Cari Blog Ini

Jumat, 16 Juli 2021

Legalitas Perkawinan Beda Keyakinan di Indonesia

 

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]

Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan haruslah memberitahukan perihal rencana perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama bagi calon mempelai yang beragama Islam dan Pencatatan Sipil bagi yang beragama selain Islam sebagaimana dijelaskan  dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lantas, bagaimanakah dengan perkawinan yang hendak dilakukan oleh pasangan yang berbeda keyakinan?

Negara Indonesia tidak mempunyai aturan hukum yang mengatur secara jelas mengenai perkawinan beda keyakinan. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) menyatakan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Bila mengacu pada pasal tersebut, tentunya akan banyak penafsiran apakah benar dibolehkan dilakukan perkawinan beda keyakinan selama menurut hukum agama diperbolehkan ataukah sebaliknya. Dalam Undang-Undang Perkawinan sendiri juga tidak dijelaskan secara tegas perihal perkawinan beda keyakinan.

Ketentuan Penutup Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”[2]

Secara a contrario, ketentuan perkawinan beda keyakinan dapat mengacu pada ketentuan perihal perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengingat tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai perkawinan beda keyakinan, namun ketentuan ini tidak serta merta dapat menjadi acuan mengingat banyaknya penafrisan dan pendapat para ahli hukum yang berbeda.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Undang-Undang Administrasi Kependudukan) Pasal 35 menyatakan bahwa:

Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:

  1. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
  2. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkuta.”

Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.[3] Sejauh diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan selama adanya penetapan yang dikeluarkankan oleh Pengadilan perihal permohonan perkawinan beda keyakinan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 perihal permohonan agar perkawinan beda keyakinan dapat dicatatkan, pada pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung menjelaskan bahwa untuk mengisi kekosongan hukum dikarenakan tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan beda keyakinan, pencatatan perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil.

Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya juga menyebutkan, “Bahwa perbedaan agama dari calon suami istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka.” Persoalan boleh atau tidaknya dilangsungkan perkawinan beda keyakinan juga diperkuat dengan Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Dalam penetapan tersebut, Majelis Hakim memberikan izin kepada pasangan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan beda keyakinan.

Berdasarkan penjabaran secara singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan sepanjang calon pasangan suami-isteri mengajukan permohonan ke Pengadilan sehingga Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan dijadikan dasar agar perkawinan beda keyakinan tersebut dapat dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yakni Pencatatan Sipil sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Kependudukan.

Adapun karena fenomena perkawinan beda keyakinan kerap terjadi dan masih belum adanya dasar hukum yang secara tegas mengatur mengenai perkawinan beda keyakinan, Pemerintah sudah selayaknya membuat peraturan atau memperbaharui ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan sehingga tidak ada lagi kekosongan hukum bagi pihak yang hendak melangsungkan perkawinan beda keyakinan.

 

Referensi:

[1] Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[2] Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[3] Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006

 

Penulis:
Lordamanu
(Advokat)

 

Sumber: Doktor Hukum

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar