Cari Blog Ini

Sabtu, 11 Januari 2020

Pasca Putusan MK, Pengaturan Jaminan Fidusia Perlu Ditata Ulang


Moh. Dani Pratama Huzaini
Antara debitur dan kreditur dapat memasukan klausul yang berisi pengaturan yang mengatur tentang bagaimana mekanisme agar debitur dapat dinyatakan cedera janji.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, menyatakan keberlakuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hal ini sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap".

Tidah hanya itu, terhadap frasa “cidera janji” sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia, Mahkamah juga menyatakan frasa “cidera janji” tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

Pengacara yang juga merupakan kuasa hukum pemohon, Veri Junaidi, dari Kantor Hukum Veri Junaidi and Associate kepada hukumonline mengatakan problem yang selama ini sering terjadi adalah praktik pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Fidusia kerap menimbulkan ketidak pastian hukum. Khusus untuk penerapan pasal 15 ayat (2) dan (3) pada UU Jaminan Fidusia juga sering mengabaikan perlindungan keadilan bagi Debitur.

“Karena tidak ada posisi yang seimbang antara debitur dan kreditur,” ujar Veri kepada hukumonline, Selasa (7/1).

Terkait hal ini, menurut Veri, sudah seharusnya UU Jaminan Fidusia dan konsepnya dilakukan permbaharuan. Hal ini bertujuan agar meletakan posisi yang seimbang antara debitur dan kreditur. Tidak hanya memperhatikan kepentingan dan memberikan perlindungan kepada kreditur, tapi juga menempatkan debitur pada posisi yang setara.

Veri menilai penentu kebijakan ke depan mesti melakukan penataan dengan segera untuk memberikan kepastian terhadap dunia usaha dengan membawa konsep baru menyusul terbitnya putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019. Veri tidak menutup mata bahwa dengan terbitnya putusan ini, dunia usaha akan menemukan hambatan berarti mengingat proses untuk mengeksekusi dan menjual benda yang merupakan Jaminan Fidusia, tidak semudah sebelum keluarnya putusan MK.

Menurut Veri, kondisi ini harus bisa diantisipasi oleh pembuat kebijakan agar dunia usaha memiliki kepastian hukum. Bisa mengacu pada putusan MK, besar atau kecilnya nilai Fidusia tetap harus melalui proses peradilan. Namun sebagai jalan tengah yang bisa ditempuh, Veri menyebutkan tentang diperlukannya mekanisme kompalin dengan proses peradilan yang sederhana, cepat, dan memiliki kepastian hukum.

“Dengan begitu baik kreditur maupun debitur mendapatkan kepastian hukum,” ungkap Veri.

Jika tidak demikian, Veri menawarkan agar antara Debitur dan Kreditur dapat memasukan klausul yang berisi pengaturan yang mengatur tentang bagaimana mekanisme agar Debitur dapat dinyatakan cedera janji. Jalan ini menurut Veri bisa ditempuh dengan catatan terlebih dahulu dirumuskan dan disepakati oleh kedua belah pihak untuk menghindari adanya penentuan sepihak oleh kreditur.

“Sehingga proses tersebut dapat mendorong Debitur sukarela menyerahkan objek fidusia atau title eksekutorial dapat dilaksanakan oleh Kreditur,” pungkas Veri.

Praktisi hukum perusahaan pembiayaan, Arief Aphrian Lambri, kepada hukumonline mengakui selama ini secara hukum, posisi Kreditur lebih kuat jika dibandingkan dengan posisi debitur. Selain karena telah diatur secara hukum namun secara filosofis, dalam praktik pembiayaan dengan menggunakan leasing, kreditur telah memenuhi seluruh kewajibannya dengan jalan melunasi pembayaran kendaraan milik debitur.

(Baca: MK Tafsirkan Cidera Janji dalam Eksekusi Jaminan Fidusia)

“Jadi secara hukum Perusahaan Pembiayaan berada pada posisi yang kuat karena semua kewajiban sudah dilakukan, kecuali kewajiban untuk menyerahkan bukti kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) yang baru akan menjadi kewajiban apabila debitor sudah melunasi semua kewajibannya kepada Perusahaan Pembiayaan,” tuturnya beberapa waktu lalu kepada hukumonline.

Sebenarnya terkait pelaksanaan eksekusi jaminan, menurut pengalamannya, Arief menyerahkan hal tersebut kepada kemauan debitur untuk bekerjasama apabila sudah teridentifikasi melakukan wanprestasi. Karena sampai pada tahap dilakukannya eksekusi terhadap unit kendaraan yang merupakan jaminan fidusia, terlebih dahulu telah melewati berbagai tahapan seperti yang telah diatur oleh ketentuan perundang-undangan. Selain itu, perihal terkait eksekusi jaminan sendiri sudah diatur dalam perjanjian pembiayaan yang telah ditandatangani oleh debitur.

Perjanjian pembiayaan antara perusahaan pembiayaan dan kreditor lazimnya telah memuat hak dan kewajiban para pihak secara jelas, termasuk juga di dalamnya terkait apa saja yang harus dilakukan apabila terjadi wanprestasi. Arief menjelaskan, pada saat terjadi wanprestasi oleh debitor, perusahaan pembiayaan tidak dapat serta merta melakukan eksekusi terhadap jaminan.

“Biasanya ada surat peringatan yang diberikan terlebih dahulu dan itu secara prosedural sudah pasti dilaksanakan, biasanya juga sudah diatur dalam Standard Operating Procedure Perusahaan Pembiayaan,” papar Arief yang menjabat sebagai Head Legal di sebuah perusahaan leasing ini.

Ia mengingatkan, saat menerima draf perjanjian pembiayaan Debitur perlu memperhatikan dan memahami seluruh isi surat perjanjian sebelum menandatangani perjanjiannya. Lumrah terjadi, calon debiuor pengguna jasa perusahaan pembiayaan kerap tidak cermat dengan isi perjanjian pembiayaan. Hal ini bisa terjadi akibat ketergesa-gesaaan saat menandatangani perjanjian pembiayaan, atau akibat tidak memahami lebih jauh mengenai isi perjanjian. 

Dalam praktiknya, calon debitor diberi kesempatan untuk membaca dan memahami isi perjanjian. Jika ada bagian yang tidak atau kurang dipahami, calon debitur dapat bertanya kepada perusahaan pembiayaan. Ini juga sudah disebut dalam POJK No. 29 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Perusahaan Pembiayaan akan menjelaskan kepada debitur mengenai apa saja isi perjanjiannya. Seharusnya, kata Arief, ketidakpahaman tentang isi perjanjian tidak lagi menjadi alasan saat terjadi dispute antara debitur dan kreditur. “Seharusnya debitur tidak dapat menggunakan alasan bahwa debitur tidak memahami isi dari perjanjiannya,” tegasnya.


Sumber :

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e143b3b9f4df/pasca-putusan-mk--pengaturan-jaminan-fidusia-perlu-ditata-ulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar