Cari Blog Ini

Jumat, 16 Juli 2021

Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana


 Asas-asas hukum dalam hukum acara pidana sangat penting, dikarenakan :

  1. Merupakan dasar dalam pembentukan hukum acara pidana;
  2. Memperlihatkan apakah hukum acara pidana yang dilaksanakan tersebut memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan (criminal justice system).
  3. Dijadikan dasar untuk mengukur apakah tindakan penegak hukum dalam melaksakan hukum acara pidana telah sesuai atau tidak.

Pada dasarnya asas dalam hukum acara pidana terdiri dari :

  1. Asas legalitas.  Asas legalitas dalam hukum pidana dan hukum acara pidana adalah sesuatu yang berbeda. Dalam hukum pidana, asas legalitas dapat diartikan “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana tanpa ada peraturan yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine lege poenali). Namun, dalam hukum acara pidana, asas legalitas memiliki makna setiap Penuntut Umum wajib segera mungkin menuntut setiap perkara. Artinya, asas legalitas lebih dimaknai setiap perkara hanya dapat diproses di pengadilan setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya. Sedangkan penyimpangan terhadap asas ini dikenal dengan asas oportunitas yang berarti bahwa demi kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana.
  2. Asas diferensiasi fungsional. Asas ini menyatakan setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain;
  3. Asas lex scripta. Asas ini  berarti hukum acara pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis. Selain itu, asas ini juga mengajarkan bahwa aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat.

Selain yang disebutkan diatas, terdapat beberapa asas dalam hukum acara pidana yang secara eksplisit juga diatut dalam KUHAP Indonesia, yaitu :

1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

Pemberlakuan asas ini sebenarnya diatur dalam  HIR. Selain itu, diatur juga dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” “Sederhana” berarti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif.  Sedangkan “Biaya ringan” artinya biaya perkara yang dapat di jangkau oleh masyarakat banyak. Adapun “Cepat” diartikan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim.

Apabila mengacu pada KUHAP, terdapat beberapa pasal yang dapat diketegorikan sebagai perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan ringan, yaitu misalnya dalam Pasal 50 ayat (1) yang merumuskan:

“Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”

Apabila mencermati  Pasal 50 ayat (1) tersebut,  terdapat kata “segera” yang berarti tersangka memilik hak  secara cepat mendapatkan pemeriksanaan yang selanjutnya diajukan kepada penuntut umum untuk dilakukan pemeriksanaan di pengadilan. Ini menunjukan pentingnya suatu kepastian hukum dalam pelaksanaan hukum acara pidana.

Selain itu, Pasal 67 juga dapat dimaknai adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yaitu :

“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”

Implementasi lainnya terhadap asas peradilan cepat dapat terlihat dalam hal batas waktu penahanan yang dilakukan oleh penegak hukum. Penahanan merupakan suatu hak dari para penegak hukum untuk menahan seseorang yang telah berstatus “tersangka” atau “terdakwa” dengan alasan untuk memperlancar penyidikan.  Pada dasarnya pengaturan mengenai batas waktu penahanan oleh penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang atas izin penuntut umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila  sampai batas waktu maksimal (60 hari) penyidik belum juga menyelesaikan penyidikannya, maka tersangka atau terdakwa harus segera dikeluarkan demi hukum dan tanpa syarat apapun. Begitu pula halnya apabila penahanan tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung (MA).

 

2. Praduga tak bersalah (presumption of innocence)

Asas ini mengandung makna setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan dipengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP yang disebutkan sebagai berikut :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Selain diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 1948  juga mengatur megenai pentingnya asas praduga tidak bersalah tersebut, yaitu :

“Everyone change with a penal offence has the right to be persumed innocent until proved guilty according to law in public trial at which he has all quarantees necessary for his defence.”

Dengan demikian, asas praduga tidak bersalah ini merupakan perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia (human rights).

 

3. Asas oportunitas

Asas Oportunitas merupakan suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. Pada dasarnya asas ini merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas. Artinya, demi kepentingan umum, asas legalitas tersebut dikecualikan. Dalam praktek, istilah asas oportunitas  disebut dengan istilah “deponering”.

Asas ini tidak dapat digunakan secara sembarangan. Asas ini hanya berlaku jika kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua jaksa dapat memberlakukan asas ini. Artinya, hanya “Jaksa Agung” yang dapat melaksanakan asas ini sebagaimana  diatur oleh Pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan , yaitu sebagai berikut :

“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”

 

4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum

Asas pengadilan terbuka untuk umum memiliki makna yaitu menghendaki adanya bentuk transparansi atau keterbukaan dalam sidang peradilan pidana. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yaitu :

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.”

Dari rumusan Pasal 153 tersebut, dapat dimaknai terdapat beberapa perkara dalam hukum  pidana yang mendapat pengecualian persidangan yang dibuka untuk umum, yaitu pertama, perkara kesusilaan dan kedua, terdakwanya adalah anak-anak. Yahya Harahap memberikan tanggapannya terkait dengan kenapa perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak tersebut pemeriksaan pengadilannya harus ditutup untuk umum, yaitu:

 “Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan memaparkannya secara terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anak-anak, cara-cara pemeriksaan persidangannya memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan yang agaknya bisa dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan” semata-mata.”

Apabila perkara terkait kesusilaan atau terdakwanya anak-anak tersebut tetap dilakukan persidangan dengan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP, yaitu :

“ tidak dipenuhinya dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”

Dengan dasar Pasal 153 ayat (4) KUHAP ini ,maka konsekuensi hukum jika perkara tetap dibuka untuk umum adalah putusan batal demi hukum.

 

5. Semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equlity before the law).

Asas diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law) adalah bentuk perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya. Maksud dari asas ini  adalah di depan pengadilan kedudukan semua orang sama, maka mereka harus diperlakukan sama. Seseorang bersalah maka harus dihukum, sedangkan  jika tidak  bersalah, maka harus dibebaskan. Selain itu, walaupun seseorang mendapatkan suatu hukuman, tetapi hukuman yang diberikan haruslah sesuai dengan   kesalahan yang diperbuatnya.

Penerapan asas ini dapat terlihat dalam penjelasan umum butir 3 a KUHAP yang menyebutkan :

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”

Selain itu, terlihat juga dalam  Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan  :

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

 

 6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannnya dan tetap

Asas ini meunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri yang dimana kesalahan terdakwa ditentukan oleh suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya biasanya mereka awam terhadap ilmu hukum.

 

7. Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan Hukum

Salah satu asas yang terdapat dalam KUHAP adalah bahwa tersangka dan terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 s/d Pasal 74 KUHAP. Bantuan hukum yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang advokat/pengacara. Bantuan hukum tersebut dianggap penting, sebab dengan didampingi seorang advokat/pengacara, maka seorang tersangka dan terdakwa dapat diberikan penjelasan mengenai hak-haknya secara independen. Selain itu, menurut hukum apabila diancam hukuman mati atau pidana penjara diatas 5 (lima) tahun, maka seorang tersangka atau terdakwa wajib  diberikan bantuan hukum dengan didampingi oleh seorang advokat/pengacara.

Pada dasarya hak untuk mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi seorang advokat/pengacara merupakan konsep yang diadopsi dari “miranda rule” yang kemudian  diakomodir dalam KUHAP.  Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum pada dasarnya menghormati konsep miranda rule ini. Komitmennya terhadap penghormatan miranda rule telah dibuktikan dengan mengadopsinya ke dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP :

“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.”

Asas ini juga berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan diaturnya dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d yang menyebutkan sebagai berikut :

“To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interest justice so require, and without payment by him in any such case, if he does not have sufficient means topay for it.” (Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran).”

 

8. Asas Akusator

Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Asas ini merupakan asas yang dianut KUHAP yang berbeda dengan asas inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan sebagaimana diatur dalam HIR.

Asas inkuisatoir yang dianut dalam  HIR berbeda dengan asas akusator yang dianut dalam KUHAP yang ditandari adanya perubahan istilah salah satu alat bukti. Dalam HIR disebut dengan “pengakuan terdakwa”, sedangkan di dalam KUHAP disebut dengan “keterangan terdakwa”.  Istilah “pengakuan terdakwa” dalam HIR memiliki kecenderungan  terdakwa harus mengakui bahwa dia bersalah, sedangkan istilah “keterangan terdakwa” lebih kepada adanya hak terdakwa untuk membela diri sebagai bentuk perlindungan hak-hak terdakwa.

 

9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Asas ini menghendaki dalam pemeriksaan sidang perkara pidana, pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara perdata yang di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan oleh hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis sebagaimana antara hakim dan terdakwa.

Dasar hukum mengenai asas ini  diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Dari “asas langsung” tersebut yang dipandang sebagai pengecualian adanya kemungkinan dari putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau in absentia.

Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan  dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap dan cara mereka dalam memberikan keterangan.

 

10. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut (remedy and rehabilitation).

Apabila terdapat seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan konsekuensi sanksinya bagi para pejabat penegak hukum tersebut apabila dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi. Tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang atau kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan. Dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa baik ketika perkara pidananya diperiksa maupun setelah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana yang bersangkutan. Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi:

  1. Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum;
  2. Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang-undang;
  3. Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum, dan
  4. Penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person).

Terkait upaya prapradilan tersebut diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP.

 

 

Referensi selain peraturan perundang-undangan :

  1. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
  2. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, Modul Pengantar Hukum Acara Pidana.

 

Penulis :

R. Indra

 

Sumber: Doktor Hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar