Cari Blog Ini

Rabu, 25 April 2018

Memori Banding dan Jangka Waktu Penyerahannya

Kategori:Ilmu Hukum

Bagaimana pengajuan memori banding dalam praktik hukum acara dan tenggang waktu yang menyertainya?

Jawaban:

Ilman Hadi, S.H.

Saudara tidak menyebutkan pengajuan memori banding yang Saudara maksud dalam perkara perdata atau perkara pidana. Oleh karena itu, kami akan jelaskan satu persatu.

A.    Perkara Perdata

Pengertian memori banding tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, berdasarkan penjelasan M. Yahya Harahap dalam buku Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding (hal. 72) dapat kami sarikan bahwa memori banding adalah risalah mengenai penjelasaan keberatan (memorie van grieven) atau memory of objection terhadap pertimbangan dan kesimpulan putusan Pengadilan Negeri berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum yang sebenarnya.

Di dalam memori banding, pemohon juga dapat meminta agar Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi atau ahli baik pemeriksaan terhadap saksi atau ahli baru yang belum pernah diajukan, maupun pemeriksaan ulang oleh Pengadilan Tinggi terhadap saksi atau ahli yang sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri pada tingkat pertama (hal. 74).

Untuk dapat mengajukan banding, Saudara harus mengetahui dahulu bahwa putusan tersebut merupakan putusan yang tidak terlarang untuk diajukan banding, misalnya putusan perdamaian (lihatPasal 130 Reglement Indonesia yang Diperbaharui)

Mengenai pengajuan memori banding serta tenggat waktunya, M. Yahya Harahap menjelaskan (hal. 72-73), pada dasarnya pengajuan banding dengan menyertakan memori banding bukan merupakan syarat formil. Hal ini diatur dalam Pasal 199 ayat (1) Rechtsreglement Buitengewesten (“RBG”) yang menyatakan:

“….jika dikehendaki (pemohon banding), dapat disertai dengan surat memori dan surat lain yang dianggap perlu…”

Selain itu hal yang sama juga diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan

“Kedua belah pihak boleh memasukkan surat-surat keterangan dan bukti kepadaPanitera Pengadilan Negeri atau kepada Panitera Pengadilan Tinggi yang akan memutuskan, asal saja turunan dari surat-surat itu diberikan kepada pihak lawan dengan perantaraan pegawai Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri itu.”

Yahya Harahap juga menyertakan Putusan Kasasi mengenai pengajuan memori banding yaitu Putusan MA No. 663 K/Sip/1971 yang menyatakan memori banding bukan syarat formil permohonan banding karena undang-undang tidak mewajibkan pembanding mengajukan memori atau risalah banding. Putusan MA No. 3135 K/Pdt/1983 juga menyatakan tanpa memori atau kontra memori banding, permohonan banding sah dan dapat diterima, oleh karena itu perkara tetap diperiksa ulang secara keseluruhan.

Kemudian mengenai tenggat waktu pengajuan memori banding, menurut Yahya Harahap (hal. 75), oleh karena memori banding bukan merupakan syarat formil pengajuan banding maka tidak ada peraturan yang mengatur tenggat waktu apabila pembanding ingin mengajukan. Dia berpendapat bahwa penyampaian memori banding yang dianggap paling tepat, dilakukan bersamaan dengan permohonan banding. Dengan cara yang demikian, pada saat pemberitahuan banding kepada terbanding, juru sita tidak mengalami kendala untuk sekaligus menyerahkan salinan memori banding kepada terbanding.

Cara yang lain penyerahan memori banding yang lain dapat dilakukan kapan saja asalkan selama perkara tersebut belum diputus pengadilan tinggi dalam tingkat banding. Pendapat Yahya Harahap ini didasarkan pada Putusan MA No. 39 K/Sip/1973yang menyatakan undang-undang tidak menentukan batas waktu penyampaian memori banding, sehubungan dengan itu, memori banding dapat diajukan selama pengadilan tinggi dalam tingkat banding belum memutus perkara tersebut.

 

B.    Perkara Pidana

Sama seperti halnya dalam perkara perdata, di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang acara pidana, juga tidak diatur pengertian memori banding.

M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 485), memberikan pengertian memori banding yaitu uraian atau risalah yang disusun oleh pemohon banding yang memuat tanggapan terhadap sebagian maupun seluruh pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Di dalam tanggapan tersebut pemohon mengemukakan kelemahan dan ketidaktepatan kewenangan mengadili, penerapan, dan penafsiran hukum yang terdapat dalam putusan. Memori banding juga dapat mengemukakan hal-hal baru atau fakta dan pembuktian baru, dan meminta supaya hal-hal atau fakta baru itu diperiksa dalam suatu pemeriksaan tambahan.

Seperti halnya dalam perkara perdata, sebelum mengajukan banding dalam perkara pidana, pemohon harus mengetahui bahwa putusan tersebut boleh untuk diajukan banding.

Putusan yang tidak dapat diajukan banding adalahputusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, sebagaimana diatur Pasal 67 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)Selain itu, putusan Praperadilan yang dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP juga tidak dapat diajukan banding.

Berdasarkan ketentuan Pasal 237 KUHAP ternyata pengajuan memori banding tidak bersifat wajib:

“Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan tinggi.”

Mengenai tenggang waktu pengajuan memori banding dalam perkara pidana, Yahya Harahap berpendapat (hal. 487):

“Dari ketentuan pasal (237 KUHAP) tersebut, batas jangka waktu menyerahkan atau menyampaikan memori dan kontra memori banding, terhitung “sejak tanggal permohonan” banding diajukan, dan selambat-lambatnya “sebelum perkara mulai diperiksa”. Berarti pada tanggal hari pemeriksaan yang ditentukan, masih ada kemungkinan untuk menyerahkan memori atau kontra memori. Batas waktunya, asal perkaranya belum mulai diperiksa. Umpamanya, berdasar penetapan, perkara yang bersangkutan akan diperiksa pada tanggal 30 April jam 9.00. Pada tanggal 30 April jam 8.00 masih terbuka kesempatan bagi pemohon banding untuk menyerahkan memori banding.”

Jadi, berdasarkan penjelasan kami sebelumnya, pengajuan memori banding dalam perkara perdata maupun perkara pidana, bukan merupakan syarat formil ataupun keharusan. Mengenai tenggang waktu mengajukan memori banding tidak diatur secara tegas, tetapi dalam praktiknya adalah pada saat pengajuan permohonan banding.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.    Rechtsreglement Buitengewesten Staatsblad No. 227 Tahun 1927

2.    Reglement Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch ReglementStaatsblad Nomor 44 Tahun 1941

3.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan

4.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

 

Putusan:

1.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 663 K/Sip/1971

2.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 K/Sip/1973

3.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 3135 K/Pdt/1983

Bung Pokrol






m.hukumonline.com/klinik/detail/cl5037/memori-banding-dan-jangka-waktu-penyerahannya

Rabu, 11 April 2018

Jual Beli Tanah Yayasan

Kategori:Hukum Perusahaan

Bisakah tanah aset yayasan diperjualbelikan pada pihak lain? Bagaimana caranya kalau bisa?

Jawaban:

Letezia Tobing, S.H., M.Kn.

Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (“UU Yayasan”), Pengurus tidak berwenang:

a.    mengikat Yayasan sebagai penjamin utang;

b.    mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina; dan

c.    membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.

Ini berarti bahwa aset atau kekayaan yayasan dapat dijual kepada pihak lain selama memenuhi ketentuan padaPasal 37 ayat (1) huruf b UU Yayasan, yaitu bahwa pengurus harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pembina.

Cara yang dilakukan adalah dengan jual beli tanah pada umumnya, tetapi sebelum melakukan jual beli tersebut, harus mendapatkan persetujuan dari Pembina yang sebaiknya dibuat secara tertulis.

Akan tetapi perlu Anda ketahui, bahwa kekayaan Yayasan dapat juga berasal wakaf (Pasal 26 ayat [2] UU Yayasan). Oleh karena itu, sebelum menjual tanah aset Yayasan, harus dilihat terlebih dahulu apakah tanah tersebut merupakan tanah wakaf atau tidak. Jika tanah tersebut adalah tanah wakaf, maka berlaku ketentuan mengenai wakaf.

Pasal 26 UU Yayasan

(1) Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang.

(2) Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari:

a.    sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;

b.    wakaf;

c.    hibah;

d.    hibah wasiat; dan

e.    perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan.

(4) Kekayaan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

Dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”) dikatakan bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:

a.    dijadikan jaminan;

b.    disita;

c.    dihibahkan;

d.    dijual;

e.    diwariskan;

f.     ditukar; atau

g.    dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Atas ketentuan dalam Pasal 40 UU Wakaf tersebut, terdapat pengecualiannya dalam Pasal 41 UU Wakaf, yaitu atas benda wakaf dapat dilakukan pertukaran apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. Hal ini hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.

Jika terjadi pelanggaran atas Pasal 40 UU Wakaf, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500juta (Pasal 67 ayat [1] UU Wakaf).

Mengenai tanah wakaf ini, Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., dalam bukunya yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan(hal. 10) menjelaskan bahwa tanah wakaf adalah hak atas tanah yang semula merupakan hal primer, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, atau tanah bekas Hak Milik Adat (yang lebih dikenal dengan istilah “tanah girik”) dan kemudian diwakafkan atau diserahkan oleh pemiliknya kepada badan keagamaan atau badan sosial lainnya untuk dikelola. Peralihan status dari hak atas tanah primer menjadi tanah wakaf menyebabkan tanah yang sudah dialihkan tersebut tidak memiliki nilai ekonomis lagi. Artinya, sudah tidak bisa diperjualbelikan kepada pihak lain.

Jadi, pada dasarnya tanah aset Yayasan dapat dijual oleh Pengurus kepada pihak lain selama telah ada persetujuan dari Pembina. Akan tetapi, perlu dilihat juga status tanah tersebut, apakah tanah tersebut adalah tanah wakaf atau bukan. Jika tanah tersebut adalah tanah wakaf, maka tanah tersebut tidak dapat dijual.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

1.    Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan;

2.    Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

 

Referensi:

Purnamasari, Irma Devita. 2010. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan. Penerbit Kaifa.






Sumber :

m.hukumonline.com/klinik/detail/lt51bfc9839a912/jual-beli-tanah-yayasan