengawasi jalannya proses PKPU. Apabila diminta oleh pengurus, Hakim pengawas dapat mendengar saksi atau memerintahkan pemerinsaan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU, dan saksi tersebut dipanggil sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hakim Pengawas setiap waktu dapat memasukkan ketentuan yang dianggap perlu untuk kepentingan Kreditor berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang tetap, berdasarkan:

a. prakarsa Hakim Pengawas

b. permintaan pengurus; atau

c. permintaan satu atau lebih Kreditor.

7.   Pengurus

      Adapun dengan mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam pasal 234 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, yang dapat menjadi pengurus adalah :

      Perorangan yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitur. Telah terdaftar pada departemen yang bersangkutan Pengurus harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitor atau kurator. (Pasal 234 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004)

8.   Panitia kreditor

      Menurut Pasal 231, Pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila :

a.   Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor; atau

b.   Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling sedikit ½ (satu per dua) bagian dari seluruh tagihan yang diakui.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pengurus harus meminta dan

mempertimbangkan saran dari panitia kreditor ini.

9.   Ahli

      Setelah PKPU dikabulkan Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta Debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Laporan ahli harus memuat pendapat yang disertai dengan alasan lengkap tentang keadaan harta Debitor dan dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor serta tingkat kesanggupan atau kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditor, dan laporan tersebut harus sedapat mungkin menunjukkan tindakan yang harus diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor. Laporan ahli harus disediakan oleh ahli tersebut di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma dan penyediaan laporan tersebut tanpa dipungut biaya.

E.   Prosedur PKPU

1.   Permohonan

Permohonan PKPU harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan hukum debitur dengan ketentuan :

a.       Apabila debitur telah meninggalkan wilayah Negara Indonesia, pengadilan yang berwenang untuk menjatuhkan permohonan putusan atas PKPU adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.

b.      Apabila debitur adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.

c.       Apabila debitur tidak berkedudukan di wilayah Negara Indonesia akan tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Indonesia, maka pengadilan yang berwenang memutuskannya adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur.

d.      Apabila debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukannya hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.Perlu diketahui juga bahwa permohonan ini juga harus dilampiri dengan rencana perdamaian.

Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat :

-     Sifat 

-     Jumlah piutang

-     Jumlah hutang debitor beserta surat bukti secukupnya, 

-     Dan apabila yang mengajukan permohonan adalah kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.

2.   Surat permohonan

Surat permohonan berikut lampirannya (bila ada) harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang secara cuma-cuma.
Sistematika dari surat permohonan PKPU itu sendiri paling tidak memuat hal-hal sebagai berikut :

a.   Tempat dan tanggal permohonan

b.   Alamat pengadilan Niaga yang berwenang

c.   Identitas Pemohon dan advokatnya

d.   Uraian tentang alasan permohonan PKPU

e.   Permohonan  Berisikan antara lain :

-  Mengabulkan permohonan pemohon

-  Menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus

f.    Tanda tangan debitor dan advokatnya

Sementara kelengkapan berkas yang harus disiapkan sebagai syarat permohonan PKPU pada Pengadilan Niaga, meliputi :

a.   Surat permohonan bermeterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga

b.   Identitas diri debitur

c.   Permohonan harus ditandatangani oleh Debitur dan Penasehat  Hukumnya

d.   Surat kuasa khusus yang asli (penunjukkan kuasa pada orangnya bukan kepada Law Firmnya)

e.   Ijin Penasehat Hukum/Kartu Penasehat Hukum

f.    Nama dan tempat tinggal/kedudukan para kreditur konkuren disertai jumlah tagihannya masing-masing pada debitur

g.   Neraca pembukuan terakhir

h.   Rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh  atau sebagian utang kepada Kreditur Konkuren (Jika ada).

3.   Pemeriksaan

Apabila permohonan PKPU dan kepailitan diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan PKPU haruslah diputus terlebih dahulu.

4.   PKPU (S) SEMENTARA

Sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam PKPU sementara adalah sebagai berikut :

a.       Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang HAKIM PENGAWAS dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 atau lebihPENGURUS yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.

b.      Dalam hal permohonan diajukan oleh kreditorpengadilan dalam waktu paling lambat 20 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU utang sementara dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.

c.       Segera setelah putusan PKPU sementara diucapkan, pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Dalam hal Debitor tidak hadir dalam sidang penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama.

d.      Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 surat kabar harian yang ditunjuk oleh hakim pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama hakim pengawas dan nama serta alamat pengurus. Apabila pada waktu PKPU sementara diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh debitor, hal ini harus disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan. PKPU sementara berlaku sejak tanggal putusan PKPU tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang.

e.       Pada hari sidang Pengadilan harus mendengar Debitor, Hakim Pengawas, pengurus dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Dalam sidang itu setiap Kreditor berhak untuk hadir walaupun yang bersangkutan tidak menerima panggilan untuk itu.

f.        Apabila rencana perdamaian dilampirkan pada PKPU sementara atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang dilangsungkan, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dilakukan, sepanjang belum ada putuan pengadilan yang menyatakan bahwa PKPU tersebut berakhir. jika kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan debitor, kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya.

5.   PKPU (T) TETAP

Adapun beberapa hal yang berkaitan dengan prosedur PKPU tetap adalah sebagai berikut :

a.       Bila PKPU tetap tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, maka dalam jangka waktu 45 hari terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan, maka debitor demi hukum dinyatakan pailit.

b.      Setelah dilakukan pemeriksaan, Majelis Hakim dapat mengabulkan PKPU sementara menjadi PKPU tetap dengan syarat sebagai berikut :

c.       Disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.

d.      Disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut

F.   Akibat Hukum dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Sejak diterimanya pemohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang oleh debitur, maka terjadilah beberapa akibat hukum terhadap debitur yang bersangkutan. Akibat hukum tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Debitor Kehilangan Independensinya

Berbeda dengan kepailitan dimana debitor menyerahkan kewenangan pengurusan harta kekayaan kepada kurator. Dalam PKPU, kewenangan dalam kepengurusan harta tersebut masih berada di tangan debitor itu sendiri. Hanya saja kebebasan debitor memang dibatasi dengan keberadaan pengurus selaku pengawas (Pasal 240 UU No. 37 Tahun 2004).

2.      Jika Debitur Telah Minta Dirinya Pailit, Dia Tidak Dapat Lagi Minta Penundaan Pembayaran Hutang

Apabila dalam persidangan debitur sudah langsung meminta dirinya untuk dipailitkan, maka ia tidak bisa lagi meminta PKPU untuk dilaksanakan.

3.      Jika Penundaan Pembayaran Hutang Berakhir, Debitur Langsung Pailit

Berdasarkan pada Pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga harus menyatakan debitur pailit selambat-lambatnya hari berikutnya (tanpa hak untuk mengajukan kasasi atau peninjauan kembali) apabila : Jangka waktu PKPU sementara berakhir karena kreditur konkuren tidak menyetujui pemberian PKPU secara tetap. Perpanjangan PKPU telah diberikan, akan tetapi sampai dengan tanggal batas terakhir penundaan pembayaran hutang (maksimum 270 hari) belum juga tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian.

4.      Debitur Tidak Dapat Dipaksa Membayar Hutang dan Pelaksanaan Eksekusi Ditangguhkan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 242 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa selama berlangsungnya PKPU, maka debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar hutang-hutangnya serta semua tindakan eksekusi yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan hutang tersebut juga harus ditangguhkan.

5.      Perkara yang Sedang Berjalan Ditangguhkan

Berdasarkan pada Pasal 243 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004,sebenarnya secara prinsip PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa ataupun menghalangi pengajuan perkara yang baru. Akan tetapi, terhadap perkara yang semata-mata mengenai tuntutan pembayaran suatu piutang yang telah diakui oleh debitur, sementara kreditur tidak mempunyai kepentingan untuk mendapatkan suatu putusan guna melaksanakannya kepada pihak ketiga setelah dicatatnya pengakuan tersebut, maka hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal tersebut hingga berakhirnya PKPU.

6.      Debitur Tidak Boleh Menjadi Penggugat atau Tergugat

Berdasarkan pada Pasal 243 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, Debitur yang telah ditunda kewajibannya pembayaran hutangnya tidak boleh beracara di peradilan baik sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat dalam perkara yang berhubungan dengan harta kekayaannya, kecuali dengan bantuan dari pihak pengurus.

7.      Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku Bagi Kreditur Preferens

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004bahwa PKPU tidak berlaku bagi tagihan dari kreditur separatis, atau terhadap tagihan yang diistimewakan terhadap barang-barang tertentu milik debitur. Maka jelas bahwa terhadap debitur dengan hak istimewa, debitur juga harus membayar hutangnya secara penuh. Apabila pembayaran hutang tidak mencukupi dari jaminan tersebut, kreditur preferen masih mendapatkan haknya sebagai kreditur konkuren, termasuk di dalamnya hak untuk mengeluarkan suara selama PKPU.

8.      Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku terhadap Beberapa Jenis Biaya Penting

Dalam Pasal 244 dikatakan bahwa PKPU tidak berlaku terhadap beberapa jenis biaya tertentu (misal : tagihan yang dijamin dengan gadai)

9.      Hak Retensi yang Dipunyai oleh Kreditur Tetap Berlaku

Bahwa terhadap barang-barang yang ditahan oleh pihak kreditur wajib dikembalikan ke dalam harta pailit dengan membayar terhadap hutang yang bersangkutan jika hal tersebut menguntungkan harta pailit. (Pasal 245 UU No. 37 tahun 2004)

10.  Berlaku Masa Penangguhan Eksekusi Hak Jaminan

Seperti halnya kepailitan, PKPU juga mengenal apa yang disebut dengan masa penangguhan pelaksanaan eksekusi hak jaminan hutang. Hanya saja lama pelaksanaan masa penangguhannya berbeda dimana apabila kepailitan adalah selama 90 hari, maka lama masa penangguhan dalam PKPU adalah 270 hari (maksimum). Diatur dalam pasal 246 UU No. 37 Tahun 2004.

11.  Bisa Dilakukan Kompensasi

Berdasarkan pada Pasal 247 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, kreditur dapat melakukan kompensasi atas hutang dan piutangnya terhadap debitur asalkan hutang piutang tersebut sudah terjadi sebelum mulai berlakunya PKPU.

12.  Kepastian terhadap Perjanjian Timbal Balik

Dalam PKPU, kreditur dapat meminta kepastian mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian yang sifatnya timbal balik dalam waktu tertentu. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi perjanjian timbal balik yang prestasinya harus dilakukan sendiri oleh pihak debitur.

13.  Perjanjian di Bursa Komoditi Berakhir

Berdasarkan pada Pasal 250 UU No. 37 Tahun 2004, apabila telah dibuat suatu kontrak komoditi di bursa komoditi sementara penyerahan barang akan dilakukan di waktu tertentu dimana debitur telah mengajukan PKPU, maka kontrak tersebut menjadi hapus akan tetapi tidak menghilangkan hak bagi lawan untuk mengajukan klaim ganti rugi.

14.  Debitur Dapat Mengakhiri Sewa-Menyewa

Apabila keputusan pengadilan niaga tentang PKPU sementara , pihak debitur sebagai penyewa dapat mengakhiri sewa tersebut asalkan dilakukan pemberitahuan untuk pemutusan sewa dengan jangka waktu sebagai berikut (Pasal 251 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 :

Jangka waktu pemberitahuan sesuai dengan kontrak yang berlaku atau jika tidak ada dalam kontrak, maka Jangka waktu pemberitahuan sesuai dengan kelaziman setempat, atau Jangka waktu 3 bulan sudah dianggap cukup Akan tetapi perlu diingat bahwa ketentuan ini hanya berlaku jika debitur adalah pihak penyewa.

15.  Dapat Dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja

Pasal 252 UU No. 37 Tahun 2004mengatur tentang pemutusan hubungan kerja dalam hal PKPU. Adapun ini ditujukan untuk membantu debitor dalam melangsungkan kegiatan usahanya selama PKPU dilakukan.

16.  Pembayaran kepada Debitur yang Telah Memperoleh Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Membebaskan Harta Kekayaan

Salah satu akibat hukum dari PKPU adalah dalam hal pembayaran yang dilakukan kepada debitur yang ditunda kewajiban pembayaran hutangnya. Untuk hal itu berlaku kewajiban sebagai berikut :

Pembayaran atas hutang yang timbul sebelum putusan PKPU sementara dijatuhkan, tetapi pembayarannya dilakukan setelah putusan PKPU dan tapi diumumkan. Maka dalam hal ini tidak membebaskan si pembayar tersebut dari harta kekayaan, kecuali dapat dibuktikan bahwa si pembayar tersebut tidak mengetahui tentang telah adanya putusan PKPU tersebut

17.  Pembayaran tersebut sejauh membawa keuntungan terhadap harta kekayaan tersebut

Apabila hutang itu telah dibayarkan setelah adanya putusan PKPU sementara, tetapi setelah adanya pengumuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, si pembayar juga tidak dibebaskan dari kewajibannya terhadap harta kekayaan, kecuali :

a.       Pembayar tidak mengetahui pengumuman PKPU sementara tersebut

b.      Pembayaran tersebut sejauh membawa keuntungan bagi harta kekayaan.

Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku untuk Peserta Debitur dan Kreditur Berdasarkan pada Pasal 254 UU No. 37 Tahun 2004, sejauh yang menyangkut dengan para peserta debitur dan garantor (penjamin), maka putusan PKPU dinyatakan tidak berlaku. Artinya garantor tetap berkewajiban penuh sebagai garantor, demikian juga dengan pihak peserta debitur untuk berkewajiban penuh sesuai kontrak dan / atau peraturan perundang-undangan yang berlaku

18.  Tidak ada Actio Pauliana

Berdasarkan pada Pasal 1341 KUHPerdata, yang dimaksud dengan Actio Pauliana adalah hak kreditor untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak wajib dilakukan oleh debitor dengan nama apapun yang merugikan para kreditor sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik debitor maupun pihak dengan atau untuk siapa debitor itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para kreditor. Adapun dalam hal PKPU, Actio Pauliana tidak dapat dilakukan.

19.  Perbuatan Debitur Tidak Dapat DIbatalkan oleh Kurator

Dalam hal PKPU, selama debitur diberikan kewenangan oleh pengurus sesuai dengan pasal 240 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, maka setelah debitur tersebut dinyatakan pailit, perbuatan debitur tersebut haruslah dianggap sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurator dan mengikat harta pailit

20.  Penundaan Kewajban Pembayaran Hutang Dapat Dilakukan Berkali-kali

Tidak ada larangan untuk melakukan penundaan hutang lebih dari satu kali bagi debitur yang sama. Bahkan, apabila PKPU diajukan dalam 2 bulan semenjak berakhirnya PKPU yang pertama, berlaku ketentuan sebagai berikut :

Jangka waktu penangguhan eksekusi barang jaminan oleh pihak kreditur separatis seperti yang dimaksud dalam PAsal 42 dan Pasal 44 UU No. 37 Tahun 2004 berlaku terhitung sejak permulaan berlakunya PKPU yang pertama.

Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitur atas kewenangan yang diberikan oleh pengurus dalam PKPU yang pertama, tetap berlaku terhadap PKPU yang kedua

21.  Berlaku Ketentuan Pidana

Apabila debitur nekat atau karena ketidaktahuannya itu melakukan sendiri hal-hal terkait pengurusan harta kekayaan tanpa sepengetahuan pengurus, maka konsekuensinya adalah :

Perbuatan tersebut tidak membawa perngaruh terhadap harta debitur, kecuali membawa manfaat bagi harta debitur tersebut. (Pasal 240 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004) Debitur dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan karena melakukan pidana yang termasuk dalam pelanggaran terhadap ketertiban umum

.

G.  Berakhirnya PKPU

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diakhiri dengan berbagai macam cara, meliputi :

1.      Karena kesalahan debitur

a.   Sekalipun PKPU secara tetap telah disetujui baik oleh kreditur separatis maupun konkuren, PKPU tersebut dalam prosesnya dapat diakhiri oleh pengadilan atas inisiatif atau permohonan dari :

1)      Hakim Pengawas

2)      Pengurus Satu atau lebih kreditur

3)      Pengadilan Niaga

Dengan alasan sebagai berikut :

- Debitur melakukan pengurusan harta kekayaan dengan itikad buruk

- Debitur mencoba merugikan kreditur

b.   Debitur melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 226 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu Karena melakukan pengurusan harta tanpa diberikan kewenangan oleh pengurus

c.   Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan oleh pengadilan niaga pada saat atau setelah PKPU ataupun lalai dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh para pengurus.

2.      Keadaan harta debitor sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan PKPU

Keadaan debitur sudah sedemikian rupa sehingga tidak bisa diharapkan lagi untuk memenuhi kewajiban kepada kreditur.

3.      Dicabut karena keadaan harta debitor sudah membaik

Berdasarkan pada pasal 259 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, apabila selama berlangsungnya PKPU debitur sudah merasa bahwa keadaan hartanya sudah membaik sehingga dia sudah dapat melakukan pembayaran-pembayaran atas hutang-hutangnya, maka debitur tersebut dapat mengajukan kepada pengadilan niaga agar penangguhan kewajiban pembayaran hutang dicabut. Tetapi dalam pencabutannya, Pengadilan niaga juga akan memanggil pengurus berkenaan dengan pengabulan permohonan pencabutan tersebut.

4.      Karena tercapai perdamaian

Diatur dalam pasal 281 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana persetujuan telah disetujui oleh kreditur konkuren dan kreditur separatis dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

5.      Karena rencana perdamaian ditolak

Diatur dalam pasal 289 UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana perdamaian ditolak oleh kreditor separatis dan kreditor konkuren.

6.      Karena perdamaian tidak disahkan oleh pengadilan niaga

Diatur dalam pasal 285 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004. Hal ini dapat terjadi apabila : Harta debitur, termasuk hak retensi, jauh lebih besar dari jumlah yang disetujui dalam perdamaian

7.      Apabila pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin

Perdamaian itu tercapai karena adanya penipuan atau persekongkolan antara satu dengan lain debitur, atau karena upaya-upaya tidak jujur yang lain Biaya yang telah dikeluarkan oleh pengurus dan para ahli belum dibayar atau tidak diberikan jaminan yang cukup untuk membayarnya.

8.      Karena PKPU dibatalkan

Diatur dalam pasal 291 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi karena debitur lalai dalam melaksanakan isi perdamaian yang telah disepakati.

9.      Masa PKPU terlampaui

Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Apabila hingga batas waktu maksimal PKPU (270 hari), perdamaian belum juga memperoleh kekuatan yang pasti

10.  Tidak tercapai perdamaian

Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Apabila sampai denga hari yang ke-270, rencana perdamaian belum juga disetujui oleh para kreditur.

11.  Karena PKPU secara tetap tidak disetujui oleh kreditur

Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Proses PKPU dapat juga diakhiri apabila setelah jangka waktu 45 hari (jangka waktu untuk penundaan sementara kewajiban pembayaran hutang) para kreditur konkuren tidak menyetujui diberikannya PKPU secara tetap.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. Dr., S.H., M.H., LL.M., Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Jono, S.H., Hukum Kepailitan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008

Sjahdeini, Sutan Remy. Prof.,Dr.,SH, Hukum Kepailitan Memahami Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2009.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.




notariatundip2011.blogspot.co.id/2012/02/penundaan-kewajiban-pembayaran-utang.html?m=1

Minggu, 21 Mei 2017

4 Syarat Sahnya Perjanjian/Kontrak Menurut Pasal 1320 KUH Perdata

 - -Syarat sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak yang terdapat didalam KUH Perdata dan hukum kontrak yang ada di Amerika.

4 Syarat Syahnya Perjanjian/Kontrak Menurut Pasal 1320 KUH Perdata

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut

Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata

Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.

1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)

Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.

a)    Paksaan (dwang, duress)

b)   Penipuan (bedrog, fraud)

c)    Kesilapan (dwaling, mistake)

Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)

Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu

a)    Orang-orang yang belum dewasa

b)   Mereka yang berada dibawah pengampuan

c)    Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata

Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.

3.  Obyek / Perihal tertentu

Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.

Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa

“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”

Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”

4.  Kausa yang diperbolehkan / halal / legal

Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:

1.  Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata

a)    Objek / Perihal tertentu

b)   Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan

2.  Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata

a)    Adanya kesepakatan dan kehendak

b)   Wenang berbuat

3.  Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata

a)    Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik

b)   Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku

c)    Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan

d)   Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum

4.  Syarat sah yang khusus

a)    Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu

b)   Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu

c)    Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu

d)   Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu






http://rechthan.blogspot.co.id/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.html?m=1


Rabu, 10 Mei 2017

Tindak Pidana Pemalsuan Surat / Dokumen


Sesuai dengan pengertian yang diberikan pada kata faux oleh para pembentuk Code Penal, yakni yang dapat dijadikan objek dari faux atau pemalsuan hanya ecrtures atau tulisan-tulisan saja. Menurut pengertian para pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlak, yang dapat menjadi objek dari tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHPidana. Dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 yang dapat dibedakan menjadi 7 macam kejahatan pemalsuan surat yakni:

-Pemalsuan Surat pada Umumnya: bentuk pokok pemalsuan surat (Pasal 263).

-Pemalsuan Surat yang Diperberat (Pasal 264).

-Menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam Akta Otentik (Pasal 266).

-Pemalsuan Surat Keterangan Dokter (Pasal 267, 266).

-Pemalsuan Surat-surat tertentu (Pasal 267,266).

-Pemalsuan Surat Keterangan Pejabat tentang Hak Milik (Pasal 274).

-Menyimpan Bahan atau Benda untuk Pemalsuan Surat (275).

-Pasal 272 dan Pasal 273 telah dicabut melalui stb. 1926 No.359 jo.429. Pasal tidak memuat rumusan kejahatan, melainkan tentang ketentuan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa penjatuhan hak-hak tertentu berdasarkan Pasal 35 No.1-4 bagi kejahatan pemalsuan surat.

Pemalsuan Surat Pada Umumnya

Kejahatan Pemalsuan Surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok ( bentuk standar ) yang dimuat daclam Pasal 263, yang merumuskan adalah sebagai berikut:

“Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal yang dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulakan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun”

Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah jika pamakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Dalam Pasal 263 tersebut ada 2 kejahatan, masing-masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Rumusan pada ayat ke-1 terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

1. Unsur subjektif dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan orang tersebut.

Unsur-unsur objektif

Barang siapa;

Membuat secara palsu atau memalsukan;

Suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu perikatan atau suatu pembebasan utang atau;

Suatu surat yang dimaksud untuk membuktikan suatu kenyataan;

Penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.

Sedang ayat 2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur-unsur obyektif :

Perbuatan : Memakai;

Objeknya : a) surat palsu;

b) surat yang dipalsukan;

Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Unsur subyektif : dengan sengaja.

Surat (grechrift) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, perinter komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apa pun.

Membuat surat palsu (membuat palsu/valschelijk opmaaken sebuah surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya.

Membuat surat palsu dapat berupa hal-hal berikut.

1. Membuat surat palsu yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut pemalsuan intelektual (intelectuele valschelijk).

2. Membuat surat palsu yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materiil (materiele valschelijk). Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.

Di samping isi dan asalnya sebuah surat disebut surat palsu, apabila tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya :

1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya, seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif   (dikarang-karang);

2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya ataupun tidak.

Tanda tangan yang dimaksud disini termasuk tanda tangan dengan menggunakan cap/stempel tanda tangan. Hal ini ternyata dari suatu arrest HR (12-2-1920) yang menyatakan bahwa disamakan dengan menandatangani suatu surat ialah membubuhkan stempel tanda tangannya (soenarto soerodibroto, 1994:154).

Sedangkan perbuatan memalsukan (vervalsen) surat adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, pemalsuan surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat.

Sama halnya dengan membuat surat palsu, memalsukan surat dapat terjadi selain terhadap sebagaian atau seluruh isi surat. Misalnya si pembuat dan yang bertanda tangan si pembuat surat. Misalnya si pembuat dan yang bertanda tangan dalam surat bernama Parikun, diubah tanda tangannya menjadi tanda tangan orang lain yang bernama Panirun.

Menurut Soenarto soerodibroto,(1994:154). Dalam hal ini ada suatu arrest HR (14-4-1913) yang menyatakan bahwa “barang siapa di bawah suatu pentulisan membubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan orang tersebut telah memalsukan tulisan itu”

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat sebelum perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu surat yang isinya sebagaian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam tulisan itu di hasilkan membuat surat palsu. Surat yang demikian di sebut dengan surat palsu atau surat tidak asli.

Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuat memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadian surat yang semula benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat, melainkan terbatas pada 4 macam surat, yakni:

1) Surat yang menimbulkan suatu hak;

2) Surat yang menimbulkan suatu perikatan;

3) Surat yang menimbulkan pembebasan hutang;

4) Surat yang diperuntuhkan bukti mengenai sesuatu hal.

Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara lahir adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi ada surat-surat tertentu yang disebut surat formil yang langsung melahirkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah dan lain sebagainya.

Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Misalnya surat jual beli melahirkan hak si penjual untuk menerima uang pembayaran harga benda, dan pembeli mempunyai hak untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya.

Begitu juga dengan surat yang berisi pembebasan hutang. Lahirnya pembebasan hutang pada dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu perikatan. Misalnya suatu Kuitansi yang bersisi penyerahan sejumlah uang tertentu dalam hal dan dalam hubungannya dengan misalnya jual beli, hutang piutang dan lain sebagainya.

Mengenai unsur-unsur surat yang diperuntuhkan sebagi bukti akan adanya sesuatu hal, didalamnya ada 2 hal yang perlu dibicarakan, yakni:

Mengenai diperuntuhkan sebagai bukti;

Tentang sesuatu hal.

Menurut Soenarto Soerodibroto (1994:155) sesuatu hal, adalah:

berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) Maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran dan kematian), peristiwa mana mempunyai suatu akibat hukum.

HR dalam suatu arrestnya (22-10-1923) menyatakan bahwa “yang diperhatikan sebagai bukti suatu hal adalah kejadian yang menurut hukum mempunyai, jadi yang berpengaruh terhadap hubungan hukum orang-orang yang bersangkutan”.

Menurut Satochid Kartanegara: (1890:278) .Yang dimaksud dengan bukti adalah:

karena sifatnya surat itu memiliki kekuatan pembuktian atau (bewijskracth). Siapa yang menentukan bahwa adanya kekuatan pembuktian atas sesuatu hal dalam sebuah surat itu?.Dalam hal ini bukan pembuat yang dapat menentukan demikian, melainkan UU atau kekuasaan tata usah negara.

Dalam UU, seperti Pasal 1870 KUHPerdata () yang menyatakan “bahwa akta otentik bagi para pihaknya beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak daripada mereka merupakan bukti sempurna tantang apa yang dimuat di dalamnya”.

Surat-surat yang masuk dalam akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna akan sesuatu hal adalah surat-surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang dan dalam bentuk yang ditentukan oleh UU. Surat yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti ini misalnya surat nikah, akta kelahiran, vonis hakim, sertifikat hak atas tanah dan lain sebagainya.

Sedangkan kekuatan pembuktian atas surat-surat oleh kekuasaan tata usaha negara, misalnya buku kas, rekening koran atau rekening giro dalam suatu bank, surat kelakuan baik, surat angkutan, faktur dan lain sebagainya.

Mengenai (a) diperuntukkan sebagai bukti dan (b) mengenai sesuatu hal adalah berupa dua unsur yang tidak terpisahkan. Sebuah surat yang berisi tentang suatu hal atau suatu kejadian tertentu, dimana kejadian mempunyai pengaruh bagi yang bersangkutan, misalnya perkawinan yang melahirkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, dalam praktik diberi suatu nama tertentu. Misalnya surat yang dibuat untuk membuktikan adanya kejadian kelahiran disebut dengan surat keterangan kelahiran atau akta kelahira, surat yang dibuat untuk membuktikan adanya suatu kejadian diberi nama surat kawin atau surat nikah. Surat-surat semacam ini dibuat memang diperuntukkan untuk membuktikan adanya kejadian tertentu itu.

Dalam hal surat-surat semacam ini selain di dalamnya menyatakan tentang kejadian tertentu itu atau dapat juga disebut sebagai isi pokok dari surat itu, juga memuat tentang keadaan-keadaan atau hal lain tertentu yang ada sekitar atau berhubungan dengan kejadian sebaga isi pokok surat yang harus dibuktikan oleh surat itu. Misalnya surat kematian isi pokoknya atau kejadia yang harus dibuktikan oleh surat ituadalah adanya kematian dari seorang tertentu. Adakalanya dalam surat itu dicantumkan juga sebab kematiannya, misalnya karena penyakit TBC. Keterangan tentang sebab kematiannya bukanlah termasuk dalam pengertian unsur hal atau kejadian yang harus dibuktikan oleh akta kematian itu. Demikian juga dalam akta kelahiran, walaupun didalamnya disebutkan kelahiran seorang bayi dari suami istri bernama tertentu, akta kelahiran itu tidak untuk membuktikan tentang sahnya perkawinan antara ibu dan bapak si bayi.

Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat ayat 1 yakni “Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu.

Pada unsur / kalimat ”seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung, makna: (1) adanya orang-orang yang terpedaya dengan di gunakannya surat-surat yang demikian, dan (2) surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu. Membuat SIM dirinya secara palsu, yang terpedaya adalah Polisi, dan bila penggunaannya dengan maksud untuk diterimanya bekerja sebagai sopir, maka yang terpedaya adalah majikannya yang akan mempekerjakan orang itu.

Unsur lain daripada pemalsuan surat dalam ayat 1, ialah jika pemakaian surat palsu atau surat di palsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan / dimaksudkan petindak.

Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa: (1) pemakaian surat belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimat/ unsur itu, dan (2) karena penggunaan pemakaian surat belum dilakukan,maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga dariadanya perkataan “dapat”.

Kerugian yang timbul akibat dari pemakaian surat sebelum dilakukan, maka dengan dengan sendirinya kerugian itu bel;um ada. Hal ini ternyata juga dari adanya perkataan “dapat”.

Menurut Soenarto Soerodibroto (1994:156) “Kerugian yang dapat timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak”.

Hal ini ternyata dari adanya suatu arrest HR (8-6-1897) yang menyatakan bahwa “petindak tidak perlu mengetahui terlebih dulu kemungkinan timbulnya kerugian ini”.

Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikrkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu.

Pemalsuan Surat Yang Diperberat

Pasal 264 merumuskan:

Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakukan terhadap:

1. Akta-akta otentik

2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umumnya

3. Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero hutang dari suatu perkumpulan, yayasan perseroan atau maskapai;

4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari surat yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntuhkan untuk diedarkan

Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau tidak dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Hal yang menyebabkan diperberat pemalsuan surat Pasal 264 diatas terletak pada faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi objek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaanyang lebih besar akan kebenaran isinya. Surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi daripada surat-surat biasa atau surat lainnya. Kepercayaan yang lkebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan diperberat ancaman pidananya.




http://yayansuhendri.blogspot.co.id/2012/12/tindak-pidana-pemalsuan-surat-dokumen.html?m=1

Rabu, 15 Maret 2017

TEORI RELATIF DALAM HUKUM PIDANA

Menurut TEORI RELATIF bahwa memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dan keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat;

Menurut J. ANDENAES, teori relatif dapat disebut sebagai Teori Perlindungan Masyarakat” (The theory of social defence);

Menurut NIGEL WALKER, teori relatif lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu, para penganutnya dapat disebut golongan REDUCERS (Penganut Teori Reduktif);

Selain itu, teori relatif sering juga disebut TEORI TUJUAN (UTILITARIAN THEORY) yang menyatakan bahwa pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat;

Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori relatif adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan QUIA PECCANTUM EST (Karena orang membuat kejahatan) melainkan NE PECCETUR (Supaya orang jangan melakukan kejahatan). ;

Ucapan terkenal  SENECA seorang filsuf Romawi adalah: “Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccatur (No reasonable man punishes because there has been a wrong doing, but in order that should be no wrong – doing = Tidak seorang normalpun dipidana karena telah melakukan perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat); 

Perbedaan ciri – ciri pokok atau karakteristik antara teori RETRIBUTIVE  dan teori UTILITARIAN dikemukakan oleh  KARL O. CHRISTIANSEN sebagai berikut:

1.  Pada teori retribution:

a.    Tujuan pidana adalah semata – mata untuk pembalasan;

b.    Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana – sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

c.    Kesalahan merupakan satu – satunya syarat untuk adanya pidana;

d.    Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e.    Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar;

2.  Pada teori utilitarian:

a.    Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b.    Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c.    Hanya pelanggaran -0pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d.    Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

e.    Pidana melihat kemuka (bersifat prosfktif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat;

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan, biasanya dibedakan antara istilah prevensi spesial dan  prevensi general atau sering juga digunakan istilah “special deterrence” dan “general deterrence”; 

Maksud prevensi spesial adalah sejauhmana pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik  dan berguna bagi masyarakat. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan REFORMATION atau REHABILITATION THEORY;

Maksud prevensi general adalah sejahumana pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan pidana;

Menurut JOHANNES ANDENAES ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian general prevention, yaitu:

a.  Pengaruh pencegahan;

b.  Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum;

Pengertian general prevention menurut Johannes Andenaes tidak hanya tercakup adanya pengaruh pencegahan (deterrent effect)  tetapi juga termasuk didalamnya pengaruh moral atau pengarug yang bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral or social pedagogical influence of punishment);

Teori yang menekankan pada tujuan untuk mempengaruhi atau mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan dikenal dengan sebutan TEORI DETERRENCE;

Dengan pengertian pencegahan (deterrence) yang sempit, maka menurut Johannes Andenaes pengertian general prevention tidak  sama dengan pengertian general deterrence;

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan Johannes Andenaes, maka VAN VEEN berpendapat bahwa prevensi general mempunyai tiga fungsi, yaitu:

a.  Menegakkan kewibawaan (gezagshandhaving);

b.  Menegakkan norma (normhandhaving);

c.   Membentuk norma (normvorming);

Selain prevensi spesial dan prevensi general, VAN BEMMELEN memasukkan juga dalam golongan teori relatif apa yang disebutnya “daya untuk mengamankan (de beveiligende werking)”. Dalam hal ini dijelaskan bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahat tersebut berada di dalam penjara daripada kalau dia tidak dalam penjar ;

Disamping pembagian secara tradisional teori – teori pemidanaan seperti teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (vetenigings theorieen). Penulis yang pertama mengemukakan teori gabungan ini adalah PELLEGRINO ROSSI (1787 – 1848). Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general;

Penulis – penulis lain yang berpendirian bahwa pidana mengandung pelbagai kombinasi tujuan ialah BINDING, MERKEL, KOHLER, RICHARD SCHMID dan BELING. Penulis – penulis ini juga memperhitungkan pembalasan, prevensi general serta perbaikan sebagai tujuan pidana;

RICHARD D. SCHWARTZ dan JEROME H. SKOLNICK menyatakan bahwa sanksi pidana dimaksudkan untuk:

a.  Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism);

b.  Mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the performance of similar acts);

c.   Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif – motif balas dendam (to provide a channel for the expression of retaliatory motives);  

JOHN KAPLAN disamping mengemukakan adanya empat teori mengenai dasar – dasar pembenaran pidana (yaitu teori retribution, deterrence, incapacitation, dan rehabilitation), ia juga mengemukakan adanya dasar – dasar pembenaran pidana, yaitu:

a.  Untuk menghindari balas dendam (avoidance of blood feuds);

b.  Adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the educational effect);

c.   Mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace – keeping fubction);

EMILE DURKHEIM menyatakan bahwa fungsi pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi – emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan adanya oleh kejahtan (the function of punishment is to create a possibility  for the realse of emotions that are arosed by the crime);

FOUCONNET menyatakan bahwa penghukuman dalam arti pemidanaan, dan pelaksanaan  pidana pada hakekatnya merupakan penegasan kembali nilai – nilai kemasyarakatan yang telah dilanggar dan dirubah oleh adanya kejahatan itu (... the conviction and the execution of the sentences is essentially a ceremonial reaffirmation of the societal values that are violated and challenged by the crime);

ROGER HOOD menyatakan bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah si terpidana atau pembuat potensiil melakukan tindak pidana, juga untuk:

a.  Memperkuat kembali nilai – nilai sosial (reinforcing social values);

b.  Menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime);

G. PETER HOEFSNAGELS menyatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk:

a. Penyelesaian konflik (conflict resolution);

b. Mempengaruhi para pelanggar dan orang – orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and possibly other than offenders toward  more or less law – conforming behavior);

R. RIJKSEN membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dalam pembalasan itu terletak pembenaran daripada wewenang pemerintah untuk untuk memidana (strafbevoegdheid van de overheid). Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan – tujuan itu menurut R. Rijksen serta penulis – penulis lain seperti VAN VEEN, HULSMAN dan HOEFNAGELS adalah penegakkan wibawa, penegakkan norma, menakut – nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik;    

ROESLAN SALEH dalam bukunya yang berjudul “Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana”, mengemukakan bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan garis – garis hukum pidana, yaitu:

a.     Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan;

b.     Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum;

Dengan demikian, pidana adalah selalu memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas pefrbuatan yang tidak hukum. Disamping itu Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana mengandung hal – hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat;

DR. SAHETAPY  dalam desertasinya yang berjudul “Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana” mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan pembalasan. Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Makna membebaskan  tidak identik  dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu;

Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan. Tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata – mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan;

Pendapat DR. Sahetapy tersebut tampaknya sesuai dengan pendapat Prof. TER HEIDE dalam tulisannya yang berjudul VRIJHEID,.OVER DE ZIN VAN DE STRAF. Dalam tulisan itu ia mengemukakan bahwa “tidak seorangpun berbuat jahat dengan sadar” adalah paham determinisme yang dikemukakan  PLATO dan bukan pesimisme: manusi dapat belajar, dapat mengembangkan diri. Kalau penderitaan dan pidana dapat mendorong perkembangan ini, maka perkembangan tersebut adalah jalan menuju kebebasan, maka makna dari pidana adalah kebebasan manusia (de zin van de straf: de vrijheid van de mens);

BISMAR SIREGAR  dalam kertas kerjanya yang berjudul “Tentang Pemberian Pidana” pada Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional di Semarang tahun 1980, ia menyatakan antara lain: “...... yang pertama – tama patut diperhatikan dalam pemberian pidana, bagaimana caranya agar hukuman badaniah mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan penghukuman tiada lain mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia”;

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam memberikan atau menjatuhkan pidana, maka didalam Konsep Rancangan Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam pasal 2 sebagai berikut:

(1)   Maksud tujuan pemidanaan ialah:

1.    untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk;

2.    untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna;

3.    untuk menghilangkan noda – noda yang diakibatkan oleh tindakan pidana;

(2)   Pemidanaan       tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia;

Dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1982 / 1983, tujuan pemberian pidana dirumuskan sebagai berikut:

(1)   Pemidanaan bertujuan untuk:

ke – 1   mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

ke – 2  mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan     orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;

ke –3  menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan kesimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

ke – 4  membebaskan rasa bersalah pada terpidana;

(2)   Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia;