Cari Blog Ini

Selasa, 05 Maret 2024

Mengenal Beberapa Asas dalam Hukum Acara Perdata


Hukum acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan hukum formil yang digunakan untuk mempertahankan keberlangsungan hukum perdata materiil dalam hal adanya tuntutan hak.[1] Adapun hukum perdata materiil yang dimaksud meliputi segala peraturan perundang-undangan yang mengatur kepentingan antarwarga negara perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lain.[2] Hukum formil tersebut merupakan peraturan hukum yang berisi ketentuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Selain itu, hukum acara perdata juga mengatur tata cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan dan melaksanakan putusan.

Adapun dalam hukum acara perdata terdapat beberapa asas yang berlaku yaitu:

1) hakim bersifat menunggu,
2) hakim pasif,
3) sifat terbukanya persidangan,
4) mendengar kedua belah pihak,
5) putusan harus disertai alasan-alasan,
6) beracara dikenakan biaya dan
7) tidak ada keharusan mewakilkan.[2]

Asas yang pertama, hakim bersifat menunggu, berarti bahwa segala ajuan tuntutan hak sepenuhnya diserahkan pada pihak yang berkepentingan. Apabila tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim yang mengurus perkara (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore).[4]

Berikutnya, dalam memeriksa perkara, hakim harus bersikap pasif yang artinya adalah ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hal ini merupakan ketentuan yang diharuskan dalam asas hakim pasif. Asas hakim pasif juga dikenal sebagai asas ultra petita non cognoscitur yang menghendaki hakim untuk hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan padanya. Dengan kata lain, hakim hanya menentukan hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak, sehingga hakim dilarang menambah maupun memberikan lebih dari yang diminta para pihak.[5] Sebagai contoh, apabila hakim ditugaskan dengan suatu kasus Wanprestasi yang ternyata disertai penipuan, hakim tersebut hanya diperkenankan mengadili perkara Wanprestasinya saja.

Selain itu, persidangan yang dilaksanakan juga harus terbuka untuk umum, sehingga setiap orang diperbolehkan untuk hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Adapun keterbukaan yang dimaksud dalam asas tersebut dilakukan guna memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan dan menjamin objektivitas agar hakim bersikap adil serta tidak memihak.[6]

Selanjutnya, hakim dalam beracara perdata juga harus memperlakukan para pihak dengan sama, tidak memihak dan mendengarkan mereka bersama-sama. Adapun alur gugatan dalam persidangan meliputi beberapa tahap yaitu:

1) pembacaan gugatan,
2) jawaban,
3) replik oleh penggugat dan
4) replik dari tergugat.[7]

Asas ini juga dikenal dengan asas audi et alteram partem yang berarti hakim harus mendengar dan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak dalam menyampaikan informasi dan keterangan.[8] Hal ini didukung dengan adanya Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Selain itu, putusan yang diberikan hakim juga harus memuat alasan-alasan sebagai dasar untuk mengadili agar menjadi pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum.[9] Terlebih lagi, dalam hukum acara perdata, berperkara juga akan dikenakan biaya kepaniteraan, panggilan, pemberitahuan dan material. Bahkan, jika pihak yang sedang berperkara meminta bantuan pengacara, pihak tersebut juga harus mengeluarkan biaya untuk jasa pengacaranya.

Terakhir, hukum tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili perkaranya kepada orang lain. Artinya, setiap orang yang berkepentingan dapat melewati dan menjalani pemeriksaan di persidangan secara langsung. Hal tersebut dapat mempermudah hakim untuk mengetahui lebih jelas perkara yang sedang diperiksa. Akan tetapi, seorang wakil juga dapat bermanfaat bagi hakim dalam persidangan karena mereka dianggap beritikad baik dalam memberikan bantuan dan tahu akan hukum jika wakilnya adalah sarjana hukum. Dengan kata lain, seorang wakil dapat memperlancar jalannya peradilan hukum.[10]

Sebagai kesimpulan, hukum acara perdata merupakan hukum formil yang menjamin berjalannya hukum perdata materiil. Adapun dalam beracara perdata, terdapat asas-asas yang berfungsi sebagai pedoman untuk membantu seluruh kegiatan dan pelaksanaan acara perdata dalam persidangan. Asas-asas tersebut juga dapat membantu memberikan perlindungan hukum, transparansi dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara maupun masyarakat.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).

Referensi:

[1] Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2018), halaman 2.

[2] Wahyono Darmabrata, Asas-asas Hukum Perdata (Jakarta: Universitas Hukum Indonesia, 2003), halaman 12.

[3] Sudikno Mertukusumo, Op.Cit., halaman 11.

[4] Ibid., halaman 11.

[5] Bambang Sugeng Ariadi dkk., Kajian Penerapan Asas Ultra Petita pada Petitum Ex Aequo Et Bono, Jurnal Yuridika, Volume 29-Nomor 1, April 2014, halaman 104.

[6] Ibid., halaman 14.

[7] Dwi Handayani, Kajian Filosofis Prinsip Audi Et Alteram Partem dalam Perkara Perdata, Jurnal Nasional, Volume 14-Nomor 2, Juli 2020, halaman 390.

[8] Iman Hadi, “Tentang Posita, Petitum, Replik dan Duplik”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c454b656489/replik-duplik-posita-petitum (diakses pada 8 Juli 2021).

[9] Sudikno Mertukusumo, Op Cit., halaman 15.

[10] Ibid., halaman 18.

 

 

 

Sumber: LBH PENGAYOMAN

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar