Cari Blog Ini

Minggu, 26 Januari 2020

Cara Melaporkan Pelaku Pengancaman Lewat Pesan WhatsApp


Pertanyaan

Di kantor polisi manakah saya melapor jika saya diancam melalui pesan WhatsApp/SMS akan dibunuh dari pelaku yang tengah berada di kota A, sementara saat diancam saya tengah tinggal di kota B. Mohon bantuannya?
 
Pengancaman Menurut KUHP
Ketentuan pidana mengenai pengancaman pada umumnya diatur dalam Bab XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Mengenai ancaman kekerasan diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP:
 
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
 
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 256) menamakan perbuatan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP sebagai pemerasan dengan kekerasan yang mana pemerasnya:
  1. memaksa orang lain;
  2. untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;
  3. dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
  4. memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.
 
Jika ancaman tersebut memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP maka pelaku dapat dikenakan pidana berdasarkan pasal tersebut.
 
Pengancaman Melalui Media Elektronik
Lebih jauh, jika ancaman tersebut melalui media elektronik, pelaku pengancaman dapat dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) yaitu Pasal 45B UU 19/2016 jo. Pasal 29 UU ITE, dengan bunyi sebagai berikut:
 
Pasal 29 UU ITE
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
 
Pasal 45B UU 19/2016
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
 
Dalam Penjelasan Pasal 45B UU 19/2016, dijelaskan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini termasuk juga di dalamnya perundungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengakibatkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil.
 
 
Cara Melaporkan Pelaku Pengancaman Lewat Pesan Singkat WhatsApp
Menjawab pertanyaan Anda ke kantor polisi mana? Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Prosedur Melaporkan Peristiwa Pidana ke Kantor Polisi. Menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 23/2017”), dalam hal Anda ingin melaporkan suatu tindak pidana atau kejahatan, Anda dapat langsung datang ke kantor kepolisian yang terdekat pada lokasi peristiwa pidana tersebut terjadi. Adapun daerah hukum kepolisian meliputi:
  1. Daerah hukum kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Daerah hukum kepolisian Daerah (POLDA) untuk wilayah Provinsi;
  3. Daerah hukum kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah Kabupaten/kota;
  4. Daerah hukum kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.
 
Lebih lanjut mengenai prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan pengancaman melalui pesan WhatsApp, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:[1]
  1. Anda sebagai korban pengancaman melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE.
  2. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI.
 
Alternatif lainnya, Anda dapat mengadukannya melalui laman Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link, screenshot tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url, screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
Referensi:
Aduan Konten, diakses pada 15 Oktober 2018, pukul 10.15 WIB.

[1] Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana



https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b8498578b069/cara-melaporkan-pelaku-pengancaman-lewat-pesan-whatsapp

Sabtu, 11 Januari 2020

Hukum Merekam Pembicaraan di Handphone


Pertanyaan

Apakah merekam pembicaraan di handphone saya baik incoming maupun outgoing merupakan pelanggaran hukum? Seandainya isi pembicaraannya merupakan sebuah perjanjian dan kemudian terjadi wanprestasi bisakah isi rekaman ini dijadikan sebagai salah satu alat bukti ?


Ulasan Lengkap

Ysh. Rekan HukumOnline
 

Ada dua isu yang Saudara tanyakan, yaitu legalitas merekam pembicaraan yang dilakukan melalui handphone.Dan legalitas serta kekuatan pembuktian rekaman pembicaraan sebagai alat bukti.

Legalitas Merekam Pembicaraan

Pada prinsipnya, komunikasi yang dilakukan oleh dua orang melalui satu media komunikasi bersifat privat. Artinya, pada prinsipnya, komunikasi mereka tidak boleh diganggu dan akan diperlakukan sebagai komunikasi rahasia.

Setidaknya ada dua dasar komunikasi tersebut menjadi tidak privat atau tidak rahasia lagi. Pertama komunikasi tersebut tidak bersifat privat atau rahasia karena keinginan atau persetujuan pihak yang berkomunikasi. Kedua karena perintah yang didasarkan pada undang-undang.

Tanpa adanya persetujuan pihak yang berkomunikasi atau tanpa adanya perintah yang didasarkan undang-undang maka tindakan tersebut dapat dikategorikan tindakan penyadapan atau intersepsi.

Pertanyaan lebih lanjut yang perlu dibahas ialah:
  1.       Berbicara mengenai keinginan atau persetujuan pihak yang berkomunikasi, apakah persetujuan tersebut harus datang dari semua pihak yang berkomunikasi atau cukup salah satu pihak saja?
  2.       Apa yang dimaksud dengan penyadapan atau intersepsi? Untuk kepentingan apa, penyadapan atau intersepsi tersebut menjadi sah?
 
Ad. 1 Persetujuan Pihak yang Berkomunikasi

Mengapa jumlah minimal pihak yang memberikan persetujuan dalam suatu komunikasi menjadi penting? Karena jumlah minimal tersebut adalah batasan untuk menentukan adanya penyadapan atau intersepsi tanpa hak (ilegal).

Sebagai perbandingan di Amerika, Hukum Federal Amerika Serikat memungkinkan seseorang merekam pembicaraan cukup berdasarkan persetujuan salah satu pihak yang berkomunikasi (one-party consent law). Akan tetapi, di negara-negara bagian di Amerika Serikat tidak seluruhnya menerapkan prinsip ini. Negara-negara bagian seperti California, Connecticut, Florida, Maryland, Massachusetts, Montana, New Hampshire, Pennsylvania dan Washington menerapkan two-consent party.

Apabila seseorang dari Missouri merekam pembicaraan teleponnya atas dasar keinginannya sendiri, sedangkan lawan bicaranya ada di Kansas, maka tindakannya tersebut bukan merupakan pelanggaran menurut hukum Missouri maupun Kansas karena keduanya menerapkan prinsip one-party consent law. Akan menjadi masalah apabila lawan bicaranya berada di Maryland.

Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan perundang-undangan yang kami telaah, tidak ada ketentuan yang secara tegas melarang perekaman pembicaraan tanpa adanya persetujuan dari semua pihak. Artinya, sesuai dengan konteks pembahasan ini, dalam sistem hukum di Indonesia, dimungkinkan seseorang untuk merekam pembicaraan melalui handphone hanya  dengan persetujuan salah satu pihak.

One-party consent merupakan perilaku yang diterima dalam masyarakat. Sebagai contoh, beberapa perusahaan khususnya dalam bagian layanan pelanggan (customer services) melakukan perekaman pembicaraan atara petugas layanan dan pelanggan dengan dasar bahwa perusahaan membutuhkan rekaman tersebut dalam meningkatkan kualitas layanan kepada pengguna atau pelanggan.

Akan tetapi, pertanyaan yang perlu ditelaah lebih jauh lagi ialah apabila persetujuan hanya cukup dari satu pihak saja dan tidak perlu persetujuan lawan bicaranya, apakah ia harus memberitahukan adanya rekaman tersebut kepada lawan bicaranya? Pemberitahuan tersebut tidak diperlukan, tetapi sebaiknya dilakukan atas dasar etika.

 
Argumentasinya adalah sebagai berikut.

Komunikasi melalui SMS adalah komunikasi yang dianggap privat dan harus diperlakukan rahasia. SMS adalah bukti rekaman adanya komunikasi antar para pihak. Apabila salah satu pihak menunjukkan isi SMS tersebut kepada orang lain berdasarkan persetujuannya maka ia tidak perlu memberitahukan lawan bicaranya bahwa SMS tersebut ditunjukkan atau diteruskan kepada orang lain. Konstruksi ini juga digunakan dalam perekaman handphone.

Argumen lain yang selaras dengan argumen sebelumnya ialah bahwa ketika seseorang telah mengirimkan atau mentransmisikan informasi dari medianya dan telah masuk dalam media lawan bicaranya maka pengirim tidak memiliki kontrol lagi terhadap informasi yang telah dikirimkan. Informasi yang telah masuk dalam media si penerima akan berada dalam penguasaannya.

 
Ad. 2. Apakah Intersepsi atau Penyadapan itu?

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“UU Telekomunikasi”) diberi batasan penyadapan. Penjelasan Pasal 40 UU Telekomunikasi mengatur bahwa penyadapan ialah “kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah”. Konsep penyadapan dalam UU Telekomunikasi dipengaruhi oleh teknologi pada waktu itu, yaitu teknologi telekomunikasi dengan menggunakan kabel (wired communication).

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) digunakan terminologi intersepsi atau penyadapan yang dijelaskan sebagai kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. (Penjelasan Pasal 31 UU ITE)

Intersepsi atau Penyadapan pada dasarnya dilarang karena perbuatan tersebut melanggar hak asasi manusia – melanggar kebebasan berkomunikasi – tanpa adanya persetujuan dari pihak yang berkomunikasi, sebagaimana disebutkan di atas. Dalam hal ini, Intersepsi atau penyadapan hanya dapat dibenarkan hanya berdasarkan perintah dari suatu otoritas yang diatur dalam Undang-Undang.

Dalam perudang-undangan yang ada di Indonesia, Intersepsi atau Penyadapan dimungkinkan untuk dua hal, yaitu untuk kepentingan penegakan hukum dan untuk kepentingan Intelijen negara. Ada beberapa undang-undang yang memberikan aparat penegak hukum dalam melakukan Intersepsi atau Penyadapan. Sebagai contoh:

  •       UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  •       UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan
  •       UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
  •       UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Kekuatan Pembuktian Rekaman Pembicaraan

Mengenai hal kekuatan pembuktian rekaman pembicaraan, hal ini sudah dibahas pada jawaban HukumOnline dalam judul “Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik

Pada intinya rekaman pembicaraan tersebut merupakan Informasi dan Dokumen Elektronik.  Berdasarkan Pasal 5 UU ITE, Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.

 

Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. (Sitompul, 2012)

 
Semoga membantu.
 
Salam
 
Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

2.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

 
Referensi



Sumber :
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5375a5d2cb8bb/hukum-merekam-pembicaraan-di-handphone 

Pasca Putusan MK, Pengaturan Jaminan Fidusia Perlu Ditata Ulang


Moh. Dani Pratama Huzaini
Antara debitur dan kreditur dapat memasukan klausul yang berisi pengaturan yang mengatur tentang bagaimana mekanisme agar debitur dapat dinyatakan cedera janji.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, menyatakan keberlakuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hal ini sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap".

Tidah hanya itu, terhadap frasa “cidera janji” sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia, Mahkamah juga menyatakan frasa “cidera janji” tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

Pengacara yang juga merupakan kuasa hukum pemohon, Veri Junaidi, dari Kantor Hukum Veri Junaidi and Associate kepada hukumonline mengatakan problem yang selama ini sering terjadi adalah praktik pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Fidusia kerap menimbulkan ketidak pastian hukum. Khusus untuk penerapan pasal 15 ayat (2) dan (3) pada UU Jaminan Fidusia juga sering mengabaikan perlindungan keadilan bagi Debitur.

“Karena tidak ada posisi yang seimbang antara debitur dan kreditur,” ujar Veri kepada hukumonline, Selasa (7/1).

Terkait hal ini, menurut Veri, sudah seharusnya UU Jaminan Fidusia dan konsepnya dilakukan permbaharuan. Hal ini bertujuan agar meletakan posisi yang seimbang antara debitur dan kreditur. Tidak hanya memperhatikan kepentingan dan memberikan perlindungan kepada kreditur, tapi juga menempatkan debitur pada posisi yang setara.

Veri menilai penentu kebijakan ke depan mesti melakukan penataan dengan segera untuk memberikan kepastian terhadap dunia usaha dengan membawa konsep baru menyusul terbitnya putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019. Veri tidak menutup mata bahwa dengan terbitnya putusan ini, dunia usaha akan menemukan hambatan berarti mengingat proses untuk mengeksekusi dan menjual benda yang merupakan Jaminan Fidusia, tidak semudah sebelum keluarnya putusan MK.

Menurut Veri, kondisi ini harus bisa diantisipasi oleh pembuat kebijakan agar dunia usaha memiliki kepastian hukum. Bisa mengacu pada putusan MK, besar atau kecilnya nilai Fidusia tetap harus melalui proses peradilan. Namun sebagai jalan tengah yang bisa ditempuh, Veri menyebutkan tentang diperlukannya mekanisme kompalin dengan proses peradilan yang sederhana, cepat, dan memiliki kepastian hukum.

“Dengan begitu baik kreditur maupun debitur mendapatkan kepastian hukum,” ungkap Veri.

Jika tidak demikian, Veri menawarkan agar antara Debitur dan Kreditur dapat memasukan klausul yang berisi pengaturan yang mengatur tentang bagaimana mekanisme agar Debitur dapat dinyatakan cedera janji. Jalan ini menurut Veri bisa ditempuh dengan catatan terlebih dahulu dirumuskan dan disepakati oleh kedua belah pihak untuk menghindari adanya penentuan sepihak oleh kreditur.

“Sehingga proses tersebut dapat mendorong Debitur sukarela menyerahkan objek fidusia atau title eksekutorial dapat dilaksanakan oleh Kreditur,” pungkas Veri.

Praktisi hukum perusahaan pembiayaan, Arief Aphrian Lambri, kepada hukumonline mengakui selama ini secara hukum, posisi Kreditur lebih kuat jika dibandingkan dengan posisi debitur. Selain karena telah diatur secara hukum namun secara filosofis, dalam praktik pembiayaan dengan menggunakan leasing, kreditur telah memenuhi seluruh kewajibannya dengan jalan melunasi pembayaran kendaraan milik debitur.

(Baca: MK Tafsirkan Cidera Janji dalam Eksekusi Jaminan Fidusia)

“Jadi secara hukum Perusahaan Pembiayaan berada pada posisi yang kuat karena semua kewajiban sudah dilakukan, kecuali kewajiban untuk menyerahkan bukti kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) yang baru akan menjadi kewajiban apabila debitor sudah melunasi semua kewajibannya kepada Perusahaan Pembiayaan,” tuturnya beberapa waktu lalu kepada hukumonline.

Sebenarnya terkait pelaksanaan eksekusi jaminan, menurut pengalamannya, Arief menyerahkan hal tersebut kepada kemauan debitur untuk bekerjasama apabila sudah teridentifikasi melakukan wanprestasi. Karena sampai pada tahap dilakukannya eksekusi terhadap unit kendaraan yang merupakan jaminan fidusia, terlebih dahulu telah melewati berbagai tahapan seperti yang telah diatur oleh ketentuan perundang-undangan. Selain itu, perihal terkait eksekusi jaminan sendiri sudah diatur dalam perjanjian pembiayaan yang telah ditandatangani oleh debitur.

Perjanjian pembiayaan antara perusahaan pembiayaan dan kreditor lazimnya telah memuat hak dan kewajiban para pihak secara jelas, termasuk juga di dalamnya terkait apa saja yang harus dilakukan apabila terjadi wanprestasi. Arief menjelaskan, pada saat terjadi wanprestasi oleh debitor, perusahaan pembiayaan tidak dapat serta merta melakukan eksekusi terhadap jaminan.

“Biasanya ada surat peringatan yang diberikan terlebih dahulu dan itu secara prosedural sudah pasti dilaksanakan, biasanya juga sudah diatur dalam Standard Operating Procedure Perusahaan Pembiayaan,” papar Arief yang menjabat sebagai Head Legal di sebuah perusahaan leasing ini.

Ia mengingatkan, saat menerima draf perjanjian pembiayaan Debitur perlu memperhatikan dan memahami seluruh isi surat perjanjian sebelum menandatangani perjanjiannya. Lumrah terjadi, calon debiuor pengguna jasa perusahaan pembiayaan kerap tidak cermat dengan isi perjanjian pembiayaan. Hal ini bisa terjadi akibat ketergesa-gesaaan saat menandatangani perjanjian pembiayaan, atau akibat tidak memahami lebih jauh mengenai isi perjanjian. 

Dalam praktiknya, calon debitor diberi kesempatan untuk membaca dan memahami isi perjanjian. Jika ada bagian yang tidak atau kurang dipahami, calon debitur dapat bertanya kepada perusahaan pembiayaan. Ini juga sudah disebut dalam POJK No. 29 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Perusahaan Pembiayaan akan menjelaskan kepada debitur mengenai apa saja isi perjanjiannya. Seharusnya, kata Arief, ketidakpahaman tentang isi perjanjian tidak lagi menjadi alasan saat terjadi dispute antara debitur dan kreditur. “Seharusnya debitur tidak dapat menggunakan alasan bahwa debitur tidak memahami isi dari perjanjiannya,” tegasnya.


Sumber :

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e143b3b9f4df/pasca-putusan-mk--pengaturan-jaminan-fidusia-perlu-ditata-ulang

MK Tafsirkan Cidera Janji dalam Eksekusi Jaminan Fidusia


Aida Mardatillah
Cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, tetapi atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial. Artinya, jika debitur (konsumen) cidera/ingkar janji (wanprestasi), penerima fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang). 

Namun, MK memutuskan sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta (otomatis) memiliki kekuatan eksekutorial. Selain itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke pengadilan) yang menentukan telah terjadinya cidera janji. (Baca Juga: Ketika Wanprestasi Leasing Kendaraan Berujung ke MK)

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Menyatakan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia sepanjang frasa ‘cidera janji’ bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ‘adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan (memutuskan, red) telah terjadinya cidera janji’,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo di ruang sidang MK, Senin (6/1/2020).  

Awalnya, kasus ini bermula Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 di PT Astra Sedaya Finance (PT ASF). Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Aprilliani dan Suri berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp 222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 hingga 18 Juli 2017, Pemohon telah membayarkan angsuran tepat waktu.

Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan mereka dengan dalil/alasan wanprestasi. Atas perlakuan tersebut, Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga mendapat beberapa perlakuan tidak menyenangkan.

Menerima perlakuan tersebut, keduanya berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 24 April 2018. Dasar gugatannya, perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel.

Pengadilan pun mengabulkan gugatan Aprilliani dan Suri dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, PT ASF tetap melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon disaksikan pihak kepolisian. Padahal, sesuai hasil putusan pengadilan itu, pihak PT ASF tidak bisa mengambil mobil itu.

Kedua Pemohon menganggap PT ASF telah berlindung di balik Pasal 15 UU Jaminan Fidusia yang diujikan dalam permohonan ini. Lantaran merasa dirugikan hak konstitusionalnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pasal itu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Baca Juga: Ini PR Besar Revisi UU Jaminan Fidusia

Pasal 15 UU Jaminan Fidusia menyebutkan:

  1. Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA",
  2. Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
  3. Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.  

Mahkamah berpendapat norma Pasal 15 ayat (2), (3) UU Jaminan Fidusia tidak ada kepastian hukum baik berkenaan dengan tata cara eksekusi atau waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi) dan hilangnya kesempatan debitur mendapat penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Selain sering menimbulkan adanya paksaan dan kekerasan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal ini jelas ada persoalan inkonstitusional norma dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia.

Bagi Mahkamah, kewenangan ekslusif penerima hak kebendaan jaminan fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak ada masalah dengan kepastian waktu kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi). Dan debitur secara sukarela menyerahkan benda objek perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Artinya, pemberi fidusia (debitur) mengakui dirinya telah “cidera janji”, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri.

“Pasal 15 ayat (3), khususnya frasa ‘cidera janji’ hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji,” demikian pendapat Mahkamah dalam pertimbangan putusan ini.  

Menurut Mahkamah, putusan perkara ini tidak serta merta menghilangkan berlakunya peraturan perundang-undangan terkait eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan memberi perlindungan hukum kepada para pihak sepanjang sejalan dengan pertimbangan Mahkamah ini.

“Baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi.”

Cidera janji harus disepakati

Usai sidang, Kuasa Hukum Pemohon Veri Junaidi mengaku seluruh kepentingan hukum Pemohon diakomodir oleh MK. Dia menilai selama ini penentuan cidera janji tidak diatur dengan jelas. Sebab, ketentuan kekuatan eksekutorial dalam UU Fidusia dilakukan serta-merta (otomatis) jika pemberi kredit menyatakan debitur cidera janji bisa melakukan eksekusi (sepihak) yang disamakan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. “Ini menurut kami tidak adil,” kata dia.

Pemohon meminta Mahkamah menentukan indikatornya, bagaimana indikator cidera janji dalam kasus fidusia ini. “Dalam putusan MK ini sudah menyebut ‘cidera janji’ harus disepakati kedua belah pihak. Setelah itu, cidera janji harus dilihat apakah ada keberatan diantara kedua belah pihak, karena selama ini cidera janji ditentukan sepihak oleh leasing. Jika masih ada keberatan, harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku (gugatan ke pengadilan, red).”



Sumber :

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e13345852149/mk-tafsirkan-cidera-janji-dalam-eksekusi-jaminan-fidusia

MK Tutup Ruang Debt Collector?


Oleh: Hani Adhani*)

RED
Semoga putusan MK tersebut dapat memberikan suasana kondusif bagi perekonomian Indonesia sehingga masyarakat akan merasa terlindungi, tenang, aman dan nyaman dalam melakukan berbagai transaksi kredit.
Hani Adhani. Foto: Istimewa

Adanya berbagai kasus penganiayaan yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan debt collector sangat berdampak pada psikologis masyarakat khususnya yang melakukan transaksi kredit barang bergerak seperti mobil ataupun motor. Selain itu, penggunaan jasa debt collector juga kerap kali digunakan untuk menagih utang-piutang customer kartu kredit yang macet sehingga pada akhirnya mengakibatkan timbulnya kekerasan dan penganiyaan bagi para customer.

Padahal apabila melihat aturan yang ada, jasa penagih hutang yang melakukan tindak sewenang-wenang, apalagi ditambah dengan kekerasan dan penganiyaan adalah ilegal dan melanggar hukum oleh karena tidak ada aturan yang mengatur tentang dibolehkannya kreditur menggunakan jasa debt collector untuk menagih hutang kepada debitur dengan cara-cara kasar dan menggunakan kekerasan.

Dampak psikologis yang dialami masyarakat akibat maraknya jasa penagih hutang yang bertindak sewenang-wenang juga menimbulkan efek domino yaitu adanya upaya balas dendam dari korban kepada para debt collector itu sendiri karena mereka merasa telah dipermalukan oleh jasa penagih hutang tersebut.

Adanya fenomena kekerasan dan penganiayaan akibat maraknya penggunaan jasa debt collector ini akan membuat situasi masyarakat menjadi tidak sehat, mengancam lingkungan warga dan menimbulkan rasa tidak aman serta ketakutan. Tentunya, harus dicarikan solusi agar masyarakat dan juga perusaahan jasa pemberi kredit paham bahwa dalam sebuah transksi perdata ada batas-batas hak konstitusional yang tidak boleh dilanggar oleh para debitur dan juga para kreditur.

Perkara JR UU Jaminan Fidusia

Terkait isu tersebut, Mahkamah Konstitusi baru saja memutus perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999tentang Jaminan Fidusia khususnya berkaitan dengan isu “eksekutorial” dan “cidera janji” dalam jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dan Pasal 15 ayat (3) yang menyatakan “Apabila debitur cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”.

Perkara tersebut diajukan oleh pasangan suami-istri yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya kedua pasal tersebut. Pasangan suami-istri tersebut dalam permohonannya menyatakan bahwa langkah pengajuan permohonan ke MK tersebut berawal dari kasus konkret yang dialami oleh mereka dikarenakan mereka sebagai debitur yang telah melakukan kredit mobil merasa terancam jiwanya karena tindakan sewenang-wenang yang dilakukan debt collector untuk mengambil mobil yang merupakan barang jaminan fidusia tanpa melalui prosedur hukum yang benar.

Menurut kedua pasangan suami istri tersebut, ada beberapa momentum tindakan paksa yang dilakukan oleh debt collector yang dilakukan dengan tanpa menunjukkan bukti dan dokumen resmi. Selain itu, menurut pasangan suami-istri tersebut, debt collector juga menyerang kehormatan, harkat dan martabat, serta mengancam akan membunuh pasangan tersebut. Dalam permohonannya, pasangan suami-istri tersebut melampirkan barang bukti berupa video rekaman dan foto debt collector yang ditugaskan oleh Penerima Fidusia untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum tersebut.

Dalam permohonannya, pasangan suami istri tersebut menegaskan bahwa apa yang mereka alami dalam kasus konkret itu disebabkan karena adanya norma yang diatur dalam UU Jaminan Fidusia yaitu pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) yang bertentangan dengan konstitusi khususnya khususnya Pasal 28D ayat (1),  Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4).

Putusan MK

Untuk menjawab isu konstitusionalitas permohonan tersebut, setelah melalui persidangan pleno yang cukup panjang, MK dalam pertimbangan hukumnya berupaya untuk menata dan meramu isu konkret yang dialami oleh Pemohon dengan asas fundamental hukum perdata serta isu konstitusionalitas norma yang ada dalam UU Jaminan Fidusia.

MK dalam putusannya secara rigid berupaya untuk memilah-milah semua potensi isu konstitusional yang ada agar masyarakat mudah memahami substansi pertimbagan hukum dalam putusan tersebut khususnya terkait dengan isu “cidera janji” dan “eksekutorial” yang seringkali dijadikan alat oleh debt collector untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap para debitur.

Perjanjian Jaminan Fidusia

MK dalam pertimbangan hukumnya, memulai pertimbangan dengan memberikan penjelasan tentang karakter dari perjanjian fidusia. Menurut MK, apabila dicermati perjanjian Jaminan Fidusia yang objeknya adalah benda bergerak dan/atau tidak bergerak sepanjang tidak dibebani hak tanggungan dan subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian dimaksud adalah kreditur dan debitur, maka perlindungan hukum yang berbentuk kepastian hukum dan keadilan seharusnya diberikan terhadap ketiga unsur tersebut di atas, yaitu kreditur, debitur, dan objek hak tanggungan.

Selanjutnya menurut MK, norma yang termuat dalam kedua pasal yang diajukan merupakan norma yang bersifat fundamental. Sebab, dari norma yang diuji tersebut terbit kekuatan eksekusi yang dapat dilaksanakan sendiri oleh pemegang jaminan fidusia (kreditur) yang kemudian banyak menimbulkan permasalahan, baik terkait dengan konstitusionalitas norma maupun implementasi.

Menurut MK, aspek konstitusionalitas yang terdapat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia tidak mencerminkan adanya pemberian perlindungan hukum yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan.

MK menilai, dua elemen mendasar yang terdapat dalam pasal yang diuji yaitu “titel eksekutorial” maupun “dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, berimplikasi dapat langsung dilaksanakannya eksekusi yang seolah-olah sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh penerima fidusia (kreditur) tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi.

Menurut MK, hal tersebut menunjukkan, di satu sisi adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur.Di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dalam hal ini penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif yang ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan kepada debitur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.

Substansi Perjanjian

Selain itu, MK dalam pertimbangan hukumnya juga berupaya untuk menjelaskan terkait substansi dari sebuah perjanjian. Menurut MK, prinsip penyerahan hak milik yang berkenaan dengan objek fidusia tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya substansi perjanjian yang demikian secara nyata menunjukkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar antara pemberi hak fidusia (debitur) dengan penerima hak fidusia (kreditur) karena pemberi fidusia (debitur) berada dalam posisi sebagai pihak yang membutuhkan.

Dengan kata lain, menurut MK, disetujuinya substansi perjanjian demikian oleh para pihak sesungguhnya secara terselubung berlangsung dalam “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam berkehendak,” khususnya pada pihak debitur (pemberi fidusia). Padahal, kebebasan kehendak dalam sebuah perjanjian merupakan salah satu syarat yang fundamental bagi keabsahan sebuah perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPerdata).

Hal lain yang juga dijelaskan MK dalam pertimbangan hukumnya bahwa tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”. Baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya) terhadap debitur yang acapkali bahkan dengan mengabaikan hak-hak debitur.

Batasan Cidera Janji dan Mekanisme Eksekutorial

MK juga menguraikan secara seksama tentang batasan cidera janji yang menjadi salah satu biang terjadinya praktik legalisasi debt collector. Menurut MK, persoalan tentang kapan “cidera janji” dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan, hal tersebut menjadi hal yang tidak diragukan kejelasannya.

Hal tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur.

Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya, MK juga memberikan semacam guidanceterkait dengan bagaiaman mekanisme “eksekutorial” dalam sengketa keperdataan. Menurut MK, sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg.

Terlebih lagi, MK berpendapat bahwa untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, MK berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri.

Dengan kata lain, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur). Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.

Konstitusionalitas Norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3)

Dalam pertimbangan akhirnya, MK menyatakan bahwa telah cukup alasan bagi MK untuk menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. Maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

Semoga putusan MK tersebut dapat memberikan suasana kondusif bagi perekonomian Indonesia sehingga masyarakat akan merasa terlindungi, tenang, aman dan nyaman dalam melakukan berbagai transaksi kredit.

*)Hani Adhani adalah PhD Candidate FH IIUM Malaysia. Alumni FH UI dan UMY.


Sumber :

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e157a99a8424/mk-tutup-ruang-idebt-collector-i-oleh--hani-adhani/

Kamis, 09 Januari 2020

Inkonsistensi Sikap MA dalam Perkara Narkotika

    RED
    Inkonsistensi penafsiran dan penerapan hukum pada dasarnya saja saja mendorong adanya ketidakpastian.
    BAS

    Seorang pria ditangkap karena kedapatan membawa sabu-sabu dengan berat bersih 0,02 gram. Serupa dengan kasus di atas, ia belum menggunakan sabu-sabu tersebut. JPU kemudian mendakwanya secara subsidiaritas, yaitu primair karena membeli narkotika golongan 1 yang diatur dalam Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika, dan subsidair karena memliki atau menguasai narkotika gol 1 bukan tanaman, Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika. Dalam tuntutannya jaksa menuntut berdasarkan dakwaan subsidair, meminta pengadilan menjatuhkan hukuman selama 5 tahun penjara dan denda Rp800.000.

    Atas dakwaan dan tuntutan tersebut PN memutus terdakwa bersalah atas dakwaan subsidair dan menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun dan denda Rp800.000. Putusan ini diperkuat ditingkat banding dengan sedikit perbaikan mengenai status barang bukti.

    Terhadap putusan judex facti ini baik JPU maupun Terdakwa sama-sama mengajukan kasasi ke MA. JPU berpandangan judex facti salah dalam menerapkan hukum karena melanggar pidana minimum khusus yang diatur dalam Pasal 112 ayat (1) yang seharusnya 4 tahun. Sementara Terdakwa berpandangan judex facti salah dalam menerapkan hukum karena seharusnya ia diputus bersalah melanggar Pasal 127, yaitu penyalahgunaan narkotika.

    Atas kedua permohonan kasasi tersebut MA mengabulkan permohonan kasasi Terdakwa. Menurut MA seharusnya dinyatakan melanggar Pasal 127 bukan 112 ayat (1). Dalam pertimbangannya MA menyatakan bahwa walaupun terdakwa tidak ditest urine namun maksud Terdakwa terhadap sabu-sabu tersebut adalah untuk digunakan sendiri.

    Selain itu majelis kasasi juga mempertimbangkan bahwa walaupun Pasal 127 tidak didakwa, namun Terdakwa tetap dapat dipidana berdasarkan pasal tersebut berdasarkan yurisprudensi MA no. 675 K/Pid/1987, 1671 K/Pid/1996 dan 1892 K/Pid/2011 yang intinya menyatakan bahwa  apabila delik yang terbukti di persidangan adalah delik sejenis yang lebih ringan sifatnya dari delik yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka walaupun delik yang lebih ringan tidak didakwakan, Terdakwa tetap dipersalahkan atas delik tersebut dan dipidana atas dasar melakukan delik yang lebih ringan.

    Pertimbangan tersebut terdapat dalam putusan MA nomor 1522 K/Pid.Sus/2016 yang diputus tanggal 6 oktober 2016.

    Dalam kasus yang lain seorang pria yang baru saja membeli sepaket sabu-sabu bersama 2 orang temannya ditangkap oleh beberapa orang polisi. Saat diperiksa sabu-sabu tersebut berat bersihnya seberat 0,0143 gram. Ia kemudian disidangkan. Oleh Jaksa Penuntut Umum ia didakwa secara alternatif yaitu melanggar Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu tindak pidana menyimpan, memiliki, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman, atau melanggar pasal 127 ayat (1) UU Narkotika.

    JPU mendakwa ketiganya dengan pasal penyalahguna karena menduga ketiganya membeli sabu-sabu tersebut untuk digunakan. Di tahap tuntutan JPU menuntut terdakwa bersalah atas dakwaan alternatif pertama dengan tuntutan hukuman penjara selama 6 tahun dan denda Rp800.000.000,-.

    Di tingkat pertama Pengadilan Negeri memutus terdakwa bersalah atas dakwaan alternatif kedua, penyalahgunaan narkotika, dan menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun. Putusan ini diperkuat dengan sedikit perbaikan mengenai barang bukti di tingkat banding.

    Atas putusan tersebut JPU mengajukan kasasi ke MA. Alasan JPU mengajukan kasasi karena menurutnya hukuman yang dijatuhkan judex facti lebih ringan dari tuntutan JPU, belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan tidak menimbulkan efek jera.

    Permohonan kasasi JPU tersebut dikabulkan MA. Menurut MA judex facti telah salah dalam menerapkan hukum. Terdakwa seharusnya tidak diputus bersalah atas dakwaan alternatif kedua, atau tidak diputus bersalah sebagai penyalahgunaan narkotika, namun karena memiliki atau menguasai narkotika. Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada saat ditangkap Terdakwa tidak ditemukan peralatan untuk menggunakan sabu-sabu seperti bong, pipet dll, serta urine Terdakwa tidak mengandung sabu-sabu.

    Pertimbangan tersebut terdapat dalam putusan kasasi no. 2348 K/Pid.Sus/2016 tanggal 6 Februari 2017, atau sekitar 4 bulan setelah putusan 1522 K/Pid.Sus/2016 di atas. Terpaut 4 bulan dari putusan sebelumnya.

    Dalam perkara yang lain lagi namun dengan perbuatan yang serupa di daerah yang berbeda lagi, seorang supir truk berusia 26 tahun ditangkap tak lama setelah ia membeli sepaket sabu-sabu seharga Rp200.000 dengan berat bersih sebesar 0,041 gram. Hasil tes urinnya negatif mengandung sabu-sabu.

    Serupa dengan 2 kasus sebelumnya, tak ditemukan alat-alat untuk menggunakan sabu-sabu tersebut, baik bong, pipet maupun lainnya. Serupa juga dengan dua kasus sebelumnya, JPU menuntutnya terbukti melanggar Pasal 112 ayat (1), dan meminta pengadilan menjatuhkan penjara kepadanya selama 4 tahun dan denda Rp800.000.000,-.

    Di tingkat pertama, pengadilan negeri tidak sependapat dengan JPU khususnya terhadap delik apa yang sebenarnya dilanggar Terdakwa. Majelis hakim berpandangan perbuatan yang dilakukan terdakwa bukanlah melanggar Pasal 112 ayat (1), namun penyalahgunaan narkotika (Pasal 127). Sang supir truk kemudian dijatuhkan penjara selama 1 tahun oleh majelis hakim di tingkat pertama itu. Atas putusan tersebut JPU mengajukan banding. JPU tak sependapat dengan penerapan hukum yang diputuskan PN tersebut.

    Di tingkat banding, pengadilan tinggi membatalkan putusan PN tersebut, menurut majelis hakim tingkat banding perbuatan yang dilakukan terdakwa masuk dalam kualifikasi Pasal 112 ayat (1) bukan Pasal 127. Terdakwa pun dijatuhi penjara 5 tahun dan denda Rp800.000 lebih tinggi 1 tahun dari tuntutan JPU sebelumnya.

    Namun putusan Pengadilan Tinggi tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi. Menurut MA atas peristiwa di atas tidak tepat jika diterapkan Pasal 112 ayat (1) karena jika narkotika yang dimiliki atau dikuasasinya tujuannya adalah untuk dipakai oleh Terdakwa, tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan Terdakwa terlibat dalam perdagangan gelap narkotika, besaran narkotikanya tidak melebihi batasan yang diatur dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 jo. SEMA No. 3 Tahun 2011 terlepas dari hasil tes urine terdakwa positif atau negatif mengandung narkotika, maka perbuatan tersebut seharusnya masuk dalam kualifikasi penyalahgunaan narkotika. 

    Pertimbangan tersebut terdapat dalam putusan MA nomor 2754 K/Pid.Sus/2016 yang diputus tanggal 20 Maret 2017. 1,5 bulan sejak putusan sebelumnya.

    Inkonsistensi Putusan dan Dampaknya

    3 putusan di atas adalah salah satu contoh inkonsistensi sikap hukum Mahkamah Agung atas suatu peristiwa yang serupa. Ya, tentu ketiga perkara tersebut diputus oleh majelis hakim yang berbeda (walaupun di antara ketiganya terdapat beberapa hakim agung yang sama).

    Jika ditelusuri, lebih banyak lagi putusan MA terkait tindak pidana narkotika ini Anda akan menemukan lebih banyak lagi putusan yang serupa. Di mana terdapat dua pandangan hukum MA yang saling bertolak belakang terkait bagaimana menentukan ketentuan mana yang berlaku jika seseorang tertangkap membawa atau membeli narkotika dalam jumlah yang relatif sedikit, terdakwa belum menggunakan narkotika tersebut, dan tidak ada indikasi terdakwa terlibat dalam jaringan perdagangan gelap narkotika.Apakah terhadap terdakwa harus dikenakan pasal penguasaan atau kepemilikan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (1) yang ancaman pidananya paling rendah 4 tahun penjara dan paling lama 12 tahun dan denda minimal Rp800.000.000 s/d 8 Miliyar, atau pasal penyalahgunaan (Pasal 127) yang ancamannya paling tinggi 4 tahun penjara tanpa denda?

    Independensi hakim, mungkin itu argumentasinya. Tiap hakim memiliki kebebasan dalam memutus. Ya, tentu. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana hakim ditingkat judex facti harus memutus jika di kemudian hari menghadapi kasus yang serupa dengan 3 kasus di atas? Putusan mana yang harus diikuti jika tak ingin pertimbangannya dikatakan “salah dalam menerapkan hukum” oleh Mahkamah Agung?

    Bagaimana juga advokat harus menjawab pertanyaan dari klien atau keluarganya, apakah kliennya akan dikenakan pasal penyalahgunaan narkotika atau kepemilikan/penguasaan? “Kenapa si anu kenanya pasal anu sementara saya kenanya pasal ini padahal kasus kami serupa”? Bagaimana menjawab pertanyaan semacam ini?

    Inkonsistensi penafsiran dan penerapan hukum pada dasarnya saja saja mendorong adanya ketidakpastian. Sesuatu yang hendak diminimalisir oleh keberadaan hukum itu sendiri. Inkonsistensi putusan khususnya di tingkat Mahkamah Agung membuat Mahkamah Agung menggerus kewibawaannya sendiri.

    Teringat saya dengan perkataan mantan Ketua Hoge Raad, Corstens, beberapa tahun yang lalu saat datang ke Indonesia, independensi hakim memang penting, namun yang patut diingat oleh para hakim di Mahkamah Agung (di negara manapun) adalah bahwa fungsi kasasi (yang merupakan fungsi utama dari Mahkamah Agung) adalah menjaga kesatuan penerapan hukum.

    Para hakim agung seharusnya bisa mengesampingkan ego, mahzab, atau yang lainnya dan menyadari bahwa keberadaan institusinya adalah untuk menjaga kesatuan penerapan hukum. Karena jika tidak maka yang terjadi hanyalah ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

    Ke depan, permasalahan inkonsistensi putusan harus dapat diselesaikan oleh Mahkamah Agung. MA harus mulai menyadari bahwa bagaimana sikap hukumnya atas suatu permasalahan tidak hanya akan berdampak pada para pihak yang berperkara itu sendiri, namun juga terhadap para hakim di bawahnya, jaksa, advokat dan masyarakat secara luas.

     

    Arsil, Pemerhati Hukum

     

    Sumber :
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a73e81c17a51/inkonsistensi-sikap-ma-dalam-perkara-narkotika

Jenis Golongan dan Penerapan Pasal yang Dikenakan pada UU Narkotika


Oleh: Eric Manurung*)

RED
​​​​​​​Ironisnya, aparat penegak hukum menjerat pasal yang seharusnya untuk bandar, pengedar, atau kurir kepada penyalahguna atau pecandu narkotika.
Eric Manurung. Foto: Istimewa


Jenis Golongan Narkotika

Isu narkotika sudah lama menjadi permasalahan negeri ini. Perkembangannya sangat signifikan, merebak dari kota sampai ke desa, penggunanya mulai dari artis, pilot, pejabat, rakyat biasa, hingga oknum penegak hukum pun banyak yang menikmatinya. Aturan yang ada selama ini dianggap belum cukup efektif menangani permasalahan ini.

Sebagai wujud dari keseriusan negara untuk menangani permasalahan narkotika yang semakin merebak sampai ke pelosok negeri, maka aturan yang telah ada sebelumnya yakni UU No. 7 tahun 1997 diperbaharui dengan dibuat dan disahkannya UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Pengesahan UU ini, dilandasi karena tindak pidana narkotika dianggap sekarang telah bersifat trans-nasional, yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung jaringan yang kuat dengan jumlah nilai uang yang fantastis, dan banyak menjerat kalangan muda, generasi millenial.

Untuk memberi pemahaman yang jelas dalam UU ini, perlu mengikuti perkembangan mulai dari jenis narkotikanya, proses kejahatannya, hingga penyebutan istilah-istilahnya. Klasifikasi pembagian golongan narkotika pada UU ini, dibagi menjadi 3 jenis golongan yang termasuk kategori narkotika. Kategori pembagian jenis Golongan Narkotika adalah sebagai berikut:

  1. Golongan I , Jenis Narkotika yang secara umum dikenal masyarakat antara lain Ganja, Sabu-sabu, Kokain,Opium, Heroin, dll;
  2. Golongan II, Jenis Narkotika yang secara umum dikenal masyarakat antara lain Morfin, Pertidin dll;
  3. Golongan III, Jenis Narkotika yang secara umum dikenal masyarakat antara lain Kodein, dll.

Seyogianya narkotika dapat digunakan dengan cara-cara yang diatur dalam UU. Narkotika juga dapat digunakan untuk penelitian, pendidikan, medis (kesehatan), dan lain lain. Namun dalam UU ini, juga diatur mengenai narkotika yang dimiliki, diproduksi, dibawa, digunakan tidak sesuai aturan atau secara melawan hukum.

Salah satu hal yang cukup mendetail dijelaskan juga dalam UU ini adalah terdapat klasifikasi pembagian “cap” bagi orang yang terlibat dalam narkotika. Pembagian klasifikasi pada UU ini berbeda pada pembagian secara umum yang sering disebut masyarakat yaitu pengedar narkotika dan pengguna narkotika. Namun dalam UU ini secara implisit dijelaskan lagi mengenai siapa saja yang dapat disebut pengedar berdasarkan perannya dan siapa saja yang dapat disebut Pengguna. Penjelasannya sebagai berikut:

  1. Pengedar Narkotika, terdapat beberapa penyebutan sesuai dengan perannya masing-masing, yakni:
    1. Pihak yang memproduksi Narkotika secara melawan hukum (Pasal 1 angka 3 jo Pasal 113);
    2. Pihak yang Meng Impor Narkotika secara Melawan Hukum (Pasal 1 angka 4 jo Pasal 113);
    3. Pihak yang meng Ekspor Narkotika scara melawan hukum (Pasal 1 angka 5 jo Pasal 113);
    4. Pihak yang melakukan Pengangkutan atau Transito Narkotika secara melawan hukum (Pasal 1 angka 9, 12 jo Pasal 115);
    5. Pihak yang melakukan Peredaran Gelap Narkotika dan Preskusor Narkotika (Pasal 1 angka 6 jo 111,112, 129).
  2. Pengguna Narkotika, juga terdapat beberapa penyebutan, yakni:
    1. Pecandu Narkotika (Pasal 1 angka 13 jo Pasal 54 jo Pasal 127);
    2. Penyalahguna Narkotika (Pasal 1 angka 15 jo Pasal 54 jo Pasal 127).

Sebenarnya sudah cukup jelas bagi masyarakat mengenai jenis-jenis narkotika yang dilarang diproduksi, dijual atau digunakan tanpa izin dari pihak yang berwenang yang diatur dalam UU ini. Jika masyarakat melanggar aturan dengan memproduksi, mengedar, memakai narkotika secara melawan hukum/tanpa izin (hak), maka sanksi pidanalah yang akan dijalani bagi masyarakat tersebut sesuai dengan peran perbuatan yang dilakukannya.

 

Penerapan Pasal-Pasal Pidana

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, mengenai golongan/jenis dan klasifikasi peran pihak yang berkaitan dengan narkotika, maka dalam UU ini telah diatur pula mengenai sanksi-sanksi pidana bagi pihak yang melanggar ketentuan di atas. Bagi pihak yang memproduksi, pengedar/penjual atau perantara tentu sanksi hukumannya lebih berat dari pada pihak yang hanya menggunakan saja. Namun dalam klasifikasi pengedar pun dibagi lagi sesuai perannya, apakah sebagai pihak bandar besar yang memproduksi narkotika, atau hanya sebagai penjual saja, ataupun sebagai kurir/perantara saja.

Sanksi pidana dalam UU ini diatur mulai dari Pasal 111 s/d Pasal 148. Kurang lebih 37 Pasal mengatur mengenai sanksi-sanksi pidana yang dapat diterapkan atas perbuatan atau keadaan/peristiwa yang bermacam jenis. Namun dalam praktik yang terjadi, pasal yang mendominasi, secara umum sering digunakan para penegak hukum (BNN, polisi, jaksa, hakim) adalah Pasal 111, 112, 113, 114 Jo 132. Dan pasal yang jarang dikenakan adalah Pasal 127.

Adapun Pasal 111, 112, 113, 114 jo 132 adalah pasal sanksi pidana yang dapat diterapkan/dikenakan bagi pihak yang memiliki narkotika untuk mengedarkan, menjual atau pihak yang menjadi kurir (perantara). Sedangkan Pasal 127 adalah pasal yang dapat diterapkan/dikenakan bagi pihak yang memiliki narkotika sebagai penyalahguna atau pecandu.

Adapun sanksi penjara pada Pasal 111, 112, 113, 114 adalah minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati. Sedangkan sanksi pada Pasal 127 adalah rehabilitasi atau maksimal penjara 4 tahun. Terdapat hukuman penjara yang cukup berbeda/signifikan antara pasal tersebut.

Dari penjelasan di atas, pada Pasal 1 angka 13 dan angka 15 UU ini mengatur mengenai dua klasifikasi dari pengguna narkotika (penyalahguna dan pecandu). Yang sesungguhnya menjadi semangat atau landasan filosofis dari diperbaharuinya UU Narkotika ini, selain untuk pencegahan dan pemberantasan narkotika, juga memiliki semangat untuk melindungi dan menyelamatkan para generasi muda yang telah menjadi pengguna narkotika.

Dalam UU ini, para pengguna narkotika disebut juga sebagai korban dari peredaran Narkotika tersebut. Karena semakin banyaknya peredaran narkotika, maka semakin banyak pula penyalahguna atau pecandu yang terjerat. Oleh karenanya negara/pemerintah dalam hal ini ikut campur dalam proses pencegahan maupun pemberantasan, namun juga pada proses penyelamatan/perlindungan bagi generasi muda secara masif yang telah banyak menjadi korban narkotika.

Negara/pemerintah membuat suatu badan yang khusus, yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan tugas pokoknya menangani permasalahan Narkotika, bukan hanya pencegahan dan pemberantasan, namun juga sampai kepada tahap penyelamatan/rehabilitasi bagi orang yang telah terkena menjadi penyalahguna atau pecandu narkotika. Pemerintah juga memberikan anggaran yang cukup besar untuk membuat panti-panti rehabilitasi, dan bekerjasama dengan rumah sakit negeri maupun swasta untuk ikut menyelamatkan korban penyalahguna atau pecandu narkotika ini.

Yang menjadi persoalan atas penerapan pasal-pasal yang keliru dan sering digunakan aparat penegak hukum terhadap para penyalahguna narkotika adalah, adanya kerancuan/ambiguitas dalam pasal yang seharusnya dikenakan/diterapkan bagi bandar besar, pengedar, penjual atau kurir, namun dapat dikenakan juga pada korban penyalahguna atau pecandu narkotika. Hal ini dikarenakan pada Pasal tersebut terdapat unsur kata/frasa “memiliki, menguasai, menyimpan atau menyediakan narkotika”.

Unsur frasa “memiliki, menguasai, menyimpan atau menyediakan narkotika” inilah yang seharusnya dikenakan kepada pihak yang menjadi bandar, pengedar, atau kurir. Namun sering dikenakan kepada pihak penyalahguna atau pecandu narkotika. Sehingga Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) di seluruh penjuru negeri hampir 70% diisi oleh pelaku perkara narkotika. Tidak sedikit di antaranya adalah para penyalahguna atau pecandu narkotika, yang seharusnya bukan di situ tempatnya berada berdasarkan UU ini.

Hal ini, pernah dialami sendiri oleh Penulis dalam melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap penyalahguna narkotika. Dua orang nelayan di Batam, yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah, dengan bujuk rayu dari seseorang untuk coba menggunakan sabu-sabu, dengan efek akan semakin kuat untuk mencari ikan di laut.

Setelah mencoba beberapa kali sabu-sabu secara gratis, ketika itu mereka mulai ketagihan. Namun mereka tidak diberikan lagi secara gratis, namun harus membeli sendiri. Maka mereka pun membeli sendiri sabu-sabu ketika akan pergi mencari ikan di laut.

Saat itu mereka membeli sabu 0,5 gram brutto dengan harga Rp200 ribu, lalu ditangkap pihak Kepolisian. Dan ketika ditanyakan untuk apa sabu ini, lalu dijawab untuk dipakai sendiri, karena membuat mereka merasa semakin kuat untuk melaut. Namun oleh penyidik pasal yang dikenakan bukanlah Pasal 127 sesuai UU, tapi pasal yang seharusnya dikenakan untuk bandar, pengedar, kurir yaitu Pasal 111, 112 jo 132.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Pasal 111, 112 memiliki sanksi penjara yang cukup berat, yaitu minimal 4 tahun, dan maksimal bisa hukuman 20 tahun, bahkan hukuman mati. Hal inilah yang dijadikan materi dalam pembelaan Penulis sebagai penasihat hukum dari dua orang nelayan penyalahguna narkotika tersebut.

Selain merujuk pada Pasal 127 UU ini, Penulis merujuk pula pada Surat Edaran baik di Internal Kepolisian (Kapolri, Kabareskrim), Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung maupun putusan-putusannya mengenai penanganan perkara terhadap penyalahguna atau pecandu narkotika, dengan syarat, kriteria yang cukup jelas juga telah dijadikan dasar dalam pendampingan dan pembelaan.

Namun pihak Kepolisian dan Kejaksaan tetap tidak bergeming menggunakan Pasal 111,112 jo 132 dengan menuntut penjara selama 4 tahun. Bagaimana dapat diterima secara logis penyalahguna atau pecandu narkotika, dengan barang bukti sabu-sabu dengan berat 0,4 gram, diminta, dituntut untuk dipenjara selama 4 tahun. Tuntutan atau permintaan yang menurut terdakwa maupun penasihat hukum jauh dari rasa keadilan.

Kedua orang nelayan ini, pada tingkat Pengadilan Negeri Batam, divonis sama dengan tuntutan dari penuntut umum, yakni 4 tahun penjara. Lalu diajukan upaya banding, dengan menguatkan putusan PN Batam. Lalu diajukan upaya kasasi, dan di sinilah terdapat titik terang terdakwa sebagai pencari keadilan, di mana hakim agung menyatakan para terdakwa terbukti sebagai penyalahguna narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, dan divonis 1,6 tahun penjara.

Kedua nelayan ini, bernasib jauh berbeda dengan banyak penyalahguna atau pecandu lainnya, yang dihukum dengan Pasal 111, 112, 113, 114 jo 132, dengan hukuman penjara rata-rata 5 sampai 7 tahun, dengan barang bukti sabu rata-rata 0,1 s/d 1 gram atau ganja beberapa linting saja.

Pasal 127 yang adalah Ius Constitutum (hukum positif), seolah masih menjadi Ius Constituendum (hukum yang dicita-citakan) dalam praktik penerapannya. Pasal 127 ini pula dapat dijadikan ruang “transaksional” pasal dari oknum penegak hukum yang sering dikenakan pada pejabat atau artis, namun jarang tergapai bagi masyarakat kecil, menengah awam hukum yang menjadi korban penyalahguna atau pecandu narkotika.

 

Tujuan UU

Tujuan dari hukum/UU adalah kepastian, perlindungan dan kemanfaatan. Maka jika menilik dari frasa Pasal 111, 112, 113, 114 yang terdapat frasa “memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika” sesungguhnya telah terdapat ketidakpastian dalam aturan pasal ini. Sebagaimana Penulis jelaskan dalam materi pleidoi (pembelaan) maupun pertimbangan dari hakim agung dalam putusannya, menyatakan frasa kata “memiliki, menyimpan, menguasai” harus diartikan dengan tujuan untuk mendapat keuntungan dari memiliki, menyimpan, menguasai narkotika tersebut.

Apakah dengan tujuan untuk mengedarkan, menjual atau sebagai perantara/kurir. Maka dapat dikenakan Pasal 111, 112, 113, 114? Karena setiap penyalahguna atau pecandu yang membeli narkotika, pasti terlebih dahulu memiliki, menyimpan, menguasai narkotika tersebut untuk selanjutnya digunakan/dipakainya. Hal inilah yang harus dibedakan dalam pengertian dan penerapan Pasal 127, memiliki narkotika dengan tujuan untuk menggunakan sendiri, dengan pengertian dan penerapan Pasal 111, 112, 113, 114 memiliki narkotika, dengan tujuan untuk mengambil keuntungan.

Dari sisi perlindungan, maka para penyalahguna atau pecandu yang seharusnya dilindungi dengan dibedakan pasal yang dikenakan kepadanya, tapi dalam praktik sering tidak terlindungi, karena dikenakan pasal yang seharusnya untuk bandar, pengedar, atau kurir. Sehingga hak dari para penyalahguna untuk dikenakan/diadili dan dihukum sesuai Pasal 127 dengan hukuman rehabilitasi atau maksimal penjara 4 tahun, tidak didapatkan para penyalahguna atau pecandu narkotika tersebut.

Atau masih banyak juga cerita mengenai warga negara Indonesia yang bekerja di Malaysia, dijadikan kurir untuk membawa narkotika dengan jumlah besar dari negeri Jiran tersebut. Para kurir tersebut ada yang mau karena tekanan ekonomi, dan juga intimidasi/ancaman.

Bayaran yang mereka terima pun sangat kecil, namun risiko yang mereka terima besar, dikenakan dengan pasal sebagai seolah-olah bandar besar pemiliki narkotika tersebut. Ancaman penjara yang dikenakan umumnya di atas 10 tahun dan ada yang maksimal hukuman mati. Namun, yang memproduksi atau bandar besar sesungguhnya, belum tersentuh sama sekali.

Dari sisi kemanfaatan, hal ini yang menurut Penulis paling berdampak luas. Pertama, jika kita lihat dari sisi penyalahguna atau pecandu narkotika tersebut, sudah jelas tidak ada manfaatnya sama sekali penyalahguna atau pecandu narkotika dimasukkan dalam penjara dengan waktu yang cukup lama (rata-rata 4-6 tahun).

Bahkan malah lebih banyak ke arah merugikannya, karena banyak anak muda yang terkena narkotika, yang seharusnya dalam masa-masa produktif, dapat direhabilitasi/disembuhkan, dan diarahkan untuk kegiatan yang positif dan produktif. Bahkan ada penyalahguna atau pecandu usai dipenjara malah menjadi pengedar atau bahkan bandar narkotika lantaran di dalam penjara bergaul dengan para bandar.

Kedua, dari sisi negara/pemerintah, sudah jelas pula tidak ada kemanfaatannya. Bahkan timbul permasalahan baru yaitu hampir seluruh Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan yang ada sudah over capacity. Sekitar 60% s/d 70% isinya adalah tahanan/napi narkotika. Anggaran negara pun hingga triliunan digunakan untuk memberi makan tahanan/napi dan untuk membangun Rutan/LP yang baru sehingga bukan kemanfaataan, malah mudarat yang didapat.

Akhirnya Penulis berpendapat, ternyata mengirimkan orang ke penjara bukanlah satu-satunya solusi permasalahan narkotika, khususnya bagi penyalahguna atau pecandu narkotika. Hukumlah seseorang sesuai kesalahannya. Korban penyalahguna atau pecandu narkotika, jika tidak dihukum sesuai dengan pasal yang seharusnya, maka menjadi korban lagi. Korban dari salah jalan, pergaulan, dan korban dari praktik penegakan hukum.

Maka, agar permasalahan narkotika ini tidak berlarut, dan semakin bertambah kompleks, di awal tahun yang baru ini, dengan semangat dan harapan yang baru pula, maka  hal yang lalu yang selama ini dilakukan dirasa kurang tepat dan efektif dalam penanganan perkara narkotika, dapat dijadikan koreksi/introspeksi bagi aparat penegak hukum khususnya (polisi, jaksa, hakim) maupun masyarakat secara umum. Agar tujuan dari hukum yaitu kepastian, perlindungan, kemanfaatan dari hukum itu sendiri dapat terpenuhi, sehingga tercapailah proses dan putusan-putusan yang  berkeadilan bagi setiap orang.

 

*)Eric Manurung, S.H. (Advokat)



https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a799bc2a041a/jenis-golongan-dan-penerapan-pasal-yang-dikenakan-pada-uu-narkotika-oleh--eric-manurung/