Cari Blog Ini

Selasa, 28 April 2020

Hukumnya Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Bukti

Dimas Hutomo, S.H.

Pertanyaan

Mau tanya, tindakan menuduh orang melakukan tindak pidana tanpa bukti itu ada di pasal berapa?


Ulasan Lengkap

 
Pentingnya Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAPPemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 273), pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), maka terdakwa dinyatakan “bersalah”.
 
Yahya juga menegaskan bahwa pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
 
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan alat bukti yang sah, ialah:
  1. keterangan saksi[1];
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.
 
Memang alat bukti yang dimaksud di atas ditujukkan pada pemeriksaan persidangan. Namun biasanya alat bukti didapat saat dilakukan penyidikan. Hal ini sebagaimana diatur di Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, dan Pasal 1 angka 15 KUHAP, bunyinya:
 
Pasal 1 angka 2 KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
 
Pasal 1 angka 14 KUHAP
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
 
Pasal 1 angka 15 KUHAP
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
 
Sebelum masuk ke pemeriksaan persidangan, peran alat bukti sangat penting agar seseorang dapat dikatakan menjadi tersangka, tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan oleh tersangka tersebut. Selanjutnya tersangka berubah statusnya menjadi terdakwa.
 
Peran alat bukti dalam hukum acara pidana ialah agar seseorang tidak seketika dapat dikatakan sebagai tersangka berdsarkan bukti permulaan.
 
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Arti Bukti Permulaan yang Cukup Dalam Hukum Acara Pidana "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.[2]
 
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
 
Maka dari itu, alat bukti menjadi unsur yang penting untuk menentukan status seseorang sebagai tersangka atau terdakwa.
 
Jika Menuduh Tanpa Bukti
Menjawab pertanyaan Anda, apakah dapat dipidana jika orang menuduh tanpa bukti?
 
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Syarat Agar Tuduhan Dapat Dianggap Sebagai Fitnahsebuah tuduhan yang tidak berdasar (tanpa alat bukti) dapat dikatakan sebagai fitnah. Perbuatan tersebut harus memenuhi unsur Pasal 311 ayat (1Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
 
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.
 
Unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah:
  1. Seseorang;
  2. Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan;
  3. Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar.
 
Akan tetapi, unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP ini harus merujuk pada ketentuan menista pada Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
 
Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.[3]
 
Dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.227), R. Soesilo mengatakan bahwa kejahatan pada pasal ini dinamakan memfitnah. Atas pasal ini, R. Soesilo merujuk kepada catatannya pada Pasal 310 KUHP no. 3 yang menjelaskan tentang apa itu menista.
 
R. Soesilo juga mengatakan (hal. 225-226) antara lain bahwa untuk dikatakan sebagai menista, penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu” dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Penghinaan itu ada 6 macam, salah satunya adalah mefitnah (laster) di Pasal 311. Penghinaan in hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menderita (delik aduan). Orang yang melakukan tuduhan tanpa alat bukti (bukan fakta yang sesungguhnya), dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur Pasal 311 ayat (1) KUHP, karena telah melakukan fitnah.
 
Jadi menjawab pertanyaan Anda, menuduh orang lain tanpa bukti dapat dikatakan sebagai fitnah dan dapat dipidana sepanjang tuduhan tersebut tersiar atau diketahui orang banyak.
 
Contoh Kasus
Sebagai contoh dapat kita lihat pada Putusan Pengadilan Negeri Pasarwajo Nomor 37/Pid.B/2012/PN.PW Tahun 2012. Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perbuatan Fitnah” berdasarkan Pasal 311 ayat (1) KUHP, dan majelis hakim menjatuhkan 3 bulan pidana penjara.
 
Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara menuduh korban telah menghilangkan (mencuri) 3 karung beras, dan tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya oleh terdakwa. Maksud terdakwa mengeluarkan kata-kata tersebut adalah agar korban tidak terpilih sebagai kepala Desa dalam pemilihan Kepala Desa Kamoali.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.
 
Putusan:
  1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010;
  2. Putusan Pengadilan Negeri Pasarwajo Nomor 37/Pid.B/2012/PN.PW Tahun 2012;
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
 
Referensi:
  1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia;
  2. Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
 
 

[1] Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana makna saksi telah diperluas menjadi sebagai berikut: Pasal 1 angka 26 KUHAP dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1a) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
[2] Penjelasan Pasal 17 KUHAP



Tidak ada komentar:

Posting Komentar