Cari Blog Ini

Jumat, 31 Agustus 2018

Lima Dasar Hukum Tentang Pemindahan / Mutasi PNS

Perbincangan mengenai mutasi PNS menjadi topik hangat tersendiri selain dari pada tema lainya seperti tugas atau ijin belajar PNS, kenaikan gaji dan tunjangan PNS. Banyak sekali teman-teman bertanya seputar permasalahan mutasi pegawai negeri sipil terutama tentang peraturan atau dasar hukum yang melandasinya. Sebagai seorang PNS yang BUKAN bekerja dibagian kepegawaian, saya tentu bukanlah orang yang paham tentang seluk-beluk semua itu. Namun, paling tidak dari aktivitas membaca yang berasal dari berbagai sumber informasi primer yang ada, saya menjadi tahu lima dasar hukum yang khusus menyangkut tentang pemindahan / mutasi PNS. Apa saja dasar hukum tersebut? berikut uraiannya:

Bersama teman-teman PNS (Sekretariat DPR RI, LIPI dan Pemkot Bogor
Pertama, UU. No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Untuk mendownloadnya klik disini. Sedangkan untuk mendownload UU No.8 tahun 1974 klik disini.

Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkutan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Untuk mendownload PP No. 63 tahun 2009 klik disini. Sedangkan untuk mendownload PP No.9 tahun 2003 klik disini

Ketiga, Keputusan Kepala BKN No. 70/KEP/2003 pada tanggal 3 Nopember 2003 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kantor regional BKN untuk menetapkan surat keputusan (SK) dan Persetujuan Teknis tentang Mutasi Kepegawaian Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk mendownloadnya klik disini.

Keempat, Keputusan kepala BKN No. 15 Tahun 2003 pada tanggal 21 April 2003 tentang Juknis Pengawasan dan Pengendalian di bidang Kepegawaian sebagai Pelaksanaan PP No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS. Untuk membaca atau mendownloadnya klik disini.

Kelima, Keputusan Kepala BKN No. 13 Tahun 2003 pada tanggal 21 April 2003 tentang Juknis Pelaksanaan PP No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk mendownloadnya klik disini.

Nah itulah lima dasar hukum atau peraturan yang berkaitan dengan pemindahan atau mutasi PNS

Bagi teman-teman yang akan melakukan mutasi PNS silahkan baca semua dasar hukum tersebut sehingga akan menjadi jelas persayaratan yang harus di penuhi.
Khusus untuk mutasi PNS di lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan misal dari PNS non dosen ke dosen, perpindahan PNS antar Perguruan Tinggi (PT), guru ke non guru, maka ada beberapa peraturan tersendiri dari keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan, menpan ataupun dirjen dikti. Insya Allah akan saya bahas pada postingan selanjutnya. Bilamana ada kekurangan atau muncul dasar hukum / peraturan baru silahkan teman-teman memberikan informasinya melalui komentar di blog saya ini. Tentunya jika saya belum mengupdatenya.




https://www.muradmaulana.com/2014/02/lima-dasar-hukum-tentang-pemindahan.html?m=1

Apakah PNS yang Berciuman Di Depan Umum Dapat Dijatuhi Hukuman Disiplin?


Pimpinan kami memergoki salah satu anak buahnya (perempuan) sedang berciuman di depan umum dengan yang bukan suaminya. Sanksi apa yang bisa dijatuhkan pada anak buah tersebut oleh pimpinan?

Jawaban:

Sovia Hasanah, S.H.

Intisari:

 

 

Apakah berciuman di depan umum bisa dikatakan sebagai pelanggaran, maka perlu dilihat kembali nilai-nilai, ukuran, standar dan batasan mengenai kesopanan/kesusilaan yang ada di masyarakat.

 

Apabila memang berciuman di depan umum dianggap telah melanggar kesopanan/kesusilaan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 281 KUHP yaitu pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4500 (yang telah disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP).

 

Mengenai apakah berciuman di depan umum dapat dihukum dan dikenakan sanksi disiplin PNS, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai hal tersebut.

 

Akan tetapi, PNS wajib menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika berciuman tersebut termasuk sebagai “melanggar kesusilaan/kesopanan” berdasarkan nilai-nilai setempat, maka dapat dikatakan PNS tersebut tidak menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat dijatuhi hukuman disiplin .

 

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

 

 

 

Ulasan:

 

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 

Apakah Berciuman Di Depan Umum Merupakan Pelanggaran?

Sebelum menjawab pertanyaan Anda kami akan menjelaskan mengenai apakah berciuman bisa dikategorikan sebagai pelanggaran jika dilakukan di depan umum. Untuk itu, kita merujuk pada ketentuanPasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) yang berbunyi:

 

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1.    barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;

2.    barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.”

 

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Beserta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 204-205) memberikan penjelasan terhadap Pasal 281 KUHP bahwa kesopanan disini dalam arti kata “kesusilaan” (zeden, eerbaarheid), perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya, bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya.

 

Sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan di tempat itu. Bahwa orang bersetubuh di tengah jalan itu merusak kesopanan (kesusilaan) umum itu bukan soal lagi, akan tetapi cium-ciuman di tempat umum di kota besar pada waktu ini dilakukan oleh bangsa Indonesia masih harus dipersoalkan, apakah ia merusak kesopanan umum atau tidak.

 

Lebih lanjut R. Soesilo menjelaskan, apabila polisi menjumpai peristiwa semacam itu, maka berhubung dengan adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat suku-suku bangsa yang ada di Indonesia ini, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu, apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut tempat, keadaan dan sebagainya, di tempat tersebut dapat dipandang sebagai merusak kesusilaan umum.

 

Masih dalam sumber yang sama R. Soesilo mengatakan bahwa supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang itu harus:

a.    sengaja merusak kesopanan di muka umum, artinya perbuatan merusak kesopanan itu harus sengaja dilakukan di tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, di gedung bioskop, di pasar dan sebagainya; atau

b.    sengaja merusak kesopanan di muka orang lain, yang hadir di situ tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu di muka umum, di muka seorang lain sudah cukup, asal orang ini tidak menghendaki perbuatan itu.

 

Memang KUHP sendiri tidak diberikan definisi atas batasan dari kesusilaan itu seperti apa, akan tetapi, dari penjelasan R. Soesilo tersebut dapat kita simpulkan bahwa kesusilaan/kesopanan itu ukurannya tidak dapat disamakan di setiap daerah. Setiap daerah memiliki nilai-nilai, ukuran, standar dan batasan-batasan tersendiri mengenai kesopanan/kesusilaan. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda apakah berciuman di depan umum bisa dikatakan sebagai pelanggaran, maka perlu dilihat kembali nilai-nilai, ukuran, standar dan batasan mengenai kesopanan/kesusilaan yang ada di masyarakat tersebut.

 

Apabila memang berciuman di depan umum di masyarakat tersebut dianggap telah melanggar kesopanan/kesusilaan, maka terhadap perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dan diancam Pasal 281 KUHP.

 

Selengkapnya mengenai perbuatan kesusilaan dan kesopanan dapat Anda simak dalam artikel Apakah Berpelukan di Depan Umum Termasuk Pelanggaran Hukum?.

 

Pelanggaran Disiplin PNS

Mengenai apakah berciuman di depan umum dapat dijatuhi sanksi disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), perlu dilihat apakah berciuman merupakan pelanggaran disiplin PNS.

 

Pelanggaran disiplin, menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP Disiplin PNS”), adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.

 

Dengan tidak mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin.[1] Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena melanggar peraturan disiplin PNS.[2]

 

PNS yang dijatuhi hukuman disiplin adalah yang tidak menaati kewajiban serta larangan. Setiap PNS wajib:[3]

1.    mengucapkan sumpah/janji PNS;

2.    mengucapkan sumpah/janji jabatan;

3.    setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah;

4.    menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan;

5.    melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

6.    menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS;

7.    mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan;

8.    memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan;

9.    bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara;

10. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil;

11. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;

12. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan;

13. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya;

14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat;

15. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas;

16. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier; dan

17. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

 

Kemudian mengenai hal-hal yang dilarang, setiap PNS dilarang:[4]

1.    menyalahgunakan wewenang;

2.    menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain;

3.    tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional;

4.    bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing;

5.    memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah;

6.    melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;

7.    memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan;

8.    menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;

9.    bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;

11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;

12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:

a.    ikut serta sebagai pelaksana kampanye;

b.    menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;

c.    sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau

d.    sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;

13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:

a.    membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau

b.    mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;

14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan

15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:

a.    terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;

b.    menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;

c.    membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau

d.    mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

 

Berdasarkan penjelasan di atas tidak diatur secara eksplisit mengenai larangan asusila dan berciuman di depan umum. Akan tetapi, PNS wajib menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika berciuman tersebut termasuk sebagai “melanggar kesusilaan/kesopanan” berdasarkan nilai-nilai setempat, maka dapat dikatakan PNS tersebut tidak menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat dijatuhi hukuman disiplin.

 

Hukuman Disiplin PNS

Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:[5]

a.    hukuman disiplin ringan;

1)    teguran lisan;

2)    teguran tertulis; dan

3)    pernyataan tidak puas secara tertulis

b.    hukuman disiplin sedang; dan

1)    penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;

2)    penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun;

3)    penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun

c.    hukuman disiplin berat.

1)    penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;

2)    pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;

3)    pembebasan dari jabatan;

4)    pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan

5)    pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS

 

Contoh Kasus

Meskipun tidak diatur secara eksplisit mengenai PNS yang berciuman di depan umum atau melakukan tindakan asusila dalam PP Disiplin PNS, tetapi dalam praktiknya PNS yang melakukan tindakan asusila (tindak pidana) dikenakan sanksi disiplin PNS juga.

 

Sebagai contoh dalam artikel Kasus Pelanggaran Hukum Membuat Dua PNS Dipecat, sebagaimana yang kami akses dari situs berita Okezone.news, seorang PNS dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara setelah terbukti melakukan perbuatan asusila kepada gadis di bawah umur. Perbuatan itu dilakukan sejak gadis tersebut masih menjadi muridnya di SD. Selain itu, PNS tersebut dijatuhi sanksi pemberhentian dengan tidak hormat.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.    Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

 

Referensi:

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 1991.

 

[1] Pasal 6 PP Disiplin PNS

[2] Pasal 1 angka 4 PP Disiplin PNS

[3] Pasal 3 PP Disiplin PNS

[4]Pasal 4 PP Disiplin PNS

[5] Pasal 7 PP Disiplin PNS








m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5885612cf0d80/apakah-pns-yang-berciuman-di-depan-umum-dapat-dijatuhi-hukuman-disiplin?

Dasar Hukum Penentuan Pangkat dan Jabatan PNS

Dasar Hukum Penentuan Pangkat dan Jabatan PNS

Kategori:Kenegaraan

Apakah dasar-dasar dalam kepangkatan yang sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia? Terima kasih.

Jawaban:

Sovia Hasanah, S.H.

Intisari:

Pangkat merupakan kedudukan yang menunjukkan tingkatan Jabatan berdasarkan tingkat kesulitan, tanggung jawab, dampak, dan persyaratan kualifikasi pekerjaan yang digunakan sebagai dasar penggajian. Sedangkan jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan fungsi, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai ASN dalam suatu satuan organisas.

Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.

Kenaikan pangkat PNS ditentukan dari hasil penilaian kinerja PNS di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing yang didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PNS.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

 

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Untuk menyederhanakan jawaban, di sini kami berasumsi bahwa penggolongan kepangkatan yang Anda maksud adalah kepangkatan Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (“ASN”). Kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”).


Pangkat dan Jabatan PNS

Pangkat merupakan kedudukan yang menunjukkan tingkatan Jabatan berdasarkan tingkat kesulitan, tanggung jawab, dampak, dan persyaratan kualifikasi pekerjaan yang digunakan sebagai dasar penggajian.[1]

Sedangkan jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan fungsi, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai ASN dalam suatu satuan organisasi.[2]

Jabatan PNS terdiri atas:[3]

a.    Jabatan Administrasi (“JA”);

Jabatan Administrasi adalah sekelompok Jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.[4]

b.    Jabatan Fungsional (“JF”); dan

Jabatan Fungsional adalah sekelompok Jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu.[5]

c.    Jabatan Pimpinan Tinggi (“JPT”).

Jabatan Pimpinan Tinggi adalah sekelompok Jabatan tinggi pada instansi pemerintah.[6]

 

Susunan pangkat dan golongan ruang PNS pada dasarnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil(“PP 99/2000”). Namun, PP 99/2000 ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh PP 11/2017.[7]

 

Akan tetapi kemudian Pasal 352 PP 11/2017 mengatur sebagai berikut:

Pangkat dan golongan ruang PNS yang sudah ada pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,tetap berlaku sampai dengan diberlakukannya ketentuan mengenai gaji dan tunjangan berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai gaji dan tunjangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Berdasarkan penelusuran kami, hingga kini Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai gaji dan tunjangan sebagai pelaksana dari UU ASN belum ada. Oleh karena itu, susunan pangkat dan golongan PNS dari yang terendah sampai yang tertinggi berdasarkan PP 99/2000 adalah sebagai berikut:[8]


No. Pangkat               Golongan             Ruang

1. Juru Muda                                 I a
2. Juru Muda Tingkat I                 I b
3. Juru                                             I c
4. Juru Tingkat I                            I d

5. Pengatur Muda                         II a

6. Pengatur Muda Tingkat I         II b

7. Pengatur                                      II c

8. Pengatur Tingkat I                     II d

9. Penata Muda                              III a

10. Penata Muda Tingkat I           III b

11. Penata                                       III c

12. Penata Tingkat I                      III d

13. Pembina                                   IV a

14. Pembina Tingkat I                  IV b

15. Pembina Utama Muda          IV c

16. Pembina Utama Madya        IV d

17. Pembina Utama                     IV e

 

Penentuan Pangkat dan Jabatan PNS

PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah.[9]

Pengangkatan Jabatan

Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.[10]

Setiap jabatan tertentu dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan PNS yang menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola kerja. PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja.[11]

PNS dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. PNS yang diangkat dalam jabatan tertentu, pangkat atau jabatan disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.[12]

Kenaikan Pangkat

Kenaikan pangkat PNS ditentukan dari hasil penilaian kinerja PNS di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing yang didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PNS.[13] Kenaikan pangkat ini kemudian disetujui oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).[14]

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;

2.    Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil dan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku oleh Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil;

3.    Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

 

[1] Pasal 46 ayat (1) PP 11/2017

[2] Pasal 1 angka 6 PP 11/2017

[3] Pasal 47 PP 11/2017

[4] Pasal 1 angka 9 PP 11/2017

[5] Pasal 1 angka 11 PP 11/2017

[6] Pasal 1 angka 7 PP 11/2017

[7] Pasal 362 PP 11/2017

[8] Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (“PP 99/2000”)

[9] Pasal 68 ayat (1) UU ASN

[10] Pasal 68 ayat (2) UU ASN

[11] Pasal 68 ayat (3) dan (4) UU ASN

[12] Pasal 68 ayat (5) dan (6) UU ASN

[13] Pasal 77 ayat (5) jo. Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU ASN

[14] Pasal 47 huruf b UU ASN






m.hukumonline.com/klinik/detail/lt591651e2c4a7f/dasar-hukum-penentuan-pangkat-dan-jabatan-pns

Sabtu, 25 Agustus 2018

Sanksi bagi Pembuat dan Penyebar Konten Pornografi

Kategori:Telekomunikasi & Teknologi

Jika orang membuat foto atau video porno untuk dinikmati sendiri tapi akhirnya disebarkan oleh pihak laki-laki ke internet foto-foto perempuannya, apakah korban mendapatkan hukuman juga? Terus si penyebar foto dan video porno tersebut terkena hukum berapa lama?

Jawaban:

Josua Sitompul, S.H., IMM

 A.   Asumsi

 

Untuk memperjelas diskusi ini, maka asumsi yang perlu diambil ialah:

1.      yang dimaksud “membuat foto atau video porno untuk dinikmati sendiri” ialah foto atau rekaman video hubungan seksual antara pria dan wanita itu sendiri.

2.      Pria dan wanita tidak termasuk dalam kategori anak sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan.

 

B.   Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi

 

Berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);

2.      Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”); dan

3.      Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU 44/2008”)

 

Dalam Bab – XIV KUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga dengan UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

 

Dari ketiga undang-undang yang dimaksud, UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini.

 

Secara teoritis-normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut Pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

 

Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a.    persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b.    kekerasan seksual;

c.    masturbasi atau onani;

d.    ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e.    alat kelamin; atau

f.     pornografi anak

 

Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

 

C.    Pembuatan Pornografi

 

Dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video seksual mareka dan foto serta video tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian dalam Pasal 44/2008 maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pornografi.

 

Dalam hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau pria pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.

 

D.   Diseminasi atau Distribusi Pornografi

 

Dalam hal pembuatan foto atau video disetujui oleh para pihak maka penyebaran oleh salah satu pihak dapat membuat pihak lain terjerat ketentuan pidana, sepanjang pihak itu tidak secara tegas memberikan larangan untuk penyebarannya.

 

Sebagai contoh apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman Pornografi, kemudian pria menyebarkan Pornografi, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap Pornografi tersebut maka wanita dapatterjerat tindak pidana penyebaran Pornografi.

 

Apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkan Pornografi tersebut maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta penyebaran pornografi.

 

Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video Pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan Pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita tersebut dapat disebut sebagai korban penyebaran konten Pornografi.

 

E.    Penyimpanan Produk Pornografi

 

Pasal 6 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang..., memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Menimbulkan pertanyaan apakah video atau foto Porno tersebut yang dibuat oleh pria dan wanita juga dilarang?

 

Salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut.

1.      Dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu maka penyimpanan atau pemilikan Pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008.

 

Secara teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang.

 

2.      Apabila dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.

 

F.    Memfasilitasi Pornografi

 

Pasal 7 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

 

Apakah tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada wanita atau pria dalam pembuatan pornografi termasuk memfasilitasi Pornografi?

 

Interpretasi yang mungkin ialah bahwa sepanjang wanita atau pria yang telah memberikan persetujuan itu terlibat di dalam foto atau video pornografi tersebut maka, ia tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan Pornografi.

 

G.   Penyebaran Pornografi

 

Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur:

 

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

 

Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yaitu ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) milliar rupiah. 

 

Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menyebutkan:

 

“Setiap orang dilarang..., membuat,...menyebarluaskan... Pornografi...”

 

Ancaman terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008 yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta rupiah dan paling banyak Rp 6 miliar rupiah.

 

Dengan demikian, dalam kasus atau permasalahan yang rekan tanyakan, rekan dapat menerapkan sebagian atau keseluruhan pasal-pasal terkait aspek pembuatan, distribusi, penyimanan, fasilitas, dan/atau penyebaran konten pornografi sebagaimana kami uraikan di atas.

 

Demikian pendapat kami, terima kasih.

 

Catatan:

Semua informasi atau pertanyaan serta pendapat yang diberikan dalam forum ini merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi yang diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, dan bukan merupakan pendapat hukum yang mengikat siapapun, serta bukan pendapat resmi dari instansi apapun. Pendapat ini ditujukan untuk membuka wacana dalam mengembangkan konsep atau pemahaman hukum terkait penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang memiliki kesamaan kondisi atau yang ingin menggunakan pendapat atau informasi ini harus mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan penasehat hukumnya.

 

Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.    Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan

3.    Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

 

Referensi:

Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa.

 

 

Catatan Editor:

Sebagai tambahan informasi, dalam kasus pornografi yang melibatkan artis dengan nama panggilan Ariel, penyidik Polri juga menetapkan beberapa teman artis perempuan yang ada di dalam video itu sebagai tersangka. Silakan baca arsip artikelnya di sini dan di sini. 

Indonesia Cyber Law Community (ICLC)

KLINIK TERKAIT:Bisakah Dipenjara Karena Berhubungan Seks dengan Pacar?Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSKApakah Mengirim Link Berita tentang Seks Termasuk Tindakan Asusila?Perjanjian Memakai Jasa Pekerja Seks KomersialBolehkah Bar Menyediakan Pekerja Seks Komersial?Risiko Hukum Berhubungan Intim dengan PSK yang Berujung KehamilanHukum Dry Humping di IndonesiaAncaman Sanksi bagi yang Mendirikan Tempat ProstitusiJerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan SeksualSodomi, Tindak Pidana atau Bukan?Bolehkah Mengusir Anak yang Menyukai Sesama Jenis?

Josua Sitompul, S.H., IMMPencemaran Nama Baik di Media Sosial, Delik Biasa atau Aduan?Pertanggungjawaban Pidana Jika Bermain Curang di Game OnlineHukumnya Mengunggah Foto Kue Berbentuk Organ Intim ke MedsosApakah Setiap Pengelola Website Harus Berbadan Hukum?Hukuman Bagi Kejahatan Siber WNI yang Menggunakan Identitas WNABolehkah Merekam Suatu Peristiwa Secara Sembunyi-Sembunyi?Apakah Forex Termasuk Judi?Perlindungan Konsumen Terkait Intrusive AdvertisingLegalitas Penjualan Minuman Keras Lewat InternetHukumnya Membuat Tiruan Tema Website

Back »

DISCLAIMER · KATEGORI · MITRA · KIRIM PERTANYAAN

Ke Atas · Berita · Search

Lihat Versi Desktop

Home · Tentang Kami · Mengapa Kami · Pedoman Media Siber · Kode Etik · Kebijakan Privasi · Bantuan dan FAQ · Karir ·

Copyright © 2018 hukumonline.com, All Rights Reserved

 

Sumo

Focus Retriever

3.5k
Shares

3.5k

Jumat, 24 Agustus 2018

LANDASAN HUKUM KODE ETIK GURU Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si

LANDASAN HUKUM KODE ETIK GURU Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si

I.             Pendahuluan

Kode etik sebagai pola aturan, tata cara tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi yang diterjemahkan ke dalam standar perilaku anggotanya. Nilai profesional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.

Istilah profesi keguruan di bidang pendidikan mulai hangat dibicarakan di tahun 2005 setelah terbitnya Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang tersebut diungkapkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Lebih lanjut pada pasal 1 ayat 4 diungkapkan bahwa profesional merupakan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau nroma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dari Undang-Undang tersebutlah kemudian muncul istilah profesi keguruan dan guru profesional.

Menurut  Wiyani (2015:61) bahwa guru profesional memiliki kemampuan antara lain: a. menguasai karakteristik peserta didiknya dari aspek fisik, moral, sosial, kuktural, emosional dan intelektual; b. menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; c. mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran atau bidang studi yang diampuninya; d. menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik; e. memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran; f. memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; g. menjalin komunikasi yang efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran; h. menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar peserta didik; i. memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; j. melakukan tindakan reflektif untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

          Nilai profesional dapat disebut juga dengan istilah etis, seperti dijelaskan oleh Chung (1981) empat asas etis, yaitu: menghargai harkat dan martabat; peduli dan bertanggung jawab; integritas dalam hubungan dan; tanggung jawab terhadap masysrakat.

          Kode etik dijadikan standar aktivitas anggota profesi. Kode etik tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun menjadikan sebagai pedoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan monopoli profesi, yaitu memanfaatkan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang melindungi kepentingan pribadi yang bertentangan dengan masyarakat.

II.           Pembahasan

A.   Etika Profesi

Sama seperti profesi yang lainnya, profesi guru juga memiliki kode etik yang disebut dengan kode etik guru. Rochman dan Heri Gunawan (2012:108) mengungkapkan bahwa kode etik profesi adalah norma-norma yang harus diindahkna oleh setiap anggotanya dalam melaksanakan tugas dan pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat.

Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun q1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pada Pasal 28 disebutkan bahwa kode etik merupakan pedoman sikap dan perilaku di dalam dan di luar kedinasan. Kemudian pada kode etik pegawai negeri sipil disebutkan bahwa kode etik adalah pedoman sikap, perilaku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.

Berdasarkan pengertian di atas, maka kode etik guru adalah norma-norma yang dijadikan sebagai landasan oleh sekelompok guru dalam melaksanakan tugas dan pergaulannya di lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan tersebut oleh Ki Hajar Dewantara disebut dengan istilah Tri Pusat Pendidikan, meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Jadi, pada kode etik profesi guru terdapat dua unsur pokok. Pertama, kode etik profesi guru adalah landasan moral bagi guru. Kedua, kode etik profesi guru merupakan pedoman bagi guru dalam berperilaku. Sebagai landasan dalam berperilaku bagi sekelompok guru, norma pada kode etik profesi guru berisi berbagai petunjuk mengenai bagaimana seharusnya guru bekerja serta berbagai larangan yang harus tidak boleh dilakukan oleh guru ketika bekerja. Lalu seperti apakah kode etik profesi guru di Indonesia?.

Kode etik profesi guru di Indonesia disebut dengan istilah Kode Etik Guru Indonesia (KEGI). KEGI adalah norma dan asas yabng disepakati serta diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, serta warga negara Republik Indonesia.

  KEGI tersebut kemudian menjadi sesuatu yang membedakan antara profesi guru dengan profesi lainnya. Pada Keputusan Konres XXI Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor VI?Kongres/XX/PGRI 2013 tentang kode etik guru terungkap bahw KEGI merupakan pedoman perilaku gurub Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas keprofesiannya.

Pada keputusan kongres tersebut juga terungkap bahwa KEGI terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kwajiban guru secara umum dan bagian kewajiban guru secara khusus. Kewajiban guru secara umum yaitu: 1) menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah atau janji guru. Demi Allah (diucapkan sesuai dengan agamanya masing-masing) sebagai guru Indonesia saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan:

1.    Membaktikan diri saya untuk tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses  dan hasil pembelajaran peserta didik guna kepentingan kemanusiaan di masa depannya;

2.    Melestarikan dan menjunjung tinggi martabat guru sebagai profesi terhormat dan mulia;

3.    Melaksanakan tugas saya sesuai dengan kompetensi jabatan guru;

4.    Melaksanakan tugas saya serta bertanggung jawab yang tinggi dengan mengutaakan kepentingan peserta didik, masyarakat, bangsa dan Negara serta kemanusiaan;

5.    Menggunakan keharusan profesional saya semata-mata berdasarkan nilai-nilai agama dan Pancasila;

6.    Menghormati asasi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang guna mencapai kedewasaannya sebagai warga negara dan bangsa Indonesia yang bermoral dan berakhlak mulia;

7.    Berusaha secara sungguh-sungguh untuk meningkatkan keharusan professional;

8.    Berusaha secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan tugas[-tugas guru tanpa dipengaruhi pertimbangan bunsur-unsur di luar kependidikan;

9.    Memberikan penghormatan dan pernyataan terima kasih pada guru yang telah mengantarkan saya menjadi guru Indonesia;

10. Menjalin kerjasama secara sungguh-sungguh dengan rekan sejawat untuk menumbuhkankembangkab dan meningkatkan profesionalitas guru Indonesia:

a.    Berusaha untuk menjadi teladan dalam berperilaku bagi peserta didik dan masyarakat;

b.    Menghormati, mentaati dan mengamalkan Kode Etik Guru Indonesia.

2)  melaksanakan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bwriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlajk mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta beretanggung jawab. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan diharapkan dapat menelorkan peserta didik yang memiliki spesifikasi antara lain:

a. Beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.

b. Sehat jasmani, berilmu dan terampil mengaplikasikan ilmunya.

c. Pancasilais.

Sedangkan kewajiban guru secara khusus meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.    Kewajiban kepada peserta didik, meliputi:
a. bertindak professional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi proses hasil belajar peserta didik;
b. memberikan layanan pembelajaran berdasarkan karakteristik individual serta tahapan tumbuh-kembang jiwa peserta didik;
c. mengembangkan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; d. menghormati martabat dan hak-hak serta memperlakukan peserta didik secara adil dan objektif;
e. melindungi peserta didik dari segala tindakan yang dapat mengganggu perkembangan, proses belajar, kesehatan, dan keamanan bagi peserta didik;
f. menjaga kerahasiaan pribadi peserta didik, kecuali dengan alasan yang dibenarkan berdasarkan hukum, kepentingan pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan;
g. menjaga hubungan profesional dengan peserta didik dan tidak memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok dan tidak melanggar norma yang berlaku.

2.    Kewajiban guru kepada orang tua atau wali peserta didik yaitu:
a. menghormati hak orang tua atau wali peserta didik untuk berkonsultasi dan memberikan informasi secara jujur serta objektif mengenai kondisi dan perkembangan belajar peserta didik;
b. membina hubungan kerjasama dengan orang tua atau wali peserta didik dalam melaksanakan proses pendidikan untuk kepentingan mutu pendidikan;
c. menjaga hubungan profesional dengan orang tua atau wali peserta didik serta tidak memanfaatkan untuk memperoleh keuntungan pribadi.

3.    Kewajiban guru terhadap masyarakat antara lain:
a. menjalin komunikasi yang efektif dan bekerjasama secara harmonis dengan masyarakat untuk mamajukan dan mengembangkan pendidikan;
b. mengakomodasi aspirasi dan keinginan masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan;
c. bersikap responsif terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan mengindahkan norma dan sistem nilai yang berlaku;
d. bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif untuk menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif;
e. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat serta menjadi panutan bagi masyarakat.

4.    Kewajiban guru  terhadap teman sejawat meliputi:
a. membangun suasana kekeluargaan, solidaritas, dan saling menghormati antar teman sejawat baik di dalam maupun di luar sekolah;
b. saling berbagi ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, seni dan pengalaman serta saling memotivasi untuk meningkatkan profesionalitas dan martabat guru;
c. menjaga kehormatan  dan rahasia pribadi teman sejawat;
d. menghindari tindakan yang berpotensi menciptakan konflik antar teman sejawat.

5.    Kewajiban guru terhadap profesi, antaralain:
a. menjunjung tinggi jabatan guru sebagai profesi;
b. mengembangkan profesionalisme secara berkelanjutan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan mutu pendidikan;
c. melakukan tindakan dan/atau mengeluarkan pendapat yang tidak merendahkan martabat profesi;
d. dalam melaksanakan tugas, tidak menerima janji dan pemberian yang dapat mempengaruhi keputusan dan tugas keprofesionalannya;
e. melaksanakan tugas secara bertanggung jawab terhadap kebijkan pendidikan.

6.    Kewaiiban guru terhadap organisasi profesi, antara lain:
a. mentaati peraturan dan berperan aktif dalam melaksanakan program organisasi profesi;
b. mengembangkan dan memajukan organisasi profesi;
c. mengembangkan organisasi profesi untuk menjadi pusat peningkatan profesionalitas guru dan pusat informasi tentang pengembangan pendidikan;
d. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat organisasi profesi;
e. melakukan tindakan dan/atau mengeluarkan pendapat yang tidak merendahkan organisasi profesi.

7.    Kewajiban guru terhadap pemerintah, sebagai berikut:
a. berperan serta menjaga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
b. berperan serta dalam melaksanakan program pembangunan pendidikan;
c. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Berdasarkan berbagai kewajiban di atas, maka sebenarnya KEGI bukan hanya menjadi landasan bagi guru dalam berperilaku saja, tetapi juga menjadi suatu standar perilaku yang harus ditampilkan oleh guru. Ketika standar perilaku tersebut terpenuhi, maka terjadilah hubungan yang harmonis antara guru dengan dirinya, peserta didik, wali peserta didik, teman sejawat, masyarakat, organisasi profesi, dan pemerintah.

B.   Landasan Hukum Profesi

Dalam rangka perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) di Indonesia, sudah terdapat sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan terkait dengan perlindungan PTK, antara lain:

1.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

2.    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

3.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

5.    Undang-Undang tentag Hak Kekayaan Intelektual, yang meliputi:

a.    Undang-Undang Nomor 28 Tahun2014 tentang Hak Cipta

b.    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten

c.    Undang_Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merk

d.    Undang-UndangNomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman

e.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak SirkuitUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

6.    Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru

7.    Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Materi yang mengatur dan berkaitan dengan perlindungan PTK dalam berbagai undang-undang tersebut di atas dapat dilihat dalam pasal-pasal sebagai berikut.

a.    Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 40 ayat (1):

Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:

a.  penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;

b.  penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c.  pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;

d.  perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak  atas hasil kekayaan intelektual; dan

e.  kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Pasal 40 ayat (2):

Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:

a.  menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;

b.  mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan

c.  memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. 

b.    Pasal-Pasal Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

1)    Pasal 7 ayat (1):

“Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan  khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagaiberikut:

a.    memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 

b.    memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu  pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

c.    memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang  pendidikan sesuai dengan bidang tugas;

d.    memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;

e.    memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;

f.     memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;

g.    memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; 

h.   memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalandan

i.     memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru”.

2)    Pasal 7 ayat (2):

“Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi  dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara  demokratis, berkeadilan, tidakdiskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi”. 

3)    Pasal 14 ayat (1):

“Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

a.    memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;

b.    mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c.    memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;

d.    memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;

e.    memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;

f.     memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundangundangan;

g.    memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;

h.   memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;

i.     memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;

j.     memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau

k.    memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya”.

4)    Pasal 18 ayat (2):

“Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama”.

Pasal 18 ayat (3):

“Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan”.

5)    Pasal 29 ayat (1):

“Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi kenaikan pangkat rutin secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1 (satu) kali, dan perlindungan dalam melaksanakan tugas”.

6)    Pasal 39 ayat(1):

“Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas”.

Pasal 39 ayat(2):

“Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja”. 

Pasal 39 ayat(3):

“Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain”.

Pasal 39 ayat(4):

“Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas”.

Pasal 39 ayat (5):

“Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain” . 

7)    Pasal 40 ayat(1):  

“Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Pasal 40 ayat (2):

“Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh”

c.    Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru

1)    Pasal 39 ayat (1):

“Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada pesertadidiknya yang melanggar normaagama, norma kesusilaan, normakesopanan, peraturan tertulis maupun   tidak   tertulis   yang  ditetapkan   Guru, peraturan tingkatsatuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan   dalam   proses  pembelajaran yang berada di bawahkewenangannya”.

Pasal 39 ayat (2):

“Sanksi  sebagaimana dimaksudpada  ayat  (1)  dapat berupa tegurandan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yangbersifat mendidik sesuai dengankaedah pendidikan, kode etik Guru,dan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 39 ayat (3):

“Pelanggaran  terhadap  peraturan satuan  pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya  berada  di  luar kewenangan  Guru, dilaporkan  Guru kepada  pemimpin  satuan pendidikan”.

Pasal 39 ayat (4):

“Pelanggaran terhadap peraturanperundang-undangan yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk ditindaklanjuti sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan”.

2)   Pasal40 ayat (3):

“Masyarakat, Organisasi ProfesiGuru, Pemerintah atau PemerintahDaerah dapat saling membantu dalam memberikan perlindungansebagaimana dimaksud pada ayat(1)”.

3)   Pasal 41 ayat (1):

“Guru berhak mendapatkan perlindunganhukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi,  atau perlakuan  tidak  adil  dari  pihak peserta didik, orang tua peserta didik, Masyarakat, birokrasi, atau pihak lain”.

Pasal 41 ayat (2) :

“Guru berhak mendapatkanperlindungan profesi terhadap pemutusan  hubungan  kerja  yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadapprofesi, dan pembatasan atau pelarangan lain yang dapatmenghambat Guru dalam melaksanakan tugas”.

Pasal 41 ayat (3):

“Guru berhak mendapatkan perlindungan keselamatan dankesehatan kerja dari satuanpendidikan dan penyelenggara satuan pendidikan terhadap resiko gangguan keamanan kerja,kecelakaan kerja, kebakaran  pada waktu  kerja,  bencana  alam, kesehatan lingkungan kerja dan/atauresiko lain”.

4)       Pasal 42:

“Guru memperoleh perlindungan dalammelaksanakan hak atas kekayaan intelektualsesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan”

5)   Pasal 46:

“Guru memiliki kesempatan untukmengembangkan dan meningkatkan Kualifikasi Akademikdan kompetensinya, serta untukmemperoleh pelatihan danpengembangan profesi dalambidangnya”.

6)      Pasal 47 ayat (2):

“Guru yang sudah memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV dapatmelakukan pengembangan danpeningkatan Kualifikasi Akademik lebih tinggi dari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal5 ayat (2)”.

Pasal 47 ayat (5):

“Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyediakan anggaranuntuk pengembangan dan peningkatan Kualifikasi Akademikdan kompetensi sebagaimanadimaksud pada ayat (1), ayat (3),dan ayat (4)”.

7)   Pasal 49:

“Pengembangan dan peningkatanKualifikasi Akademik, kompetensi, dankeprofesian Guru oleh Guru Dalam Jabatansebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,Pasal 47, dan Pasal 48 dilakukan dengantetap melaksanakan tugasnya”.

8)    Pasal 50 ayat (1):

“Guru  yang  diangkat  Pemerintah atau  Pemerintah Daerah berhakmemperoleh cuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

9)    Pasal 50 ayat (2):

“Guru  yang  diangkat  satuan pendidikan  yang diselenggara kan oleh Masyarakat berhak memperoleh cuti sesuai dengan Perjanjian Kerjaatau Kesepakatan Kerja Bersama”.

10)    Pasal 51 ayat (1):

“Selain cuti sebagaimana dimaksuddalam Pasal 50, Guru dapatmemperoleh cuti studi yangbertujuan untuk pengembangan keprofesian, paling lama 6 (enam) bulan  dengan  tetap  memperoleh hak  gaji penuh”.

11) Pasal 51 ayat (2):

“Cuti studi sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dapat diberikan kepada Guru yang telah memenuhi Kualifikasi Akademik dan  telah memiliki Sertifikat Pendidik”  

d.   Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1)    Pasal 4:

“Setiap anak berhak untuk dapathidup, tumbuh, berkembang, danberpartisipasi secara wajar sesuaidengan harkat dan martabatkemanusiaan, serta mendapatperlindungan dari kekerasan dandiskriminasi”.

2)    Pasal 5:

“Setiap anak berhak atas suatu namasebagai identitas diri dan statuskewarganegaraan”.

3)    Pasal 6:

“Setiap anak  berhak untukberibadah  menurut  agamanya, berpikir,  dan  berekspresi sesuaidengan tingkat kecerdasan danusianya, dalam bimbingan orangtua”.

4)    Pasal 7 ayat (1):

“Setiap anak berhak untukmengetahui orang tuanya,dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri”.

5)    Pasal 8:

“Setiap anak berhak memperolehpelayanan kesehatan dan jaminansosial sesuai dengan kebutuhanfisik, mental, spiritual, dan sosial”.

6)    Pasal 9 ayat (1):

“Setiap  anak  berhak  memperoleh pendidikan  dan  pengajaran dalam  rangka  pengembanganpribadinya dan tingkatkecerdasannya sesuai dengan minatdan bakatnya”.

Pasal 9 ayat (2):

“Selain hak anak sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), khususbagi anak yang menyandang cacatjuga berhak memperolehpendidikan luar biasa, sedangkanbagi anak yang memilikikeunggulan juga berhakmendapatkan pendidikan khusus”.

7)    Pasal 10:

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,menerima,  mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”.

8)    Pasal 11:

“Setiap anak berhak untuk beristirahatdan memanfaatkan waktu luang, bergauldengan anak yang sebaya, bermain,berekreasi, dan berkreasi sesuai denganminat, bakat, dan tingkat kecerdasannyademi pengembangan diri”.

9)    Pasal 12:

“Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf  kesejahteraan sosial “.

10)    Pasal 13 ayat (1):

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,berhak mendapat perlindungan dari perlakuan “:

a.    diskriminasi;

b.    eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c.    penelantaran;

d.    kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e.    ketidakadilan; dan

f.     perlakuan salah lainnya”.

             

Pasal 13 ayat (2):

“Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

11)    Pasal 14:

“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.

12)    Pasal 15:

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b.    pelibatan dalam sengketa bersenjata;

c.    pelibatan dalam kerusuhan sosial
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

e.    pelibatan dalam peperangan”.

13)    Pasal 16 ayat (1):

“Setiap  anak  berhak  memperoleh perlindungan  dari  sasaran penganiayaan,   penyiksaan,  atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”.

Pasal 16 ayat (2):

“Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum”.

Pasal 16 ayat (3):

“Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.

14)    Pasal 17 ayat (1):

“Setiap anak yang dirampas kebebasannyaberhak untuk :

a.    mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b.    memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c.    membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum”.

Pasal 17 ayat (2):

“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.

15)    Pasal 18:

“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya” .

16)  Pasal 19:

“Setiap anak berkewajiban untuk :

a.    menghormati orang tua, wali, dan guru;

b.    mencintai keluarga, masyarakat,dan menyayangi teman;

c.    mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d.    menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e.   melaksanakan etika dan akhlak yang mulia”.

e.    Pasal-Pasal dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

1)    Pasal 1 angka 1:

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Pasal 1 angka 2:

“Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia”.

Pasal 1 angka 3:

“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kuloktif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.

Pasal 1 angka 4:

“Penyiksaan adalah setiap perbuatan yangt dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas perbuatan yang dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan itu ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan pejabat publik”.

Pasal 1 angka 5:

“Anak adalah setiap yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

Pasal 1 angka 6:

“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

Pasal 1 angka 7:

“Komisi Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga yang mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia”.

2)    Pasal 2:

“Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan diri manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan”.

3)    Pasal 3 ayat (1):

“Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan”.

Pasal 3 ayat (2):

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum”.

Pasal 3 ayat (3):

“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”.

4)    Pasal 4:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

5)    Pasal 5 ayat (1):

“Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan umum”.

Pasal 5 ayat (2):

“Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak”.

Pasal 5 ayat (3):

“Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.

6)    Pasal 6 ayat (1):

“Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah”.

7)    Pasal 7 ayat (1):

“Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia”.

8)    Pasal 8:

“Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”.

9)    Pasal 9 ayat (1):

“Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.

Pasal 9 ayat (2):

“Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”.

Pasal 9 ayat (3):

“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

10)       Pasal 11:

“Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak”.

11)       Pasal 12:

“Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kwalitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia”.

12)       Pasal 13:

“Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh mamfaat dari ilmu dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia”.

13)       Pasal 14 ayat (1):

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

Pasal 14 ayat (2):

“Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.

14)       Pasal 15:

“Setiap orang berhak untuk memperjuangankan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.

15)       Pasal 16:

“Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebijakan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

16)       Pasal 17:

“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengajuan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

17)       Pasal 18 ayat (1):

“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 18 ayat (2):

“Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya”.

Pasal 18 ayat (3):

“Setiap ada perubahan peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka”.

Pasal 18 ayat (4):

“Setiap orang yang diperiksa berhak mendapat bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.

Pasal 18 ayat (5):

“Setiap orang tidak dapt dituntut untuk kedua kalinya untuk perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.

18)       Pasal 22:

“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannnya itu”.

19)       Pasal 23 ayat (1):

“Setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”.

Pasal 23 ayat (2):

“Setiap orang berhak untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

20)       Pasal 24 ayat (1):

“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat, untuk maksud-maksud damai”.

Pasal 24 ayat (2):

“Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

21)       Pasal 25:

“Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

22)       Pasal 29 ayat (1):

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.

Pasal 29 ayat (2):

“Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi dimana saja dia berada”.

23)       Pasal 30:

“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

24)       Pasal 33 ayat (1):

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.

Pasal 33 ayat (2):

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa”

Hasil evaluasi dari kondisi hukum yang ada dan terkait perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan dari berbagai peraturan tersebut di atas dapat dikemukakan sebagai berikut.

1.    Hak PTK untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas profesinya dalam konsep hukum kewarganegaraan merupakan hak hukum (legal right) yang wajib dipenuhi oleh negara dan/atau para pihak yang telah ditentukan dalam undang-undang.

2.    Dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban PTK secara optimal perlu diberi perlindungan kepada PTK.

3.    Dalam rangka pelaksanaan hak anak secara optimal memerlukan perlindungan kepada anak.

4.    Dalam pelaksanaan hak asasi manusia memerlukan perlindungan terhadap pemilik hak asasi manusia.

5.    Dalam pelaksanaan hak cipta memerlukan perlindungan terhadap pemilik hak cipta.

6.    Pelaksanaan hak dan kewajiban PTK dalam implementasinya seringkali berhadapan dengan pelaksanaan hak anak, hak asasi manusia, dan hak cipta. Dengan demikian pemberian perlindungan terhadap PTK dalam melaksanakan tugas profesinya seringkali pula berhadapan dengan perlindungan anak, hak asasi manusia, dan hak cipta.

Sehubungan dengan uraian nomor 1 sampai dengan 6,  perlu dibentuk peraturan perlindungan PTK yang sinkron dan harmonis dengan perlindungan lainnya sehingga antara perlindungan PTK dan perlidungan lainnya berjalan seiring sehingga terwujud warga negara yang aman, nyaman, dan sejahtera.

C.   Permasalahan Kode Etik dan Perlindungan Hukum

Amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 bahwa, Kode Etik Guru dan Tenaga Kependidikan Berbasis Guru (Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah) antara lain:
a. Organisasi profesi guru mempuntai kewenangan menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
b. kode etik berfungsi menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga professional;
c. kode etik berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan;
d. organisasi profesi guru membentuk dewan kehormatan guru (DKG);
e. keanggotaan serta mekanisne kerja DKG diatur dalam organisasi profesi guru; f. DKG dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru;
g. rekomendasi DKG harus objektif tidak diskriminatif dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan;
h. organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi DKG.

Etika profesi tenaga kependidikan yang berbasis guru berdasarkan etika yang dikembangkan oleh organisasi profesi yang meliputi, 
pertama profesi yang mulia yang meliputi moralitas guru harus terjaga; keunggulan perilaku, akal budi, dan pengabdian. Kedua, pengembangan tugas kemanusiaan, harus mengutamakan kebajikan dan mencegah kehinaan; mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun watak serta budaya. 
Ketiga, profesi dengan ketulusan hati, dengan mengedepankan aspek keandalan kompetensi sebagai sumber daya; mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang utuh.

Etika profesi pengawas sekolah yang meliputi: 
Pertama, dalam melaksanakan tugas senantiasa berlandaskan iman dan taqwa serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 
Kedua, merasa bangsa mengemban tugas sebagai pengawas sekolah. 
Ketiga, memiliki pengabdian yang tinggi dalam melaksanakan tugas sebagai pengawas sekolah. 
Keempat, bekerja dengan penuh tanggung jawqab dalam tugasnya sebagai pengawas sekolah. 
Kelima, menjaga citra dan nama baik selaku Pembina dalamn melaksanakan tugas sebagai pengawas sekolah. Keenam, memiliki disiplin yang tinggi dalam melaksanakan tugas sebagai pengawas sekolah. 
Ketujuh, mampu menampilkan keberadaannya sebagai aparat dan tokoh yang diteladani. 
Kedelapan, sigap dan terampil untuk menanggapi dan membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi aparat binaannya.
Kesembilan, memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi, baik terhadap aparat binaan maupun terhadap sesama pengawas sekolah.

Adapun kode etik PNS meliputi: etika PNS dalam bernegara, etika PNS dalam berorganisasi, etika PNS dalam bermasysrakat, etika PNS terhadap diri sendiri, etika PNS terhadap sesama PNS. Etika PNS dalam bernegara meliputi: melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; mengangkat harkat dan martabat bangsa dan Negara; menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; mentaati semua peraturan prundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugas; akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa; melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku; menjaga informasi yang bersifat rahasia; melaksanakan setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; membangun  etos kerja untuk meningkatkan kinerja organisasi; menjalin kerjasama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang terkait dalam rangka pencapaian tujuan.

Etika PNS dalam berorganisasi meliputi: memiliki kompetensi dalam melaksanakan tugas; patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata kerja; mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka peningkatan kinerja organisasi; berorientasi pada upaya peningkatan kualitas kerja.

Etika PNS dalam bermasyarakat yang meliputi: mewujudkan pola hidup sederhana; memberikan pelayanan dengan empati hormat dan santun tanpa pamrih dan tanpa unsur paksaan; memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif; tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat; berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.

Etika PNS terhadap diri sendiri yang meliputi: jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar; bertuindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan; menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun perorangan; berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilanb dan sikap; memiliki daya juang yang tinggi; memelihara kesehatan jasmani dan rohani; menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga; berpenampilan sederhana, rapih dan sopan.

Etika PNS terhadap sesame PNS meliputi: saling menghormati sesama warga negara yang memeluk agama/kepercayaan yabg berlainan; memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama PNS; saling menghormati antara teman sejawat, baik secara vertikal maupun horizontal dalam suatu unit kerja, instansi, maupun antar instansi; menghargai perbedaan pendapat; menjunjung tinggi harkat dan martabat PNS; menjaga dan menjalin kerjasama yang kooperatif sesama PNS; berhimpun dalam satu wadah KORPRI yang menjamin terwujudnya solidaritas dan soliditas semua PNS dalam memperjuangkan hak-haknya.

Penegakan kode etik PNS meliputi: PNS yang melakukan pelanggaran kode etik dikenakan sanksi; moral; sanksi moral dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh pejabat Pembina Kepegawaian; sanksi moral berupa pernyataan secara tertutup atau pernyataan secara terbuka.; dalam pemberian sanksi moral harus disebujtkan jenis pelanggaran kode etik yabg dilakukan oleh PNS; pejabat pemberi saknsi dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pejabat di lingkungannya Pejabat Struktural Eselon IV; PNS yang melakukan pelanggaran ko de etik selain dikenakan sanksi; moral dapat dikenakan tindakan administrative sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas rekomendasi Majelis Kode Etik.

III.          Kesimpulan  

A.   Kode etik profesi guru di Indonesia disebut dengan istilah Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) adalah norma dan asas yang disepakati serta diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, serta warga negara Republik Indonesia. Kewajibanguru secara umum: menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah atau janji guru; melaksanakan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sedangkan kewajiban guru secara khusus: kewajibannya kepada peserta didik; kewajiban guru kepada orang tua atau wali peserta didik; kewajiban guru terhadap masyarakat; kewajiban guru terhadap teman sejawat; kewajiban guru terhadap profesi; kewajiban guru terhadap organisasi profesi; dan kewajiban guru terhadap pemerintah.

B.   Perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) di Indonesia, sudah terdapat sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan terkait dengan perlindungan PTK, antara lain: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang tentag Hak Kekayaan Intelektual, yang meliputi: Undang-Undang Nomor 28Tahun 2014 tentang Hak Cipta; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten;Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merk. SertaUndang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit.

C.   Permasalahan kode etik profesi guru terdapat dua unsur pokok.Pertama, kode etik profesi guru merupakan landasan moral bagi guru. Kedua, kode etik profesi guru merupakan pedoman bagi guru dalam berperilaku. Sebagai landasan dalam berperilaku bagi kelompok guru, norma pada kode etik profesi guru berisi berbagai petunjuk mengenai bagaimana seharusnya guru bekerja serta berbagai larangan yang harus tidak boleh dilakukan oleh guru ketika bekerja. Perlindungan guru dalam profesinya secara yuridis meliputi: Perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. 1998. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Yarsif Watam;pone.

Rochman, Chaerul dan Heri Gunawan. 2012.Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru: Menjadi Guru yang Dicintai dan Diteladani oleh Siswa. Bandung: Nuansa Cendekia.

Permendiknas Nomor 20 Tahun 2010 tentang Norma, Standar, prosedur dan Kriteria Bidang Pendidikan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Wiyani, Novan  Ardy. 2015. Etika Profesi Keguruan. Yogyakarta: Gava Media.




endangkomarasblog.blogspot.com/2016/08/landasan-hukum-kode-etik-guru-oleh-prof_1.html?m=1