Cari Blog Ini

Sabtu, 11 Januari 2020

Hukum Merekam Pembicaraan di Handphone


Pertanyaan

Apakah merekam pembicaraan di handphone saya baik incoming maupun outgoing merupakan pelanggaran hukum? Seandainya isi pembicaraannya merupakan sebuah perjanjian dan kemudian terjadi wanprestasi bisakah isi rekaman ini dijadikan sebagai salah satu alat bukti ?


Ulasan Lengkap

Ysh. Rekan HukumOnline
 

Ada dua isu yang Saudara tanyakan, yaitu legalitas merekam pembicaraan yang dilakukan melalui handphone.Dan legalitas serta kekuatan pembuktian rekaman pembicaraan sebagai alat bukti.

Legalitas Merekam Pembicaraan

Pada prinsipnya, komunikasi yang dilakukan oleh dua orang melalui satu media komunikasi bersifat privat. Artinya, pada prinsipnya, komunikasi mereka tidak boleh diganggu dan akan diperlakukan sebagai komunikasi rahasia.

Setidaknya ada dua dasar komunikasi tersebut menjadi tidak privat atau tidak rahasia lagi. Pertama komunikasi tersebut tidak bersifat privat atau rahasia karena keinginan atau persetujuan pihak yang berkomunikasi. Kedua karena perintah yang didasarkan pada undang-undang.

Tanpa adanya persetujuan pihak yang berkomunikasi atau tanpa adanya perintah yang didasarkan undang-undang maka tindakan tersebut dapat dikategorikan tindakan penyadapan atau intersepsi.

Pertanyaan lebih lanjut yang perlu dibahas ialah:
  1.       Berbicara mengenai keinginan atau persetujuan pihak yang berkomunikasi, apakah persetujuan tersebut harus datang dari semua pihak yang berkomunikasi atau cukup salah satu pihak saja?
  2.       Apa yang dimaksud dengan penyadapan atau intersepsi? Untuk kepentingan apa, penyadapan atau intersepsi tersebut menjadi sah?
 
Ad. 1 Persetujuan Pihak yang Berkomunikasi

Mengapa jumlah minimal pihak yang memberikan persetujuan dalam suatu komunikasi menjadi penting? Karena jumlah minimal tersebut adalah batasan untuk menentukan adanya penyadapan atau intersepsi tanpa hak (ilegal).

Sebagai perbandingan di Amerika, Hukum Federal Amerika Serikat memungkinkan seseorang merekam pembicaraan cukup berdasarkan persetujuan salah satu pihak yang berkomunikasi (one-party consent law). Akan tetapi, di negara-negara bagian di Amerika Serikat tidak seluruhnya menerapkan prinsip ini. Negara-negara bagian seperti California, Connecticut, Florida, Maryland, Massachusetts, Montana, New Hampshire, Pennsylvania dan Washington menerapkan two-consent party.

Apabila seseorang dari Missouri merekam pembicaraan teleponnya atas dasar keinginannya sendiri, sedangkan lawan bicaranya ada di Kansas, maka tindakannya tersebut bukan merupakan pelanggaran menurut hukum Missouri maupun Kansas karena keduanya menerapkan prinsip one-party consent law. Akan menjadi masalah apabila lawan bicaranya berada di Maryland.

Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan perundang-undangan yang kami telaah, tidak ada ketentuan yang secara tegas melarang perekaman pembicaraan tanpa adanya persetujuan dari semua pihak. Artinya, sesuai dengan konteks pembahasan ini, dalam sistem hukum di Indonesia, dimungkinkan seseorang untuk merekam pembicaraan melalui handphone hanya  dengan persetujuan salah satu pihak.

One-party consent merupakan perilaku yang diterima dalam masyarakat. Sebagai contoh, beberapa perusahaan khususnya dalam bagian layanan pelanggan (customer services) melakukan perekaman pembicaraan atara petugas layanan dan pelanggan dengan dasar bahwa perusahaan membutuhkan rekaman tersebut dalam meningkatkan kualitas layanan kepada pengguna atau pelanggan.

Akan tetapi, pertanyaan yang perlu ditelaah lebih jauh lagi ialah apabila persetujuan hanya cukup dari satu pihak saja dan tidak perlu persetujuan lawan bicaranya, apakah ia harus memberitahukan adanya rekaman tersebut kepada lawan bicaranya? Pemberitahuan tersebut tidak diperlukan, tetapi sebaiknya dilakukan atas dasar etika.

 
Argumentasinya adalah sebagai berikut.

Komunikasi melalui SMS adalah komunikasi yang dianggap privat dan harus diperlakukan rahasia. SMS adalah bukti rekaman adanya komunikasi antar para pihak. Apabila salah satu pihak menunjukkan isi SMS tersebut kepada orang lain berdasarkan persetujuannya maka ia tidak perlu memberitahukan lawan bicaranya bahwa SMS tersebut ditunjukkan atau diteruskan kepada orang lain. Konstruksi ini juga digunakan dalam perekaman handphone.

Argumen lain yang selaras dengan argumen sebelumnya ialah bahwa ketika seseorang telah mengirimkan atau mentransmisikan informasi dari medianya dan telah masuk dalam media lawan bicaranya maka pengirim tidak memiliki kontrol lagi terhadap informasi yang telah dikirimkan. Informasi yang telah masuk dalam media si penerima akan berada dalam penguasaannya.

 
Ad. 2. Apakah Intersepsi atau Penyadapan itu?

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“UU Telekomunikasi”) diberi batasan penyadapan. Penjelasan Pasal 40 UU Telekomunikasi mengatur bahwa penyadapan ialah “kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah”. Konsep penyadapan dalam UU Telekomunikasi dipengaruhi oleh teknologi pada waktu itu, yaitu teknologi telekomunikasi dengan menggunakan kabel (wired communication).

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) digunakan terminologi intersepsi atau penyadapan yang dijelaskan sebagai kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. (Penjelasan Pasal 31 UU ITE)

Intersepsi atau Penyadapan pada dasarnya dilarang karena perbuatan tersebut melanggar hak asasi manusia – melanggar kebebasan berkomunikasi – tanpa adanya persetujuan dari pihak yang berkomunikasi, sebagaimana disebutkan di atas. Dalam hal ini, Intersepsi atau penyadapan hanya dapat dibenarkan hanya berdasarkan perintah dari suatu otoritas yang diatur dalam Undang-Undang.

Dalam perudang-undangan yang ada di Indonesia, Intersepsi atau Penyadapan dimungkinkan untuk dua hal, yaitu untuk kepentingan penegakan hukum dan untuk kepentingan Intelijen negara. Ada beberapa undang-undang yang memberikan aparat penegak hukum dalam melakukan Intersepsi atau Penyadapan. Sebagai contoh:

  •       UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  •       UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan
  •       UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
  •       UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Kekuatan Pembuktian Rekaman Pembicaraan

Mengenai hal kekuatan pembuktian rekaman pembicaraan, hal ini sudah dibahas pada jawaban HukumOnline dalam judul “Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik

Pada intinya rekaman pembicaraan tersebut merupakan Informasi dan Dokumen Elektronik.  Berdasarkan Pasal 5 UU ITE, Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.

 

Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. (Sitompul, 2012)

 
Semoga membantu.
 
Salam
 
Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

2.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

 
Referensi



Sumber :
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5375a5d2cb8bb/hukum-merekam-pembicaraan-di-handphone 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar