Cari Blog Ini

Selasa, 28 November 2017

Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi


BAB I
PENDAHULUAN
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa ‘korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”
A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.
Dewasa ini korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, seperti meningkatkan penerimaan pajak dan standar hidup masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, serta berkontribusi positif terhadap pertumbuhan suatu negara. Bahkan, dalam beberapa aspek peranan korporasi melebihi peranan dan pengaruh suatu negara.
Namun demikian, peranan penting dan positif korporasi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara seringkali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran yang mengarah pada hukum pidana. Tidak jarang korporasi melakukan unfair business yang tidak hanya merugikan suatu negara dan konsumen, tapi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Ketika korporasi melakukan tindak pidana, maka ia dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan baik ditujuukan kepada pengurusnya maupun ditujukan langsung kepada korporasi.
Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum pidana bukan merupakan hal baru dan tidak menimbulkan persoalan hukum yang berarti. Permasalahan baru muncul manakala korporasi melakukan tindak pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.
Atas dasar perbuatan dari tindakan kejahatan korporasi, menimbulkan pertanyaan besar bagaimanakah pengaturan sanksi pidana terhadap korporasi? Apakah cukup memadai pengaturan sanksi pidana pada korporasi dan model sanksi pidana manakah yang ideal dan dapat diterapkan terhadap korporasi, dalam rangka menanggulangi kejahatan korporasi dan bagaimanakah pertanggung jawaban pidana korporasi?.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian tindak pidana korporasi
Dalam Black’s Law Dictionary, Any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”. Artinya Setiap tindak pidana yang dilakukan dan karenanya dibebankan kepada perusahaan karena kegiatan pejabat atau karyawan (misalnya, penetapan harga, pembuangan limbah beracun), sering disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Satjipto Rahardjo, Badan hasil ciptaan hukum yang terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya unsur memasukkan unsur animus yang membuat badan mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka oleh penciptanya kematiannya ditentukan oleh hukum.
Chidir Ali, Hukum memberikan kemungkinan dengan memenuhi syarat – syarat tertentu bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawahan dan karenanya dapat menjalankan hak – hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggung jawabkan, namun demikian badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantaraan orang biasa. Akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggungjawaban korporasi.
Bismar Nasution dalam paper ”kejahatan korporasi dan pertanggungjawabannya” memberikan ilustrasi yang panjang mengenai kejahatan korporasi. Menurutnya kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Bahwa Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya.
Pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi , siapa yang akan bertanggungjawab ? Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?
B.Masalah Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi
Adanya pergeseran pandangan bahwa korporasi juga merupakan subjek hukum pidana disamping manusia alamiah. Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non protest sudah mengalami perubahaan dengan menerima konsep pelaku fungsional. Sehubungan dengan penerimaann konsep pelaku fungsional tersebut, bagaimanakah pertanggung jawaban korporasi dalam hukum pidana? Dikemukakan dalam rangka fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana korporasi.
1.Penentuan kapan suatu korporasi dinyatakan sebagai pelaku atau telah melakukan tindak pidana dan kapan suatu tindak pidana telah dilakukan atas nama suatu korporasi merupakan hal yang harus dirumuskan secara tegas seperti terdapat pada undang-undang telekomunikasi, usaha perasuransian, pengelolaan lingkungan hidup dan pemberantasan tindak pidana ekonomi serta pemberanntasan tindak pidana korupsi. Sebab rumusan yang tidak tegas seperti yang terdapat dalam undang-undang pasar modal, undang-undang larangan praktik monopoli dan perasaingan usaha tidak sehat akan menimbulkan persoalan dalam penegakan hukum.
2.Kriteria-kriteria apa yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk dapat digunakan sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi. Sebab pertanggung jawaban dalam hukum pidana senantiasa dikaitkan dengan masalah kesalahan, yaitu mennyangkut kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan atau kealpaan dan unsur ketiadaan alasan pemaaf
3.Pidana apakah yang lebih tepat untuk dikenakan terhadap korporasi.
Didalam pertanggungjawaban pidana mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:
a.Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
b.Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;
c.Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab;
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus lah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu di ancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaraan, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan, karenanya penguruslah yang diacam pidana dan dipidana.
Ketentuan yang mengatur hal tersebut diatas dianut oleh KUHP, seperti misalnya Pasal 169 KUHP, Pasal 398 dan 399 KUHP.
Pasal 169 KUHP berbunyi:
1.Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum di ancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2.Turut seta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan pelanggaran, di ancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3.Terhadap pendiri atau pengurus, pidana dapat di tambah sepertiga.
Pasal 169 KUHP adalah pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum, yaitu turut serta dalam perkumpulan yang terlarang. Apabila dilakukan oleh pengurus atau pendiri perkumpulan/korporasi tersebut, maka ada pemberantasan pemidanaan, yaitu terhadap pendiri atau pengurus suatu korporasi apabila melakukan suatu tindak pidana yaitu turut serta dalam perkumpulan yang terlarang pidananya lebih berat bila dibandingkan dengan bukan pendiri atau pengurus. Jadi demikian, yang dapat dimintain pertanggungjawaban dan dipidana adalah orang/pengurusannya dan bukan korporasi itu sendiri.
Pasal 398 KUHP berbunyi : “seseorang pengurus atau komisaris perseorangan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan di ancaman dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”:
1.Jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar kerugian diderita oleh perseroan maskapai atau pekumpulan.
2.Jika yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseorangan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahuinya tak dapat dicegah keadaan pailit atau penyelesainnya.
3.Jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang diterangkan dalam pasal 6 ayat pertama Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan pasal 27 ayat pertama Ordonasi tentang Makapai Andil Indonesia, atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan tulisan yang disimpan menurut pasal tadi tidak dapat diperlihatkan dalam keadaan takberubah.
Pasal tersebut juga menerangkan tidak membebankan tanggungjawab pidana pada korporasinya, tetapi pada pengurus atau komisarisnya, hal serupa juga terdapat dalam ketentuan pasal 399 KUHP, yaitu merupakan tindak pidana yang menyangkut pengurus atau perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Dalam ketentuan KUHP tersebut jelas menganut subjek dalam hukum pidana adalah orang, hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 KUHP. Dalam hal ini badan hukum (korporasi) tak dapat dipidana karena pertanggung jawaban korporasi belum dikenal, dengan pengaruh yang sangat kuat asas societes deliquere non potest. Yaitu bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas societes deliquere non potest.
Omar Seno Adji, Guru besar hukum pidana Universitas Indonesia dan mantan ketua Mahkamah Agung RI, menyatakan…..kemungkinan adannya pemidanaan terhadap persekutuan, ia didasarkan tidak saja atas pertimabangan utilitis, melainkan atas dasar yang teroritis dapat dibenarkan.
Korporasi dapat di pertanggungjawabkan secara pidana jika kita lihat dengan menghubungkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menganut bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara langsung.
Contoh ketentuan yang menentukan korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:
1.Undang-undang No 7 Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (pasal 5);
2.Undang-undang No 6 Tahun 1984, tentang Pos (pasal 19 ayat (3));
3.Undang-undang No 5 Tahun 1997, tentang Psikotropika (pasal 5 ayat (3));
4.Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (pasal 20);
5.Undang-undang No. 15 Tahun 2003 jo. Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (pasal 4 ayat (1));
Permasalahan selanjutnya yaitu kapankah suatu korporasi dapat dikatakan melakukan suatu tindak pidana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka untuk tindak pidana ekonomi diatur dalam Pasal 15 ayat (2), yaitu berbunyi ;
“suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu atas nama badan hukum, suatu perseroaan, suatu perikatan orang, atau suatu yayasan, jika tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroaan, perikatan atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.”
Setelah melihat rumusan dalam pasal 15 ayat (2), tenyata belum jelas mengenai ketegasan dalam batasan atau ukuran yang dipakai untuk menentukan suatu tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh suatu badan hukum atau korporasi. Hanya saja, dikatakan batasan atau ukurannya disebutkan, yaitu ;
1.Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain ; atau
2.Berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum.
Dalam hubungan nya dengan batasan adanya ‘hubungan kerja’, suprapto dalam disertasinya yang berjudul Hukum Pidana Ekonomi Ditinjau dalam Rangka Pembangunan Nasional, menyatakan ;
‘ini adalah suatu fiksi, ialah dalam hal ini suatu badan dianggap melakukan hal yang tidak dilakukannya, tetapi dilakukan oleh orang yang ada dalam hubungan kerja pada badan itu”
Selanjutnya ada “hubungan lain” dikatakan oleh suprapto :
“Keganjilan lebih menonjol bilamana digunakan dasar “hubungan lain” yang disebut dalam pasal 15 ayat (2) untuk mempertanggungjawabkan suatu badan atas perbuatan orang lain. Hubungan lain itu misalnya terdapat perseroan terbatas dan seseorang yang mewakilinya dalam penjualan barang-barangnya, yang hanya mendapat komisi (commissie agent), jadi tidak dalam hubungan kerja dengna badan tersebut”
Sehubungan dengan “orang yang bertindak dalam hubungan lain-lain” A.Z. Abidin memberikan jalan keluarnya untuk menghindari pengertian yang luas, yaitu terhadap “orang melakukan kejahatan dalam hubungan lain” dengan korporasi, perlu dibatasi sehingga hanya orang yang melakukan kejahatan ekonomi dalam Hubungan fungsional dengan korporasi yang dapat melibatkan korporasi dalam kejahatan yang dibuat orang itu (in the course of carrying on the affairs of the corporation)
Hampir senada, tenttang delik-delik yang tidak dapat dilakukan korporasi, maka sudarto menyatakan dalam sistem hukum inggris korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi dalam melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasnya. Delik –delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik :
1.Yang satu-satunya ancaman pidanannya hanya bisa dilakukan kepada orang biasa, misalnya pembunuhan (Murder, manslaughter);
2.Yang hanya bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya perkosaan
Menurut Andi Hamzah, patut pula diingat bahwa korporasi itu tidaka mungkin dipidana, karena jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh korprorasi, delik itu harus ada ancamana pidana alternatif dendanya. Apabila korporasi dapat diperatanggungjawabkan untuk seluruh macam delik, maka seluruh rumusan delik didalam KUHP harus ada pidana alternatif denda sebagaimana hanya dengan W.v.s belanda sekarang ini.
Berdasarkan hal tersebut maka korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik seperti di negera belanda, tetapi harus ada pembatasan, yaitu delik-delik yang bersifat personal yang menurut kodratnya dapat dilakukan oleh manusia, seperti perkosaan, dan pembunuhan, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
Menyangkut pertanggungjawaban korporasi dapat dikemukakan suatu ilustrasi yang sangat menarik dibidang pidana ekonomi yang menimbulkan perbedaan pendapat antara Suprapto dan Roeslan Saleh. Kasusnya sebagai bertikut:
“seorang manejer dari suatu perusahaan menjual suatu jenis barang dengan harga lebih tinggi dari pada harga tertinggi yang diperkenankan oleh pemerintah. Menaikkan harga terlarang itu tidak sepengetahuan direktur PT dan jika ia mengetahui tentu akan menggagalkannya.”
Menanggapi kasus ini, khsususnya mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum, Suprapto pada intinya berpendapat bahwa tidaklah mungkin badan hukum dipertanggungjawabkan juga atass perbuatan orang lain(manejer) yang dilakukan dengan sengaja. Hal ini di anggap tidak mungkin karena badan hukum tidak ada unsur kesengajaan. Jadi suprapto berkata walaupun sebenarnya delik ekonomi itu ( yaitu dengan sengaja menaikkan harga terlaran) dilakukan oleh manejer yang ada hubungan kerja dengan PT sebagai badan hukum, seperti disebut dalam pasal 15 ayat 2 undang-undang tindak pidana ekonomi, namun tetap badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila ternyata tidak ada unsur kesengajaan pada PT (badan hukum) itu di konstruksikan pada tidak adanya kesengajaan pada diri direktur PT.
Suprapto menyatakan pendapatnya sebagai berikut :” jika badan termasuk harus pula bertanggungjawab atas perbuatan seseorang yang melakukan perwakilan untuknya seperti tersebut di atas, dapatlah di mengerti bahwa terlalu jauh diperluasnya pertanggungjawaban.”
C.Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif sudah diakui, bahwa korporasi dapat di pertanggung jawabkan secara pidana dan dapat dijatuhkan pidana. Di negara belanda untuk menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana beradasarkan pada Arrest “Kleuterschool babel”, yang menyatakan bahwa perbuatan dari pererorangan/orang pribadi dapat dibebankan pada badan hukum/ korporasi apabila perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari badan hukum.
Manejer sekaligus kepala bagian belanja suatu perusahaan ekspor pada tahun 1952 hendak memperoleh izin ekspor dan/atau devisa untuk mengespor sejumlah partai kawat yang dilapisi seng finlandia. Untuk keperluan itu dia mengisi formulir-formulir yang dialamatkan kepada dinas impor dan ekspor pusat di s’Gravenhage dengan menerangkan bahwa barang tersebut berasal dari belanda, yang sepenuhnya dibuat diperusahaannya sendiri di negara Belanda, walaupun barang-barang itu impor dari berlgia dengan membayar memakai valuta belgia. Di hadapan pengadilan pemilik perusahaan yang pemiliknya memang tunggal, bahwa dialah yang sebagai pemilik perusahaan itu bertanggung jawab mengenai apa yang telah dilakukan oleh manejer ekspor sekaligus kepala belanjanya (kepala pemasaran), pada tahun 1952 telah diserahi kekuasaan penuh. Karena dia telah menyerahkan kepadanya untuk mengurusi masalah ekspor dan untuk meminta izin ekspor dan devisa.
Pengdilan rendahan yang menjatuhkan pidana bagi pengusaha tersebut, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dalam suatu perusahaan dengan pemilim tunggal apabila dibawahnya melakukan suatu perbuatan yang masih dalam hubungan kerja, sebagai akibat dari perintah umum, dalam suasana perusahaan itu harus dianggap sebagai dilakukan oleh pemilik perusahaan yang merupakan milik tunggal tersebut.
Pada tingkat banding, pengadilan menjatuhkan pidana pada sipemilik perusahaan tersebut. Pertimbangan yang menyatakan bahwa apabila hukum pidana dalam bidang hukum ekonomi sering menggunakan istilah kolektif, hampir selalu orang-orang melakukan perbuatan secara tidak langsung. Akan tetapi, sering kali melalui seseorang atau lebih perantara, sehingga mengakibatkan bahwa yang dianggap sebagai “Pleger’ dari perbuatan yang terlarang tersebut ialah pemilik perusahaan. Walaupun pemilik perusahaan itu tidak mengetahui terjadinya perbutan terlarang tersebut, yang sesungguhnya ia tidak memeberi perintah secara khusus kepada bawahannya. Pada tingkat kasasi, pertimbangan hakim/ pengadilan rendahan dan pengadilan tinggi tersebut sebagai suatu yang tidak adil.
Dari putusan tersebut diatas dapat diambil dua kriteria untuk menetapkan tanggungjawab pemilik perusahaan sebagai pemilik tunggal terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya. Kriteria tersebut ialah:
1.Tertuduh dapat mengatur apakah perbuatan tersebut terjadi atau tidak;
2.Perbuatan itu termasuk perbuatan yang terjadi menurut perkembangan selanjutnya oleh tertuduh diterima atau biasa diterima.
Kedua kriteria tersebut dapat digunakan dalam delik fungsional, dimana pembuat fungsional dapat menempati kedudukan sebagai Pleger (pelaku).
1.Kesengajaan dan Kealpaan pada Korporasi
Apabila suatu badan hukum dituntut telah melakukan suatu tindak pidana baik yang dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan, pertanyaan akan timbul apakah dan bagaimanakah badan hukum/korporasi yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan (menselijke psyche), dan unsur-unsur Psychis (de pyshische bestanddelen), dapat memenuhi unsur kesengajaan atau “opzet” dan kealpaan?
Sangat sulit untuk menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan pada badan hukum pertama-tama berbeda jika kesengajaan itu pada kenyataanya terletak dalam politik perusahaan, atau berada dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Dalam hubungan ini adanya suatu macam “suasana kejiwaan” (pyscheschklimaat) yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan kita pada suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar (koppelbazen B.V), yang ‘didirikan untuk melakukan kekacauan”. Oleh karena itu , dengan melihat kenyataan tesebut, maka perusahaan tidak dapat menjalankan perusahaannya.
Kejadian tersebut harus diselesaikan dengan konstruksi pertanggung jawaban, kesengajaan dari perorangan yang bertindak atas nama perserikatan/badan usaha, dimana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut.
Suprapto menyatakan, jika hukum memperkenankan badan-badan melakukan perbuatan-perbuatan sebagai orang-orang, dengan melalui alat-alatnya, maka dapatlah dimengerti, bahwa pada badan-badan bisa didapatkan kesalahan apabila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individual, karena hal ini mengenai badan sebagai seuatu Kolektivitet, dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dibebankan kapada pengurusnya.
Di Indonesia badan hukum publik berupa negara di samping badan-badan negara. Provinsi atau daerah tingkat II baik kabupaten maupun kota merupakan badan hukum publik. Apabila badan hukum tersebut melakukan suatu tindak pidana apakah dapat dipertanggungjawabkan secara pidana? Apabila badan hukum publik tersebut sepanjang melakukan perbutan yang dilakukan dibidang lalu lintas prekonomia atau telah terjadi privatisasi dalam melakukan kegiatannya sehari-hari, yang tidak menyangkut kedudukan badan hukum tersebut sebagai penguasa, maka badan hukum tesebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan dapat dipidana. Apabila melakukan suatu tindak pidana, tetapi bertindak dengan kapasitas sebagai pengurus dengan tujuan untuk memelihara kepentingan umum/masyarakat, apabila melakukan suatu tindak pidana badan hukum tesebut tidak dapat dipidana dan dipertanggungjawabkan secara pidana.
2.Alasan Pengahapusan pidana pada Korporasi
Korporasi sebagai subjek hukum pidana pada dasarnya harus diakui korporasi dapat menunjuk pada alasan-alasan penghapus pidana yang berkaitan dengan gejala kejiwaan tertentu. Seperti keadaan sakit jiwa (Pasal 44 KUHP) maupun pembelaan yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP). Kedua alasan ini mensyaratkan adanya suatu keadaan kejiwaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia.
Sesuai dengan sifat kemandirian alasan-alasan penghapus pidana harus dicari pada korporasi itu sendiri. Mungkin terjadi pada diri seseorang terdapat alasan pengahapus pidana tetapi tidak demikian halnya pada korporasi, sekalipun berbuat orang tersebut telah dianggap sebagai perbuatan korporasi.
Sebagai contoh :
Seorang sopir truk terpaksa bersedia untuk mengangkut narkotik karena jiwa keluarganya terancam. Sementara itu perusahaan pengangkutan tempat sopir itu bekerja, atas dasar pertimbangan untuk memperoleh keuntungan telah membiarkan atau mengijinkan mengangkut narkotik tersebut padahal perusahaan tersebut sesungguhnya mampu untuk mencegah perbuatan pengangkutan narkotik tanpa perlu mengorbankan kepentingan pihak sopir sebagai karyawan perusahaan.
Dari contoh di atas, pada diri sopir terdapat situasi daya paksa (overmacht), sedangkan korporasi tetap dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Berbeda halnya apabila perusahaan membiarkan pengangkutan narkotik atas dasar pertimbangan untuk melindungi kepentingan sopir sebagai karyawan dan perusahaan tidak mampu mencegah pengangkutan narkotik itu, maka keadaan daya paksa pada diri sopir sebagai karyawan, sesungguhnya telah diambil alih oleh korporasi.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya alasan penghapus pidana pada korporasi tidak selalu dapat dicari secara terpisah antara perorangan dan korporasi, dalam beberapa hal mungkin terjadi suatu korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan .
D.Jenis-jenis (pidana) yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi dalam peraturan perundang-undangan Di Indonesia.
Kebijakan legislasi dalam peraturan perundang-udangan yang berlaku di Indonesia, yang mengatur tentang jenis sanksi pidana terhadap korporasi tenyata beravariasi, sebagai contoh dapat di kemukakan sebagai berikut :
1.Undang-undang No 7 Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
a.Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun (pasal 7 ayat (1) sub b);
b.Perampasan barang-barang yang tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. Sub d);
c.Pencabutan seluruh atau sebgaian hak- hak tetentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun (Pasal 7 ayat (1) sub e);
d.Pengumuman putusan hakim (Pasal 7 ayat (1) sub f);
e.Tindakan tata tertib, seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan, tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan hak jasa-jasa untuk memperabaiki akibat satu sama lain (Pasal 8 sub a, b, c, d); dan
f.Pidana denda, sebab menurut pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib dalam pasal 8 harus bersama-sama dengan sanksi pidana, dan sanksi pidana yang tepat dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda.
Catatan, sistem penjatuhan pidana yang dianut dalam Undang-undang Tindak pidana Ekonomi adalah “sistem dua jalur” atau “double track system” , artinya sanksi berupa pidana dan tindakan dijatuhkan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata tertib.\
2.Undang-undang No 6 tahun 1984 tentang pos
a.Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana denda; dan
b.Tindakan tata tertib (Pasal 19 ayat (3) jo pasal 19 ayat (1) dan (2)).
Dalam Undang-undang ini juga di anut Stelsel Pidana “sistem dua jalur, sama seperti dalam Tindak Pidana Ekonomi.
3.Undang-undang No 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.
Dapat dijatuhi hukuman;
a.Pidana denda (Pasal 20 ayat (1), ayat (3), pasal 22 ayat (1)); dan
b.Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha ketenagalistrikan (Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2)).
Dalam Undang-undang ini terdapat kelemahan pemidanaan khususnya terhadap Pemegang Kuasa Usaha Ketenegalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan, adalah tidak adanya ketentuan khusus mengenai sanksi pidana bagi korporasi yang ancaman pidananya tunggal yaitu pidana penjara (Pasal 21 ayat (2)). Disamping itu, juga tidak adanya aturan pengganti apabila denda tidak dibayar oleh korporasi.
4.Undang-undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
a.Menurut pasal 59 ayat (3), korporasi yang melakukan tindak pidana dalam pasal 59 hanya dikenakan dengan Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah);
b.Menurut pasal 70, korporasi yang melakukan tindak pidana dalam pasal 60 sampai dengan Pasal 64 dikenakan;
1.Pidana denda sebesar dua kali yang diancamkan; dan
2.Dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
5.Undang-undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
a.Pidana denda diperberat (pasal 78 ayat (4) samapai pada pasal 82);
b.Tidak ada ketentuan ekspilisit, bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan.
Barda Nawawi menyatakan bahwa dalam pasal 91 dikatan;
“penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam undang-undang ini, kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau denda tidak lebih dari 5.000.000,- (lima juta rupiah), dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang beralaku” dapat menjadi masalah, apakah dapat berlaku untuk korporasi atau tidak, karena dalam pasal itu tidak disebut ‘penjatuhan pidana terhadap korporasi”. Namun, dapat juga ditafsirkan berlaku untuk korporasi, karena pasal itu mengandung pernyataan umum tentanng penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam Undang-undang ini. Sekiranya Pasal 91 ini dimaksudkan juga untuk korporasi, hal ini masih menimbulkan masalah. Dikatakan masalah karena penjelasan pasal 91 menunjuk pada pidana pencabutan hak menurut KUHP, yaitu pasal 35 ayat (1) butir 1, butir2, dan butir 6, yaitu hak memegang jabatan; hak memasuki Angkatan bersenjata; dan hak menjalani pencarian tertentu. Padahal, pencabutan hak dalam KUHP itu bersifat individual, tidak ditujukan pada korporasi. Sehubungan dengan permasalahan diatas, seyogianya ditegaskan saja secara eksplisit, bahwa terhadap korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan, khususnya berupa pencabutan izin usaha.”
6.Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
1.Pidana pokok berupa pidana denda diperberat dengan sepertiga (pasal 45)
2.Tindakan tata tertib ( padal47 ) berupa ;
a.Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ; dan/atau
b.Penutupan perusahaan (seluruhnya/sebagian); dan/atau
c.Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d.Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
e.Meniadakan apaa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f.Menempatakan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
7.Undang-undang No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Untuk koprorasi dapat dijatuhi hukuman pidana denda (pasal 48). Disamping itu juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa;
a.Pencabutan izin usaha; atau
b.Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya lima tahun; atau
c.Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain (pasal 49).
Barda Nawawi menyatakan ;
“ Namun sangat disayangkan tindakan administratif tidak dapat diintegrasikan ke dalam sistem pertanggungjawaban pidana untuk korporasi. Artinya sanksi itu tidak merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim/pengadilan sekiranya korporasi diajukan sebagai pelaku tindak pidana. Seharusnya jenis sanksi “tindakan administratif” itu diintegrasikan dalam sistem sanksi pidana atau sistem pertanggung jawaban pidana, seperti “tindakan tata tertib” dalam UU Tindak Pidana Ekonomi (UU no 7 Drt. 1955).
8.Undang-undang No 8 tahun 1999 Pelindungan Konsumen
a.Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap “pelaku usaha” adalah pidana denda (Pasal 62);
b.Pidana tambahan, berupa ;
a)Perampasan barang tertentu;
b)Pengumuman keputusan hakim;
c)Pembayaran ganti rugi;
d)Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e)Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
f)Pencabutan izin usaha (pasal 63)
9.Undang-undang No 31 tahun 1999 jo undang-undang no 21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimummnya ditambah/diperberat 1/3 (satu pertiga) (pasal 20 ayat (7)).
Ketentuan tersebut cukup wajar sebab dari dua jenis pidan pokok yang diancamkan yaitu penjara dan denda, hanya pidana denda yang cocok dan dapat diterapkan untuk korporasi. Akan tetapi, juga dapat di pertimbangkan sebgaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1) dapat diterapkan terhadap korporasi, yaitu sanksi berupa penutupan perusahaan/korporasi untuk waktu tertentu atau pencabutan hak /izin usaha. Sebagai catatan pidana denda untuk korporasi tidak ditentukan ketentuan khusus tentang pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar korporasi. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena apabila denda tidak dibayar tunduk pada ketentuan Pasal 30 KUHP, yaitu diganti dengan kurungan pengganti denda selama 6 bulan, dan ini tidak dapat diterapkan terhadap korporasi dan hanya tepat diterapkan terhadap subjek tindak pidana berupa orang.
10.Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap badan usaha/badan hukum adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiga (pasal 56 ayat (2)). Dalam undang-undang ini pidana denda yang diancamkan paling tinggi Rp. 60.000.000.000,- (enam puluh miliar rupiah) (pasal 52, 54 dan 55).
11.Undang-undang No 15 tahun 2002 jo Undang-undang No 25 tahun Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pidana yang dapat di jatuhkan dalam undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah;
a.Pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah satu pertiga (pasal 5 ayat (1)).
b.Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi (pasal 5 ayat (2)).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
a.Pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat dilakukan oleh : korporasi, pengurus atau pengurus dan korporasi.
b.Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah denda dengan pemberatan yaitu ditambah 1/3 (sepertiga), tetapi tidak diatur bagaimana jika denda tidak dibayar oleh korporasi.
c.Pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh korporasi, untuk itu pidana berupa penutupan korporasi untuk jangka waktu tertentu, atau pencabutan ijin korporasi, atau pembatasan terhadap aktivitas korporasi dapat dijadikan alternatif pengganti.
d.Dari keseluruhan pidana yang dijatuhkan terhadap tindakan korporasi penjatuhan dari pidana yang di tentukan berupa denda dan pencabutan hak tertentu namun sanksi pidana terhadap orang yang menajalankan tindakan dari atas nama korporasi tersebut tidak diatur, melainkan masih menggunakan pidana umum yang di atur dalam KUHP.
Contoh seperti pembunuhan.
B. SARAN
Banyaknya masih kelemahan dalam beberapa peraturan khusus yang mengatur tentang perbuatan korporasi, baik itu kelemahan aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi, maupun kelemahan umum yang berpengaruh terhadap aturan pemidanaan
(pertanggungjawaban pidana) korporasi maka kita mengharapkan adanya satu peraturan khusus yang mengatur tentang Tindak Pidana Koprorasi.

DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Adji, Oemar Seno, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, jakarta.
Abidin, A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, jakarta.
Arief, Barda Nawawi., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Aditya Bakti, Bandung.
Hamzah,A, Tanggung Jawab Korporasai dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, jakarta .
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi,Kencana Prenada
Media Group,cetakan ke-2, jakarta.
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Ctk.
Pertama, Sekolah Tinggi Hukum Bandung.
Saleh, Roeslan. Tentang Tindak-tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta
;BPHN.
Setiyono. H, Kejahatan Korporasi ,Bayumedia Publishing, malang.
Suprapto, Hukum Pidana Ekonomi Ditinjau dalam Rangka Pembangunan Nasional, Widjaja,
Jakarta.
Sudarto, Pembidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Masalah-masalah Hukum, FH-UNDIP,
Semarang.
B.WEBSITE
Bismar Nasution, http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/




https://www.google.co.id/amp/s/aieadja44.wordpress.com/2012/10/23/pertanggungjawaban-tindak-pidaana-korporasi/amp/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar