Cari Blog Ini

Jumat, 28 Februari 2020

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Belanja Online

Pertanyaan

Saya pernah belanja barang secara online, tapi barang yang saya terima tidak sama dengan yang saya lihat di foto pada iklan yang dipajang. Pertanyaan saya, apakah itu termasuk pelanggaran hak konsumen? Apakah saya dapat menuntut penjual untuk mengembalikan uang atau mengganti barang yang saya beli tersebut? Terima kasih.

Ulasan Lengkap

 
Transaksi Jual Beli/Belanja Online Menurut UU Perlindungan Konsumen
Dengan pendekatan UU Perlindungan Konsumen, kasus yang Anda sampaikan tersebut dapat kami simpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen.
 
Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak konsumen adalah:
  1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
 
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen adalah:
  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang  dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.
 
Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU Perlindungan Konsumen berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Apabila pelaku usaha melanggar larangan memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut, maka pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
 
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
 
Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen Menurut UU ITE dan PP PSTE
Transaksi jual beli Anda, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan Anda untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik.[1]
 
Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila:
  1. terdapat kesepakatan para pihak;
  2. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. terdapat hal tertentu; dan
  4. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
 
Kontrak Elektronik itu sendiri setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:[2]
  1. data identitas para pihak;
  2. objek dan spesifikasi;
  3. persyaratan Transaksi Elektronik;
  4. harga dan biaya;
  5. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
  6. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
  7. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
 
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda.
 
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Lebih lanjut ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.[3]
 
Jika Barang yang Anda Terima Tidak Sesuai dengan yang Diperjanjikan
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
 
Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak sesuai dengan foto pada iklan took online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.
 
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:
  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
 
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web site).
 
Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Online
Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
 
Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
 
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
 
Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
 
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE ini diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yakni:
 
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 
Sebagai referensi mengenai jual beli online Anda juga dapat baca artikel Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan dalam Jual Beli Online.
 
Catatan tentang Transaksi Secara Online
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami, prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual maupun pembeli. Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan website electronic commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, took online, maupun blog). Salah satu indikasinya adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
 
Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
    3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang 
    5. Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
 
 
 

[1] Pasal 47 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 47 ayat (1) PP PSTE
[2] Pasal 48 ayat (3) PP PSTE
[3] Pasal 49 ayat (2) PP PSTE





Penegakan Hukum Perdagangan Barang-barang 'KW'

Pertanyaan

Saya ingin bertanya, bagaimana peran Ditjen HKI terhadap perdagangan produk atau barang palsu ataupun KW? Seperti halnya barang-barang yang dijual di Taman Pxxxxg, di situ kan banyak produk KW. Apa kabar dengan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek?

Ulasan Lengkap

Pertama-tama perlu kami luruskan bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek telah dicabut keberlakuannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”).
 
Mengenai perdagangan produk atau barang palsu atau yang juga dikenal dengan barang "KW", dalam Pasal 100 – Pasal 102 UU MIG diatur mengenai tindak pidana terkait merek:
 
Pasal 100 UU MIG
  1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  3. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
 
Pasal 101 UU MIG
  1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
 
Pasal 102 UU MIG
Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
 
Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya dapat ditindak jika ada aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari perumusan Pasal 103 UU MIG:
 
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan.
 
Ini berarti bahwa penjualan produk atau barang palsu hanya bisa ditindak oleh pihak yang berwenang jika ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hal tersebut, dalam hal ini si pemilik merek itu sendiri atau pemegang lisensi.[1]
 
Mengenai tugas Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (“DJKI”) terkait penindakan terhadap para penjual barang palsu, berdasarkan Pasal 99 ayat (1) UU MIG, selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) untuk melakukan penyidikan tindak pidana merek.
 
Pejabat penyidik pegawai negeri sipil pada DJKI tersebut berwenang melakukan:[2]
  1. pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
  2. pemeriksaan terhadap Orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang merek;
  3. permintaan keterangan dan barang bukti dari Orang sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek;
  4. pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
  5. penggeledahan dan pemeriksaan di tempat yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
  6. penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek;
  7. permintaan keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang merek;
  8. permintaan bantuan kepada instansi terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penetapan daftar pencarian orang, dan pencegahan terhadap pelaku tindak pidana di bidang merek; dan
  9. penghentian penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti adanya tindak pidana di bidang merek.
 
Lebih lanjut mengenai tugas dari DJKI khususnya Direktorat Merek dan Indikasi Geografis menurut informasi yang kami dapatkan melalui laman DJKI, Direktorat Merek dan Indikasi Geografis mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan indikasi geografis serta fasilitasi komisi banding merek.
 
Direktorat Merek dan Indikasi Geografis menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan indikasi geografis;
  2. Pelaksanaan kebijakan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan indikasi geografis;
  3. Pelaksanaan fasilitasi komisi banding merek;
  4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan dan indikasi geografis;
  5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan dan indikasi geografis; dan
  6. Pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Merek dan Indikasi Geografis.
 
Jadi, pada dasarnya Direktorat Merek dan Indikasi Geografis inilah yang akan melakukan pemantauan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan merek di lapangan. Akan tetapi, untuk melakukan tindakan terhadap pihak yang menjual barang palsu, tetap harus ada pengaduan terlebih dahulu dari pemilik merek atau pemegang lisensi.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
 
Referensi:
DJKI, diakses pada Jumat 28 Juni 2019, pukul 16.39 WIB.

[1] Pasal 83 UU MIG
[2] Pasal 99 ayat (2) UU MIG



Sumber : 
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt522464e40449c/penegakan-hukum-perdagangan-barang-/

Sabtu, 22 Februari 2020

Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?


Pertanyaan

Apa perbedaan antara Alat Bukti dengan Barang Bukti?

Ulasan Lengkap

A.     Alat Bukti

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman ProdjohamidjojoSistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

 

B.     Barang Bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a.      benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b.      benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c.      benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;

d.      benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e.      benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul AfiahBarang Bukti Dalam Proses Pidanahal. 14).

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:

a.      Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)

b.      Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)

c.      Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)

d.  Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi HamzahHukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

a.      Merupakan objek materiil

b.      Berbicara untuk diri sendiri

c.      Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya

d.      Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

a.      Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana

b.      Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana

c.      Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana

d.      Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana

e.      Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara

f.       Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul AfiahBarang Bukti, hal.19).

Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini,  real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:

1.      Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);

2.      Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;

3.      Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.

 

Dasar hukum:

1.      Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)

2.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana





Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti-

Selasa, 18 Februari 2020

Apakah Tindakan Polisi Merazia Hotel Tidak Melanggar Hak Privasi?


Pertanyaan

Bagaimana dengan sejumlah aparat yang melakukan razia pada malam hari di sebuah hotel atas dalih tertentu. Apakah ini bukan pelanggaran hak asasi, karena nyata-nyata telah membuat gusar dan mengganggu orang beristirahat? Bahkan terkadang membawa pasangan kekasih ke kantor polisi. Apakah bisa dibenarkan? Apakah tindakan mengganggu hak privasi ini juga bisa dituntut? Apa dasar hukumnya? Mohon penjelasan. Terima kasih.


Ulasan Lengkap

Karena Anda menyebut soal kantor polisi, maka kami asumsikan aparat yang Anda maksud adalah anggota kepolisian. Menurut hemat kami, pertanyaan Anda berkaitan dengan kewenangan penyidik polri. Kewenangan penyidik Polri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yaitu:

a.    menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b.    melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c.    menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d.    melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e.    melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f.     mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g.    memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h.    mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i.      mengadakan penghentian penyidikan;

j.     mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 


Mengenai tindakan-tindakan penyidik polri sebagaimana Anda sebutkan di atas antara lain melakukan razia ke hotel dan membawa “pasangan kekasih” ke kantor polisi, menurut hemat kami, tindakan-tindakan tersebut berkaitan dengan kewenangan penyidik sesuai KUHAP, khususnya melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (Pasal 7 ayat [1] huruf d).

Mengenai penggeledahan di dalam KUHAP diatur antara lain bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 32).

Prosedur atau tata cara penggeladahan oleh penyidik lebih jauh diatur dalam Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP yaitu:

Pasal 33 KUHAP

(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan;

(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;

(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya;

(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;

(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau -menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34 KUHAP

(1)    Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:

a.    pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya;

b.    pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;

c.    di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;

d.    di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

(2)    Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Hotel atau tempat hiburan lainnya tidak dikecualikan dari tempat atau rumah yang dapat dimasuki penyidik polri dalam rangka penggeledahan. Berkaitan dengan ini, Pasal 35 KUHAP mengatur bahwa:

Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:

a.    ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

b.    tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;

c.    ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.

Kemudian, dalam hal penangkapan, penyelidik ataupun penyidik juga berwenang melakukan penangkapan berdasarkan surat perintah (Pasal 16 KUHAP). Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana (penjelasan Pasal 17). Jadi, perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Petugas kepolisian yang melakukan penangkapan wajib memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa (Pasal 18 ayat [1] KUHAP).

Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat (Pasal 18 ayat [2] KUHAP).

Jadi, berdasarkan uraian di atas, polisi mempunyai kewenangan untuk melakukan penggeledahan di hotel tersebut dengan memenuhi prosedur sebagaimana diatur dalam KUHAP. Boleh jadi polisi melakukan penggeledahan di hotel yang Anda sebut berdasarkan laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana di tempat tersebut. Polisi juga dengan berbekal surat perintah berwenang melakukan penangkapan kepada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana, atau melakukan penangkapan tanpa surat perintah dalam hal pelaku tertangkap tangan.

Namun, apabila polisi melakukan penangkapan tidak sesuai prosedur KUHAP, maka pihak tersangka, keluarga atau kuasanya berhak mengajukan upaya hukum praperadilan. Praperadilan diajukan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur di dalam Pasal 79 jo Pasal 77 KUHAP. Dalam praperadilan juga dapat diajukan tuntutan ganti kerugian akibat tindakan polisi yang dianggap dan dapat dibuktikan telah sewenang-wenang dan melanggar hukum (Pasal 81 KUHAP).

Di samping itu, pihak keluarga atau kuasanya juga dapat mengajukan upaya hukum berupa pelaporan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Divpropam Polri) atas tindakan polisi tersebut untuk dapat diproses secara etik.

Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

 
Dasar hukum:

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.




Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5041cd6b65816/apakah-tindakan-polisi-merazia-hotel-tidak-melanggar-hak-privasi-

Permohonan Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Negeri

Ulasan Lengkap

Permohonan penetapan ahli waris di Pengadilan Negeri (PN) biasanya diajukan oleh warga negara Indonesia selain penganut/beragama Islam. Prosesnya sendiri tidak lama, karena sifatnya yang permohonan. Namun, yang harus diingat dalam permohonan penetapan waris, seluruh ahli waris harus terlibat dalam permohonan tersebut.

 

Beberapa bukti yang harus dilengkapi adalah kutipan akta nikah, kartu keluarga, akta kelahiran anak, foto copy KTP seluruh pemohon, surat keterangan kematian, dan surat keterangan ahli waris dari lurah/kepala desa setempat. Jika memungkinkan anda bisa mengajukan saksi yang dapat menerangkan ihwal perkawinan dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

 

Setelah Anda melengkapi bukti untuk permohonan penetapan ahli waris, selanjutnya Anda dapat membuat permohonan yang ditujukan ke Ketua PN setempat yang berisi identitas (para) pemohon, alasan permohonan, dan petitum permohonan.

 

Demikian jawaban kami, semoga membantu Anda.



Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6742/permohonan-penetapan-ahli-waris-di-pengadilan-negeri

Penghinaan


Pertanyaan

mohon dijelaskan bagaimana unsur-unsur penghinaan dalam pasal 310 KUHP? apakah badan hukum bisa terhina? terima kasih.

Ulasan Lengkap

Berdasarkan terjemahan WvS (Wetboek van Straftrecht) versi dari Tim Penerjemah BPHN, Tahun 1988, maka terjemahan Pasal 310 ayat (1) WvS berbunyi Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 310 ayat (2) menurut terjemahan WvS versi  Tim Penerjemah BPHN, Tahun 1988 adalah jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ada beberapa unsur yang harus dicermati dalam Pasal 310 ayat (1) yaitu: Unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dan unsur maksud untuk diketahui umum. Sementara unsur tambahan dalam Pasal 310 ayat (2) adalah unsur dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum.

Dalam doktrin tindak pidana penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 WvS (KUHP) maka badan hukum privat tidak bisa menggunakan ketentuan ini, namun bisa menggunakan ketentuan dalam Pasal 1372 BW (KUHPerdata).

Untuk informasi lebih lanjut, doktrin hukum tentang penghinaan di Indonesia tidak memisahkan antara opini dengan fakta dan juga tidak mempertimbangkan sama sekali kebenaran sebuah fakta. Asalkan sebuah pernyataan dianggap menghina oleh korban, maka unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal sudah dapat terpenuhi. Selain itu, berdasarkan pendapat MA melalui putusan No. 37 K/Kr/1957 tertanggal 21 Desember 1957 yang menyatakan bahwa tidak diperlukan adanya animus injuriandi (niat kesengajaan untuk menghina).

Menurut Satrio, unsur kesengajaan bisa ditafsirkan dari perbuatan atau sikap yang dianggap sebagai perwujudan dari adanya kehendak untuk menghina in casu penyebarluasan dari pernyataan yang menyerang nama baik dan kehormatan orang lain. Hal yang menarik dari unsur kesengajaan ini adalah tindakan mengirimkan surat kepada instansi resmi yang isinya menyerang nama baik dan kehormatan orang lain sudah diterima sebagai bukti adanya unsur kesengajaan untuk menghina.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat





Sumber :
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6865/penghinaan

Tentang Advokat


Pertanyaan

1) Apabila ada seorang advokat yang sedang menangani kasus gugat cerai, kemudian advokat tersebut malah melakukan perbuatan zina (berhubungan seks) dengan kliennya, apa akibat hukumnya? 2) Dampak apa yang akan terjadi dengan kasus yang sedang ditanganinya? 3) Dan apa juga yang terjadi bila ternyata pada saat sidang perceraian, suami mengetahui hubungan zina tersebut dan menggunakannya sebagai alat bukti di pengadilan? 4) Apa saja kewajiban-kewajiban suami terhadap istri setelah cerai yang hilang? Mohon penjelasan dan dasar hukumnya. Terima kasih.


Ulasan Lengkap

  1. Menurut pasal 284 KUHP, perbuatan zina atau persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan atas dasar suka sama suka, di mana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Suami dari istri yang melakukan zina dapat mengadukan sang istri dan teman zinanya kepada polisi. Jika salah satu pelaku zina adalah advokat, maka sang suami juga dapat mengadukan advokat yang bersangkutan ke Dewan Kehormatan Organisasi Advokat di mana dia terdaftar sebagai anggota. Menurut pasal 6 huruf e UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela. Jenis tindakan yang dikenakan terhadap advokat dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap dari profesinya (pasal 7 ayat [1] UU Advokat).
  2. Menurut hemat kami, advokat tersebut masih dapat mendampingi kliennya dalam persidangan sepanjang tuduhan zina belum dibuktikan di pengadilan atau adanya sanksi etik berupa pemberhentian sementara atau tetap dari profesinya dari Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
  3. Jika suami menuduh istrinya berzina maka dia harus mengajukan bukti-buktinya ke pengadilan. Apabila dalam proses jawab-menjawab pihak suami tidak dapat mengajukan bukti yang kuat atas tuduhannya tersebut, maka hakim akan memerintahkan dia untuk melakukan sumpah li’an (pasal 87 ayat [1] jo. pasal 88 ayat [1] UU No. 7 Tahun 1989). Hakim juga akan memerintahkan istri untuk meneguhkan sanggahannya (pasal 87 ayat [1] UU No. 7 Tahun 1989). Tata cara li’an diatur dalam pasal 127 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

a.    Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”

b.     Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya jika tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;

c.     tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d.    apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
  1. Akibat putusnya perkwainan karena perceraian diatur dalam pasal 41 UU No. Tahun 1974 yaitu:

a.   Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b.   Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c.   Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

 
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  2. Undang-Undang No. Tahun 1974 tentang Perkawinan
  3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
  4. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
  5. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)



Sumber :
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6452/tentang-advokat

Pencabutan Kuasa Hukum


Pertanyaan

Dapatkah pencabutan kuasa hukum kepada Pengacara/advokat dilakukan secara sepihak oleh si Pemberi kuasa/client? Bagaimana aturan hukumnya ? Terima kasih.

Ulasan Lengkap

Dapat saja dilakukan pencabutan kuasa secara sepihak oleh pemberi kuasa karena pada hakekatnya si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya sewaktu-waktu (lihat Pasal 1813 dan 1814 KUH Perdata).

Begitu pula ketentuan tersebut dapat diberlakukan dalam hubungan antara penerima dan penyedia jasa, dalam hal ini antara klien dan pengacara/advokat. Sifat dasar profesi pengacara/advokat adalah untuk membela siapa pun juga yang memerlukan bantuan/konsultasi hukum dalam rangka menuntut atau mencari keadilan bagi pihak tersebut dengan ketentuan bila pengacara/advokat tersebut diminta oleh yang bersangkutan.

Namun yang perlu diperhatikan dalam kasus anda adalah apakah ada ketentuan di dalam surat kuasa (atau dalam perjanjian penyediaan jasa konsultasi hukum) yang mengatur mengenai:

1)    penanggalan/pengesampingan ketentuan Pasal 1813 dan 1814 KUH Perdata di atas (yang demikian ini bukannya tidak mungkin, walaupun dapat dikatakan tidak biasa dalam hubungan antara klien dan pengacara/advokat); atau

2)    pencabutan/penarikan kembali kuasa dimana si pemberi kuasa setuju bahwa dia hanya dapat mencabut/menarik kuasanya, dalam hal adanya persyaratan dan ketentuan tertentu sehubungan dengan urusan yang dikuasakan yang telah disetujui bersama terlanggar oleh si penerima kuasa.

Bila ada pengaturan mengenai salah satu kondisi di atas, maka:

a)    untuk butir (1) di atas, si pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasa selama dan sepanjang urusan yang dikuasakan belum selesai, kecuali dapat dibuktikan bahwa si penerima kuasa telah melakukan perbuatan melawan hukum atau pelanggaran/kesalahan lain yang merugikan kepentingan anda berdasarkan ketentuan dalam dokumentasi yang ada atau menurut hukum; atau

b)    untuk butir (2) di atas, si pemberi kuasa dapat mencabut kuasa dalam hal persyaratan dan ketentuan tertentu di atas terlanggar.



Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl224/pencabutan-kuasa-hukum

Advokat Boleh Menolak Klien?

Pertanyaan

Apakah advokat/pengacara boleh menolak klien untuk dibela? Dasar hukumnya apa? Terima kasih.

Ulasan Lengkap

Pada prinsipnya, dalam menjalankan tugas profesinya advokat terikat pada kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Advokat dapat dikenai tindakan apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sumpah/janji advokat atau kode etik profesi advokat (lihat pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat/”UU Advokat”).

Perbuatan menolak klien sendiri merupakan pelanggaran terhadap sumpah/janji advokat yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU Advokat. Salah satu sumpah/janji yang diucapkan advokat berbunyi:

Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.

Namun, di dalam Kode Etik Profesi Advokat (“KEAI”) advokat dibolehkan atau bahkan diwajibkan – dalam kondisi-kondisi tertentu -- untuk menolak perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien, atau mengundurkan diri dari pengurusan perkara kliennya. Dalam kaitan ini, KEAI mengatur bahwa:

a.      advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya (lihat pasal 3 huruf a KEAI);

b.      advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya (lihat pasal 4 huruf g KEAI);

c.      advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan-pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf j KEAI).

Akan tetapi, KEAI melarang advokat menolak klien dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya (lihat pasal 3 huruf a KEAI). Larangan yang sama juga diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU Advokat.

Selain itu, advokat juga tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf i KEAI).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa advokat diperbolehkan menolak klien apabila terpenuhi syarat dan kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal 3 huruf a, pasal 4 huruf g dan huruf j KEAI.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.      Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

2.      Kode Etik Advokat Indonesia


Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4cee226d8122d/advokat-boleh-menolak-klien-

Etika Pengacara


Pertanyaan

Sebagai orang awam, saya ingin bertanya tentang etika pengacara, saya terlibat perkara perdata di mana saya didampingi seorang pengacara sejak pengadilan negeri hingga putusan MA, di mana saya memenangkannya semua. Namun karena masalah pembayaran, pengacara saya ini minta mundur dan kemudian berbalik menjadi pengacara lawan dengan mengajukan peninjauan kembali? Apakah sebagai seorang pengacara ini dilegalkan, bung Pokrol? Jika tidak, apa ada dalam KUHP yang mengatur tentang etika seorang pengacara, bung Pokrol? Jika seseorang mencemarkan nama baik orang lain, itu akan dikenakan pasal berapa dalam KUHP, Bung Pokrol? Terima kasih atas bantuannya Bung Pokrol.


Ulasan Lengkap

Untuk menjawab permasalahan di atas kita harus merujuk pada UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) dan Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”).

Advokat dalam menjalankan profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan (lihat pasal 15 UU Advokat). Kemudian, di dalam pasal 26 ayat (2) UU Advokat juga diatur bahwa advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.

Hubungan yang paling mendasar dalam hubungan advokat-klien adalah saling percaya (reciprocal trust). Dalam hubungan tersebut, klien percaya bahwa advokat menangani dan melindungi kepentingannya (klien) dengan profesional dan penuh keahlian, memberikan nasihat-nasihat yang benar, serta tidak akan melakukan hal-hal yang akan merugikan kepentingannya tersebut.

Di pihak lain, advokat berharap kejujuran dari klien dalam menjelaskan semua fakta mengenai kasus yang dihadapinya kepada advokat. Advokat juga berharap klien mempercayai bahwa advokat menangani dan membela kepentingan klien dengan profesional dan dengan segala keahlian yang dimilikinya.

Kepercayaan yang diperoleh advokat dari klien menerbitkan kewajiban bagi advokat untuk menjaga kerahasiaan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya. Kewajiban advokat untuk menjaga kerahasiaan dalam hubungan advokat-klien diatur secara tegas baik di dalam UU Advokat (pasal 19 ayat [1]) maupun di dalam KEAI (pasal 4 huruf a).

Dalam permasalahan yang anda hadapi, berdasarkan hal-hal di atas, tindakan advokat yang sebelumnya mewakili anda dalam suatu perkara, kemudian yang bersangkutan mundur sebagai kuasa hukum anda dan berbalik menjadi kuasa hukum bagi lawan berperkara anda pada kasus yang sama, boleh jadi tidak dibenarkan secara etik. Alasannya adalah dengan menjadi kuasa hukum lawan berperkara anda untuk kasus yang sama, maka advokat tersebut berpotensi melanggar kewajiban menjaga rahasia klien sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (1) UU Advokat dan pasal 4 huruf h KEAI.

Dalam pasal 19 ayat (1) UU Advokat dinyatakan bahwa advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Pasal 4 huruf h KEAI menyatakan bahwa advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara advokat dan klien itu. Jadi, kewajiban advokat untuk menjaga kerahasiaan klien tetap ada walaupun advokat tersebut telah mundur sebagai kuasa hukum anda atau setelah berakhir hubungan advokat-klien.

Sebagai kuasa hukum bagi klien barunya yaitu lawan berperkara anda, advokat tersebut berpotensi menggunakan hal-hal terkait perkara tersebut yang dia ketahui atau peroleh dari anda saat menjadi kuasa hukum anda. Advokat tersebut berpotensi menggunakan informasi yang seharusnya dia rahasiakan tersebut untuk keuntungan klien barunya dan mungkin akan merugikan kepentingan anda.

Untuk memastikan apakah tindakan advokat tersebut melanggar kode etik atau tidak, anda dapat mengajukan pengaduan kepada Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Jika dalam sidang Dewan Kehormatan terbukti advokat tersebut melanggar kode etik, maka yang bersangkutan dapat dijatuhi tindakan mulai dari sanksi teguran, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap dari profesi advokat (lihat pasal 26 jo pasal 7 dan pasal 8 UU Advokat).

Adapun pencemaran nama baik diatur antara lain di dalam pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:

(1)        Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Kemudian, dalam pasal 310 ayat

(2)        Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3)        Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

 
 
Demikian hemat kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)

2.      Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

3.      Kode Etik Advokat Indonesia




Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl1785/etika-pengacara/

Bersyukurlah Jika Punya Kucing, Ini Rahasia Besarnya Menurut Islam & Medis

Masya Allah...


Bersyukurlah bagi Anda yang sedang memelihara kucing di rumah. Sebab, seperti inilah manfaat luar biasanya memelihara hewan kesayangan Rasulullah Saw ini menurut islam dan medis...




Banyak orang yang masih merasa takut untuk memelihara kucing karena bisa berdampak buruk untuk kesehatan. Akan tetapi, semua makhluk yang diciptakan Allah di muka bumi ini tentunya mempunyai kegunaannya masing-masing seperti halnya dengan kucing.

Meskipun ada sisi negatif dari hewan lucu ini seperti mencuri ikan di atas meja atau membuang kotoran, namun ternyata kucing juga memiliki keistimewaan dan bagi orang yang memeliharanya.

Berikut keistimewaan memelihara kucing menurut islam dan medis:

Menurut Islam

Kucing merupakan salah satu hewan lucu dan termasuk dalam hewan yang istimewa di dalam Islam sebab merupakan hewan peliharaan Nabi Muhammad SAW yang sangat disayangi.

Dilansir dari dalamislam.com, setidaknya ada 12 manfaat jika Anda memelihara kucing, diantaranya:

1. Menjadi Timbangan Kebaikan Saat Kiamat

Seseorang yang memelihara kucing ataupun binatang lainnya dalam jalan Allah dengan penuh Iman pada Allah dan meyakini akan kebaikan yang diberikan Allah, maka kebaikan yang sudah diberikan pada hewan tersebut, memberi makan hewan tersebut dan bahkan kotorannya, kelak akan ditimbang sebagai kebaikan di hari kiamat.

2. Melatih Sikap Empati

Dengan memelihara kucing, maka akan menjadi latihan sifat empati pada seseorang dan anak kecil yang dalam masa perkembangannya dikelilingi oleh kucing, maka ia juga akan menjadi anak terlatih menjadi berempati dan penuh kasih sayang serta selalu memiliki pertimbangan atas apa yang dilakukan yakni memberikan dampak baik atau dampak buruk.

3. Mendapatkan Rahmat di Hari Kiamat

Seseorang yang menyayangi hewan seperti kucing dan hewan lainnya termasuk hewan sembelihan sekalipun, maka akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT di hari kiamat nanti.

Rasulullah Saw bersabda:“Barangsiapa menyayangi meskipun terhadap hewan sembelihan, niscaya Allah akan merahmatinya pada Hari Kiamat.” (HR. Bukhari)





4. Mendapat Ampunan dan Ridha Allah

Dari Syeikh Dr.Muhammad Luqman dalam syarahnya di kitab Adabul Mufrod menyebutkan jika setiap muslim memang sudah dianjurkan untuk selalu berbuat baik pada semua hewan seperti kucing supaya nantinya bisa mendapat ampunan dan juga ridha dari Allah Ta’ala.

5. Merupakan Sedekah

Umat muslim sangat dianjurkan untuk memelihara, memberi makan dan juga minum pada hewan seperti kucing.

Khususnya saat hewan tersebut sedang lapar dan haus, sebab akan jadi berdosa jika harus membuat hewan tersebut menderita. Dengan memelihara kucing tersebut, maka sudah dijadikan sedekah bagi orang tersebut.

Rasulullah Saw bersabda:

“Pada setiap sedekah terhadap mahluk yang memiliki hati (jantung) yang basah (hidup) akan dapatkan pahala kebaikan. Seorang muslim yang menanam tanaman atau tumbuh-tumbuh-an yang kemudian dimakan oleh burung-burung, manusia, atau binatang, maka baginya sebagai sedekah” (Bukhori, Muslim).

6. Dosa Diampuni

Seorang muslim juga sangat disarankan untuk menolong hewan khususnya pada hewan yang menderita termasuk hewan najis seperti anjing.

Ini membuat umat muslim tidak memiliki pengecualian untuk menolong binatang seperti kucing dan hewan najis seperti anjing karena tujuannya sangat mulia yakni tidak membiarkan hewan tersebut menderita.

Dengan memelihara kucing contohnya, maka perbuatan dosa orang yang menolong hewan tersebut akan diampuni.

“Seorang wanita pelacur melihat seekor anjing di atas sumur dan hampir mati karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya, diikatnya dengan kerudungnya dan diambilnya air dari sumur (lalu diminumkan ke anjing itu). Dengan perbuatannya itu dosanya diampuni”. (HR. Bukhari)

7. Kucing Bukan Hewan Najis

Allah sendiri sudah meniadakan najis pada kucing. Oleh karena itu meskipun kucing sudah memakan sesuatu yang najis seperti bangkai dalam jumlah sedikit ataupun banyak, maka menurut kemutraqan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kucing tetap bukan hewan yang najis.

8. Mempunyai Irama Serupa Dzikir Kalimah Allah

Seorang Sufi yang bernama Ibnu Bashad hidup pada abad ke sepuluh menceritakan jika suatu hari ia dan sahabat – sahabatnya sedang duduk di atas masjid kota Kairo sambil menyantap makan malam.

Jadi, saya menghasilkan Rp7.400.000 sehari!
Saat kucing melewatinya, ibu Bashad memberikan sepotong daging pada kucing tersebut, akan tetapi kucing tersebaut kembali lagi dan Bashad memberikan potongan daging kedua.

Secara diam – diam, ibu Bashad mengikuti kucing tersebut sampai sebuah rumah kumuh dan ia melihat kucing tersebut memberikan sepotong daging tersebut pada kucing lain yang buta kedua matanya. kejadian tersebut menyentuh hatinya sampai ia menjadi seorang sufi sampai meninggal di tahun 1067.

Selain itu, juga terdapat cerita seorang sufi di Iraq bernama Shibli yang bermimpi jika segala dosanya terampuni sesudah ia menyelamatkan kucing dari bahaya. Selain itu juga, kaum sufi juga percaya jika dengkuran nafas kucing mempunyai irama yang serupa dengan szikir kalimah Allah SWT.




9. Kegiatan Yang Disukai Allah SWT

Memelihara hewan peliharaan khususnya kucing dengan cara merawat dan menyayangi kucing tersebut menjadi tanggung jawab dan juga kewajiban kita sebagai majikan.

Allah SWT sangat menyukai seseorang yang memiliki rasa kasih dan penyayang pada hewan.

10. Air Liur Kucing Adalah Suci

Dalam beberapa hadits. Nabi juga sudah menekankan jika air liur kucing tidaklah najis dan bahkan air bekas minum kucing bisa digunakan untuk widhu sebab kucing dianggap sebagai hewan yang suci.

“Kucing itu tidak najis. Ia binatang yang suka berkeliling di rumah (binatang rumahan),” (H.R At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

11. Perhiasan Rumah Tangga

Nabi SAW di saat pergi ke Bathhan daerah di Madinah berkata, ““Ya Anas, tuangkan air wudhu untukku ke dalam bejana.” Lalu, Anas menuangkan air. Ketika sudah selesai, Nabi menuju bejana. Namun, seekor kucing datang dan menjilati bejana. Melihat itu, Nabi berhenti sampai kucing tersebut berhenti minum lalu berwudhu.

Saat Nabi ditanya tentang kejadian itu, maka Beliau menjawab, ““Ya Anas, kucing termasuk perhiasan rumah tangga, ia tidak dikotori sesuatu, bahkan tidak ada najis.”

12. Disayangi Penghuni Langit

Di dalam sebuah hadits yang sudah diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang penyayang maka juga akan disayangi oleh Allah. Sayangilah makhluk Allah yang ada di muka bumi, maka niscaya juga akan disayangi penghuni langit".


Dilansir dari hellosehat.com, selain selalu punya teman setia, hewan berbulu ini bisa membuat hari-hari di rumah jadi lebih berwarna.

Bahkan, juga membuat Anda lebih aktif di rumah tak tidak sekadar bermalas-malasan.

Memelihara kucing juga memiliki banyak manfaatnya bagi Anda, khususnya untuk kesehatan pikiran atau mental Anda, seperti yang dipaparkan di bawah ini.


1. Lebih percaya diri

Dalam sebuah studi yang dimuat di Journal of Personality and Social Psychology, yang dikutip Hai-Online.com, orang yang memelihara hewan akan merasa lebih percaya diri dan tidak merasa kesepian.

Anda juga akan memiliki kepribadian yang lebih berani dan akan lebih bersifat terbuka (extrovert) dibandingkan orang yang tidak memelihara hewan.


2. Terhindar dari depresi

Ketika Anda memelihara kucing, sikap dan wajah mereka yang menggemaskan, perlahan akan membuat Anda rileks.

Dan, apabila Anda sedang stres atau depresi, mereka bisa membuat Anda melupakan stres dan depresi itu.

Malah, dalam sebuah penelitian yang dilakukan beberapa ahli dari Universitas California, Los Angeles, seseorang yang memelihara kucing akan lebih terlindungi dari risiko depresi akibat AIDS.

Depresi 3 kali lebih mungkin dilaporkan oleh penderita AIDS yang tidak memelihara binatang peliharaan, dibandingkan mereka yang memelihara hewan peliharaan.

4. Bikin mood jadi happy

Saat mood sedang berantakan, kemudian kita melihat kucing kesayangan edang bertingkah menggemaskan, perlahan mood kita akan jadi lebih baik. Dengan membelainya, suasana hati dan mood akan kembali happy.

5. Menurunkan tekanan darah

Dalam sebuah studi, ketika merasakan bahagia saat membelai kucing, tingkat stres kita akan berkurang. Tekanan darah pemilik kucing pun akan jadi lebih rendah.

Lain lagi dengan penelitian dari University of Minnesota, yang mengungkapkan orang-orang yang tidak memelihara kucing memiliki risiko 40% terkena serangan jantung.

Nah, bagi Anda yang belum punya kucing, yakin masih tak mau memelihara kucing?




Sumber :
https://www.infokesehatan.my.id/2020/02/bersyukurlah-jika-punya-kucing-ini.html?m=1

Minggu, 16 Februari 2020

Profesi Pengacara, Mengapa Tidak?

Muqaddimah
Sesungguhnya syariat Islam adalah syariat yang sempurna dan paripurna yang membahas segala hal yang dibutuhkan oleh hamba. Di antara sekian bukti akan hal itu adalah konsep Islam yang sangat jelas tentang pengadilan. Dan di antara sekian bahasan dalam pengadilan adalah “pengacara”. Nah, apakah masalah pengacara dibahas dalam Islam? Adakah penjelasannya dalam kitab-kitab para ulama?! Bagaimana kriteria pengacara dalam Islam?! Inilah yang akan menjadi topik bahasan kita kali ini. Semoga Allah memberikan pemahaman kepada kita semua.[1]
Definisi Pengacara
Pengacara (advokat) adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasihat atau pembela perkara dalam pengadilan.[2]
Dalil Disyariatkannya Pengacara
Adanya pengacara dalam persidangan adalah perkara yang dibolehkan, berdasarkan dalil-dalil yang banyak dari Alquran, hadits, ijma’, dan akal.
1.  Dalil Alquran
إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًۭا
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. an-Nisa’ [4]: 105)
Dalam ayat ini terdapat larangan menjadi pengacara secara batil, berarti kalau dalam kebenaran maka dibolehkan. Syaikh as-Sa’di (1376 H) berkata, “Pemahaman ayat ini menunjukkan bolehnya sebagai pengacara bagi seorang yang tidak dikenal dengan kezaliman.” [3]
2.  Dalil Hadits
Dari Fathimah binti Qois radhiallahu ‘anha bahwasanya Abu ’Amr menceraikannya tiga cerai dari kejauhan dirinya, dia mengutus wakilnya untuk membawakan gandum kepada Fathimah, tetapi Fathimah malah marah kepadanya. Lalu wakil tersebut mengatakan, “Demi Allah, kamu itu tidak memiliki hak lagi.” Setelah itu Fathimah melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bersabda, “Tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahimu lagi.” (HR. Muslim: 1480)
Hadits ini menunjukkan bolehnya perwakilan dalam persengketaan (pengacara), karena Fathimah melaporkan perkara wakil suaminya tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun Nabi tidak mengingkarinya, berarti beliau menyetujui adanya wakil dalam persengketaan.[4]
3.  Dalil Ijma’
Secara global, tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang bolehnya mewakilkan dalam persengketaan baik dalam harta, pernikahan, dan sejenisnya.[5] Bahkan, secara khusus sebagian ulama telah menukil adanya ijma’ dalam masalah ini. As-Sarakhsi (490 H) berkata, “Perwakilan dalam pengadilan sudah ada semenjak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini tanpa adanya pengingkaran dari siapa pun.” [6] As-Sumnani (499 H) menjelaskan tentang pengacara, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan, demikian juga para imam yang adil dari kalangan sahabat dan tabi’in. Hal ini juga diamalkan oleh manusia di semua negara.” [7]
4.  Dalil Akal
Seorang kadang-kadang membutuhkan wakil dalam persidangan, entah karena dia tidak suka perdebatan atau tidak memiliki keahlian dalam berdebat—baik membela atau membantah—maka sangat sesuai jika syariat membolehkannya.[8]
Bolehkah Berprofesi Sebagai Pengacara?
Berprofesi sebagai pengacara hukumnya boleh apabila untuk membela kebenaran dan menolong orang yang terzalimi, baik dengan mengambil gaji atau tidak. Dalilnya adalah firman Allah:
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَـٰكِينِ وَٱلْعَـٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَـٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌۭ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 60)
Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya pemerintah mewakilkan seorang untuk mengambil zakat dan membagikannya kepada yang berhak dengan adanya imbalan bagi amil zakat tersebut.[9] Kalau amil zakat berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya, maka demikian juga pengacara berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya.
Lajnah Da’imah (komite fatwa) Arab Saudi pernah ditanya tentang hukum profesi sebagai pengacara, maka mereka menjawab, “Apabila dia berprofesi sebagai pengacara bertujuan untuk membela kebenaran, menumpas kebatilan dalam pandangan syariat, mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan menolong orang yang terzalimi, maka hal itu disyariatkan, karena termasuk tolong-menolong dalam kebaikan. Adapun apabila tujuannya bukan demikian maka tidak boleh karena termasuk tolong-menolong dalam dosa. Allah berfirman,
وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِندَهُمُ ٱلتَّوْرَىٰةُ فِيهَا حُكْمُ ٱللَّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِن بَعْدِ ذَ‌ٰلِكَ ۚ وَمَآ أُولَـٰئِكَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ
“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (QS. al-Ma’idah [5]: 43)[10]
Bahkan, sebenarnya kalau kita membuka sejarah Islam, profesi pengacara sudah ada sejak dahulu sekalipun tidak mesti dalam setiap persidangan. Bukti akan hal itu banyak sekali, di antaranya apa yang dikatakan oleh as-Sumnani (499 H), “Bab tentang pengacara dan kewajiban mereka.” [11] Bab ini menunjukkan bahwa profesi pengacara sudah ada sejak dahulu. Bahkan, dalam kitab biografi, ada sebagian orang yang dikenal sebagai pengacara, seperti Abu Marwa Utsman bin Ali bin Ibrahim (346 H), beliau dikenal sebagai pengacara yang profesional.[12]
Syarat-Syarat Berprofesi Sebagai Pengacara
Pada zaman sekarang, banyak keluhan tentang adanya para pengacara yang tidak memenuhi standar agama dan tidak memiliki kriteria yang diharapkan. Karena itu, penting sekali kita mengetahui syarat-syarat sebagai pengacara dalam Islam dan kewajiban mereka:
1.  Mengetahui hukum-hukum syar’i
Seorang pengacara sejati harus memiliki ilmu tentang hukum-hukum syar’i seputar muamalah baik yang berkaitan tentang pernikahan, kriminal, pengadilan, dan sebagainya. Sebab, bila tidak demikian maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
Ibnu Abdi Dam (642 H) menjelaskan faktor tentang tujuan dia menulis kitab tentang adab-adab seorang hakim, “Tujuan inti dari memaparkan masalah ini agar mudah diketahui oleh para pengacara yang merupakan wakil dari hakim dalam menyelesaikan persengketaan hukum.” [13]
 2. Adil dan terpercaya
Seorang pengacara harus memiliki sifat amanat, menjaga rahasia, dan adil, karena dia mengemban kepentingan kaum muslimin yang telah memberikan kepercayaan mereka kepada para pengacara.[14]
3.  Pria
Seorang pengacara harus pria sebab dia akan sering berurusan dengan banyak lelaki baik hakim, saksi, terdakwa, dan sebagainya, dan sering tinggal di kantor pengacara dan kantor persidangan, padahal semua itu bertentangan dengan tugas seorang wanita yang sejatinya tetap tinggal di rumah, menunaikan tugas rumah, merawat anak-anak, dan tugas-tugas mulia lainnya. Cukuplah profesi ini ditangani oleh kaum pria saja[15]. Sebab itu, dalam undang-undang sebagian negara kafir pun ada larangan pengacara dari kaum wanita.[16]
Pengacara yang Tidak Lulus Sensor
Ada beberapa hal yang dapat menghalangi seorang pengacara untuk lulus menjadi pengacara ideal, di antaranya:
1.  Bertujuan untuk menyakiti musuh
Hal itu dilarang karena tidak boleh bagi kita untuk menyakiti sesama muslim. Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَـٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا بُهْتَـٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 58)
Oleh karena itu, apabila pengacara memiliki permusuhan pribadi dengan lawannya maka tidak boleh ia menjadi pengacara (pada kasus tersebut) karena dia akan berusaha untuk menyakitinya dan meluapkan dendamnya kepada orang tersebut kecuali bila dia (musuhnya) ridha.[17]
2.  Suka Berbelit-belit
Apabila ada seorang pengacara yang dikenal berbelit-belit sehingga mengutarakan hal-hal yang tidak ada kenyataannya dengan tujuan untuk memperpanjang masalah dan menyakiti lawan, maka dia tidak boleh diangkat sebagai pengacara.[18]
3.  Bila Hakim Pilih Kasih Kepadanya
Apabila ada indikasi kuat bahwa hakim akan pilih kasih kepadanya baik karena hubungan kerabat atau hubungan kawan dekat dan sebagainya maka tidak boleh sebagai pengacara dalam kasus tersebut. Oleh karenanya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu Syaikh berpendapat bahwa hendaknya hakim tidak menjadi hakim dalam kasus yang pengacaranya adalah anaknya sendiri.[19]
4.  Sebagai Penggugat dan Pembela dalam Satu Kasus
Masalah ini diperselisihkan oleh ulama, namun pendapat terkuat adalah tidak boleh karena hal itu kontra, bagaimana dia menjadi penggugat dan dalam waktu yang sama dia menjadi pembela?! Ini adalah madzhab Hanafiyyah dan pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’iyyah.[20]
Kewajiban Pengacara
Ada beberapa kewajiban yang harus diperhatikan oleh para pengacara:
1.  Melaksanakan Tugas
Kewajiban pengacara adalah melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dan tidak melampuinya, karena dia adalah wakil dari seorang yang telah mewakilkannya.[21]
2.  Menghormati Majlis Pengadilan
Pengacara harus beradab dan menghormati sidang pengadilan baik kepada hakim, terdakwa, dan saksi. Dia berkata sopan kepada mereka dan tidak mengeluarkan kata-kata yang kotor[22]. Dan tidak mengapa untuk menyebutkan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya sekalipun dengan menyifati penuduh dengan kezaliman karena hal itu bukanlah termasuk ghibah yang terlarang.[23]
3.  Memenuhi Panggilan Mahkamah Pengadilan
Pengacara harus segera untuk memenuhi panggilan mahkamah pengadilan ketika diminta datang dalam waktu yang ditentukan seraya menghadirkan data-data dan dokumen yang diperlukan. Semua itu dengan keterangan yang jelas dan data yang komplet. Janganlah dia berbelit-belit dan mempersulit jalannya sidang karena hal itu hanya akan memperuncing masalah.[24]
4.  Menjunjung Tinggi Kejujuran
Pengacara harus menjunjung tinggi kejujuran. Tugasnya adalah membela kebenaran dan tidak boleh baginya untuk membela kebatilan dan kesalahan. Seandainya seseorang memberikan keterangan-keterangan yang bohong maka tidak boleh sang pengacara menyembunyikannya, tetapi harus menjelaskan fakta sesungguhnya dengan jujur dan adil.[25]
5.  Mencurahkan Tenaganya
Pengacara harus berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan tugasnya baik membantah tuduhan, menyampaikan bukti, atau membela hak. Tidak boleh dia menipu atau memberikan keterangan sebelum waktunya yang sesuai atau mengakhirkannya dari waktu yang sesuai.[26]
6.  Menjaga Rahasia
Apabila ada hal-hal yang seharusnya dirahasiakan maka tidak boleh pengacara membongkarnya, apalagi hal-hal yang berkaitan dengan pribadi rumah tangga atau menyebabkan kerusakan di masyarakat.[27]
7.  Memiliki kantor atau rumah yang mudah diketahui
Tujuannya, jika sewaktu-waktu dibutuhkan oleh hakim atau terdakwa maka dengan mudah dapat dihubungi[28]. Dan hal itu pada zaman sekarang sangat mudah dengan adanya alat telekomunikasi yang modern.
Demikianlah penjelasan secara singkat tentang pengacara dalam Islam. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para pengacara dan calon pengacara yang ingin sukses dunia dan akhirat.
***
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Artikel www.PengusahaMuslim.com


[1]    Penulis banyak mengambil faidah untuk pembahasan ini dari tulisan Syaikh Abdulloh bin Muhammad alu Khunain berjudul “Al-Wakalah ’ala Khushumah wa Ahkamuha al-Mihaniyyah fil Fiqih Islami wa Nizhomil Muhamat Su’udi”, dimuat dalam Majalah al-’Adl edisi 15, Rojab 1423 H.
[2]    Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (2005)
[3]    Taisir Karimir Rohman: 2/351
[4]    Syarh Adab al-Qodhi: 3/402
[5]    Al-Mughni karya Ibnu Qudamah: 5/204, Durorul Hukkam karya Ali Haidar: 3/368
[6]    Al-Mabsuth: 19/4
[7]    Roudhoh al-Qudhot karya as-Sumnani: 1/181
[8]    Ahkamul Qur’an karya Ibnul ’Arobi: 3/220, al-Kafi karya Ibnu Qudamah: 2/239
[9]    Adhwa’ul Bayan karya asy-Syinqithi: 4/49
[10]  Fatawa Lajnah Da’imah: 1/792. Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota: Abdurrozzaq ’Afifi, Abdulloh al-Ghudayyan, dan Abdulloh bin Qu’ud. Lihat pula fatwa-fatwa ulama lainnya tentang hukum profesi pengacara dalam kitab al-MuhamahTarikhuha fi Nudhum wa Mauqif Syari’ah Minha karya Syaikh Masyhur Hasan Salman hlm. 139–148.
[11]  Roudhoh al-Qudhot: 1/122
[12]  Tarikh Baghdad: 11/303–304
[13]  Adabul Qodho’ hlm. 692
[14]  Roudhoh al-Qudhot: 1/122, Tanbihul Hukkam ’Ala Ma’akhidzil Ahkam karya Ibnul Munashif hlm. 141, Tabshiroh al-Hukkam Fi Ushul Aqdhiyah wa Manahij Ihkamkarya Ibnu Farhun: 1/282.
[15]  Al-Muhamah Fi Dhou’i Syari’ah Islamiyyah wal Qowanin al-Arobiyyah karya Muslim Muhammad Jaudat hlm. 130
[16]  Al-Muhamah Fi Nidhom Qodho’i karya Muhammad Ibrahim Zaid hlm. 44
[17]  Mawahibul Jalil karya al-Kaththob: 5/200
[18]  Adab al-Qodhi karya al-Khoshof: 2/78
[19]  Fatawa wa Rosa’il: 8/43
[20]  Al-Mabsuth: 19/15, Adab al-Qodhi karya Ibnul Qosh: 1/217, Hilyah Ulama karya asy-Syasyi 5/129.
[21]  Mu’inul Hukkam ’Ala al-Qodhoya wal Ahkam karya Abu Ishaq Ibrohim bin Hasan: 2/684
[22]  Mu’inul Hukkam Fima Yataroddadu Bainal Khoshmaini min al-Ahkam karya ’Ala’uddin ath-Thorobilsi: hlm. 21
[23]  Majmu’ Fatawa: 28/219.
[24]  Tabshiroh Hukkam karya Ibnu Farhun: 1/180, Adab al-Qodhi karya al-Mawardi 1/251
[25]  Roudhoh al-Qudhot 1/124
[26]  Al-Muhamah Risalah wa Amanah karya Ahmad Hasan Karzun hlm. 61, 82
[27]  Ibid. hlm. 62.
[28]  Qurrotu ’Uyunil Akhbar karya Ibnu Abidin 1/322


Read more https://pengusahamuslim.com/2748-profesi-pengacara-mengapa-1460.html