Cari Blog Ini

Minggu, 26 Mei 2019

Nota Pembelaan/Pledoi Penasihat Hukum Dalam Perkara Pidan


Nota Pembelaan/Pledoi Penasihat Hukum Dalam Perkara Pidana No. 744/Pid.B/2015/PN.DPK.

10 Februari 2016   11:56 Diperbarui: 10 Februari 2016   11:56

2713 0 0

 

NOTA PEMBELAAN/PLEIDOI  

PENASEHAT HUKUM

Dalam Perkara Pidana No. 744/Pid.B/2015/PN.DPK.

ATAS NAMA TERDAKWA-TERDAKWA

TERDAKWA I : SAEP BIN (ALM) DAMIRI

TERDAKWA III : MAULANA HAQQI BIN MAHMUD

TERDAKWA V : JUJUN JUNAEDI BIN M. YUSUF

TERDAKWA VII : HERIS RISYANTO BIN (ALM) SUWANDA

TERDAKWA IX : APIP SUTEKNO BIN (ALM) SUWANDA

 

DISAMPAIKAN OLEH

SYUKNI TUMI PENGATA, S.H.

Advokat & Penasehat Hukum

 

LEMBAGA BANTUAN HUKUM

SYUKNI TUMI PENGATA

 

Kantor : Depok Town Square, Lantai UG, Blok US. 7 No. 9, Jalan Margonda Raya 1, Kota Depok.

 

Mempermaklumkan dengan segala hormat,

 

Yang bertanda tangan di bawah ini :

SYUKNI TUMI PENGATA, S.H.,            

Advokat & Penasehat Hukum pada Lembaga Bantuan Hukum Syukni Tumi Pengata, beralamat di Depok Town Square, Lantai UG, Blok US. 7 No. 9, Jalan Margonda Raya No. 1, Kota Depok.

 

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 26 Januari 2016, dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Depok tanggal 26 Januari 2016 No. 11/SK/Pid/2016/PN.DPK, perkenankan kami selaku Penasehat Hukum dari Terdakwa-terdakwa :

 

TERDAKWA I

1. Nama : Saep Bin (Alm) Damiri 
2. Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 03 Maret 1968
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan :Buruh
5. Agama : Islam
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Alamat : Kampung Cipanengah, RT. 09/03, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Lengkong, Sukabumi, Propinsi Jawa Barat
 

TERDAKWA III

1. Nama : Maulana Haqqi Bin Mahmud
2. Tempat/Tanggal Lahir : Subang, 03 Juli 1974
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Buruh
5. Agama : Islam
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Alamat : Jalan Johar, RT. 03/03, Kelurahan Beji Timur, Kecamatan Beji, Kota Depok, Propinsi Jawa Barat
 

TERDAKWA V

1. Nama : Jujun Junaedi Bin M. Yusuf
2. Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 01 Juli 1970
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Petani
5. Agama : Islam
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Alamat : Kampung Cipanengah, RT. 09/03, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Lengkong, Sukabumi, Propinsi Jawa Barat
 

TERDAKWA VII

1. Nama : Heris Risyanto Bin (Alm) Suwanda 
2. Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 08 September 1974
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Wiraswasta
5. Agama : Islam
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Alamat : Kampung Nungku, RT. 012/05, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Lengkong, Sukabumi, Propinsi Jawa Barat
 

TERDAKWA IX

1. Nama : Apip Sutekno Bin (Alm) Suwanda
2. Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 10 Februari 1978
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Karyawan Swasta
5. Agama : Islam
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Alamat : Kampung Nungku, RT. 013/05, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Lengkong, Sukabumi, Propinsi Jawa Barat
 

Dengan ini perkenankan kami selaku Penasehat Hukum dalam perkara ini menjalankan hak kami untuk menyampaikan pembelaan (Pleidoi) atas Surat Tuntutan (Requisitoir) saudara Jaksa Penuntut Umum.

Bahwa Terdakwa-terdakwa telah didakwa oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati :

 

Bahwa surat tuntutan (Requisitoir) Sdr. Jaksa Penuntut Umum telah dibacakan pada persidangan Pengadilan Negeri Depok tanggal 02 Februari 2016 yang terbuka untuk umum, dimana Terdakwa-terdakwa telah dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dan diancam dalam pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP, maka pada kesempatan ini izinkanlah kami selaku Penasehat Hukum dari Terdakwa-terdakwa menyampaikan Pleidoi dengan Judul “KAMI, BURUH YANG DITUMBALKAN KARSA, MANDOR PT. HUTAMA KARYA”, sebagai berikut :

PENDAHULUAN

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kekuatan fisik dan mental kepada kita semua dan pada akhirnya kami selaku Penasehat Hukum dari Terdakwa-terdakwa dapat menyusun dan membacakan Pleidoi ini.

 

Majelis Hakim Yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati :

Pertama-tama izinkanlah kami selaku Penasehat Hukum dari Terdakwa-terdakwa memulai Pleidoi ini dengan penggalan alinea pertama penjelasan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang berbunyi sebagai berikut :

 

“Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.”

 

Karena itulah dasar dedikasi kami selaku Penasehat Hukum dalam menangani perkara ini.

 

Majelis Hakim Yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati :

 

Setelah kami mengikuti dan mengetahui hasil pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan Terdakwa-terdakwa dalam perkara In Casu, kami selaku Penasehat Hukum dari Terdakwa-terdakwa wajib mengemukakan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang masuk akal dan apa yang tidak masuk akal. Karena dengan demikianlah kebenaran baru dapat terungkap dalam persidangan yang terhormat ini.

 

Dalam menegakkan hukum, tujuan kita bersama baik Majelis Hakim Yang Mulia, Penuntut Umum serta kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa-terdakwa adalah sama, yaitu sama-sama mencari kebenaran yang sejati dalam perkara In Casu (Materiil Waarheid), bukan hanya sekedar mencari alat bukti yang dapat menghukum Terdakwa-terdakwa belaka. Hal inilah sesungguhnya yang diminta oleh hukum dan didambakan oleh Terdakwa-terdakwa, keluarga Terdakwa-terdakwa maupun oleh masyarakat luas. Kebenaran sejati itu hanya dapat ditemui dan ditegakkan dalam suatu proses peradilan yang jujur dan adil. Jika tidak demikian, bukan kebenaran sejati yang akan kita peroleh, melainkan potongan-potongan dari kebenaran dan jika dari potongan-potongan kebenaran itu ditarik suatu kesimpulan apalagi dijadikan dasar untuk memutus perkara ini, maka hasilnya akan lebih kejam dari seluruh kebohongan yang ada.

 

Majelis Hakim Yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati :

 

Setelah mendengar dan mempelajari surat tuntutan (Requisitoir) dari Jaksa Penuntut Umum, maka kami selaku Penasehat hukum Terdakwa-terdakwa menyampaikan pembelaan sebagai berikut :

 

Bahwa, asal muasal terjadinya kasus yang menyeret Terdakwa-terdakwa dalam perkara In Casu adalah adanya perintah KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya kepada Terdakwa-terdakwa sebagai buruh-buruh/karyawan yang bekerja di bawah arahan dan pengawasan KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya, sehingga terjadinya peristiwa pidana sebagaimana tertuang dalam Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, menurut kami adanya ketidakjelasan pengertian dan status yang diperankan oleh Terdakwa-terdakwa dimata Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum, bahkan dalam Surat Tuntutannya Sdr. Jaksa Penuntut Umum tidak membahas sama sekali tentang kedudukan KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya yang merupakan Pejabat/Penguasa yang memerintah Terdakwa-terdakwa pada peristiwa pidana, yang kami elaborasi di bawah ini :


KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya memerintah Terdakwa-terdakwa untuk kerja lembur;


KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya memerintah Terdakwa-terdakwa untuk bekerja mengumpulkan besi-besi;


KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya memerintah Terdakwa-terdakwa untuk bekerja mengangkat dan memasukkan besi-besi ke dalam mobil pick up;


KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya memerintah Terdakwa III (Maulana Haqqi) membawa besi-besi tersebut keluar lokasi Proyek Pembangunan Tol Cijago PT. Hutama Karya.


 

 Untuk itu perlu kiranya kami sampaikan dalam pembelaan (Pleidoi) ini, antara lain :

Bahwa, Terdakwa-terdakwa adalah buruh-buruh/karyawan PT. Hutama Karya dalam Proyek Pembangunan Tol Cijago, Jalan Pipa Gas Pertamina, RT. 03, RW. 09, Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, yang bekerja di bawah arahan dan pengawasan KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya;


Bahwa, Terdakwa-terdakwa belum lama bekerja sebagai buruh-buruh/karyawan PT. Hutama Karya dalam Proyek Pembangunan Tol Cijago, Jalan Pipa Gas Pertamina, RT. 03, RW. 09, Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok. Diantaranya :


-          Terdakwa I, baru bekerja 7 (tujuh) hari dalam Proyek Pembangunan Tol Cijago;

-          Terdakwa V, baru bekerja 7 (tujuh) hari dalam Proyek Pembangunan Tol Cijago;

-          Terdakwa VII, baru bekerja 1 (satu) hari dalam Proyek Pembangunan Tol Cijago;

-          Terdakwa IX, baru bekerja 7 (tujuh) hari dalam Proyek Pembangunan Tol Cijago;

 

c.                  Bahwa, semua tindakan  yang dilakukan oleh Terdakwa-terdakwa dalam konteks perkara ini tiada lain mengenai “Ambtelijk bevel” atau mengenai perintah jabatan sebagaimana diatur dalam pasal 51 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :

 

Pasal 51 KUHP :

1.         Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

2.         Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

 

Perkataan “Ambtelijk bevel” atau “perintah jabatan” itu sendiri secara harafiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, dimana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu “ambtelijke positive” atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah[1]. (PAF. Lamintang, Buku ; Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, hlm 534).

 

Menurut pendapat para ahli menyatakan sebagai berikut :

-          Menurut Profesor Simons : “Adalah tidak perlu bahwa perintah itu harus diberikan kepada seorang bawahan saja, melainkan ia juga dapat diberikan kepada orang-orang lain, dan selama perintah seperti itu telah diberikan berdasarkan undang-undang, maka hal dapat dihukumnya perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan perintah tersebut menjadi ditiadakan”[2];

-          Menurut Profesor Pompe : “Dengan perkataan “bawahan” itu yang dimaksudkan adalah setiap orang, kepada siapa suatu perintah itu telah diberikan. Ia tidak perlu berada dalam suatu hubungan yang tetap sebagai bawahan dengan orang yang memberikan perintah, bahkan ia pun tidak harus merupakan seorang pegawai negeri. Akan tetapi hubungan antara orang yang melaksanakan perintah dengan orang yang memberikan perintah tersebut haruslah bersifat hukum publik atau bersifat Publiekrechtelijk”;

-          Menurut Profesor Van Hattum : “Sesuai dengan ketentuan yang antara lain terdapat dalam pasal 525 KUHP, perintah-perintah itu juga dapat diberikan kepada orang-orang yang bukan merupakan orang-orang bawahan. Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila perkataan “bawahan” didalam pasal 51 ayat (2) itu haruslah tidak ditafsirkan secara terlalu sempit, sehingga harus pula dianggap sebagai termasuk ke dalam pengertiannya, setiap orang kepada siapa suatu perintah itu dapat diberikan”

Kesimpulan : Bahwa sudah merupakan suatu communis opinion doctorum, yaitu bahwa perkataan ondergeschikte  atau “bawahan” menurut jabatan, melainkan juga sebagai setiap orang terhadap siapa suatu perintah jabatan itu dapat diberikan, bahkan antara orang yang telah memberikan perintah dengan orang yang telah menerima perintah itu. Maka hal-hal dapat dihukumnya perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan perintah tersebut menjadi ditiadakan.

 

d.     Bahwa, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, Terdakwa-terdakwa menjalankan perintah sebagai bawahan dari KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 KUHP. Oleh karena itu kami  mohon YANG MULIA MAJELIS HAKIM dapat mempertimbangkan dengan bijaksana sehingga perbuatan Terdakwa-terdakwa yang menyebabkan dapat dihukum menjadi ditiadakan.

 

2.      Bahwa, apa yang didakwakan dan pasal yang dinyatakan Jaksa Penuntut Umum sebagai terbukti telah Terdakwa-terdakwa langgar itu adalah semata-mata merupakan kewajiban Terdakwa-terdakwa selaku buruh-buruh/karyawan PT. Hutama Karya dalam Proyek Pembangunan Tol Cijago, Jalan Pipa Gas Pertamina, RT. 03, RW. 09, Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok. Dalam rangka menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya. Jadi secara hukum apa yang dilakukan Terdakwa-terdakwa adalah sesuai dengan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, dalam hal ini adalah KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya. Terlebih Terdakwa-terdakwa tidak sepeser pun menikmati hasil kenikmatan dari perintah KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya sebagaimana apa yang didakwakan dan pasal yang dinyatakan Jaksa Penuntut Umum. Oleh sebab itu, secara yuridis tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan Terdakwa-terdakwa, apalagi perbuatan terlarang pidana seperti yang dituduhkan pada diri Terdakwa-terdakwa dalam perkara ini.

 

3.      Bahwa, dengan dibuktikan adanya perintah dari penguasa yang berwenang yakni KARSA (DPO) sebagai Mandor PT. Hutama Karya sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 KUHP sebagai atasan Terdakwa-terdakwa, maka dapatlah  disimpulkan bahwa secara jujur dan benar untuk kelurusan hukum (rektifikatif) tidak ada sedikitpun terbukti bahwa Terdakwa-terdakwa  telah melakukan dan melanggar ketentuan pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP, sebagaimana telah didakwakan dan dinyatakan terbukti oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Tuntutannya.

 

4.      Bahwa, berdasarkan hal-hal yang telah kami sampaikan tersebut di atas adalah sangat tidak yuridis untuk mempersalahkan Terdakwa-terdakwa telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dinyatakan terbukti dalam Surat Tuntutan tertanggal 02 Februari 2016.

 

Majelis Hakim Yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati :

 

Berdasarkan argumentasi yuridis yang telah kami uraikan di atas, telah cukup dasar bagi kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa-terdakwa memohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia untuk memberikan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

Menyatakan TERDAKWA I, TERDAKWA III, TERDAKWA V, TERDAKWA VII, dan TERDAKWA IX tidak dapat dipidana melakukan tindak pidana yang didakwakan pada dakwaan tunggal pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP, karenanya mohon melepaskan Terdakwa-terdakwa dari segala dakwaan (ontslag van  alle recht vervolging);


Mengembalikan nama baik, harkat dan martabat TERDAKWA I, TERDAKWA III, TERDAKWA V, TERDAKWA VII, dan TERDAKWA IX kepada keadaan semula;


Membebankan segala biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Negara;


Untuk menutup Pleidoi ini, izinkanlah kami mengutip kata-kata Nabi Muhammad SAW  “Menghukum dalam keraguan adalah dosa” dan di dunia hukum juga dikenal dalam keadaan “IN DUBIO PRO REO” adalah “Jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa, yaitu dibebaskan dari dakwaan”, kiranya Majelis Hakim Yang Mulia akan sependapat dengan kami.

 

Depok, 09 Februari 2016

 

Hormat kami,

Untuk dan atas nama Terdakwa-terdakwa

Penasehat Hukumnya,

_______________________

SYUKNI TUMI PENGATA, S.H.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] PAF. Lamintang , Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, hlm 534.
[2] Ibid, hlm 535.


Sabtu, 18 Mei 2019

Penyidikan Bidang Perbankan

Money laundering, atau disebut juga laundering, menurut Black's Law Dictionary 7th Edition adalah:

“the federal crime of transferring illegally obtained money through legitimate persons or accounts so that its original source cannot be traced.”

Di Indonesia, money laundering ini disebut sebagai pencucian uang, dan diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU No. 8/2010”).

Pasal 72 ayat (1) UU No. 8/2010mengatur bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari:

a)     orang yang telah dilaporkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) kepada penyidik;
b)     tersangka; atau
c)     terdakwa.

Pasal 72 ayat (2)UU No. 8/2010 selanjutnya menjelaskan bahwa dalam meminta keterangan di atas, bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lainnya. Jadi, penyidik, penuntut umum atau hakim dalam perkara TPPU dapat meminta keterangan yang diperlukan, tanpa terhambat dengan ketentuan mengenai rahasia bank.

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Beda Kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Selaku Penyelidik dan Penyidik

Mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), pejabat polisi negara RI adalah bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana (lihat pasal 4 jo pasal 6 KUHAP). Jadi, polisi berwenang untuk menjadi penyelidik dan penyidik untuk setiap tindak pidana.

 

Adapun kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan disebutkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”). Berdasarkan pasal 30 UU Kejaksaan, kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan kejaksaan ini contohnya kewenangan yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi ManusiaUU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”)Penjelasan Umum UU Kejaksaanselanjutnya menjelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik diatur dalam UU.

 

Sedangkan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”), kewenangannnya diberikan oleh UU KPK. Berdasarkan pasal 6 UU KPK, bertugas untuk  melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal 11 UU KPK selanjutnya membatasi bahwa kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dibatasi pada tindak pidana korupsi yang:

 

1.      melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

2.      mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3.      menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

 

Kategori perkara sebagaimana disebutkan di atas juga dipertegas dalam Penjelasan Umum UU KPK. Jadi, tidak semua perkara korupsi menjadi kewenangan KPK, tapi terbatas pada perkara-perkara korupsi yang memenuhi syarat-syarat di atas.

 

Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

2.      Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001

3.      Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

4.      Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5.      Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Pemberian Kredit kepada Debitur yang Pernah Macet, Tindak Pidanakah?




Shanti Rachmadsyah, S.H.

Pertanyaan

Saat ini Bank (BUMD) tempat saya bekerja sedang diperiksa kejaksaan karena dugaan penyimpangan pencairan kredit. Saat ini pembayaran angsuran kredit masih "lancar", namun kejaksaan berpendapat kredit diberikan secara tidak cermat dan melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Alasannya, kredit diberikan kepada perusahaan yang pemiliknya pernah menjadi Debitur Macet pada beberapa Bank termasuk Bank kami di masa lalu (saat ini sudah di-write off). Apakah benar riwayat macet tersebut bisa dijadikan alasan untuk mempidanakan pejabat bank maupun debitur, sedangkan unsur "kerugian keuangan negara" belum terjadi?


Powered by: 

Ulasan Lengkap

Menurut pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Pasal 8 ayat (1) UU Perbankanselanjutnya mengatur bahwa dalam memberikan kredit, Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan selanjutnya mengatur bahwa dalam memberikan kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

Penjelasan pasal 8 UU Perbankanmenyebutkan bahwa untuk memperoleh keyakinan atas itikad, kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur, yaitu si perusahaan penerima kredit tersebut.

Selanjutnya dalam pasal 8 ayat (2) UU Perbankan diatur bahwa Bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mencakup:

1.      pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;

2.      bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur;

3.      kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

4.      kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

5.      larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi;

6.      penyelesaian sengketa

Jadi, perlu dilihat apakah dalam pemberian kredit tersebut telah ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan kebijaksanaan perkreditan tersebut. Apabila ternyata dalam pemeriksaan ditemukan bahwa dalam pemberian kredit prosedur yang ada tidak dilakukan dengan benar, maka pengurus bank tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Hal ini sesuai dengan pasal 49 ayat (2) UU Perbankan:

Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:

a)   meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarannya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi Batas kreditnya pada bank;

b)   tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."

Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU No. 1/2004) disebutkan bahwa Kerugian Negara/Daerahadalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Saat ini masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana menentukan kerugian keuangan negara. Pasal 1 angka 22 UU No. 1/2004 memang menyatakan bahwa kerugian negara harus memenuhi unsur-unsur “yang nyata dan pasti jumlahnya”, namun dalam praktik putusan-putusan hakim berbeda-beda mengenai pembuktian unsur-unsur tersebut. Perbedaan tersebut tercermin dalam dua putusan berikut:

1.      Dalam putusan kasus korupsi pada Sisminbakum (Sistim Administrasi Badan Hukum) Kemenhukham dengan terdakwa Romli Atmasasmita, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pertimbangan mengakui angka pasti kerugian negara belum ada, tetapi majelis yakin ada kerugian negara dalam kasus Sisminbakum. Majelis hakim dapat menentukan kerugian negara, tandas majelis dalam pertimbangannya. Pengadilan tingkat pertama memvonis Romlidua tahun penjara.

2.      Dalam putusan kasus korupsi pada Bank Mandiri dengan terdakwa tiga mantan direksi bank BUMN tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pertimbangan berpendapat secara substansi Bank Mandiri tidak mengalami kerugian sehingga negara juga tidak dirugikan. Pendapat majelis ini mengacu pada definisi kerugian negara dalam pasal 1 butir 22 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mensyaratkan adanya kerugian negara yang benar-benar nyata. Kendati dibebaskan di tingkat pertama, namun di tingkat kasasipara mantan direktur Bank Mandiri divonis 10 tahun penjara.

Dari putusan-putusan di atas maka dapat kiranya kami simpulkan bahwa ada-tidaknya kerugian keuangan negara tidak mutlak bersifat nyata dan pasti jumlahnya, karena ada-tidaknya kerugian keuangan negara dapat ditentukan/dihitung majelis hakim selama persidangan.

Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.      Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

2.      Undang-UndangNo. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara



https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c0d92933c6c6/pemberian-kredit-kepada-debitur-yang-pernah-macet-tindak-pidanakah-

Gugatan atas Tindak Pidana Korupsi




Shanti Rachmadsyah, S.H.

Pertanyaan

Dear Bung Pokrol, siapa sajakah yang memiliki wewenang menggugat ahli waris dari terdakwa korupsi yang meninggal dunia (sesuai dengan pasal 34 UU Tipikor)? apakah harus jaksa pengacara negara atau bisa dilakukan oleh advokat biasa? mohon jawaban dan penjelasan. Terima kasih.

Powered by: 

Ulasan Lengkap

Pasal 34 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsimenyatakan:

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Jadi, yang bisa mengajukan gugatan perdata di atas adalah Jaksa Pengacara Negara, atau instansi yang dirugikan. Karena bentuk gugatannya adalah gugatan perdata, maka instansi yang dirugikan tersebut memiliki kebebasan untuk menunjuk siapa yang akan mewakilinya dalam gugatan tersebut. Instansi dapat menunjuk advokat, atau pihak lain yang secara hukum dimungkinkan untuk mewakili instansi tersebut untuk mengajukan gugatan.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai masalah ini, silahkan simak artikel ini.

Demikian jawaban singkat kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi



https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c96d56b25e33/gugatan-atas-tindak-pidana-korupsi

Kerugian Keuangan Negara pada Tindak Pidana Korupsi



Shanti Rachmadsyah, S.H.

Pertanyaan


Pada saat kapan kerugian keuangan negara dalam TPK terjadi, apakah saat tempus delicti atau saat yang lain? Untuk memudahkan saya dalam memahami hal tersebut, saya sampaikan beberapa ilustrasi, sbagai berikut: - kasus pengadaan barang/jasa. Misalnya, pekerjaan belum 100% (baru 55%), tetapi pembayaran sudah 100%. Pertanyaan: apakah kerugian keuangan negara dihitung dengan cara membandingkan antara nilai kontrak dengan nilai realisasi atau apakah dimungkinkan kerugian dihitung berdasarkan uang negara yang keluar yang tidak sah (dasar dokumen pencairan yang fiktif). - Kredit yang diberikan oleh bank. Apakah side streaming (penggunan kredit yang tidak sesuai peruntukkannya) dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi, jika ya, bagaimana perhitungan kerugian keuangan negaranya (asumsi permohonan dan agunan sudah oke)?

Powered by: 

Ulasan Lengkap

Yang menilai/menetapkan adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”). Ini sesuai dengan pasal 10 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”):

“BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”

Kerugian Negara sendiri adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (lihat pasal 1 ayat [15] UU BPK). Penilaian kerugian tersebut dilakukan dengan keputusan BPK (lihat pasal 10 ayat [2] UU BPK).

Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”) juga berwenang untuk menetapkan mengenai adanya kerugian negara. Ini terkait dengan fungsi BPKP yaitu melaksanakan pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan (lihat pasal 52 Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen)

Jadi, yang menilai/menetapkan kerugian negara, adalah BPK dan BPKP. Adapun perhitungan kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat per kasus. Dalam kasus yang Anda tanyakan, di mana pembayaran sudah terjadi 100% padahal pekerjaannya baru selesai 55%, dan pencairan pembayaran dilakukan atas dasar dokumen fiktif, maka di sini terjadi pencairan secara melawan hukum. Yang dihitung menjadi kerugian negara adalah besarnya pencairan yang terjadi secara melawan hukum tersebut, yaitu 45%.

Side streaming adalah istilah lain dari perbuatan penyalahgunaan fasilitas kredit yang didapatkan dari perbankan. Jadi, penggunaan kredit yang telah diperoleh tidak sesuai dengan peruntukan awalnya. Contohnya pada kasus Akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana Pensiunan Angkasa Pura II, Bank Mandiri Syariah dengan PT Sari Indo Prima. PT Sari Indo Primamenggunakan uang yang diperoleh dari akad yang diperolehnya dari Bank Syariah Mandiri yang semula diperuntukkan untuk biaya pengembangan usaha pembuatan karung, tapi digunakan untuk membayar cicilan kredit lain pada Bank Mandiri Syariah. Selengkapnya bisa Anda lihat dalam artikel ini.

Pada praktek side streaming, nasabah menggunakan kredit yang telah diperolehnya dari bank untuk peruntukan lain daripada yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit. Artinya, nasabah melakukan pelanggaran terhadap objek perjanjian, karena menggunakan kredit tidak sesuai perjanjian awalnya. Ini menimbulkan resiko adanya kredit bermasalah (Non Performing Loan), yang bisa berujung pada kegagalan nasabah dalam melakukan pembayaran utangnya pada Bank.

Pemidanaan terhadap Non Performing Loan memang masih menjadi perdebatan. Menurut pakar hukum perbankan, Sutan Remy SjahdeiniNon Performing Loan yang terjadi karena penyalahgunaan kredit oleh nasabah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Lain lagi pendapat dari praktisi hukum Frans Hendra Winata, yang berpendapat bahwa persoalan kredit macet adalah kasus perdata murni dan tidak memenuhi unsur korupsi. Selanjutnya bisa anda baca dalam artikel ini.

Dalam prakteknya, beberapa kasus Non Performing Loan karena penyalahgunaan kredit yang terjadi pada bank milik pemerintah kemudian ditindaklanjuti dengan pengusutan kasus korupsi. Ini karena diduga telah terjadi tindak pidana korupsi di dalamnya. Contohnya pada kasus penyalahgunaan kredit Bank Mandiri oleh PLTU Sampit, yang bisa Anda baca dalam artikel ini.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.      Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

2.      Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen





https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3514/kerugian-keuangan-negara-pada-tindak-pidana-korupsi

Perbuatan Melawan Hukum dalam Gugatan Pelaksanaan Lelang di KPKNL




Perbuatan Melawan Hukum dalam Gugatan Pelaksanaan Lelang di KPKNL


Abdul Khalim*


Keberadaan lelang sebagai fungsi publik maupun privat sangat dibutuhkan. Pelaksanan lelang sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor  93/PMK.06/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor  106/PMK.06/2013 telah memberikan kewenangan kepada KPKNL dalam melaksanakan yang sangat luas termasuk diantaranya lelang eksekusi.

Dalam pelaksanaan lelang khususnya lelang eksekusi, potensi gugatan sangat tinggi. Total gugatan yang masuk ke DJKN/KPKNL (berdasarkan Buletin Media Kekayaan Negara Edisi No.14 Tahun IV/2013) adalah 2.458 dan 1.500 lebih  adalah gugatan dari lelang eksekusi Pasal 6 Hak Tanggungan. Gugatan/Bantahan itu tersendiri diajukan sebelum pelaksanaan lelang dan pascalelang. Gugatan sebelum pelaksanaan lelang dimaksudkan oleh penggugat untuk menunda pelaksanaan lelang. Dan gugatan/bantahan pasca lelang sangat beragam motif yang melatarbelakanginya.

Gugatan secara umum muncul ketika terjadi ketidakpuasan seseorang. Sebagai Negara hukum/rechtstaat, setiap warga Negara yang merasa hak-haknya terlanggar, berhak untuk mengajukan gugatan/bantahan kepada pengadilan sebagai saluran haknya yang terlanggar. Gugatan terhadap pelaksanaan lelang sebagian besar karena perbuatan melawan hukum (PMH).

Penelitian yang dilakukan oleh Purnama Sianturi tahun 2008, ada beberapa karakteristik gugatan perbuatan melawan hukum dalam lelang, antara lain terkait:

Gugatan atas dasar kesalahan/kelalaian debitor sehubungn dengan kepemilikan debitor atas barang jaminan meliputi perbuatan mengenai harta bersama, harta warisan, jaminan milik pihak ketiga;


Gugatan atas dasar kesalahan/kelalaian debitor dengan persyaratan dalam hubungan perjanjian kredit meliputi perbuatan mengenai pengikatan/perjanjian yang cacat/tidak sah, hak tanggungan;


Gugatan atas dasar kesalahan/kelalaian institusi/lembaga eksekusi, selaku kuasa undang-undang dari kreditor (Pengadilan Negeri, PUPN) meliputi perbuatan mengenai paksa/penyitaan/SP3N/Pemblokiran;


Gugatan atas dasar kesalahan/kelalaian sehubungan dengan pelaksanaan lelang dan akibat dari lelang meliputi perbuatan pelelangan, harga tidak wajar, pengosongan.


Gugatan atas dasar kesalahan/kelalaian lain-lain.


Masih menurut Purnama Sianturi7), pihak penggugat adalah orang/badan hukum yang kepentingannya berupa kepemilikan atas barang objek lelang dirugikan oleh pelaksanaan lelang diantaranya:

Debitor yang menjadi pokok perkaranya adalah terkait harga lelang yang terlalu rendah, pelaksanaan lelang atas kredit macet dilaksanakan sebelum jatuh tempo perjanjian kredit, tata cara/prosedur pelaksanaan lelang yang tidak tepat, misalnya pemberitahuan lelang yang tidak tepat waktu, pengumuman tidak sesuai prosedur dan lain-lain;


Pihak ketiga pemilik barang baik yang terlibat langsung dalam penandatanganan perjanjian kredit ataupun murni sebagai penjamin hutang yang menjadi pokok perkaranya adalah pada pokoknya hampir sama dengan debitur yaitu harga lelang yang terlalu rendah/jika yang dilelang barang jaminannya sendiri, pelaksanaan lelang atas kredit macet dilaksanakan sebelum jatuh tempo perjanjian kredit;


Ahli waris terkait masalah harta waris, proses penjaminan yang tidak sah;


Salah satu pihak dalam perkawinan, terkait masalah harta bersama, proses penjaminan yang tidak sah;


Pembeli lelang terkait hak pembeli lelang untuk dapat menguasai barang yang telah dibeli/pengosongan.


Adapun pihak tergugat diantaranya bank kreditor, PUPN, Kantor Lelang, pembeli lelang, debitor yang menjaminkan barang, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang termuat dalam dhukumen persyaratan lelang, antara lain, kantor pertanahan yang menerbitkan sertifikat, notaris yang mengadakan pengikatan jaminan.


Dalam banyak kasus gugatan terhadap pelaksanaan lelang, yang menjadi petitum penggugat adalah perbuatan melawan hukum (PMH). Tuntutan/petitum yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya pada intinya adalah gugatan perbuatan melawan hukum (PMH). Menurut Wirjono Prodjodikoro, perbuatan melawan hukum adalah tidak hanya perbuatan yang langsung melanggar hukum, melainkan juga perbuatan yang secara langsung melanggar kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun yang secara tidak langsung juga melanggar hukum.8

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1365 KUHPerdata disebutkan bahwa: “tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah menimbulkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.” Berdasarkan rumusan pasal tersebut, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur yaitu:
1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig);
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
3. Perbuatan itu harus itu dilakukan dengan kesalahan;
4. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

Sedangkan menurut Munir Fuady, Perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya suatu perbuatan;
Perbuatan yang dimaksud adalah aktif yaitu berbuat sesuatu ataupun pasif yaitu tidak berbuat sesuatu padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk melakukannya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari pelaksanaan suatu kontrak),11 sehingga terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” atau tidak ada unsur “causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak.  Perbuatan yang dilakukan semata-mata kehendak pribadi yang bersangkutan dan melawan hukum, melanggar kesusilaan, kesopanan, keagamaan yang berakibat kerugian pada pihak lain dan dalam skala luas menimbulkan kegoncangan pada individu/masyarakat.

2. Perbuatan tersebut melawan hukum;
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919,12  unsur melawan hukum diartikan dengan seluas-luasnya, yaitu terkait dengan pelaksanaan lelang Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam lelang mencakup pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas dan sempit. Gugatan kebanyakan didasarkan pada PMH karena melanggar suatu peraturan hukum. Setiap kegiatan dalam prosedur lelang mempunyai aturan yang menjadi dasar hukumnya, karenanya perbuatan melawan hukum yang berhubungan dengan dokumen persyaratan lelang, dapat diartikan perbuatan melawan hukum dalam pengertian sempit, karena langsung melanggar suatu peraturan hukum tertulis, sebagai akibat cacat hukum dalam pembuatan dhukumen persyaratan lelang yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Gugatan perkara dalam lelang, yang didasarkan PMH dalam pengertian luas, misalnya harga yang terbentuk menurut penggugat terlalu rendah/tidak realistis sehingga bertentangan dengan kepatutan dan melanggar hak pemilik barang serta bertentangan dengan kewajiban hukum si penjual untuk mengoptimalkan harga jual lelang, yang akhirnya bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.

3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
Agar dapat dikenakan pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (sculdelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada pasal 1365 KUHPerdata. Jikapun dalam hal tertentu dibelakukan tanggung jawab tanpa kesalah tersebut (strict liability), hal tersebut tidaklah didasari atas padal 1365 KUHPerdata, tetapi didasarkan kepada undang-undang lain. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya jika memenuhi:
a. Ada unsur kesengajaan;
b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardiging-grond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

Sebagai konsekuensi atas unsur kesalahan dan melawan hukum tersebut diatas, haruskah bersifat akumulatif ataukah cukup salah satu saja? Hal ini ada tiga aliran yang berkembang sebagai berikut:
a. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melawan hukum saja;
b. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur kesalahan saja;
c. Aliran yang menyatakan diperlukan akumulasi, baik unsur melawan hukum maupun kesalahan.

Dalam gugatan perkara perbuatan melawan hukum dalam lelang pengggugat selalu mendalilkan adanya kesalahan dalam pembuatan dokumen persyaratan lelang atau dalam pelaksanaan lelang, baik karena kealpaan maupun kesengajaan, yang mengakibatkan kerugian si penggugat. Tergugat dipesalahkan atas kerugian yang ditimbulkannya, oleh karenanya si tergugat harus mempertanggungjawabkannya.

4. Adanya kerugian bagi korban;
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenai kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan  hukum disamping kerugian materiil, yurispridensi juga mengakui konsep kerugian immaterial, yang juga akan dinilai dengan uang.

Bahwa di dalam lelang bentuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum lebih diutamakan dalam petitum minta putusan hakim bahwa perbuatan lelang adalah perbuatan melawan hukum (PMH), kemudian pemulihan pada keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa) dan uang. Gugatan PMH dalam lelang lebih dominan menekankan penyebutan tindakan lelang sebagai PMH, bukan pada pemberian ganti rugi. Tuntutan ganti rugi dalam bentuk uang meliputi ganti rugi materiil dan immaterial (moril). Ganti rugi materiil antara lain, kerugian yang timbul sebesar selisih harga barang yang wajar dengan harga barang pada saat barang dijual, biaya yang dikeluarkan penggugat mengurus perkara. Kerugian immaterial (moril) antara lain berupa kerugian yang timbul karena pengumuman lelang telah menjatuhkan harga diri, kerugian yang timbul karena pelaksanaan lelang telah menjatuhkan harga diri dan mencemarkan nama baik.

5. Adanya hubungan klausal antara perbuatan dengan kerugian.
Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang diderita juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada dua macam teori, yaitu teori faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (caudation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya dan sering disebut dengan istilah but for atau sine qua non.

Teori yang kedua adalah konsep “sebab kira-kira” atau proximate causa merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan  pendapat  dalam  hukum  tentang  perbuatan  melawan hukum dan sering juga disebut dengan istilah legal causa.

Jika gugatan perbuatan melawan hukum berhubungan dengan perbuatan yang tidak langsung menyatakan pelelangan sebagai perbuatan melawan hukum, maka petitum dan amar putusan lebih dulu menyatakan perbuatan tersebut, misalnya pengikatan, penyitaan, perjanjian kredit, jumlah hutang, sebagai perbuatan melawan hukum, kemudian baru menyatakan pelelangan sebagai perbuatan melawan hukum, karena merupakan tindak lanjut dari perbuatan-perbuatan  yang sebelumnya, yang telah dinyatakan cacat hukum.

Kebutuhan akan lembaga lelang, salah satunya untuk memenuhi atau melaksanakan putusan peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan undang-undang dalam rangka penegakan hukum (law enforcement). Lelang menciptakan nilai dari suatu barang yang menjadi objek sengketa dalam suatu objek putusan peradilan atau barang jaminan yang menjadi objek dalam suatu sengketa berdasarkan undang-undang seperti penyelesaian kredit macet oleh lembaga penyelesaian kredit macet oleh Pengadilan Negeri atau Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

Dalam lelang eksekusi, penjual tidak langsung sebagai pemilik barang, tetapi dilakukan oleh kareda adanya kuasa undang-undang dalam hal ini Pengadilan Negeri atau Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) atau bank kreditor. Kuasa tersebut diberikan berdasarkan Undang-undang, bukan berdasarkan kesukarelaan pemilik barang, karenanya penjualan lelang bukan kesukarelaan  pemilik  barang,  sehigga seringkali timbul gugatan dari pemilik barang, baik oleh debitor pemilik barang maupun pihak ketiga pemilik barang.

Hukum hanya memungkinkan pihak-pihak yang dirugikan haknya dengan adanya perbuatan jual beli lelang yang dilaksanakan melalui kantor lelang, dapat mempertahankan hak/kepentingannya dengan mengajukan gugatan ke pengadilan,19  dengan harapan pengadilan akan memberikan hukum atas sengketa yang dihadapinya.

Putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan baik tingkat pertama atau banding ataupun tingkat kasasi kebanyakan terkait PMH dalam arti luas. Pertimbangan hakim terkait PMH dalam arti luas karena melanggar hak termohon lelang/pemilik barang dan harga yang tidak objektif dan tidak realistis/terlalu rendah sehingga bertentangan dengan kepatutan serta kewajiban hukum si penjual untuk mengoptimalkan harga jual lelang, yang akhirnya bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. Dalam berbagai putusan, dengan dikabulkannya petitum penggugat terkait PMH dalam arti luas yaitu pelaksanaan lelang melanggar hukum namun lembaga peradilan tidak serta merta menyatakan risalah lelang batal demi hukum atau bahkan pelaksanaan lelang sendiri batal demi hukum.

Dalam salah satu putusan hakim, pertimbangan hakim dengan menyatakan perbuatan tergugat KPKNL yang telah melaksanakan lelang adalah sebagai perbuatan melawan hukum yaitu terkait harga yang terbentuk dari lelang terlalu rendah/dibawah harga pasaran. Implikasinya dari putusan tersebut adalah, yaitu:

Barang kembali kepada sisi semula/dalam kepemilikan si penggugat/debitor, maka otomotis hak pembeli lelang atas objek lelang akan berakhir;


Bank kreditor tidak berhak atas pemenuhan perjanjian kredit atau kewajiban-kewajiban tereksekusi lelang atas barang objek lelang, barang kembali ke dalam status barang jaminan. Terjadi penundaan untuk memperoleh pemenuhan perjanjian kredit dari pihak debitor;


Terhadap pembeli lelang, implikasinya berupa hak pembeli lelang tidak dilindungi oleh hukum yaitu berupa hak-hak yang melekat atas hak atas objek lelang yang dibelinya tidak dapat dinikmati.


Putusan hakim yang menyatakan perbuatan pelelangan yang dilaksanakan KPKNL adalah sebagai perbuatan melawan hukum ini sangat menarik terkait argumentasi hakim yang menyatakan bahwa perbuatan lelang adalah perbuatan melawan hukum dikaitkan dengan harga lelang yang terlalu rendah dari harga pasaran. Beberapa alasan tersebut adalah:
1. Lelang adalah mekanisme pasar. Dalam pembentukan harga semata-mata ditentukan oleh mekanisme adanya permintaan dan penawaran. Sementara kewenangan menetapkan nilai limit ada pada pihak penjual.21  Pejabat lelang adalah sebagai agen dari penjual yang mempertemukan dengan pembeli. Harga yang terbentuk pada saat lelang tanpa ada campur tangan dari Pejabat Lelang. Bahkan ketika harga yang ditawarkan oleh penjual menurut pembeli terlalu mahal, sehingga peminat lelang tidak mampu menawarkan minimal dari nilai limit pelaksanaan lelang harus ditunda dan tidak boleh dipaksakan untuk dilepas. Kecuali dalam lelang noneksekusi sukarela berupa barang bergerak yang tidak mencantumkan nilai limit.22

2. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, Pejabat Lelang tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan. Lelang yang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang adalah by order, artinya harus ada permohonan dari pihak pemohon/penjual. Kondisi ini menjadi menarik ketika lelang yang dilaksanakan ternyata nilai limit yang ditetapkan penjual yang tidak bisa dikontrol oleh Pejabat Lelang, ternyata di bawah nilai pasar yang berlaku. Kewajiban melaksanakan lelang berhadapan dengan potensi akan ada gugatan pasca lelang.

3. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.06/2013 yang merupakan perubahan dari PMK Nomor 93/PMK.06/2010 memberikan kontruksi hukum terkait nilai limit khususnya terkait lelang eksekusi atas barang tetap berupa tanah /dan bangunan sebagai berikut:
a. Penetapan nilai limit, berdasarkan:

Penilaian oleh penilai; dalam pengertian penilai independen atau berdasarkan kompetensi yang dimiliknya. Pada intinya berupa orang pribadi atau perusahaan yang berada diluar pemilik barang/pemilik jaminan yang dijamin kenetralannya dan professional dalam melaksanakan tugas penilaian serta tidak ada konflik kepentingan dengan barang yang dinilainya.


penaksiran oleh penaksir/tim penaksir. Berasal dari intern pemohon lelang/pemilik barang.


b. Nilai Limit pada Lelang Noneksekusi Sukarela atas barang tetap berupa tanah dan/atau bangunan ditetapkan oleh Pemilik Barang, berdasarkan hasil penilaian dari penilai.
c. Dalam hal bank kreditor akan ikut menjadi peserta pada Lelang Eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, Nilai Limit harus ditetapkan oleh Penjual berdasarkan hasil penilaian dari penilai.
d. Dalam hal Lelang Eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT dengan Nilai Limit paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), Nilai Limit harus ditetapkan oleh Penjual berdasarkan hasil penilaian dari penilai.

Pengaturan terkait nilai limit tersebut diatas sangat menarik yaitu antara lain:

Diharapkan dapat lebih memberi perlindungan hukum kepada pembeli selaku pembeli yang beritikad baik membeli barang melalui penjualan umum;


Sebagai guidance/petunjuk yang lebih pasti bagi pejabat lelang dalam memimpin lelang terkait harga yang ditetapkan penjual. Walaupun tetap tidak menutup kemungkinan sama sekali bagi yang merasa haknya telah dilanggar untuk mengajukan gugatan;23


Petunjuk yang jelas bagi penjual agar dalam menentukan nilai limitnya dengan memperhatikan asas kepatutan/kewajaran. Karena selama ini ada indikasi, pihak bank kreditur dalam memohon lelang ada indikasi menjual hutang dan bukan berusaha  mencari kewajaran  harga  barang yang dijual.24


Dalam lelang hak tanggungan Pasal 6 UUHT ketika kreditur pemegang hak tanggungan akan mengikuti lelang berapun harganya ataupun terkait nilai objek yang akan dilelang minimal Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)  wajib dengan penilai independen. Pengaturan ini sangat menarik karena selama ini potensi gugatan dari lelang eksekusi hak tanggungan Pasal 6 UUHT menduduki peringkat tertinggi nasional dalam gugatan yang harus dihadapi oleh KPKNL di seluruh Indonesia. Pejabat Lelang Kelas I/KPKNL sebagai agen dari penjual sering direpotkan oleh pihak penjual dengan seringnya  beracara di Pengadilan karena adanya gugatan lelang eksekusi hak tanggungan Pasal 6 UUHT ini.


Nilai Limit pada Lelang Noneksekusi Sukarela atas barang tetap berupa tanah dan/atau bangunan ditetapkan oleh Pemilik Barang, berdasarkan hasil penilaian dari penilai. Hal ini juga sangat menarik karena dalam lelang non eksekusi Noneksekusi Sukarela atas barang tetap yang sering terjadi disinyalir adanya penyelundupan pajak.25  Terutama lelang yang dilaksanakan oleh pejabat lelang kelas II/balai lelang. Harga yang terbentuk dalam lelang jauh di bawah harga pasaran yang penting telah diatas nilai limit. Penetan nilai limit oleh penjual sebelum pengaturan nilai limit oleh PMK 103/PMK.06/2013 ada indiksasi penyelundupan pajak. Hal ini bisa terjadi karena adanya itikad yang tidak baik antara pejabat lelang kelas II dengan penjual serta pembeli melalui penetapan nilai limit serendah mungkin. Harga yang dicatumkan tidak sesuai dengan nilai rupiah yang dibayarkan pembeli yang sesungguhnya. Namun demikian pengaturan ini menurut penulis juga menjadi buah simalakama, keinginan kita untuk memasarkan lelang melalui lelang sukarela menjadi sedikit terhambat. Ada beberapa alasan, yaitu:


a. Biaya appraisal yang relative mahal;
b. Barang yang ditawarkan belum mesti terjual sementara biaya appraisal sudah dikeluarkan;
c. Kemandirian penjual tereduksi dengan pengaturan ini. Dalam jual beli pada prinsip adalah penjual berhak mengalihkan berapapun nilainya, pengaturan nilai limit menjadi domain privat sehingga kurang pas kalau pemerintah ikut mencampurinya. Terkait adanya pengaturan penyelundupan pajak tidaklah bisa menjadi acuan karena ketika pengumuman lelang dilaksanakan dengan baik harga yang tinggi diharapkan dapat terlaksana. Walaupun dalam praktek (lelang sukarela), kita tidak bisa menafikan
adanya praktek manipulasi harga. Kondisi inipun terjadi juga dalam jual beli di notaris.

Penutup

Gugatan terhadap pelaksanaan lelang hal yang niscaya dapat dihadapi oleh KPKNL/DJKN. Perkembangan dewasa ini, gugatan lelang terkait perbuatan melawan hukum (MPH) telah mengalami perluasan makna yang lebih kompleks. Sebagai bentuk antisipasi atas potensi gugatan (PMH) atas pelaksanaan lelang Pemerintah/KP DJKN telah mengeluarkan regulasi terutama terkait penetapan nilai limit yang diharapkan dapat meminimisir  gugatan lelang. Namun demikian, Pejabat lelang sebagai Pejabat Fungsional penguasaan dan kelengkapan dokumen pelaksanaan lelang mutlak harus dipenuhi. Keyakinan Pejabat lelang atas legalitas subjek dan objek lelang yang didasarkan pada fakta hukum sangat diperlukan. Pejabat lelang harus meneliti dan melengkapi dokumen persyaratan lelang dengan baik dan benar.

KP DJKN hendaknya terus melakukan pembinaan kepada pejabat lelang khususnya dan pegawai pada umumnya yang terkait dengan pelaksanaan lelang. Bedah kasus/gelar perkara pada KPKNL dengan asistensi dari Kanwil dalam perkara yang dihadapi yang ada  kompleksitasnya perlu dilakukan. Tata kelola persuratan yang terkait dokumen pelaksanaan lelang mutlak diperlukan dalam mempersiapkan pra lelang dan pasca lelang. Tidak hanya lengkap namun rapi.

Catatan kaki:

Peraturan Perundangan yang mangatur tentang pelaksanaan lelang sebagai tindak lanjut putusan suatu peraturan perundang-undangan antara lain: UU nomor : 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah yang kependekannya disebut Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) antara lain dalam pasal 6, UU nomor:42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUF) pasal 15 ayat (3), UU nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dalam pasal 48 ayat (1), Undang-undang nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 19 Tahun 2000, UU nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara Pasal 10 dan 13, UU nomor 8 Tahun 1980 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 45 dan 273 dan peraturan perundangan lainnya.


Pelaksanaan lelang yang dilaksanakan oleh KPKNL/Pejabat Lelang Kelas I adalah semua jenis lelang atas permohonan penjual/pemilik barang vide pasal 8 ayat (2) PMK Nomor 93/PMK.06/2010 sedangkan Pejabat Lelas Kelas II berwenang melaksanakan lelang noneksekusi sukarela atas permohonan balai lelang atau penjual/pemilik barang vide pasal 8 ayat (3)


Data Media Kekayaan Negara Edisi No.14 Tahun IV/2013


Berdasarkan vide pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor:93/PMK.06/2010 jo. PMK Nomor:106/PMK.06/2013, lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan permintaan Penjual atau penetapan provisional atau putusan dari lembaga peradilan umum. Dalam pasal 25 ayat (1) disebutkan bahwa Pembatalan lelang dengan putusan/penetapan pengadilan disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh pejabat lelang paling lama sebelum lelang dimulai. Ayat (2), pembatalan tersebutharus diumumkan oleh penjual dan pejabat lelang kepada peserta lelang pada saat pelaksanaan lelang.


Ide dasar Negara hukum Indonesia harus ada syarat-syarat utamanya,yaitu:


Asas legalitas, yaitu setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan;


Pembagian kekuasaan, yang berarti kekuasaan Negara tidak boleh hanya tertumpu pada satu tangan;


Hak-hak dasar yang merupakan sasaran perlingunan hukum bagi rakyat, da sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang;


Tersedianya saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindahk pemerintah.


(Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung,  Penerbit CV Mandar Maju, Cetakan Kedua, 2012, hal.75)
6). Purnama Sianturi, Perlindungan Hukum terhadap pembeli barang Jaminan tidak bergerak melalui lelang
Bandung,  Penerbit CV Mandar Maju, 2008
7). Ibid
8). Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung,  Penerbit CV Mandar Maju, 2000, hal.6-7
9). Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, op.cit hal.252
10).  Munir Fuadi, Perbuatan Melawan Hukum-Pendekatan Kontemporer, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2013, hal.10
11).  Ibid hal.10-11
 12). Bermula dari negeri Belanda dengan mengartikan perkataan “melawan hukum” bukan hanya untuk untuk pelanggaran perundang-undangan tertulis semata-mata, melainkan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Perluasan makna tersebut bermula dari putusan Hoge Raad pada kasus Lindenbaum versus Cohen pada tanggal 31 Januari 1919, Munir Fuadi ibid hal.6 
13).  Ibid hal.11
14).  Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa penegakan hukum lingkungan meliputi penggunaan instrument dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administratif, hukum perdata, dan hukum pidana dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Penegakan hukum lingkungan didasarkan pada tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) berdasarkan UU dan semua subjek hukum, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat mengajukan tuntutan/pemenuhan kewajiban ke subjek hukum lain sesuai dengan jenis pelanggarannya, lihat Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2011, hal.207-266
15) opcit Munir FuadiI hal.12

16). ibid Munir FuadiI hal.13

17).  Mengenai bentuk gugatan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum, menurut Mariam Darus Badrulzaman dapat berupa:
1. Uang dan dapat dengan uang pemaksa.
2. Pemulihan pada keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa).
3. Larangn untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang pemaksa).
4. Dapat minta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan hukum
(sebagaimana dikutip Purnama Sianturi, Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, op.cit. hal.164)
 18) Ibid hal.13-14
 19). Salah satu ciri Negara hukum, adalah tersedianya saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintah, lihat Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cetakan Kedua, Bandung,  Penerbit CV Mandar Maju, 2012, hal.75
20).  Putusan Perkara PN Kelas IA Jakarta Selatan No.:92/PDT.G/ 2012/PN. Jkt.Sel perkara yang ditangani oleh KPKNL Serpong
21).  Pasal 35 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 93/PMK.06/2010 menyatakan bahwa Penetapan Nilai Limit menjadi tanggung jawab Penjual/Pemilik Barang.
22).  Pasal 35 ayat (3) PMK Nomor 93/PMK.06/2010
23).  Ide dasar Negara hukum Indonesia harus ada syarat-syarat utamanya salah satunya adalah tersedianya saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindahk pemerintah.Salah satu ciri Negara hukum adalah Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, op.cit hal.75. Dalam lelang, apalagi lelang eksekusi potensi gugatan sangat besar. Potensi gugatan yang besar dapat diminimalisir dengan pengaturan terkait lelang yang lebih baik agar ketika beracara pembeli lelang dapat dilindungi oleh hukum (penjelasan tambahan penulis). 
24).  Hal ini diperkuat dengan penjelasan dari beberapa pejabat lelang bahwa dalam praktek ada indikasi penjual hanya sekedar menjual hutang bukan mencairkan barang dengan harga yang wajar.
25).  Hal ini diperkuat dengan penjelasan dari beberapa pejabat lelang. Dalam praktek ada indikasi penjual hanya sekedar menjual/mengalihkan hutang bukan mencairkan barang dengan harga yang wajar.

Daftar Pustaka:

1. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia
2. Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia;
3. Munir Fuadi, Perbuatan Melawan Hukum-Pendekatan Kontemporer, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2013
4. Purnama Sianturi, Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang;
5. Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia;
6. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum;
7. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.06/2013 yang merupakan perubahan dari PMK Nomor 93/PMK.06/2010;
8. Media Kekayaan Negara Edisi No.14 Tahun IV/2013.

Jayapura, 14 April 2014

*)Kepala Seksi Informasi, Bidang KIHI Kanwil Papua dan Maluku.
Tulisan ini merupakan opini pribadi berdasarkan literatur yang dibaca penulis.

Upaya Hukum Jika Tereksekusi Masih Kuasai Fisik Barang Lelang

Permasalahan seorang tereksekusi lelang masih menempati atau menguasai fisik atas barang lelang memang sering terjadi. Untuk itu, sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 200 ayat (11) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 218 ayat (2) Rechtsreglementvoor de Buitengewesten (“RBG”), maka dalam hal tereksekusi enggan untuk meninggalkan barang (barang tidak bergerak) yang telah dijual lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri setempat memerintahkan Juru Sita, agar barang tersebut dapat ditinggalkan dan dikosongkan oleh si tereksekusi.

Permohonan eksekusi riil bukanlah melalui gugatan perdata. Permohonan tersebut cukup diajukan secara lisan, maupun secara tertulis, yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Atas permohonan tersebut, kemudian Ketua Pengadilan Negeri akan menindaklanjutinya dengan melakukan Aanmaning (peringatan). Yang dimaksud dengan Aanmaningadalah pemanggilan kepada tereksekusi tersebut untuk menghadiri sebuah sidang insidentil, yang mana dalam persidangan tersebut tereksekusi diperingatkan untuk mengosongkan barang lelang secara sukarela. Dalam hal tereksekusi tersebut tidak keluar dari barang lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri setempat akan mengeluarkan penetapan, yaitu berupa perintah kepada Juru Sita pada Pengadilan Negeri setempat untuk mengeluarkan si tereksekusi tersebut dari barang lelang dengan paksa, dan bila perlu dengan bantuan polisi. Setelah eksekusi pengosongan tersebut selesai dilaksanakan, maka Juru Sita akan menyerahkan penguasaan barang tersebut kepada pembeli. Atas eksekusi pengosongan tersebut, maka Juru Sita diwajibkan untuk membuat sebuah berita acara eksekusi yang ditandatangani oleh Juru Sita dan dua orang saksi.

Demikian jawaban dan penjelasan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terima kasih.

 

Dasar hukum:

1.      Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227);

2.      Herzien Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44);





https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5827/konsep-lelang/

Pahami Bentuk-Bentuk Wanprestasi atau Ingkar Janji

Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti adalah sebagai berikut:


I. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan

Misalnya, A dan B sepakat melakukan jual beli sepeda. A sudah menyerahkan sejumlah uang untuk pembayaran sepeda, tapi B tidak juga menyerahkan sepeda miliknya kepada A. Sebab sepeda tersebut sudah dijualnya ke orang lain. Dalam hal ini B telah wanprestasi karena dia tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan yaitu menyerahkan sepedanya kepada A sebagaimana yang sudah disepakati/diperjanjikan.


II. Melakukan apa yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan

Misalnya, A dan B sepakat melakukan jual beli kursi. A memesan/membeli kursi berwarna biru dari B. tapi yang dikirim atau yang diserahkan B bukan kursi warna biru tapi warna hitam. Dalam hal ini B sudah wanprestasi karena melakukan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya.


III. Melakukan apa yang sudah diperjanjikan tapi terlambat

Misalnya A membeli sepeda dari B, dan B berjanji akan menyerahkan sepeda yang dibeli A tersebut pada tanggal 1 May 2010 tapi faktanya B malah menyerahkan sepeda tersebut kepada A tanggal 10 May 2010 yang artinya sudah telat 9 hari dari yang diperjanjikan. Dalam hal ini B sudah wanprestasi yaitu melakukan apa yang sudah diperjanjikan tapi terlambat.


IV. Melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan

Misalnya A menyewakan rumahnya kepada B, di dalam perjanjian sewa disepakati bahwa B dilarang menyewakan lagi rumah A tersebut ke orang lain. faktanya B menyewakan rumah A yang ia sewa itu ke pihak ketiga/orang lain. Dalam hal ini B sudah wanprestasi karena melakukan sesuatu yabg oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.


Masing-masing pihak yang merasa dirugikan akibat wanprestasi yang dilakukan pihak lain berhak menggugat ke Pengadilan untuk menuntut ganti rugi, berupa penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada. Dasar hukumnya Pasal 1243 dan Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut:


Pasal 1243 “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.


Pasal 1244 “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”


Sumber:

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985)

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata






https://konsultanhukum.web.id/pahami-bentuk-bentuk-wanprestasi-atau-ingkar-janji/

Rabu, 15 Mei 2019

Akibat Hukum Bila Seseorang Ingkar janji atau Wanprestasi?

Akibat hukum yang timbul bila seseorang ingkar janji yaitu: 

1. Debitur diharuskan membayar ganti rugi.

2. Kreditur dapat minta pembatalan perjanjian melalui pengadilan.

3. Kreditur dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian dengan ganti rugi.

 

Uraian lebih lanjut di bawah ini

Bila seseorang dinyatakan wanprestasi maka ada beberapa akibat hukum yang muncul yaitu:


1. Debitur diharuskan membayar ganti rugi.


Dasar hukumnya Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), berbunyi:


“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.


2. Kreditur dapat minta pembatalan perjanjian melalui pengadilan.


Dasar hukumnya Pasal 1266 KUHPer, berbunyi:


“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.


Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”


3. Kreditur dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian dengan ganti rugi.


Dasar hukumnya Pasal 1267 KUHPerdata, berbunyi: 


“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”


Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum


Sumber foto: di sini

Sengketa ataupun gugatan perdata pada prinsipnya hanya ada dua jenis, yaitu Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).


Pada tulisan ini akan diuraikan secara lengkap namun sederhana unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan semoga bisa menjadi referensi dalam penanganan perkara yang sedang anda tangani.

Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Dari bunyi Pasal tersebut, maka dapat ditarik unsur-unsur PMH sebagai berikut:

ada perbuatan melawan hukum;

ada kesalahan;

ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan;

ada kerugian.


I. Unsur ada perbuatan melawan hukum

Perbuatan melawan hukum berarti adanya perbuatan atau tindakan dari pelaku yang melanggar/melawan hukum.

Dulu, pengertian melanggar hukum ditafsirkan sempit, yakni hanya hukum tertulis saja, yaitu undang-undang. Jadi seseorang atau badan hukum hanya bisa digugat kalau dia melanggar hukum tertulis (undang-undang) saja.

Tapi sejak tahun 1919, ada putusan Mahkamah Agung Belanda dalam kasus Arrest Cohen-Lindenbaum (H.R. 31 Januari 1919), yang kemudian telah memperluas pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada undang-undang (hukum tertulis saja) tapi juga hukum yang tidak tertulis, sebagai berikut:[1]:

Melanggar Undang-Undang, artinya perbautan yang dilakukan jelas-jelas melanggar undang-undang.

Melanggar hak subjektif orang lain, artinya jika perbuatan yang dilakukan telah melanggar hak-hak orang lain yang dijamin oleh hukum (termasuk tapi tidak terbatas pada hak yang bersifat pribadi, kebebasan, hak kebendaan, kehormatan, nama baik ataupun hak perorangan lainnya.

Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, artinya kewajiban hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk hukum publik.

Bertentangan dengan kesusilaan,yaitu kaidah moral (Pasal 1335 Jo Pasal 1337 KUHPerdata)

Bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang sepatutnya dalam masyarakat. Kriteria ini bersumber pada hukum tak tertulis (bersifat relatif). Yaitu perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan sikap yang baik/kepatutan dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.


II. Unsur adanya kesalahan

Kesalahan ini ada 2 (dua), bisa karena kesengajaan atau karena kealpaan.

Kesengajaan maksudnya ada kesadaran yang oleh orang normal pasti tahu konsekuensi dari perbuatannya itu akan merugikan orang lain.

Sedang, Kealpaan berarti ada perbuatan mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan, atau tidak berhati-hati atau teliti sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain[2]

Namun demikian adakalanya suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan, misalnya dalam hal keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak sehat pikirannya (gila)

III. Unsur adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan (Hubungan Kausalitas)

Maksudnya, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang muncul.

Misalnya, kerugian yang terjadi disebabkan perbuatan si pelaku atau dengan kata lain, kerugian tidak akan terjadi jika pelaku tidak melakukan perbuatan melawan hukum tersebut.


IV. Unsur adanya kerugian

Akibat perbuatan pelaku menimbulkan kerugian. Kerugian di sini dibagi jadi 2 (dua) yaitu Materil dan Imateril.

Materil misalnya kerugian karena tabrakan mobil, hilangnya keuntungan, ongkos barang, biaya-biaya, dan lain-lain.

Imateril misalnya ketakutan, kekecewaan, penyesalan, sakit, dan kehilangan semagat hidup yang pada prakteknya akan dinilai dalam bentuk uang.

Adapun pemberian ganti kerugian menurut KUHPerdata sebagai berikut[3]: 

Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata);

Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1367 KUHPerdata). Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata, seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dalam pengawasannya (vicarious liability)

Ganti rugi untuk pemilik binatan (Pasal 1368 KUHPerdata)

Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369 KUHPerdata)

Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (Pasal 1370 KUHPerdata)

Ganti rugi karena telah luka tau cacat anggota badan (Pasal 1371 KUHPerdata)

Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 KUHPerdata)


KUHPerdata tidak mengatur soal ganti kerugian yang harus dibayar karena Perbuatan Melawan Hukum sedang Pasal 1243 KUHPerdata membuat ketentuan tentang ganti rugi karena Wanprestasi.

Maka menurut Yurisprudensi ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi dapat diterapkan untuk menentukan ganti kerugian karena Perbuatan Melawan Hukum.[4]

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa unsur-unsunr PMH bisa dibagi menjadi 4 unsur; Pertama: unsur adanya perbuatan yang melawan hukum, Kedua: unsur adanya kesalahan Ketiga: Unsur adanya hubungan kausalitas, dan Keempat: unsur adanya kerugian.

Sekian semoga bermanfaat.

BACA JUGA: TIPS MUDAH MENGENALI APAKAH SUATU KASUS WANPRESTASI ATAU BUKAN

 

Referensi:

Buku:

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002)

A Moegni Djojodirdjo: Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982)


Undang-Undang:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


[1] Putusan Mahkamah Agung Belanda dalam kasus Arrest Cohen-Lindenbaum (H.R. 31 Januari 1919) ini telah menjadi yurisprudensi dan sudah diketahui umum telah juga menjadi rujukan bagi hukum di Indonesia.

[2] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002) hal.73.

[3] Ibid, hal. 137.

[4] M.A Moegni Djojodirdjo: Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982, hal 73. Bandingkan dengan R. Wirjono Prodjodikoro: Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Sumur Bandung, 1984, hal 44. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak membedakan dua macam kerugian, sehingga Pasal 1246 KUHPerdata dapat diterapkan terhadap perbuatan melawan hukum atau wanprestasi.