Cari Blog Ini

Minggu, 27 Oktober 2019

Ketika Istri Tak Lagi Mencintai Suaminya

Pertanyaan

Teman saya sudah menikah 2 tahun dan dia mau bercerai karena katanya sudah tidak cinta. Perlu diketahui, teman saya itu menikah karena kemauan orang tuanya, dia disuruh menikah secepatnya, padahal sebenarnya dia tidak mau. Sekarang teman saya sudah lelah dengan kepura-puraannya ini. Suami teman saya itu tidak lalai dalam tugasnya sebagai suami. Pertanyaannya, bolehkah bercerai karena tidak cinta lagi?


Ulasan Lengkap

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 

Kami turut prihatin terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh teman Anda. Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.

 

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, penting halnya jika kita terlebih dahulu menyimak bunyi Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):

“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”

 

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

1.    salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2.    salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya

3.    salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

4.    salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain

5.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri

6.    antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga

 

Selain alasan-alasan tersebut, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)yang mengatur dua alasan perceraian yang tidak diatur dalam UU Perkawinan yaitu:  

1.    Suami melanggar taklik talak

2.    Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga

 

Di dalam cerita disebutkan bahwa teman Anda sudah menikah selama dua tahun, namun ingin bercerai karena sudah tidak cinta lagi dengan suaminya. Juga dikatakan, sang suami tidak lalai dalam tugasnya sebagai suami. Jika merujuk pada alasan dari segi UU Perkawinan dan KHI yang telah kami sebutkan di atas, maka alasan karena sudah tidak cinta tidak dapat dijadikan dasar untuk perceraian. Oleh karena itu, tidak ada cukup alasan bagi teman Anda untuk menggugat cerai suaminya.

 

Selanjutnya, kami akan membahas mengenai alasan tidak cinta lagi sebagai dasar perceraian ini jika dilihat dari segi hukum Islam. Apabila teman Anda dan suami beragama Islam, maka ada syariat Islam yang juga perlu dicermati terkait hal ini.

 

Mengutip pada sebuah artikel yang menurut kami relevan dengan pertanyaan Anda ini berjudul Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkah Suami-Isteri Bersatu Kembali? yang kami akses dari laman mediasilaturahim.com, dikatakan:

 

“… tujuan utama pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Dari sini, maka bila salah satu pihak (suami atau isteri) sudah merasa tidak nyaman, maka ia boleh memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya. Bila isteri yang sudah merasa tidak nyaman, maka dia boleh melakukan khulu’, yaitu menebus dirinya dari kekuasaan suami dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kemudharatan yang akan menimpa wanita, baik karena sikap suaminya yang tidak baik (zhalim) maupun karena dia tidak bisa lagi tinggal bersama orang yang tidak dicintainya.”

 

Selain bersumber pada tulisan di atas, sumber lain yang menurut kami juga relevan terkait khulu’ ini adalah tulisan berjudul Talak Bagian 4 (Sebab Talak: Khulu’) yang kami dapat dari laman muslimah.or.id. Tulisan tersebut menerangkan bahwa khulu’ diambil dari ungkapan خلعالثوب yang artinya melepas baju, karena secara kiasan, istri adalah pakaian suami. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

 “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Q.S. Al-Baqarah: 187)

Kembali kepada penjelasan dalam tulisan Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkah Suami-Isteri Bersatu Kembali?, lebih lanjut dijelaskan bahwa karena pernikahan merupakan ikatan suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, Islam agak sedikit menutup kemungkinan cara khulu’ ini. Artinya, Islam berusaha agar hal seperti itu tidak terjadi. Jika memang harus terjadi, maka hal itu dibolehkan. Tentunya berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi kedua belah pihak. Hal ini dimaksudkan agar wanita tidak menggunakan fasilitas khulu’ ini semaunya tanpa ada pertimbangan kemashlahatan. Demikian pula dengan hakim, dia tidak boleh mengabulkan permohonan khulu’ begitu saja tanpa ada pertimbangan kemashlahatan dan sebelum berusaha untuk menyatukan kembali suami istri yang akan bercerai.

 

Kemudian, kami akan menjelaskan khulu’ dari segi teknis dalam praktik. Kami merujuk pada sebuah tulisan berjudul Spesifikasi Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Upaya Modifikasi Penerapan Hukum Putusnya Perkawinan karena Perceraian di Pengadilan Agama) yang dibuat oleh Erfani, S.HI. yangkami akses dari laman resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Erfani berpendapat bahwa ketika perceraian/putusnya perkawinan itu diajukan dari dan oleh istri dengan sebab bersumber dari istri atau juga dari suami, maka perceraian/putusnya perkawinan itu merupakan fasakh (fasakh: putusnya perkawinan oleh hakim). Salah satu jenis putusnya perkawinan ini adalah talak khulu’. Kasus perceraian yang dapat diterapkan lembaga talak jenis khuluk ini adalah ketika sebuah perceraian itu merupakan kehendak istri, sementara perceraian yang dikehendaki oleh isteri itu lebih kepada situasi isteri yang sudah tidak lagi menyukai (karahiyah) dan tidak lagi mencintai suaminya. Hal ini karena mempertahankan rumah tangga sementara rasa cinta itu hanya sepihak saja akan menimbulkan banyak dampak negatif bagi keduanya, sehingga perceraian harus menjadi jalan keluar meskipun pada dasarnya suami tidak menghendaki itu.

 

Jadi, dalam praktiknya alasan perceraian atas dasar karena sudah tidak cinta lagi ini memang terjadi di masyarakat dan seorang istri yang tidak cinta lagi kepada suaminya dapat memohon kepada suaminya untuk menjatuhkan talak kepadanya yang dinamakan talak khulu’ yang mana pengadilan agama memfasilitasinya melalui lembaga khulu’.

 

Dengan demikian, berpedoman pada ulasan mengenai khulu’ dari beberapa tautan yang kami berikan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari alasan-alasan perceraian yang disebut dalam UU Perkawinan dan KHI, teman Anda tidak dapat menggugat cerai suaminya oleh karena alasan tidak cinta lagi tidak dapat dijadikan dasar untuk perceraian. Akan tetapi, jika dilihat dari segi hukum Islam dan dalam praktik, permintaan istri kepada suami untuk menjatuhkan talak kepadanya karena alasan tidak cinta lagi boleh/dimungkinkan untuk dilakukan, namun hakim yang mengabulkan permohonan talak jenis ini harus berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi suami dan istri.

 

Namun bagaimanapun juga, menurut hemat kami, perceraian haruslah sebaik mungkin dihindari. Kami berharap teman Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan tanpa harus melalui jalan perceraian.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1.    Al-Qur’an

2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3.  Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
 

Referensi:

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, diakses pada 9 Juli 2013 pukul 14.44 WIB

http://mediasilaturahim.com/konsultasi-agama/konsultasi-keluarga/218-khulu-bersatu-kembali.html, diakses pada 11 Juli 2013 pukul 08.43 WIB

http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-4-sebab-talak-khulu.html, diakses pada 11 Juli 2013 pukul 10.05 WIB





Sumber : https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51d67473680bd/ketika-istri-tak-lagi-mencintai-suaminya/

Rabu, 16 Oktober 2019

Akibat Hukum Jika Debitor Melakukan Perbuatan Hukum dalam Proses Kepailitan


Pertanyaan


1. Apakah Debitor sebagai salah satu subjek dalam kepailitan dapat melakukan perbuatan hukum dalam proses kepailitan? 2. Bagaimana akibat hukumnya jika Debitor tetap melakukan perbuatan hukum, dalam artian melakukan perbuatan hukum demi melunasi dan membagi rata utang-utang Debitor tersebut secara rata? Sedangkan di Pasal 10 UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa Debitor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor.


Ulasan Lengkap

 

Akibat Kepailitan

Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”).

 

Akibat dari kepailitan adalah debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.[1]

 

Debitor dalam Proses Kepailitan

Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, berdasarkan ketentuan di atas, maka sejak putusan pernyataan pailit diucapkan dan selama kepailitan, Debitor telah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, Debitor sudah tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang meliputi kekayaannya termasuk yang diperoleh selama kepailitan.

 

Hal ini juga ditegaskan dalam Paragraf 9 Penjelasan Umum UU PKPU yang menyatakan:

Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.

 

Selanjutnya terhadap pertanyaan Anda yang kedua, akibat hukum jika Debitor tetap melakukan perbuatan hukum demi melunasi dan membagi rata utang-utang Debitor adalah tindakan Debitor tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Hal ini karena yang berwenang untuk melakukan pembagian pembayaran utang-utang Debitor kepada Kreditor adalah Kurator berdasarkan prinsip keseimbangan dalam Kepailitan (Pari Passu Pro Rata Parte) dengan memperhatikan adanya kreditur-kreditur yang haknya didahulukan (Kreditur Preferen dan Kreditur Separatis).[2] Yang dimaksud dengan "pro rata", adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing.[3]

 

Jika Perbuatan Hukum Debitor Merugikan Kreditor

Sebagai informasi, jika perbuatan hukum yang Debitor lakukan sebelum putusan pernyataan pailit itu diucapkan merugikan Kreditor, maka berlaku Pasal 41 UU KPKPU:

 

(1)  Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

(2)  Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

(3)  Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.

 

Akibat hukumnya, setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta Debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus mengembalikan benda tersebut kepada Kurator dan dilaporkan kepada Hakim Pengawas. Jika orang tersebut tidak dapat mengembalikan benda yang telah diterima dalam keadaan semula, wajib membayar ganti rugi kepada harta pailit.[4]

 

Implikasi Pidana Tindakan Debitor yang Menggunakan Harta Pailit

Selanjutnya, karena Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas,[5] maka tindakan Debitor melakukan pembayaran dengan menggunakan harta pailit yang berstatus sita umum juga dapat berimplikasi secara pidana.

 

Hal ini diatur dalam Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) jo. Pasal-pasal KUHP tentang perbuatan merugikan pemiutang (schuldeischer) atau orang yang mempunyai hak (rechtthebbende) dalam keadaan pailit (Pasal 396-Pasal 405 KUHP).

 

Selanjutnya, Kurator berdasarkan kewenangannya dapat meminta kepada Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, untuk menempatkan Debitor untuk ditahan baik di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri.[6]

 

Selanjutnya menyorot soal Pasal 10 UU KPKPU yang Anda sebut, berikut bunyi lengkapnya:

 

(1)  Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap Kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk:

a.    meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor; atau

b.    menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi:

1)    pengelolaan usaha Debitor; dan

2)    pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Debitor yang dalam kepailitan merupakan wewenang Kurator.

(2)  Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikabulkan, apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan Kreditor.

(3)  Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikabulkan, Pengadilan dapat menetapkan syarat agar Kreditor pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh Pengadilan.

 

Jadi, kami luruskan bahwa yang berhak melakukan pengajuan permohonan sita jaminan terhadap kekayaan Debitor kepada Pengadilan adalah Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan dan bukan oleh Debitor.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

 

 

[1] Pasal 24 ayat (1) UU KPKPU

[2] Pasal 176 dan Pasal 189 UU KPKPU

[3] Penjelasan Pasal 176 huruf a UU KPKPU

[4] Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU KPKPU

[5] Pasal 1 angka 1 UU KPKPU

[6] Pasal 93 ayat (1) UU KPKPU




Sumber : https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57a04af17c45a/akibat-hukum-jika-debitor-melakukan-perbuatan-hukum-dalam-proses-kepailitan/

Bisakah Seorang Kreditor Saja Menjadi Pemohon PKPU?


Pertanyaan


Apabila pemohon PKPU adalah kreditor, mungkinkah mengajukan permohonan PKPU cukup dengan 1 kreditor? Hal ini karena Pasal 222 ayat (1) Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa PKPU diajukan oleh debitor yang memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor atau kreditor. Apakah kata-kata "atau kreditor" di atas dapat diartikan sebagai 1 kreditor?

 

Ulasan:

 

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengenai istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) memang tidak didefinisikan secara padat dan ringkas dalam ketentuan  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan dan PKPU”).

 

Untuk itu, agar memudahkan kita dalam memahami PKPU, saya akan mengutip pendapat dari salah satu praktisi kepailitan, Munir Fuady, tentang definisi PKPU, dalam bukunya Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (hal. 175), sebagai berikut:

 

Yang dimaksud dengan tundaan pembayaran utang (suspension of payment atau surseance van betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut (legal moratorium).

 

Permohonan PKPU

Pasal 222 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU memang memungkinkan permohonan PKPU diajukan oleh Debitor (orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor, ATAU diajukan oleh Kreditor (orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

 

Berikut selengkapnya bunyi Pasal 222 UU Kepailitan dan PKPU:

(1)  Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.

(2)  Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

(3)  Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.

 

Dengan diberikannya “legal standing” (kedudukan hukum) oleh UU Kepailitan dan PKPU bagi Debitor atau Kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU, sempat menimbulkan perdebatan di kalangan praktisi hukum kepailitan. Ada beberapa praktisi yang mempertanyakan, mengapa legal standing untuk mengajukan PKPU juga diberikan kepada Kreditor, yang notabene merupakan orang yang memberikan utang kepada Debitor. Sedangkan di sisi lain, yang mungkin lebih tahu soal daya atau kesanggupan membayar utang tersebut adalah Debitor itu sendiri.

 

Padahal, apabila persetujuan dari Kreditor untuk pemberian PKPU secara tetap sampai jangka waktu PKPU berakhir tidak berhasil didapatkan atau dalam hal tidak tercapainya persetujuan atas rencana perdamaian sampai batas akhir PKPU yaitu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, maka pengurus pada hari berakhirnya waktu tersebut wajib memberitahukan hal itu melalui Hakim Pengawas kepada Pengadilan yang harus menyatakan Debitor pailit.[1] Selain itu, atas putusan PKPU tersebut juga tidak terbuka upaya hukum apapun.[2]

 

Namun demikian, apapun pandangan yang menjadi perdebatan di atas, ketentuan Pasal 222 UU Kepailitan dan PKPU tetap merupakan hukum positif yang masih berlaku dan belum dibatalkan atau dicabut keberlakuannya.

 

Dapatkah Mengajukan Permohonan PKPU oleh Cukup Satu Kreditor Saja?

Menjawab pertanyaan Anda soal apakah dalam mengajukan permohonan PKPU cukup dengan 1 (satu) Kreditor saja, maka menurut hemat kami, ketentuan Pasal 222 UU Kepailitan dan PKPU mengenai pemberian PKPU dan akibatnya harus dibaca dengan pengertian bahwa dalam mengajukan PKPU, baik Debitor atau Kreditor sebagai pemohon PKPU harus tetap dapat membuktikan bahwa Kreditor dalam PKPU tersebut adalah lebih dari 1 (satu) KreditorDengan demikian, permohonan PKPU dapat diajukan oleh 1 (satu) Kreditor dengan tetap mendalilkan adanya Kreditor-Kreditor lain yang memiliki piutang terhadap Debitor tersebut.

 

Kesimpulan ini tentunya sejalan dengan prinsip-prinsip utama yang terkandung dalam hukum Kepailitan dan PKPU, yaitu Prinsip Paritas Creditorium yang artinya Kreditor mempunyai kedudukan dan hak yang sama terhadap semua harta Debitor, Prinsip Pari Pasu Prorata Parte yang berarti harta kekayaan Debitor merupakan jaminan bersama untuk para Kreditor secara proporsional, kecuali apabila ada hak didahulukan dalam menerima pembayaran tagihan, dan Prinsip Structured Creditors (Kreditor separatis, preferen, dan konkuren).

 

Contoh Kasus

Selain itu, sebagai referensi tambahan untuk Anda, kita dapat melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 267 K/Pdt.Sus-PKPU/2013 antara PT Jayakarta Sakti selaku Debitor merupakan Pemohon Kasasi melawan PT BANK BNI Syariah selaku Termohon Kasasi, dimana dalam tingkat Pengadilan Niaga sebelumnya, PT BANK BNI Syariah selaku Kreditor merupakan pemohon PKPU (tunggal) tetap mendalilkan adanya beberapa Kreditor lain dalam Permohonan PKPU tersebut.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 

 

Referensi:

Munir Fuady. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Citra Aditya Bakti, 2010.  

 

Putusan:

Putusan Mahkamah Agung Nomor 267 K/Pdt.Sus-PKPU/2013

[1] Pasal 230 ayat (1) jo. Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan dan PKPU

[2] Pasal 235 ayat (1)  UU Kepailitan dan PKPU




Sumber : https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt589ac719e7249/bisakah-seorang-kreditor-saja-menjadi-pemohon-pkpu/

Hukum Kepailitan di Indonesia


1) Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan

Kata pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya (Abdurrachman, A., 1991 : 89). Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah

“the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person againt whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntaru petition, or who has been adjudged a bankrupt.

Dari pengertian tersebut maka pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar. (Ahmad Yani & Gunawan Widjaja , 2004 : 11 ).

Orang sering menyamakan arti pailit ini sama dengan bankrupt atau bangkrut dalam bahasa Indonesia. Namun, menurut penulis pengertian pailit tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan, tetapi pailit bisa terjadi pada perusahaan yang keadaan keuangannya sehat, perusahaan tersebut dipailitkan karena tidak membayar utang yang telah jatuh tempo dari salah satu atau lebih kreditornya. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut :

a) Adanya utang;

b) Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo;

c) Minimal satu dari utang dapat ditagih;

d) Adanya debitor;

e) Adanya kreditor;

f) Kreditor lebih dari satu;

g) Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”;

h) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;

i) Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan;

Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim harus “menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya.

Apabila kita membahas mengenai hukum kepailitan, maka tidak terlepas dari ketentuan peraturan perundang-undangan lain di luar peraturan mengenai kepailitan. Sebagai contoh, jika debitur adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maka harus kita lihat peraturan yang mengatur tentang PT, misanya tentang akibat kepailitan serta tanggung jawab pengurus PT. Begitu pula kepailitan suatu BUMN, kita harus melihat pula peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMN. Sehinggga di sini dasar yang menjadi sumber hukum kepailitan tidak hanya dari Undang-Undang Kepailitan saja, akan tetapi harus diperhatikan pula peraturan lain yang masih berhubungan. Dasar hukum kepailitan yang utama tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun sumber lainnya misalnya KUH Perdata Pasal.1139,1149,1134; KUHP Pasal 396,397,399,400,520 ;Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan; dan peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan kepailitan.

2) Pihak yang dapat Dinyatakan Pailit

Setiap orang dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004. Debitur secara sumir terbukti memenuhi syarat di atas dapat dinyatakan pailit, baik debitor perorangan maupun badan hukum. Menurut Imran Nating, pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain :

a) Orang Perorangan

Baik laki-laki maupun, menjalankan perusahaan atau tidak, ayng telah menikah maupun yang belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitor perorangan yang telah menikah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya, kecuali antara suami istri tersebut tidak ada pencampuran harta.

b) Harta Peninggalan (Warisan)

Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya. Dengan demikian, debitor yang telah meninggal dunia masih saja dinyatakan pailit atas harta kekayaannya apabila ada kreditor yang mengajukan permohonan tersebut. Akan tetapi permohonan tidak ditujukan bagi para ahli waris. Pernyataan pailit harta peninggalan berakibat demi hukum dipisahkan harta kekayaan pihak yang meninggal dari harta kekayaan para ahli waris dengan cara yang dijelaskan dalam Pasal 1107 KUH Perdata. Permohonan pailit terhadap harta peninggalan, harus memperhatikan ketentuan Pasal 210 Undang-Undang Kepailitan, yang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah debitor meninggal.

c) Perkumpulan Perseroan (Holding Company)

Undang-Undang Kepailitan tidak mensyaratkan bahwa permohonan kepailitan terhadap holding company dan anak-anak perusahaannya harus diajukan dalam satu dokumen yang sama. Permohonan-permohonan selain dapat diajukan dalam satu permohonan, juga dapat diajukan terpisah sebagai dua permohonan.

d) Penjamin (Guarantor)

Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditor mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban debitor apabila debitoe yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajibannya

e) Badan Hukum

Dalam kepustakaan hukum Belanda, istilah badan hukum dikenal dengan sebutan rechtsperson, dan dalam kepustakaan Common Law seringkali disebut dengan istilah legal entity, juristic person, atau artificial person. Badan hukum bukanlah makhluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan hukum kehilangan daya piker, kehendaknya, dan tidak mempunyai central bewustzijn. Oleh karena itu, ia tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Ia harus bertindak dengan perantara orang (natuurlijke personen), tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas nam pertanggungan gugat badan hukum. Pada badan hukum selalu diwakili oleh organ dan perbuatan organ adalah perbuatan badan hukum itu sendiri. Organ hanya dapat mengikatkan badan hukum, jika tindakanya masih dalam batas dan wewenang yang telah ditentukan dalam anggaran dasar.

f) Perkumpulan Bukan Badan Hukum

Perkumpulan yang bukan berbadan hukum ini menjalankan suatu usaha berdasarkan perjanjian antaranggotanya, tetapi perkumpulan ini bukan merupakan badan hukum, artinya tidak ada pemisahan harta perusahaan dan harta kekayaan pribadi, yang termasuk dalam perkumpulan ini antara lain :

(1) Maatscappen (persekutuan perdata);

(2) Persekutuan firma;

(3) Persekutuan komanditer.

Oleh karena bukan badan hukum, maka hanya para anggotanya saja yang dapat dinyatakan pailit. Permohonan pailit terhadap Firma dan Persekutuan Komanditer harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang Firma.

g) Bank

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membedakan antara debitur bank dan bukan bank. Pembedaan tersebut dilakukan dalam hal siapa yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apabila debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia, karena bank sarat dengan uang masyarakat yang harus dilindungi.

h) Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

Sebagaimana bank, Undang-Undang Kepailitan dan PKPU juga membedakan perusahaan efek dengan debitur lainnya. Jika menyangkut debitur yang merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Badan ini dikecualikan oleh Undang-Undang karena lembaga ini mengelola dana masyarakat umum.

3) Pihak yang dapat Memohonkan Pailit

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 2, bahkan panitera wajib tidak menerima permohonan pernyataan pailit apabila diajukan oleh pihak yang tidak berwenang. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit antara lain :

a) Debitor

Dalam setiap hal disyaratkan bahwa debitur mempunyai lebih dari satu orang kreditor, karena merasa tidak mampu atau sudah tidak dapat membayar utang-utangnya, dapat mengajukan permohonan pailit. Debitur harus membuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih kreditor serta juga membuktikan bahwa ia tidak dapat membayar salah satu atau lebih utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Apabila debitor telah menikah, maka harus ada persetujuan pasanganya, karena hal ini menyangkut harta bersama, kecuali tidak ada pencampuran harta.

b) Kreditor

Dua orang kreditor atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit selama memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Kreditor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi debitor harus memenuhi syarat bahwa hak tuntutannya terbukti secara sederhana atau pembuktian mengenai hak kreditor untuk menagih juga dilakukan secara sederhana.

c) Kejaksaan

Apabila permohonan pernyataan pailit mengandung unsure atau alasan untuk kepentingan umum maka, permohonan harus diajukan oleh Kejaksaan. Kepntingan umum yang dimaksud dalam Undang-Undang adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:

(1) Debitor melarikan diri;

(2) Debitor menggelapkan harta kekayaan;

(3) Debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;

(4) Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;

(5) Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau

(6) Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

d) Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit jika debitornya adalah bank. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan.

e) Badan Pengawas Pasar Modal

Apabila debitor adalah perusahaan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian maka satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah Badan Pengawas Pasar Modal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal.

f) Menteri Keuangan

Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh Menteri Keuangan apabila debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. Kemudian Kewenangan untuk mengajukan pailit bagi Dana Pensiun, sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Dana Pensiun, mengingat Dana Pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak jumlahnya.

Permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan tersebut harus melalui advokat yang telah memiliki izin praktik beracara. Namun, apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan, tidak diperlukan advokat.

4) Akibat Hukum Pernyataan Pailit

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut :

a) Kekayaan debitor pailit yang masuk ke dalam harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit.

b) Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitor pailit.

c) Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengururs dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit sejak hari putusan pailit diusapkan.

d) Segala perikatan debitor yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta pailit.

e) Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua kreditor dan debitor, sedangkan Hakim Pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.

f) Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.

g) Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan untuk mendapatkan pelunasan suatu perikatan dari harta pailit, dan dari harta debitor sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan cara melaporkannya untuk dicocokkan.

h) Kreditor yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak Fidusia, Hak Tanggungan, atau hipotek dapat melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada kepailitan.

i) Hak eksekutif kreditor yang dijamin dengan hak-hak di atas serta pihak ketiga, untuk dapat menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum untuk waktu 90 hari setelah putusan pailit diucapkan.

Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitor untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitor kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Kewenangan debitor itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala perikatan yang dibuat debitor dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan kuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan atau rapat verifikasi. Segala tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Begitu pula mengenai segala eksekusi pengadilan terhadap harta pailit. Eksekusi pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikankecuali eksekusi itu sudah sedemikian jauh hingga hari pelelangan sudah ditentukan, dengan izin hakim pengawas kurator dapat meneruskan pelelangan tersebut.

Kepailitan mempunyai banyak akibat yuridis. Munir Fuady mencatat ada 41 akibat yuridis dari suatu kepailitan atau akibat hukum yang terjadi jika debitor dinyatakan pailit. Akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor dengan dua metode pemberlakuan, yaitu:

a) Berlaku Demi Hukum

Ada beberpa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal seperti ini, Pengadilan Niaga, hakim pengawas, curator, kreditor, dan siapa pun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misalnya, larangan bagi debitor pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

b) Berlaku Rule of Reason

Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason. Maksudnya adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalnya kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. (Munir Fuady, 1999 : 65)

5) Berakhirnya Kepailitan

Suatu kepailitan pada dasarnya bisa berakhir, ada beberapa macam cara berakhirnya kepailitan :

a) Setelah adanya perdamaian (akkoord), yang telah dihomologasi dan berkekuatan hukum tetap.

Sebagaimana kita ketahui bahwa apabila dalam kepailitan diajukan rencana perdamaian, maka jika nantinya perdamaian tersebut disetujui secara sah akan mengikat, baik untuk kreditor yang setuju, kreditor yang tidak setuju, maupun untuk kreditor yang tidak hadir dalam rapat. Dengan diucapkanya perdamaian tersebut, berarti telah ada kesepakatan di antara para pihak tentang cara penyelesaian utang. Akan tetapi persetujuan dari rencana perdamaian tersebut perlu disahkan (homologasi) oleh Pengadilan Niaga dalam sidang homologasi. Apabila Pengadilan menolak pengesahan perdamaian karena alasan yang disebutkan dalam undang-undang maka pihak-pihak yang keberatan dapat mengajukan kasasi. Setelah putusan perdamaian tersebut diterima dan mempunyai kekuatan hukum tetap maka proses kepailitan tidak perlu dilanjutkan lagi.

b) Insolvensi dan pembagian

Kepailitan bisa berakhir segera setelah dibayar penuh jumlah piutang-piutang terhadap para kreditor atau daftar pembagian penutup memperoleh kekuatan yang pasti. Akan tetapi bila setelah berakhirnya pembagian ternyata masih terdapat harta kekayaan debitor, maka atas perintah Pengadilan Niaga, kurator akan membereskan dan mengadakan pembagian atas daftar-daftar pembagian yang sudah pernah dibuat dahulu (Munir Fuady, 1999 : 88).

c) Atas saran kurator karena harta debitor tidak cukup.

Apabila ternyata harta debitor ternyata tidak cukup untuk biaya pailit atau utang harta pailit, maka kurator dapat mengusulkan agar kepailitan tersebut dicabut kembali. Keputusan untuk mencabut kepailitan ini dibuat dalam bentuk ketetapan hakim dan diputuskan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

d) Pencabutan atas anjuran Hakim Pengawas

Pengadilan Niaga atas anjuran dari Hakim pengawas dapat mencabut kepailitan dengan memperhatikan keadaan harta pailit. Dalam memerintahkan pengakiran kepailitan tersebut, Pengadilan Niaga juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator yang dibebankan terhadap debitor. Terhadap penetapan biaya dan imbalan jasa tersebut, tidak dapat diajukan kasasi dan untuk pelaksanaanya dikeluarkan Fiat Eksekusi.

e) Putusan pailit dibatalakan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.

Putusan pailit oleh Pengadilan Niaga berlaku secara serta merta. Dengan demikian sejak saat putusan pailit maka status debitor sudah dalam keadaan pailit. Akan tetapi, putusan pailit dapat diajukan upaya hukum, yaitu kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam proses kepailitan tidak dimungkinkan upaya banding. Hal tersebut diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan atas pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Apabila pada tingkat kasasi ternyata putusan pernyataan pailit itu dibatalkan, maka kepailitan bagi debitor juga berakhir. Namun, segala perbuatan yang telah dilakukan kurator sebelum atau pada saat kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan dari Mahkamah Agung, tetap sah. Setelah menerima pemberitahuan tentang pembatalan putusan pernyataan pailit itu, selanjutnya kurator wajib mengiklankan pembatalan tersebut dalam surat kabar. Dengan pembatalan putusan pernyataan pailit tersebut, perdamaian yang telah terjadi hapus demi hukum.

Syarat Dinyatakan Pailit

Syarat untuk dinyatakan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) sebagai berikut:


Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Jika dirinci, maka syarat dinyatakan pailit berdasarkan bunyi pasal di atas sebagai berikut:

1. Harus mempunyai minimal dua kreditor atau lebih;

2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;

3. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih;

4. Permohonan pailit bisa atas permohonan satu atau lebih kreditornya.


Sekian, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang



Sumber : https://konsultanhukum.web.id/syarat-dinyatakan-pailit/

Bagaimana Cara Mengajukan Pailit? Simak Caranya!

Bagaimana Cara Mengajukan Pailit? Simak Caranya! – Banyak yang bertanya tentang tema ini. Pailit sendiri bisa disebabkan pada umumnya karena ketidakmampuan pihak peminjam untuk mengembalikan pinjaman dan bunga pinjaman tersebut.

Dengan bahasa formal, pailit atau kepailitan adalah proses seorang debitur yang memiliki kesulitan keuangan guna membayar hutangnya kemudian dinyatakan pailit oleh pihak pengadilan. Di sini, pihak pengadilan adalah pengadilan niaga.

Jadi, debitur (peminjam) tidak bisa membayar hutangnya. Maka, harta debitur akan dibagi kepada para kreditur (yang meminjami) berdasarkan keputusan atau aturan undang-undang yang berlaku.

Dengan bahasa yang lebih mudah, kata pailit atau juga disebut bangkrut disini ditujukan kepada orang yang meminjam sejumlah uang kemudian tidak bisa mengembalikannya.

Nah, harta si peminjam akan dijadikan jaminan dan akan dibagi kepada yang meminjami sesuai dengan apa yang diputuskan pengadilan.

Tata Cara Pengajuan Pailit

Tentunya, untuk bisa mengajukan pailit, pihak kreditur harus mengajukan pailit sesuai dengan prosedur atau aturan yang berlaku sesuai dengan undang-undang.

Maka, dari sini bisa dilihat beberapa aspek terlebih dahulu seperti siapa yang berhak mengajukan pailit, apa saja syaratnya serta bagaimana langkah-langkah pengajuan pailit ini. Berikut penjelasan singkatnya;

Pihak yang berhak mengajukan pailit;

Berdasarkan permohonon debitur sendiri (tanpa paksaan)

Berdasarkan permintaan 1 atau lebih kreditur (bisa dipaksa atau tidak)

Kejaksaan atas nama kepentingan umum

Bank Indonesia yang dalam hal debitur, sudah ditentukan merupakan lembaga bank

Badan Pengawas Pasar Modal yang dalam hal debitur, sudah ditentukan sebagai perusahaan efek


Sedangkan untuk syarat yuridis dari pengajuan pailit ini adalah sebagai berikut;

Ada hutang

Minimal satu hutang telah jatuh tempo serta bisa ditagih

Ada debitur

Ada kreditur (bisa lebih dari satu)

Ada permohonan pernyataan pailit, dan

Pernyataan pailit oleh pihak Pengadilan Niaga


Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana langkah-langkah untuk memproses pengajuan pailit ini. Simak ringkasannya berikut ini.

Langkah-Langkah Untuk Memproses Pengajuan Pailit

Ada permohonan pailit, adapun syarat dari permohonan pailit ini sudah di atur menurut UU No.4 Tahun 1998.

Adapun untuk keputusan pailit memiliki kekuatan tetap dan tidak bisa diganggu-gugat, sedangkan jangka waktu untuk permohonan pailit hingga keputusan pailit dijatuhkan memiliki kekuatan tetap juga dan waktu tersebut selama 90 hari.

Ada rapat verifikasi. Rapat ini merupakan rapat pendaftaran dari utang piutang. Di tahap ini, akan dilakukan pendataan tentang jumlah nominal utang serta piutang yang dalam hal ini dimiliki oleh pihak debitur. Verifikasi ini adalah tahapan yang sangat penting bahkan paling penting dalam proses pengajuan kepailitan. Hal ini dikarenakan nantinya akan ada urutan pertimbangan hak bagi setiap kreditur.

Jika ada proses perdamaian dan perdamaian tersebut diterima, maka secara otomatis proses kepailitan tidak bisa dilanjutkan atau berakhir. Namun, jika dalam tahapan ini tidak ada proses perdamaian, maka kasus pengajuan kepailitan ini akan dilanjutkan ke langkah selanjutnya. Namun, proses perdamaian ini selalu diupayakan serta diagendakan.

Ada homologasi akur. Langkah atau tahapan ini berupa permintaan pengesahan yang dilakukan oleh Pengadilan Niaga, hal ini berlaku jika kemudian proses perdamaian dapat diterima.

Ada insolvensi. Hal ini berkaitan dengan keadaan dimana akhirnya debitur dinyatakan secara resmi benar-benar tidak bisa melunasi hutang-hutangnya. Atau dengan kata lain, pihak debitur memiliki jumlah harta yang lebih sedikit dari jumlah hutangnya.

Ada pemberesan atau likuidasi. Pada tahapan ini, harta kekayaan debitur yang pailit akan dijual dan kemudian dibagikan kepada kreditur konkruen. Tentunya setelah harta itu dikurangi berbagai biaya.

Tahap ini merupakan bentuk usaha untuk memulihkan nama kreditur. Hanya saja, hal ini terjadi ketika proses perdamaian diterima. Jika tidak ada proses perdamaian, maka rehabilitasi juga tidak ada.


Kepailitan berakhir.


Memang membutuhkan proses yang lama dan cukup panjang untuk mengurus kepailitan. Namun, jika tidak diurus, maka pihak debitur yang berhutang bunga pinjaman atau pinjaman lain yang tidak bisa dilunasi bisa saja merasa lebih leluasa.

Memang sebaiknya dipikirkan dan diselesaikan prosesnya secara kekeluargaan jika bisa. Namun, biasanya pihak debitur atau orang yang meminjam ini yang memang sudah terbukti salah enggan mengakui.



Sumber : https://koinworks.com/blog/cara-mengajukan-pailit/

Selasa, 01 Oktober 2019

Perbedaan Penangguhan Penahanan dengan Pembebasan dari Tahanan


Ulasan:

 

Penangguhan Penahanan

Ketentuan penangguhan penahanan dapat kita lihat dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:

(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan;

(2)  Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
 

Dengan demikian, untuk seseorang mendapat penangguhan penahanan, harus ada:

a.    Permintaan dari tersangka atau terdakwa;

b.  Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan;

c.    Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 215) menjelaskan bahwa salah satu perbedaan antara penangguhan penahanan dengan pembebasan dari tahanan, terletak pada “syarat”. Faktor ini merupakan “dasar” atau landasan pemberian penangguhan penahanan. Sedang dalam tindakan pembebasan, dilakukan “tanpa syarat”, sehingga tidak merupakan faktor yang mendasari pembebasan. Menurut Yahya, penetapan syarat ini merupakan conditio sine quanon dalam pemberian penangguhan penahanan. Sehingga, tanpa adanya syarat yang ditetapkan lebih dulu, penangguhan penahanan tidak boleh diberikan.

Mengenai syarat penangguhan penahanan ini selanjutnya dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 31 KUHAP yaitu, tersangka/terdakwa:

-    wajib lapor;

-    tidak keluar rumah; atau

-    tidak keluar kota.

Itulah syarat yang dapat ditetapkan dalam pemberian penangguhan penahanan. Contohnya adalah dengan membebankan kepada tahanan untuk “melapor” setiap hari, satu kali dalam setiap tiga hari atau satu kali seminggu, dan sebagainya. Atau pembebanan syarat bisa berupa tidak keluar rumah maupun tidak keluar kota. Penjelasan selengkapnya mengenai penangguhan penahanan dapat Anda simak dalam artikel Syarat-syarat Penangguhan Penahanan.

Perintah Pembebasan dari Tahanan

Perintah pembebasan dari tahanan diatur Pasal 26 ayat (3) KUHAP:

Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;

Kemudian juga diatur dalam Pasal 190 huruf b KUHAP:

Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk membebaskan terdakwa, jika terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat ketentuan Pasal 30.

Pasal 30 KUHAP:

Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.

Terkait pasal-pasal di atas, M. Yahya Harahap dalam bukunya  Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 251) menjelaskan bahwa jadi, kalau Pasal 26 ayat (3) KUHAP dihubungkan dengan Pasal 190 huruf b KUHAP, kita memperoleh dua alasan utama yang menjadi landasan bagi hakim atau Pengadilan Negeri unutuk memerintahkan pembebasan terdakwa dari tahanan:

1.    Kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi

Menurut Pasal 26 KUHAP ayat (1) KUHAP, maksud pokok penahanan seorang terdakwa dalam tahap pemeriksaan sidang pengadilan adalah untuk kepentingan pemeriksaan. Jadi bertitik tolak dari hal tersebut merupakan hal yang logis untuk membebaskan terdakwa dari tahanan jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.

2.    Karena penahanan tidak sah

Penahanan tidak sah antara lain karena: masa tahanan yang dijalani telah melebihi batas maksimum, hukuman yang akan dijatuhkan tidak melebihi masa tahanan yang dijalani, dan sebagainya.[1]

Perintah pembebasan dapat dilakukan pada saat:[2]

a.    Sejak perkara diregister di kepaniteraan

b.    Selama pemeriksaan di sidang berlangsung

c.    Perintah pembebasan pada saat putusan dijatuhkan

Dari uraian tentang perintah pembebasan, dapat disimpulkan:[3]

1.   Perintah pembebasan dilakukan hakim/Pengadilan Negeri secara ex officio atas dasar penahanan yang dilakukan terhadap terdakwa didasarkan atas alasan yang tidak sah.

2.    Perintah pembebasan penahanan dilakukan tanpa permintaan terdakwa, sekalipun hak ini tidak mengurangi hak terdakwa atau penasihat hukum untuk mengajukan jika mereka mempunyai dasar alasan yang sah.

3.   Perintah pembebasan terdakwa dari tahanan dilakukan tanpa syarat. Pembebasan dilakukan semata-mata atas alasan bahwa penahanan itu merupakan penahanan yang tidak sah atau penahanan tidak diperlukan lagi untuk kepentingan pemeriksaan.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, penangguhan penahanan dan perintah pembebasan dari tahanan memang dua hal yang berbeda. Dimana  penangguhan penahanan dilakukan atas permintaan dari tersangka atau terdakwa yang disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan, dengan mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan. Sedangkan perintah pembebasan terdakwa dari tahanan pada dasarnya tanpa syarat. Pembebasan dilakukan semata-mata atas alasan bahwa penahanan itu merupakan penahanan yang tidak sah atau penahanan tidak diperlukan lagi untuk kepentingan pemeriksaan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

 

Referensi:

1.  Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

2.    Yahya Harahap. 2016. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

 

 

 



[1] Yahya Harahap, hal. 251-253


[2] Yahya Harahap, hal. 254-255

[3] Yahya Harahap, hal. 250






https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt591ec87ccf815/perbedaan-penangguhan-penahanan-dengan-pembebasan-dari-tahanan/