Asas-asas hukum dalam hukum acara pidana sangat penting, dikarenakan :- Merupakan dasar dalam pembentukan hukum acara pidana;
- Memperlihatkan
apakah hukum acara pidana yang dilaksanakan tersebut memberikan
perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses
peradilan (criminal justice system).
- Dijadikan dasar untuk mengukur apakah tindakan penegak hukum dalam melaksakan hukum acara pidana telah sesuai atau tidak.
Pada dasarnya asas dalam hukum acara pidana terdiri dari :
- Asas legalitas.
Asas legalitas dalam hukum pidana dan hukum acara pidana adalah sesuatu
yang berbeda. Dalam hukum pidana, asas legalitas dapat diartikan “tidak
ada suatu perbuatan yang dapat dipidana tanpa ada peraturan yang
mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine lege poenali). Namun,
dalam hukum acara pidana, asas legalitas memiliki makna setiap Penuntut
Umum wajib segera mungkin menuntut setiap perkara. Artinya, asas
legalitas lebih dimaknai setiap perkara hanya dapat diproses di
pengadilan setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya. Sedangkan
penyimpangan terhadap asas ini dikenal dengan asas oportunitas yang
berarti bahwa demi kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan
penuntutan perkara pidana.
- Asas diferensiasi fungsional.
Asas ini menyatakan setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan
pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu
dengan yang lain;
- Asas lex scripta. Asas
ini berarti hukum acara pidana yang mengatur proses beracara dengan
segala kewenangan yang ada harus tertulis. Selain itu, asas ini juga
mengajarkan bahwa aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan
secara ketat.
Selain
yang disebutkan diatas, terdapat beberapa asas dalam hukum acara pidana
yang secara eksplisit juga diatut dalam KUHAP Indonesia, yaitu :
1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Pemberlakuan
asas ini sebenarnya diatur dalam HIR. Selain itu, diatur juga dalam UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
“Sederhana” berarti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan
dengan cara efisien dan efektif. Sedangkan “Biaya ringan” artinya biaya
perkara yang dapat di jangkau oleh masyarakat banyak. Adapun “Cepat”
diartikan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan terutama untuk
menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim.
Apabila
mengacu pada KUHAP, terdapat beberapa pasal yang dapat diketegorikan
sebagai perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan ringan,
yaitu misalnya dalam Pasal 50 ayat (1) yang merumuskan:
“Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Apabila
mencermati Pasal 50 ayat (1) tersebut, terdapat kata “segera” yang
berarti tersangka memilik hak secara cepat mendapatkan pemeriksanaan
yang selanjutnya diajukan kepada penuntut umum untuk dilakukan
pemeriksanaan di pengadilan. Ini menunjukan pentingnya suatu kepastian
hukum dalam pelaksanaan hukum acara pidana.
Selain itu, Pasal 67 juga dapat dimaknai adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yaitu :
“Terdakwa
atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”
Implementasi
lainnya terhadap asas peradilan cepat dapat terlihat dalam hal batas
waktu penahanan yang dilakukan oleh penegak hukum. Penahanan merupakan
suatu hak dari para penegak hukum untuk menahan seseorang yang telah
berstatus “tersangka” atau “terdakwa” dengan alasan untuk memperlancar
penyidikan. Pada dasarnya pengaturan mengenai batas waktu penahanan
oleh penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang atas izin penuntut
umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2)
KUHAP. Apabila sampai batas waktu maksimal (60 hari) penyidik belum
juga menyelesaikan penyidikannya, maka tersangka atau terdakwa harus
segera dikeluarkan demi hukum dan tanpa syarat apapun. Begitu pula
halnya apabila penahanan tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum,
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung (MA).
2. Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Asas
ini mengandung makna setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut, dan dihadapkan dipengadilan tidak boleh dianggap bersalah
sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat dalam Penjelasan Umum
butir 3 c KUHAP yang disebutkan sebagai berikut :
“Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Selain diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 1948 juga mengatur megenai pentingnya asas praduga tidak bersalah tersebut, yaitu :
“Everyone
change with a penal offence has the right to be persumed innocent until
proved guilty according to law in public trial at which he has all
quarantees necessary for his defence.”
Dengan demikian, asas praduga tidak bersalah ini merupakan perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia (human rights).
3. Asas oportunitas
Asas
Oportunitas merupakan suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan
untuk menuntut seseorang jika penuntutannya akan merugikan kepentingan
umum. Pada dasarnya asas ini merupakan penyimpangan terhadap asas
legalitas. Artinya, demi kepentingan umum, asas legalitas tersebut
dikecualikan. Dalam praktek, istilah asas oportunitas disebut dengan
istilah “deponering”.
Asas
ini tidak dapat digunakan secara sembarangan. Asas ini hanya berlaku
jika kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua
jaksa dapat memberlakukan asas ini. Artinya, hanya “Jaksa Agung” yang
dapat melaksanakan asas ini sebagaimana diatur oleh Pasal 35 c UU No.
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan , yaitu sebagai berikut :
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”
4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum
Asas
pengadilan terbuka untuk umum memiliki makna yaitu menghendaki adanya
bentuk transparansi atau keterbukaan dalam sidang peradilan pidana. Asas
ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yaitu :
“Untuk
keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
Terdakwanya anak-anak.”
Dari
rumusan Pasal 153 tersebut, dapat dimaknai terdapat beberapa perkara
dalam hukum pidana yang mendapat pengecualian persidangan yang dibuka
untuk umum, yaitu pertama, perkara kesusilaan dan kedua,
terdakwanya adalah anak-anak. Yahya Harahap memberikan tanggapannya
terkait dengan kenapa perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak
tersebut pemeriksaan pengadilannya harus ditutup untuk umum, yaitu:
“Secara
singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan
dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan
memaparkannya secara terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan
pemeriksaan sidang anak-anak, cara-cara pemeriksaan persidangannya
memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan yang agaknya bisa
dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak
pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan”
semata-mata.”
Apabila
perkara terkait kesusilaan atau terdakwanya anak-anak tersebut tetap
dilakukan persidangan dengan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan
konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP, yaitu :
“ tidak dipenuhinya dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
Dengan
dasar Pasal 153 ayat (4) KUHAP ini ,maka konsekuensi hukum jika perkara
tetap dibuka untuk umum adalah putusan batal demi hukum.
5. Semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equlity before the law).
Asas diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law)
adalah bentuk perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum
dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan
politik, agama, golongan, dan sebagainya. Maksud dari asas ini adalah
di depan pengadilan kedudukan semua orang sama, maka mereka harus
diperlakukan sama. Seseorang bersalah maka harus dihukum, sedangkan
jika tidak bersalah, maka harus dibebaskan. Selain itu, walaupun
seseorang mendapatkan suatu hukuman, tetapi hukuman yang diberikan
haruslah sesuai dengan kesalahan yang diperbuatnya.
Penerapan asas ini dapat terlihat dalam penjelasan umum butir 3 a KUHAP yang menyebutkan :
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”
Selain itu, terlihat juga dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannnya dan tetap
Asas
ini meunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah
tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat
tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri yang dimana kesalahan
terdakwa ditentukan oleh suatu dewan yang mewakili golongan-golongan
dalam masyarakat. Pada umumnya biasanya mereka awam terhadap ilmu hukum.
7. Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan Hukum
Salah
satu asas yang terdapat dalam KUHAP adalah bahwa tersangka dan terdakwa
berhak mendapatkan bantuan hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 s/d
Pasal 74 KUHAP. Bantuan hukum yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan
bantuan hukum dari seorang advokat/pengacara. Bantuan hukum tersebut
dianggap penting, sebab dengan didampingi seorang advokat/pengacara,
maka seorang tersangka dan terdakwa dapat diberikan penjelasan mengenai
hak-haknya secara independen. Selain itu, menurut hukum apabila diancam
hukuman mati atau pidana penjara diatas 5 (lima) tahun, maka seorang
tersangka atau terdakwa wajib diberikan bantuan hukum dengan didampingi
oleh seorang advokat/pengacara.
Pada
dasarya hak untuk mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi seorang
advokat/pengacara merupakan konsep yang diadopsi dari “miranda rule”
yang kemudian diakomodir dalam KUHAP. Indonesia sebagai negara
berdasarkan hukum pada dasarnya menghormati konsep miranda rule ini.
Komitmennya terhadap penghormatan miranda rule telah dibuktikan dengan
mengadopsinya ke dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP :
“Dalam
hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas
tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan
pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.”
Asas ini juga berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan diaturnya dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d yang menyebutkan sebagai berikut :
“To
be tried in his presence, and to defend himself in person or through
legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have
legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to
him, in any case where the interest justice so require, and without
payment by him in any such case, if he does not have sufficient means
topay for it.” (Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri
sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut
pilihannnya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak
mempunyai penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan
perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia
dibebaskan dari pembayaran).”
8. Asas Akusator
Asas
akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa
sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan.
Asas ini merupakan asas yang dianut KUHAP yang berbeda dengan asas
inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai
objek pemeriksaan sebagaimana diatur dalam HIR.
Asas
inkuisatoir yang dianut dalam HIR berbeda dengan asas akusator yang
dianut dalam KUHAP yang ditandari adanya perubahan istilah salah satu
alat bukti. Dalam HIR disebut dengan “pengakuan terdakwa”, sedangkan di
dalam KUHAP disebut dengan “keterangan terdakwa”. Istilah “pengakuan
terdakwa” dalam HIR memiliki kecenderungan terdakwa harus mengakui
bahwa dia bersalah, sedangkan istilah “keterangan terdakwa” lebih kepada
adanya hak terdakwa untuk membela diri sebagai bentuk perlindungan
hak-hak terdakwa.
9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Asas
ini menghendaki dalam pemeriksaan sidang perkara pidana, pemeriksaan
tersebut dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal tersebut sangat
berbeda dengan acara perdata yang di mana tergugat dapat diwakili oleh
kuasanya. Pemeriksaan oleh hakim juga dilakukan secara lisan, artinya
bukan tertulis sebagaimana antara hakim dan terdakwa.
Dasar
hukum mengenai asas ini diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan
seterusnya. Dari “asas langsung” tersebut yang dipandang sebagai
pengecualian adanya kemungkinan dari putusan hakim yang dijatuhkan tanpa
hadirnya terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau in absentia.
Asas
ini memiliki tujuan agar pemeriksaan dapat mencapai kebenaran yang
hakiki. Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan
kepada hakim untuk lebih teliti dan cermat dimana tidak hanya
keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap dan cara mereka
dalam memberikan keterangan.
10. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut (remedy and rehabilitation).
Apabila
terdapat seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili
tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang dan atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi
ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan konsekuensi
sanksinya bagi para pejabat penegak hukum tersebut apabila dilanggar,
dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi. Tersangka,
terdakwa, terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian
karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah
menurut undang-undang atau kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap
hukum yang diterapkan. Dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila
perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi
apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan
ganti kerugian dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa
perkara tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan
perdata biasa baik ketika perkara pidananya diperiksa maupun setelah ada
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara
pidana yang bersangkutan. Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh
penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi:
- Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum;
- Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang-undang;
- Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum, dan
- Penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person).
Terkait upaya prapradilan tersebut diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP.
Referensi selain peraturan perundang-undangan :
- Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
- Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, Modul Pengantar Hukum Acara Pidana.
Penulis :
R. Indra
Sumber: Doktor Hukum