Cari Blog Ini

Jumat, 16 Juli 2021

Legalitas Perkawinan Beda Keyakinan di Indonesia

 

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]

Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan haruslah memberitahukan perihal rencana perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama bagi calon mempelai yang beragama Islam dan Pencatatan Sipil bagi yang beragama selain Islam sebagaimana dijelaskan  dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lantas, bagaimanakah dengan perkawinan yang hendak dilakukan oleh pasangan yang berbeda keyakinan?

Negara Indonesia tidak mempunyai aturan hukum yang mengatur secara jelas mengenai perkawinan beda keyakinan. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) menyatakan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Bila mengacu pada pasal tersebut, tentunya akan banyak penafsiran apakah benar dibolehkan dilakukan perkawinan beda keyakinan selama menurut hukum agama diperbolehkan ataukah sebaliknya. Dalam Undang-Undang Perkawinan sendiri juga tidak dijelaskan secara tegas perihal perkawinan beda keyakinan.

Ketentuan Penutup Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”[2]

Secara a contrario, ketentuan perkawinan beda keyakinan dapat mengacu pada ketentuan perihal perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengingat tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai perkawinan beda keyakinan, namun ketentuan ini tidak serta merta dapat menjadi acuan mengingat banyaknya penafrisan dan pendapat para ahli hukum yang berbeda.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Undang-Undang Administrasi Kependudukan) Pasal 35 menyatakan bahwa:

Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:

  1. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
  2. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkuta.”

Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.[3] Sejauh diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan selama adanya penetapan yang dikeluarkankan oleh Pengadilan perihal permohonan perkawinan beda keyakinan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 perihal permohonan agar perkawinan beda keyakinan dapat dicatatkan, pada pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung menjelaskan bahwa untuk mengisi kekosongan hukum dikarenakan tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan beda keyakinan, pencatatan perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil.

Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya juga menyebutkan, “Bahwa perbedaan agama dari calon suami istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka.” Persoalan boleh atau tidaknya dilangsungkan perkawinan beda keyakinan juga diperkuat dengan Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Dalam penetapan tersebut, Majelis Hakim memberikan izin kepada pasangan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan beda keyakinan.

Berdasarkan penjabaran secara singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan sepanjang calon pasangan suami-isteri mengajukan permohonan ke Pengadilan sehingga Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan dijadikan dasar agar perkawinan beda keyakinan tersebut dapat dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yakni Pencatatan Sipil sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Kependudukan.

Adapun karena fenomena perkawinan beda keyakinan kerap terjadi dan masih belum adanya dasar hukum yang secara tegas mengatur mengenai perkawinan beda keyakinan, Pemerintah sudah selayaknya membuat peraturan atau memperbaharui ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan sehingga tidak ada lagi kekosongan hukum bagi pihak yang hendak melangsungkan perkawinan beda keyakinan.

 

Referensi:

[1] Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[2] Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[3] Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006

 

Penulis:
Lordamanu
(Advokat)

 

Sumber: Doktor Hukum

 

 

Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian/Kontrak


Asas dalam hukum perjanjian/kontrak dapat dikatakan sebagai batu uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya.  Apabila dilihat dari segi fungsinya, maka asas dalam hukum perjanjian/kontrak memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu Pertama, membangun fondasi bagi kontruksi hukum kontrak yang kokoh, yang menempatkan kedudukan hukum para pihak yang membuat kontrak dalam hubungan-hubungan hukum kontekstual yang setara, jelas dan konkrit. Kedua, mengarahkan para pihak yang membuat perjanjian/kontrak untuk mementukan substansi (isi)-nya yang memuat hak dan kewajiban serta hubungan hukum yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Isnaeni menegaskan beberapa asas hukum perjanjian/kontrak selain asas kebebasan berkontrak, yaitu :

  1. Asas pacta sunt servanda;
  2. Asas kesederajatan;
  3. Asas privity of contract;
  4. Asas konsensualisme; dan
  5. Asas itikat baik.

Sedangkan, menurut Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan beberapa asas dalam kontrak/perjanjian, yaitu :

  1. Asas perjanjian yang sah adalah undang-undang;
  2. Asas kebebasan berkontrak;
  3. Asas konsensulisme;
  4. Asas kepercayaan;
  5. Asas kekuatan mengikat;
  6. Asas persamaan hukum;
  7. Asas keseimbangan;
  8. Asas kepastian hukum;
  9. Asas moral; dan
  10. Asas kepatutan.

Pada dasarnya asas-asas yang disebutkan diatas tidak dipisahkan satu sama lain, karena keberadaannya yang mandiri dan berdiri sendiri serta setara satu sama lain. kemudian selain itu, saling mengisi dan melengkapi. Bekerjanya asas-asas hukum kontrak berdasarkan fungsi “check and balances system”,  sehingga menjangkau perjanjian/kontrak yang bersangkutan.

Terkait dengan asas hukum yang disebutkan diatas, maka penulis akan menguraikan beberapa asas yang dianggap penting untuk diperhatikan para pihak dalam membuat suatu kontrak/perjanjian :

 

1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak ini dikenal dengan istilah “partij otonomie” atau “freedom of contract” atau “liberty of contract”. Pada dasarnya asas ini bersifat universal dikarenakan digunakan disemua negara pada umumnya.

Adapun latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara emberional lahir pada zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau. Menurut paham Individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Asas kebebasan berkontrak ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Salah satu dasar hukum untuk melihat diberlakukannya asas kebebasan berkontrak tersebut adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”  Kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) tersebut pada dasarnya :

  1. Memberikan kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
  2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
  3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya,
  4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Keempat hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

 

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme ini berasal dari kata latin “concensus” yang artinya sepakat. Dalam mebuat kontrak disyaratkan adanya consensus, yaitu para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang dijanjikan atau dapat diartikan, perjanjian/kontrak tersebut di dadasari adanya kata “sepakat dari kedua pihak”. Asas konsensualisme didasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan salah satu syarat dalam perjanjian adalah adanya “kesepakatan kedua pihak”.

Walaupun terjadi kesepakatan, tetapi perlu tetap diperhatikan unsur “kehendak” dalam melakukan kesepakatan tersebut. Apabila kehendak melakukan perjanjian/kontrak atas dasar kedua belah pihak, maka perjanjian dianggap sah. Namun, apabila perjanjian/kontrak yang dilakukan dengan adanya paksaan (conradictio interminis), maka perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan dengan memohon kepada pengadilan. Dalam KUHPerdata terdapat hal-hal yang dapat dikategori dengan “cacat kehendak” yang membuat perjanjian/kontrak dapat dibatalkan, yaitu :

  1. Kesesatan (dwaling);
  2. Penipuan atau (bedrog); serta
  3. Paksaan atau (dwang).

 

3. Asas kekuatan hukum mengikat perjanjian/kontrak

Asas kekuatan mengikat perjanjian/kontrak mengharuskan para pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat. Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda, yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang memuat ketentuan imperatif, “semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Adapun pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang yang terkandung didalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya. Asas ini menimbulkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah memperjanjikan sesuatu memperoleh kepastian bahwa perjanjian itu dijamin pelaksanaannya.Hal ini sesuai dengan kekuatan Pasal 1338 KUH Perdata, yang intinya menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain diperbolehkan oleh undang-undang.

Asas ini dapat berlaku apabila kedudukan para pihak tidak seimbang.Tetapi jika kedudukan para pihak seimbang maka undang-undang memberi perlindungan bahwa perjanjian itu dapat dibatalkan, baik atas tuntutan para pihak yang dirugikan, kecuali dapat dibuktikan pihak yang dirugikan menyadari sepenuhnya akibat-akibat yang timbul.

 

4. Asas Itikat Baik

Asas itikad baik (in good faith) merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian/kontrak. Ketentuan ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dalam pelaksanaan perjanjian, asas itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu:

  1. Itikad baik dalam pengertian subyektif. Merupakan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu hubungan hukum berupa perkiraan bahwa syarat-syarat yang telah diperlukan telah dipenuhi, di sini berarti adanya sikap jujur dan tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat merugikan pihak lain.
  2. Itikad baik dalam pengertian obyektif. Ini merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan perjanjian yaitu pada saat melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum.Artinya bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas ketentuan yang benar, yaitu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.Asas itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan bahwa persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik.Dari ketentuan di atas, hakim diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

Pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan inilah yang dipandang adil dan hal ini dapat dikesampingkan oleh para pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud dari pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik adalah bagi para pihak dalam perjanjian harus ada keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan sehingga menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak. Adapun akibat dari pelanggaran asas itikad baik adalah perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan di pengadilan.

Dalam perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian, terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup.

 

Editor : R. Indra

 

Sumber: Doktor Hukum

Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana


 Asas-asas hukum dalam hukum acara pidana sangat penting, dikarenakan :

  1. Merupakan dasar dalam pembentukan hukum acara pidana;
  2. Memperlihatkan apakah hukum acara pidana yang dilaksanakan tersebut memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan (criminal justice system).
  3. Dijadikan dasar untuk mengukur apakah tindakan penegak hukum dalam melaksakan hukum acara pidana telah sesuai atau tidak.

Pada dasarnya asas dalam hukum acara pidana terdiri dari :

  1. Asas legalitas.  Asas legalitas dalam hukum pidana dan hukum acara pidana adalah sesuatu yang berbeda. Dalam hukum pidana, asas legalitas dapat diartikan “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana tanpa ada peraturan yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine lege poenali). Namun, dalam hukum acara pidana, asas legalitas memiliki makna setiap Penuntut Umum wajib segera mungkin menuntut setiap perkara. Artinya, asas legalitas lebih dimaknai setiap perkara hanya dapat diproses di pengadilan setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya. Sedangkan penyimpangan terhadap asas ini dikenal dengan asas oportunitas yang berarti bahwa demi kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana.
  2. Asas diferensiasi fungsional. Asas ini menyatakan setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain;
  3. Asas lex scripta. Asas ini  berarti hukum acara pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis. Selain itu, asas ini juga mengajarkan bahwa aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat.

Selain yang disebutkan diatas, terdapat beberapa asas dalam hukum acara pidana yang secara eksplisit juga diatut dalam KUHAP Indonesia, yaitu :

1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

Pemberlakuan asas ini sebenarnya diatur dalam  HIR. Selain itu, diatur juga dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” “Sederhana” berarti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif.  Sedangkan “Biaya ringan” artinya biaya perkara yang dapat di jangkau oleh masyarakat banyak. Adapun “Cepat” diartikan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim.

Apabila mengacu pada KUHAP, terdapat beberapa pasal yang dapat diketegorikan sebagai perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan ringan, yaitu misalnya dalam Pasal 50 ayat (1) yang merumuskan:

“Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”

Apabila mencermati  Pasal 50 ayat (1) tersebut,  terdapat kata “segera” yang berarti tersangka memilik hak  secara cepat mendapatkan pemeriksanaan yang selanjutnya diajukan kepada penuntut umum untuk dilakukan pemeriksanaan di pengadilan. Ini menunjukan pentingnya suatu kepastian hukum dalam pelaksanaan hukum acara pidana.

Selain itu, Pasal 67 juga dapat dimaknai adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yaitu :

“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”

Implementasi lainnya terhadap asas peradilan cepat dapat terlihat dalam hal batas waktu penahanan yang dilakukan oleh penegak hukum. Penahanan merupakan suatu hak dari para penegak hukum untuk menahan seseorang yang telah berstatus “tersangka” atau “terdakwa” dengan alasan untuk memperlancar penyidikan.  Pada dasarnya pengaturan mengenai batas waktu penahanan oleh penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang atas izin penuntut umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila  sampai batas waktu maksimal (60 hari) penyidik belum juga menyelesaikan penyidikannya, maka tersangka atau terdakwa harus segera dikeluarkan demi hukum dan tanpa syarat apapun. Begitu pula halnya apabila penahanan tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung (MA).

 

2. Praduga tak bersalah (presumption of innocence)

Asas ini mengandung makna setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan dipengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP yang disebutkan sebagai berikut :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Selain diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 1948  juga mengatur megenai pentingnya asas praduga tidak bersalah tersebut, yaitu :

“Everyone change with a penal offence has the right to be persumed innocent until proved guilty according to law in public trial at which he has all quarantees necessary for his defence.”

Dengan demikian, asas praduga tidak bersalah ini merupakan perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia (human rights).

 

3. Asas oportunitas

Asas Oportunitas merupakan suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. Pada dasarnya asas ini merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas. Artinya, demi kepentingan umum, asas legalitas tersebut dikecualikan. Dalam praktek, istilah asas oportunitas  disebut dengan istilah “deponering”.

Asas ini tidak dapat digunakan secara sembarangan. Asas ini hanya berlaku jika kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua jaksa dapat memberlakukan asas ini. Artinya, hanya “Jaksa Agung” yang dapat melaksanakan asas ini sebagaimana  diatur oleh Pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan , yaitu sebagai berikut :

“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”

 

4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum

Asas pengadilan terbuka untuk umum memiliki makna yaitu menghendaki adanya bentuk transparansi atau keterbukaan dalam sidang peradilan pidana. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yaitu :

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.”

Dari rumusan Pasal 153 tersebut, dapat dimaknai terdapat beberapa perkara dalam hukum  pidana yang mendapat pengecualian persidangan yang dibuka untuk umum, yaitu pertama, perkara kesusilaan dan kedua, terdakwanya adalah anak-anak. Yahya Harahap memberikan tanggapannya terkait dengan kenapa perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak tersebut pemeriksaan pengadilannya harus ditutup untuk umum, yaitu:

 “Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan memaparkannya secara terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anak-anak, cara-cara pemeriksaan persidangannya memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan yang agaknya bisa dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan” semata-mata.”

Apabila perkara terkait kesusilaan atau terdakwanya anak-anak tersebut tetap dilakukan persidangan dengan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP, yaitu :

“ tidak dipenuhinya dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”

Dengan dasar Pasal 153 ayat (4) KUHAP ini ,maka konsekuensi hukum jika perkara tetap dibuka untuk umum adalah putusan batal demi hukum.

 

5. Semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equlity before the law).

Asas diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law) adalah bentuk perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya. Maksud dari asas ini  adalah di depan pengadilan kedudukan semua orang sama, maka mereka harus diperlakukan sama. Seseorang bersalah maka harus dihukum, sedangkan  jika tidak  bersalah, maka harus dibebaskan. Selain itu, walaupun seseorang mendapatkan suatu hukuman, tetapi hukuman yang diberikan haruslah sesuai dengan   kesalahan yang diperbuatnya.

Penerapan asas ini dapat terlihat dalam penjelasan umum butir 3 a KUHAP yang menyebutkan :

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”

Selain itu, terlihat juga dalam  Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan  :

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

 

 6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannnya dan tetap

Asas ini meunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri yang dimana kesalahan terdakwa ditentukan oleh suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya biasanya mereka awam terhadap ilmu hukum.

 

7. Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan Hukum

Salah satu asas yang terdapat dalam KUHAP adalah bahwa tersangka dan terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 s/d Pasal 74 KUHAP. Bantuan hukum yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang advokat/pengacara. Bantuan hukum tersebut dianggap penting, sebab dengan didampingi seorang advokat/pengacara, maka seorang tersangka dan terdakwa dapat diberikan penjelasan mengenai hak-haknya secara independen. Selain itu, menurut hukum apabila diancam hukuman mati atau pidana penjara diatas 5 (lima) tahun, maka seorang tersangka atau terdakwa wajib  diberikan bantuan hukum dengan didampingi oleh seorang advokat/pengacara.

Pada dasarya hak untuk mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi seorang advokat/pengacara merupakan konsep yang diadopsi dari “miranda rule” yang kemudian  diakomodir dalam KUHAP.  Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum pada dasarnya menghormati konsep miranda rule ini. Komitmennya terhadap penghormatan miranda rule telah dibuktikan dengan mengadopsinya ke dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP :

“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.”

Asas ini juga berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan diaturnya dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d yang menyebutkan sebagai berikut :

“To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interest justice so require, and without payment by him in any such case, if he does not have sufficient means topay for it.” (Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran).”

 

8. Asas Akusator

Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Asas ini merupakan asas yang dianut KUHAP yang berbeda dengan asas inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan sebagaimana diatur dalam HIR.

Asas inkuisatoir yang dianut dalam  HIR berbeda dengan asas akusator yang dianut dalam KUHAP yang ditandari adanya perubahan istilah salah satu alat bukti. Dalam HIR disebut dengan “pengakuan terdakwa”, sedangkan di dalam KUHAP disebut dengan “keterangan terdakwa”.  Istilah “pengakuan terdakwa” dalam HIR memiliki kecenderungan  terdakwa harus mengakui bahwa dia bersalah, sedangkan istilah “keterangan terdakwa” lebih kepada adanya hak terdakwa untuk membela diri sebagai bentuk perlindungan hak-hak terdakwa.

 

9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Asas ini menghendaki dalam pemeriksaan sidang perkara pidana, pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara perdata yang di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan oleh hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis sebagaimana antara hakim dan terdakwa.

Dasar hukum mengenai asas ini  diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Dari “asas langsung” tersebut yang dipandang sebagai pengecualian adanya kemungkinan dari putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau in absentia.

Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan  dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap dan cara mereka dalam memberikan keterangan.

 

10. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut (remedy and rehabilitation).

Apabila terdapat seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan konsekuensi sanksinya bagi para pejabat penegak hukum tersebut apabila dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi. Tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang atau kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan. Dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa baik ketika perkara pidananya diperiksa maupun setelah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana yang bersangkutan. Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi:

  1. Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum;
  2. Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang-undang;
  3. Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum, dan
  4. Penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person).

Terkait upaya prapradilan tersebut diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP.

 

 

Referensi selain peraturan perundang-undangan :

  1. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
  2. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, Modul Pengantar Hukum Acara Pidana.

 

Penulis :

R. Indra

 

Sumber: Doktor Hukum