Cari Blog Ini

Sabtu, 29 Februari 2020

Akibat Hukum Jaminan Fidusia yang Belum Didaftarkan

Pertanyaan

1. Bagaimana akibat hukum jika jaminan fidusia belum didaftarkan, kemudian dijadikan pengikat sebagai peminjaman kredit pada bank? 2. Jika kemudian kredit belum sempat dilunasi, dan debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, apa akibat yang diterima oleh bank sebagai pemberi kredit? 3. Apakah dalam hal ini ahli waris dapat dipertanggung-gugatkan oleh bank, atas utang pewaris pada bank?

Ulasan Lengkap

1.      Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”), jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain itu, untuk pembebanan jaminan fidusia, Pasal 5 ayat (1) UUJF mengamanatkan Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Mengutip tulisan advokat Grace P. Nugroho, S.H. dalam artikel berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta di Bawah Tangan, saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan sebagaimana disebutkan dalam UUJF.

2.      Dalam hal debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, pada dasarnya, terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi langsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Selain itu, bank sebagai kreditur menjadi tidak memiliki hak didahulukan (lihat Pasal 27 ayat [1] UUJF) terhadap kreditur lain dalam pengembalian pinjamannya karena penjaminan secara fidusia dianggap tidak sah jika tidak didaftarkan.

Masih menurut Grace P. Nugroho, dalam praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian.

Grace lebih jauh menjelaskan bahwa dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan (tanpa putusan pengadilan) masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditur melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Grace menulis bahwa:

Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.

Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.  Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh kreditur. Baik kreditur maupun debitur bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan putusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.” 

3.      Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.

Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata). Lebih jauh, simak Tagihan Kartu Kredit Diwariskan ke Anak-Cucu? Dengan kata lain, ahli waris dapat digugat oleh pihak bank ketika utang pewaris tidak dilunasi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);

3.      Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

 

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.




Link Sumber

Masalah Fidusia Ulang

Pertanyaan

Apakah yang dimaksud dengan "fidusia ulang" sebagaimana tercantum di dalam Pasal 17 UU Jaminan Fidusia? Kemudian, bagaimana kaitan fidusia ulang tersebut dengan Pasal 28 UU Jaminan Fidusia? Terima kasih sebelumnya.
 
Jaminan Fidusia
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu pengertian dari Fidusia. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”)fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
 
Sebagai contoh, A meminjam uang kepada B. Sebagai jaminan, A menyerahkan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (“BPKB”) sepeda motornya kepada B, tetapi sepeda motor tersebut tetap dikuasai oleh A. Praktik ini termasuk fidusia karena hak kepemilikan sepeda motor A yang dibuktikan dengan BPKB telah diserahkan kepada B, sedangkan penguasaan atas barang jaminan (sepeda motor) tetap pada A.
 
Fidusia Ulang
Kemudian Anda menanyakan tentang “fidusia ulang” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 17 UUJF sebagai berikut:
 
Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar.
 
Benda yang dijaminkan dengan cara fidusia baru akan mengikat setelah jaminan fidusia didaftarkan.[1] Cara pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut yang kami sarikan dari ketentuan Pasal 11 sampai Pasal 18 UU Jaminan Fidusia serta Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (“PP 21/2015”):
  1. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia[2];
  2. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal pembuatan akta Jaminan Fidusia[3];
  3. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya melalui sistem pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik[4];
  4. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia memuat:[5]
  1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
  2. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
  3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
  4. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
  5. Nilai penjaminan;
  6. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
  1. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia yang telah memenuhi ketentuan di atas memperoleh bukti pendaftaran[6];
  2. Pemohon melakukan pembayaran biaya pendaftaran Jaminan Fidusia melalui bank persepsi berdasarkan bukti pendaftaran[7];
  3. Pendaftaran Jaminan Fidusia dicatat secara elektronik setelah pemohon melakukan pembayaran biaya pendaftaran Jaminan Fidusia[8];
  4. Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia[9];
 
Benda yang telah didaftarkan jaminan fidusia-nya secara resmi hak kepemilikannya telah beralih ke penerima fidusia (kreditur). Sehingga, pemberi fidusia (debitur) tidak dapat melakukan fidusia lagi terhadap benda tersebut karena selama dijaminkan, benda tersebut adalah milik penerima fidusia. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 17 UU Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa fidusia ulang oleh Pemberi Fidusia, baik debitor maupun penjaminan pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia karena hak kepemilikan atas Benda tersebut telah beralih kepada Penerima Fidusia.
 
Terkait dengan Pasal 28 UU Jaminan Fidusia, memang dalam praktiknya bisa saja satu benda dibebankan oleh lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia. Akan tetapi, di antara perjanjian-perjanjian fidusia tersebut, yang memiliki hak untuk didahului pelunasannya hanyalah perjanjian fidusia yang telah didaftarkan:
 
Pasal 28 UU Jaminan Fidusia:
Apabila atas Benda yang sama menjadi obyek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
 
Jadi, merujuk pada Pasal 17 dan Pasal 28 UU Jaminan Fidusia di atas, yang dilarang adalah melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Akan tetapi, satu benda yang sama dapat menjadi objek lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia atau dapat saja dilakukan fidusia ulang pada objek jaminan fidusia yang belum didaftarkan, dengan ketentuan hak yang didahulukan adalah pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
 
Mengenai fidusia ulang ini, J. Satrio dalam artikel Memfidusiakan Benda yang Sudah Difidusiakan: Setelah UU Fidusia Berlaku, mengatakan sebagai berikut:
 
“Malahan, sebelum benda fidusia didaftarkan, undang-undang mengatakan, Pemberi Fidusia masih bisa melakukan fidusia ulang (disimpulkan dari Pasal 17 UU Fidusia).
 
Pasal 17 UU Fidusia mengatakan: “Pemberi Fidusia dilarang melakukan Fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah didaftar”.
 
Secara a contrario hal itu berarti, selama obyek jaminan fidusia belum didaftarkan, maka tidak ada larangan untuk memfidusiakan ulang benda obyek fidusia.”
 
Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan
Sekedar tambahan informasi, mengenai kewajiban mendaftarkan jaminan fidusia, ada ketentuan kewajiban pendaftaran fidusia untuk pembiayaan konsumen dalam hal pembelian kendaraan bermotor, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (“Permenkeu 130/2012”).
 
Dalam Permenkeu 130/2012 ini, perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia paling lambat 30 hari kalender sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen dan tidak boleh menarik kendaraan bermotor sebelum Kantor Pendaftaran Fidusia telah menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkannya ke Perusahaan Pembiayaan.[10] Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa:[11]
    1. peringatan;
    2. pembekuan kegiatan usaha; atau
    3. pencabutan izin usaha.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia;
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
 
 
 

[1] Pasal 11 ayat (1) jo. Pasal 14 ayat (3) UU Jaminan Fidusia
[2] Pasal 12 UU Jaminan Fidusia
[3] Pasal 4 PP 21/2015
[4] Pasal 2 PP 21/2015
[5] Pasal 13 ayat (2) UU Jaminan Fidusia dan Pasal 3 PP 21/2015
[6] Pasal 5 ayat (1) PP 21/2015
[7] Pasal 6 ayat (1) PP 21/2015
[8] Pasal 6 ayat (2) PP 21/2015
[9] Pasal 14 ayat (3) UU Jaminan Fidusia dan Pasal 7 ayat (1) PP 21/2015
[10] Pasal 2 jo. Pasal 3 Permenkeu 130/2012
[11] Pasal 5 ayat (1) Permenkeu 130/2012



Apakah Semua Benda Dapat Jadi Jaminan Utang?

Pertanyaan

Apakah semua benda dapat dijadikan jaminan utang?

Ulasan Lengkap

Mengenai apakah semua benda dapat dijadikan jaminan utang, hal itu bergantung pada lembaga jaminan apa yang dipergunakan untuk menjaminkan benda tersebut.

Berdasarkan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), semua kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Ini dinamakan jaminan umum.

Jaminan itu sendiri dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jaminan umum (Pasal 1131 KUHPer) dan jaminan khusus. Jaminan khusus ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan kebendaan (Pasal 1131 KUHPer) dan jaminan perorangan (Pasal 1820 – Pasal 1850 KUHPer).

Pasal 1133 KUHPer

Hak untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek. Tentang gadai dan hipotek dibicarakan dalam Bab 20 dan 21 buku ini.

Mengenai benda yang dijadikan jaminan utang, maka kita akan membicarakan mengenai jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan ada 4 (empat) yaitu:

1.    Gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPer;

2.    Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”) serta peraturan-peraturan pelaksananya;

3.    Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”) serta peraturan-peraturan pelaksananya;

4.    Hipotik Kapal yang diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPer serta Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (“UU Pelayaran”), serta peraturan-peraturan pelaksananya;

5.    Resi Gudang yang diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2011 (“UU Resi Gudang”) serta peraturan-peraturan pelaksananya.

Dalam gadai, benda yang dapat dijadikan jaminan utang adalah barang bergerak dan piutang-piutang atas bawa, yang telah ada pada saat penjaminan tersebut dilakukan (Pasal 1150 dan Pasal 1152 KUHPer). Ini karena berdasarkan Pasal 1152 KUHPer, benda yang digadaikan harus diletakkan di bawah kekuasaan si berpiutang atau pihak ketiga yang disepakati oleh kedua belah pihak. Ini berarti tidak mungkin barang tersebut barang yang akan ada di kemudian hari.

Benda yang dapat dijadikan jaminan dalam fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU Hak Tanggungan (Pasal 1 angka 2 UU Fidusia). Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak begerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek (Pasal 1 angka 4 UU Fidusia). Selain itu jaminan fidusia juga dapat berupa benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian (Pasal 9 UU Fidusia). Jaminan fidusia juga meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, serta meliputi juga klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan (Pasal 10 UU Fidusia).

Mengenai benda yang dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan, berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan, adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Lebih lanjut dalam Pasal 4 dan Pasal 27 UU Hak Tanggungan diuraikan hak-hak atas tanah tersebut, yaitu:

a.    Hak Milik;

b.    Hak Guna Usaha;

c.    Hak Guna Bangunan;

d.    Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;

e.    Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Sedangkan untuk hipotek, saat ini yang dapat dijadikan objek adalah kapal. Ini karena tanah yang dahulu dijaminkan dengan hipotek telah dijaminkan dengan Hak Tanggungan sejak adanya UU Hak Tanggungan. Try Widiyono, S.H., M.H., Sp.N., dalam bukunya yang berjudul Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, mengatakan bahwa Pasal 1162 KUHPer memberikan batasan tentang hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Kapal dengan bobot 7 (tujuh) ton ke atas atau isi 20 m3 termasuk benda tidak bergerak.

Sedangkan dalam resi gudang, yang dijadikan objek jaminan adalah resi gudang (Pasal 1 angka 9, Pasal 4, Pasal 12 – Pasal 16 UU Resi Gudang). Resi Gudang itu sendiri adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang (Pasal 1 angka 2 UU Resi Gudang).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 
Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2.    Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah;

3.    Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

4.    Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

5.    Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2011.

 

Referensi:

Widiyono, Try. 2009. Agunan Kredit Dalam Financial Engineering. Ghalia Indonesia


Link Sumber

Kamis, 27 Februari 2020

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Belanja Online

Pertanyaan

Saya pernah belanja barang secara online, tapi barang yang saya terima tidak sama dengan yang saya lihat di foto pada iklan yang dipajang. Pertanyaan saya, apakah itu termasuk pelanggaran hak konsumen? Apakah saya dapat menuntut penjual untuk mengembalikan uang atau mengganti barang yang saya beli tersebut? Terima kasih.

Ulasan Lengkap

 
Transaksi Jual Beli/Belanja Online Menurut UU Perlindungan Konsumen
Dengan pendekatan UU Perlindungan Konsumen, kasus yang Anda sampaikan tersebut dapat kami simpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen.
 
Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak konsumen adalah:
  1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
 
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen adalah:
  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang  dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.
 
Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU Perlindungan Konsumen berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Apabila pelaku usaha melanggar larangan memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut, maka pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
 
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
 
Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen Menurut UU ITE dan PP PSTE
Transaksi jual beli Anda, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan Anda untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik.[1]
 
Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila:
  1. terdapat kesepakatan para pihak;
  2. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. terdapat hal tertentu; dan
  4. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
 
Kontrak Elektronik itu sendiri setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:[2]
  1. data identitas para pihak;
  2. objek dan spesifikasi;
  3. persyaratan Transaksi Elektronik;
  4. harga dan biaya;
  5. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
  6. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
  7. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
 
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda.
 
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Lebih lanjut ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.[3]
 
Jika Barang yang Anda Terima Tidak Sesuai dengan yang Diperjanjikan
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
 
Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak sesuai dengan foto pada iklan took online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.
 
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:
  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
 
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web site).
 
Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Online
Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
 
Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
 
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
 
Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
 
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE ini diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yakni:
 
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 
Sebagai referensi mengenai jual beli online Anda juga dapat baca artikel Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan dalam Jual Beli Online.
 
Catatan tentang Transaksi Secara Online
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami, prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual maupun pembeli. Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan website electronic commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, took online, maupun blog). Salah satu indikasinya adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
 
Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
    3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang 
    5. Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
 
 
 

[1] Pasal 47 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 47 ayat (1) PP PSTE
[2] Pasal 48 ayat (3) PP PSTE
[3] Pasal 49 ayat (2) PP PSTE





Penegakan Hukum Perdagangan Barang-barang 'KW'

Pertanyaan

Saya ingin bertanya, bagaimana peran Ditjen HKI terhadap perdagangan produk atau barang palsu ataupun KW? Seperti halnya barang-barang yang dijual di Taman Pxxxxg, di situ kan banyak produk KW. Apa kabar dengan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek?

Ulasan Lengkap

Pertama-tama perlu kami luruskan bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek telah dicabut keberlakuannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”).
 
Mengenai perdagangan produk atau barang palsu atau yang juga dikenal dengan barang "KW", dalam Pasal 100 – Pasal 102 UU MIG diatur mengenai tindak pidana terkait merek:
 
Pasal 100 UU MIG
  1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  3. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
 
Pasal 101 UU MIG
  1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
 
Pasal 102 UU MIG
Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
 
Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya dapat ditindak jika ada aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari perumusan Pasal 103 UU MIG:
 
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan.
 
Ini berarti bahwa penjualan produk atau barang palsu hanya bisa ditindak oleh pihak yang berwenang jika ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hal tersebut, dalam hal ini si pemilik merek itu sendiri atau pemegang lisensi.[1]
 
Mengenai tugas Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (“DJKI”) terkait penindakan terhadap para penjual barang palsu, berdasarkan Pasal 99 ayat (1) UU MIG, selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) untuk melakukan penyidikan tindak pidana merek.
 
Pejabat penyidik pegawai negeri sipil pada DJKI tersebut berwenang melakukan:[2]
  1. pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
  2. pemeriksaan terhadap Orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang merek;
  3. permintaan keterangan dan barang bukti dari Orang sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek;
  4. pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
  5. penggeledahan dan pemeriksaan di tempat yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
  6. penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek;
  7. permintaan keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang merek;
  8. permintaan bantuan kepada instansi terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penetapan daftar pencarian orang, dan pencegahan terhadap pelaku tindak pidana di bidang merek; dan
  9. penghentian penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti adanya tindak pidana di bidang merek.
 
Lebih lanjut mengenai tugas dari DJKI khususnya Direktorat Merek dan Indikasi Geografis menurut informasi yang kami dapatkan melalui laman DJKI, Direktorat Merek dan Indikasi Geografis mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan indikasi geografis serta fasilitasi komisi banding merek.
 
Direktorat Merek dan Indikasi Geografis menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan indikasi geografis;
  2. Pelaksanaan kebijakan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan indikasi geografis;
  3. Pelaksanaan fasilitasi komisi banding merek;
  4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan dan indikasi geografis;
  5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan dan indikasi geografis; dan
  6. Pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Merek dan Indikasi Geografis.
 
Jadi, pada dasarnya Direktorat Merek dan Indikasi Geografis inilah yang akan melakukan pemantauan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan merek di lapangan. Akan tetapi, untuk melakukan tindakan terhadap pihak yang menjual barang palsu, tetap harus ada pengaduan terlebih dahulu dari pemilik merek atau pemegang lisensi.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
 
Referensi:
DJKI, diakses pada Jumat 28 Juni 2019, pukul 16.39 WIB.

[1] Pasal 83 UU MIG
[2] Pasal 99 ayat (2) UU MIG



Sumber : 
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt522464e40449c/penegakan-hukum-perdagangan-barang-/

Jumat, 21 Februari 2020

Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?


Pertanyaan

Apa perbedaan antara Alat Bukti dengan Barang Bukti?

Ulasan Lengkap

A.     Alat Bukti

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman ProdjohamidjojoSistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

 

B.     Barang Bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a.      benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b.      benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c.      benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;

d.      benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e.      benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul AfiahBarang Bukti Dalam Proses Pidanahal. 14).

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:

a.      Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)

b.      Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)

c.      Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)

d.  Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi HamzahHukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

a.      Merupakan objek materiil

b.      Berbicara untuk diri sendiri

c.      Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya

d.      Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

a.      Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana

b.      Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana

c.      Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana

d.      Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana

e.      Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara

f.       Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul AfiahBarang Bukti, hal.19).

Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini,  real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:

1.      Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);

2.      Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;

3.      Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.

 

Dasar hukum:

1.      Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)

2.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana





Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti-

Senin, 17 Februari 2020

Apakah Tindakan Polisi Merazia Hotel Tidak Melanggar Hak Privasi?


Pertanyaan

Bagaimana dengan sejumlah aparat yang melakukan razia pada malam hari di sebuah hotel atas dalih tertentu. Apakah ini bukan pelanggaran hak asasi, karena nyata-nyata telah membuat gusar dan mengganggu orang beristirahat? Bahkan terkadang membawa pasangan kekasih ke kantor polisi. Apakah bisa dibenarkan? Apakah tindakan mengganggu hak privasi ini juga bisa dituntut? Apa dasar hukumnya? Mohon penjelasan. Terima kasih.


Ulasan Lengkap

Karena Anda menyebut soal kantor polisi, maka kami asumsikan aparat yang Anda maksud adalah anggota kepolisian. Menurut hemat kami, pertanyaan Anda berkaitan dengan kewenangan penyidik polri. Kewenangan penyidik Polri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yaitu:

a.    menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b.    melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c.    menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d.    melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e.    melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f.     mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g.    memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h.    mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i.      mengadakan penghentian penyidikan;

j.     mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 


Mengenai tindakan-tindakan penyidik polri sebagaimana Anda sebutkan di atas antara lain melakukan razia ke hotel dan membawa “pasangan kekasih” ke kantor polisi, menurut hemat kami, tindakan-tindakan tersebut berkaitan dengan kewenangan penyidik sesuai KUHAP, khususnya melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (Pasal 7 ayat [1] huruf d).

Mengenai penggeledahan di dalam KUHAP diatur antara lain bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 32).

Prosedur atau tata cara penggeladahan oleh penyidik lebih jauh diatur dalam Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP yaitu:

Pasal 33 KUHAP

(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan;

(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;

(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya;

(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;

(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau -menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34 KUHAP

(1)    Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:

a.    pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya;

b.    pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;

c.    di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;

d.    di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

(2)    Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Hotel atau tempat hiburan lainnya tidak dikecualikan dari tempat atau rumah yang dapat dimasuki penyidik polri dalam rangka penggeledahan. Berkaitan dengan ini, Pasal 35 KUHAP mengatur bahwa:

Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:

a.    ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

b.    tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;

c.    ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.

Kemudian, dalam hal penangkapan, penyelidik ataupun penyidik juga berwenang melakukan penangkapan berdasarkan surat perintah (Pasal 16 KUHAP). Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana (penjelasan Pasal 17). Jadi, perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Petugas kepolisian yang melakukan penangkapan wajib memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa (Pasal 18 ayat [1] KUHAP).

Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat (Pasal 18 ayat [2] KUHAP).

Jadi, berdasarkan uraian di atas, polisi mempunyai kewenangan untuk melakukan penggeledahan di hotel tersebut dengan memenuhi prosedur sebagaimana diatur dalam KUHAP. Boleh jadi polisi melakukan penggeledahan di hotel yang Anda sebut berdasarkan laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana di tempat tersebut. Polisi juga dengan berbekal surat perintah berwenang melakukan penangkapan kepada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana, atau melakukan penangkapan tanpa surat perintah dalam hal pelaku tertangkap tangan.

Namun, apabila polisi melakukan penangkapan tidak sesuai prosedur KUHAP, maka pihak tersangka, keluarga atau kuasanya berhak mengajukan upaya hukum praperadilan. Praperadilan diajukan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur di dalam Pasal 79 jo Pasal 77 KUHAP. Dalam praperadilan juga dapat diajukan tuntutan ganti kerugian akibat tindakan polisi yang dianggap dan dapat dibuktikan telah sewenang-wenang dan melanggar hukum (Pasal 81 KUHAP).

Di samping itu, pihak keluarga atau kuasanya juga dapat mengajukan upaya hukum berupa pelaporan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Divpropam Polri) atas tindakan polisi tersebut untuk dapat diproses secara etik.

Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

 
Dasar hukum:

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.




Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5041cd6b65816/apakah-tindakan-polisi-merazia-hotel-tidak-melanggar-hak-privasi-

Permohonan Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Negeri

Ulasan Lengkap

Permohonan penetapan ahli waris di Pengadilan Negeri (PN) biasanya diajukan oleh warga negara Indonesia selain penganut/beragama Islam. Prosesnya sendiri tidak lama, karena sifatnya yang permohonan. Namun, yang harus diingat dalam permohonan penetapan waris, seluruh ahli waris harus terlibat dalam permohonan tersebut.

 

Beberapa bukti yang harus dilengkapi adalah kutipan akta nikah, kartu keluarga, akta kelahiran anak, foto copy KTP seluruh pemohon, surat keterangan kematian, dan surat keterangan ahli waris dari lurah/kepala desa setempat. Jika memungkinkan anda bisa mengajukan saksi yang dapat menerangkan ihwal perkawinan dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

 

Setelah Anda melengkapi bukti untuk permohonan penetapan ahli waris, selanjutnya Anda dapat membuat permohonan yang ditujukan ke Ketua PN setempat yang berisi identitas (para) pemohon, alasan permohonan, dan petitum permohonan.

 

Demikian jawaban kami, semoga membantu Anda.



Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6742/permohonan-penetapan-ahli-waris-di-pengadilan-negeri

Penghinaan


Pertanyaan

mohon dijelaskan bagaimana unsur-unsur penghinaan dalam pasal 310 KUHP? apakah badan hukum bisa terhina? terima kasih.

Ulasan Lengkap

Berdasarkan terjemahan WvS (Wetboek van Straftrecht) versi dari Tim Penerjemah BPHN, Tahun 1988, maka terjemahan Pasal 310 ayat (1) WvS berbunyi Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 310 ayat (2) menurut terjemahan WvS versi  Tim Penerjemah BPHN, Tahun 1988 adalah jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ada beberapa unsur yang harus dicermati dalam Pasal 310 ayat (1) yaitu: Unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dan unsur maksud untuk diketahui umum. Sementara unsur tambahan dalam Pasal 310 ayat (2) adalah unsur dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum.

Dalam doktrin tindak pidana penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 WvS (KUHP) maka badan hukum privat tidak bisa menggunakan ketentuan ini, namun bisa menggunakan ketentuan dalam Pasal 1372 BW (KUHPerdata).

Untuk informasi lebih lanjut, doktrin hukum tentang penghinaan di Indonesia tidak memisahkan antara opini dengan fakta dan juga tidak mempertimbangkan sama sekali kebenaran sebuah fakta. Asalkan sebuah pernyataan dianggap menghina oleh korban, maka unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal sudah dapat terpenuhi. Selain itu, berdasarkan pendapat MA melalui putusan No. 37 K/Kr/1957 tertanggal 21 Desember 1957 yang menyatakan bahwa tidak diperlukan adanya animus injuriandi (niat kesengajaan untuk menghina).

Menurut Satrio, unsur kesengajaan bisa ditafsirkan dari perbuatan atau sikap yang dianggap sebagai perwujudan dari adanya kehendak untuk menghina in casu penyebarluasan dari pernyataan yang menyerang nama baik dan kehormatan orang lain. Hal yang menarik dari unsur kesengajaan ini adalah tindakan mengirimkan surat kepada instansi resmi yang isinya menyerang nama baik dan kehormatan orang lain sudah diterima sebagai bukti adanya unsur kesengajaan untuk menghina.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat





Sumber :
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6865/penghinaan

Tentang Advokat


Pertanyaan

1) Apabila ada seorang advokat yang sedang menangani kasus gugat cerai, kemudian advokat tersebut malah melakukan perbuatan zina (berhubungan seks) dengan kliennya, apa akibat hukumnya? 2) Dampak apa yang akan terjadi dengan kasus yang sedang ditanganinya? 3) Dan apa juga yang terjadi bila ternyata pada saat sidang perceraian, suami mengetahui hubungan zina tersebut dan menggunakannya sebagai alat bukti di pengadilan? 4) Apa saja kewajiban-kewajiban suami terhadap istri setelah cerai yang hilang? Mohon penjelasan dan dasar hukumnya. Terima kasih.


Ulasan Lengkap

  1. Menurut pasal 284 KUHP, perbuatan zina atau persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan atas dasar suka sama suka, di mana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Suami dari istri yang melakukan zina dapat mengadukan sang istri dan teman zinanya kepada polisi. Jika salah satu pelaku zina adalah advokat, maka sang suami juga dapat mengadukan advokat yang bersangkutan ke Dewan Kehormatan Organisasi Advokat di mana dia terdaftar sebagai anggota. Menurut pasal 6 huruf e UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela. Jenis tindakan yang dikenakan terhadap advokat dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap dari profesinya (pasal 7 ayat [1] UU Advokat).
  2. Menurut hemat kami, advokat tersebut masih dapat mendampingi kliennya dalam persidangan sepanjang tuduhan zina belum dibuktikan di pengadilan atau adanya sanksi etik berupa pemberhentian sementara atau tetap dari profesinya dari Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
  3. Jika suami menuduh istrinya berzina maka dia harus mengajukan bukti-buktinya ke pengadilan. Apabila dalam proses jawab-menjawab pihak suami tidak dapat mengajukan bukti yang kuat atas tuduhannya tersebut, maka hakim akan memerintahkan dia untuk melakukan sumpah li’an (pasal 87 ayat [1] jo. pasal 88 ayat [1] UU No. 7 Tahun 1989). Hakim juga akan memerintahkan istri untuk meneguhkan sanggahannya (pasal 87 ayat [1] UU No. 7 Tahun 1989). Tata cara li’an diatur dalam pasal 127 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

a.    Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”

b.     Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya jika tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;

c.     tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d.    apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
  1. Akibat putusnya perkwainan karena perceraian diatur dalam pasal 41 UU No. Tahun 1974 yaitu:

a.   Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b.   Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c.   Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

 
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  2. Undang-Undang No. Tahun 1974 tentang Perkawinan
  3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
  4. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
  5. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)



Sumber :
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6452/tentang-advokat

Pencabutan Kuasa Hukum


Pertanyaan

Dapatkah pencabutan kuasa hukum kepada Pengacara/advokat dilakukan secara sepihak oleh si Pemberi kuasa/client? Bagaimana aturan hukumnya ? Terima kasih.

Ulasan Lengkap

Dapat saja dilakukan pencabutan kuasa secara sepihak oleh pemberi kuasa karena pada hakekatnya si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya sewaktu-waktu (lihat Pasal 1813 dan 1814 KUH Perdata).

Begitu pula ketentuan tersebut dapat diberlakukan dalam hubungan antara penerima dan penyedia jasa, dalam hal ini antara klien dan pengacara/advokat. Sifat dasar profesi pengacara/advokat adalah untuk membela siapa pun juga yang memerlukan bantuan/konsultasi hukum dalam rangka menuntut atau mencari keadilan bagi pihak tersebut dengan ketentuan bila pengacara/advokat tersebut diminta oleh yang bersangkutan.

Namun yang perlu diperhatikan dalam kasus anda adalah apakah ada ketentuan di dalam surat kuasa (atau dalam perjanjian penyediaan jasa konsultasi hukum) yang mengatur mengenai:

1)    penanggalan/pengesampingan ketentuan Pasal 1813 dan 1814 KUH Perdata di atas (yang demikian ini bukannya tidak mungkin, walaupun dapat dikatakan tidak biasa dalam hubungan antara klien dan pengacara/advokat); atau

2)    pencabutan/penarikan kembali kuasa dimana si pemberi kuasa setuju bahwa dia hanya dapat mencabut/menarik kuasanya, dalam hal adanya persyaratan dan ketentuan tertentu sehubungan dengan urusan yang dikuasakan yang telah disetujui bersama terlanggar oleh si penerima kuasa.

Bila ada pengaturan mengenai salah satu kondisi di atas, maka:

a)    untuk butir (1) di atas, si pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasa selama dan sepanjang urusan yang dikuasakan belum selesai, kecuali dapat dibuktikan bahwa si penerima kuasa telah melakukan perbuatan melawan hukum atau pelanggaran/kesalahan lain yang merugikan kepentingan anda berdasarkan ketentuan dalam dokumentasi yang ada atau menurut hukum; atau

b)    untuk butir (2) di atas, si pemberi kuasa dapat mencabut kuasa dalam hal persyaratan dan ketentuan tertentu di atas terlanggar.



Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl224/pencabutan-kuasa-hukum

Advokat Boleh Menolak Klien?

Pertanyaan

Apakah advokat/pengacara boleh menolak klien untuk dibela? Dasar hukumnya apa? Terima kasih.

Ulasan Lengkap

Pada prinsipnya, dalam menjalankan tugas profesinya advokat terikat pada kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Advokat dapat dikenai tindakan apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sumpah/janji advokat atau kode etik profesi advokat (lihat pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat/”UU Advokat”).

Perbuatan menolak klien sendiri merupakan pelanggaran terhadap sumpah/janji advokat yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU Advokat. Salah satu sumpah/janji yang diucapkan advokat berbunyi:

Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.

Namun, di dalam Kode Etik Profesi Advokat (“KEAI”) advokat dibolehkan atau bahkan diwajibkan – dalam kondisi-kondisi tertentu -- untuk menolak perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien, atau mengundurkan diri dari pengurusan perkara kliennya. Dalam kaitan ini, KEAI mengatur bahwa:

a.      advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya (lihat pasal 3 huruf a KEAI);

b.      advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya (lihat pasal 4 huruf g KEAI);

c.      advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan-pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf j KEAI).

Akan tetapi, KEAI melarang advokat menolak klien dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya (lihat pasal 3 huruf a KEAI). Larangan yang sama juga diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU Advokat.

Selain itu, advokat juga tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf i KEAI).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa advokat diperbolehkan menolak klien apabila terpenuhi syarat dan kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal 3 huruf a, pasal 4 huruf g dan huruf j KEAI.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.      Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

2.      Kode Etik Advokat Indonesia


Sumber :

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4cee226d8122d/advokat-boleh-menolak-klien-