Cari Blog Ini

Rabu, 27 Oktober 2021

Prosedur Pemanggilan Advokat yang Diduga Melanggar Hukum

Maaf, mohon berikan informasi penjelasannya: Ada sebuah kasus yaitu seorang pengacara yang melakukan pelanggaran tindak pidana yaitu penganiayaan berat, saksi sudah lengkap ada 3 orang. Dalam prosesnya, ketika penyidik memanggil langsung si tersangka (pengacara) dan ketika itu dia datang dan lalu si tersangka menyatakan keberatan/membantah dan berkata bahwa seorang pengacara (anggota PERADI), penyidik tidak boleh melakukan pemanggilan tersangka secara langsung dan mengatakan harus melewati kantor PERADI dahulu. Apakah itu ada UU/hukumnya? Terima kasih.



Terhadap pertanyaan yang Anda ajukan, akan kami bahas dalam beberapa poin sebagai berikut:

1.    Sebelumnya, mari kita simak pengertian dari advokat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), sebagai berikut:

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.

 

Sedangkan, istilah “pengacara” dapat ditemui di dalam Pasal 1 Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”) yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002, yaitu:

Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek ataupun sebagai konsultan hukum.

 

Dengan demikian jelas bahwa advokat ataupun penasehat hukum merupakan suatu profesi yang diakui secara sah di Indonesia, dan terhadap setiap tingkah laku, gerak-gerik dan pengaturan akan cara bekerja seorang advokat/penasehat hukum mengacu kepada UU Advokat dan KEAI.

 

2.    Di dalam pertanyaan Anda pada intinya Anda menanyakan apakah ada undang-undang atau hukum yang mengatur prosedur tertentu dalam pemanggilan advokat yang diduga melakukan tindak pidana harus melalui PERADI. Sebagaimana diberitakan hukumonline dalam artikel Polri Tidak Bisa Panggil Advokat Sembarangan, PERADI dan Polri pada 27 Februari 2012 memang telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding atau MoU) untuk saling menghormati masing-masing pihak sebagai aparat penegak hukum. Salah satu wujud saling menghormati itu adalah penyampaian surat panggilan melalui DPN PERADI jika ada advokat yang dipanggil polisi baik sebagai saksi maupun tersangka. Sebagaimana dijelaskan Ketua Umum PERADI Otto Hasibuan, untuk keperluan pemanggilan advokat, Polri harus menyampaikan pemanggilan tersebut melalui DPN PERADI. Setelah menerima surat dimaksud, DPN PERADI akan melakukan telaah mengenai:

-      Apakah informasi yang disampaikan itu termasuk dan berkaitan dengan Advokat dalam menjalankan profesi?

-      Apakah informasi yang disampaikan itu merupakan tindakan melawan hukum pidana yang tidak ada kaitan dengan pekerjaan profesi advokat?

 

Dalam artikel yang sama dijelaskan, jika ternyata pemanggilan berkaitan dengan profesi advokat atau sumpah jabatan advokat, maka DPN PERADI tidak akan mengizinkan advokat tersebut untuk diperiksa baik sebagai saksi maupun tersangka. Advokat bersangkutan dapat mengundurkan diri sebagai saksi karena advokat wajib menjaga rahasia kliennya. Orang diwajibkan menjaga rahasia kliennya dapat mengundurkan diri jadi saksi sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Sebaliknya, jika ternyata peristiwa pidana yang dijadikan dasar panggilan berkaitan dengan tindak pidana umum dan tidak berkaitan dengan UU Advokat (Pasal 19) dan Kode Etik Advokat Indonesia (Pasal 4 huruf h), maka DPN PERADI akan mengizinkan Kepolisian meminta keterangan, memeriksa advokat baik sebagai saksi atau tersangka.

 

3.     Tidak dapat disangkal bahwa seorang advokat tunduk kepada UU Advokat dan KEAI, dan setiap dugaan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh seorang advokat dapat dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Jika terbukti melanggar UU Advokat dan KEAI, advokat tersebut dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa pelanggaran yang dimaksud terkait kepada Pelanggaran Kode Etik saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan Pasal 11 ayat (3) KEAI, yaitu:

Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah mengenai pelanggaran terhadap kode etik advokat

 

Keputusan Dewan Kehormatan organisasi advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran kode etik profesi advokat mengandung unsur pidana.

 

4.    Perbuatan pengacara tersebut diduga melanggar Pasal 3 huruf g dan huruf h KEAI, yang menyebutkan:

g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile);

h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat;  

 

Selain itu, di dalam Pasal 6 UU Advokat diatur bahwa seorang Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:

a.    Mengabaikan atau mentelantarkan kepentingan kliennya;

b.    Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;

c.    Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;

d.    Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;

e.    Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;

f.     Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

 

Dengan penganiyaan yang dilakukan oleh pengacara tersebut, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengacara tersebut sudah mencoreng profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile), tidak bersikap sopan, dan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela. Oleh karena itu, pengacara tersebut dapat dilaporkan kepada Dewan Kehormatan.

 

5.    Selain pengaduan kepada Dewan Kehormatan, pengacara tersebut juga dapat dilaporkan kepada aparat berwajib (kepolisian), untuk diproses berdasarkan pelanggaran terhadap tindak pidana, terutama Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang penganiayaan yaitu :

(1) Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun;

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(4) Dengan penganiyaan disamakan senagaja merusak kesehatan;

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

 

Proses pemeriksaan maupun sanksi yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan, tidak serta merta menghapus tindak pidana yang dilakukan oleh pengacara tersebut. Oleh karena itu, advokat tetap dapat dituntut secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya.

 

Sehingga pada akhirnya, kami dapat jelaskan bahwa seseorang pribadi terlepas dari pekerjaannya sebagai advokat, tidak memiliki kekebalan terhadap tindak pidana yang dilakukannya dengan bersembunyi di balik UU Advokat ataupun KEAI.

 

Demikian jawaban yang dapat kami berikan, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

4.    Kode Etik Advokat Indonesia

5.    Nota Kesepahaman antara DPN Peradi dan Mabes Polri tertanggal 27 Februari 2012



Sumber: Hukum Online

Kamis, 12 Agustus 2021

Pembagian Harta Gono-gini Cerai Mati

Harta gono-gini menjadi problem yang harus dihadapi setiap terjadi perceraian. Tidak hanya perceraian akibat adanya ketidakcocokan dalam hubungan rumah tangga (biasa disebut cerai hidup), tapi juga perceraian yang terjadi karena suami atau istri meninggal (biasa disebut cerai mati).

Kedua kasus perceraian itu memiliki perbedaan, demikian pula pada proses pembagian harta bersama atau harta gono-gini. Namun, dalam artikel ini, kita akan lebih membahas pada cara pembagian harta bersama ketika terjadi cerai mati.

Harta Apa Saja yang Termasuk Harta Gono-gini?

Perlu diketahui, tidak semua harga yang ditinggalkan oleh suami atau istri termasuk dalam harta bersama. Anda perlu mengetahui definisi dari harta gono-gini sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Perlu diketahui, tidak ada istilah harta gono-gini dalam aturan perundang-undangan di Indonesia. Hanya saja, penyebutan jenis harta pada perkawinan ini mengacu pada pemakaian istilah harta bersama seperti yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang tersebut menuliskan, bahwa harta bersama merupakan semua jenis harta benda yang didapatkan oleh pasangan suami istri selama perkawinan. Dalam pemakaiannya, baik istri atau suami memiliki hak yang sama. Selain itu, penggunaannya juga harus disertai dengan persetujuan dari pihak lain.

Selain harta bersama, ada pula jenis harta lain yang tidak termasuk di dalamnya. Jenis harta tersebut adalah harta bawaan. Harta bawaan merupakan jenis harta yang dibawa oleh seorang istri atau suami sebelum menjalani perkawinan. Harta bawaan bisa berasal dari berbagai sumber, misalnya dari, penghasilan ketika masih belum kawin, hadiah, ataupun warisan.

Berbeda dengan harta bersama, kepemilikan jenis harta ini berada pada pihak yang memperoleh atau membawanya. Oleh karena itu, jenis harta ini tidak termasuk dalam harta gono-gini yang perlu dibagi ketika terjadi perceraian, baik cerai mati ataupun cerai hidup.

Dasar Hukum Cara Pembagian Harta Gono-gini Cerai Mati di Indonesia

Dasar hukum yang bisa digunakan untuk pembagian harta gono-gini cerai mati bisa dijumpai pada Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Undang-Undang Perkawinan tidak secara khusus menyebutkan cara pembagian untuk kasus cerai mati. Aturan ini hanya menyebutkan kalau perpisahan dalam sebuah perkawinan bisa diakibatkan oleh 3 hal, yakni kematian, perceraian, serta keputusan pengadilan.

Hanya saja, aturan perundang-undangan ini mengatur secara umum pembagian harta bersama akibat perceraian. Menurut UU Perkawinan, harta bersama harus dibagi secara merata, terlepas perpisahan itu terjadi akibat kematian, perceraian, atau keputusan pengadilan.

Sementara itu, Inpres KHI lebih mendetail dalam mengatur pembagian harta gono-gini kepada suami atau istri yang ditinggal mati pasangannya. Pada pasal 96 disebutkan bahwa ketika terjadi cerai mati, maka setengah dari seluruh harta bersama merupakan hak dari pasangan yang hidup lebih lama.

Hanya saja, masih menurut Inpres KHI, pembagian harta bersama akibat cerai mati itu tidak bisa secara langsung dilakukan. Pembagian ini masih harus disertai dengan kepastian kematian yang hakiki atau kepastian kematian secara hukum berdasarkan putusan pengadilan.

Pembagian harta akibat kematian harus dilakukan secara adil. Pembagian itu tidak hanya menyangkut harta gono-gini, melainkan juga termasuk harta warisan. Dengan pembagian yang adil, harta tersebut tidak akan menjadi sumber perpecahan dalam keluarga.

Perpecahan karena masalah harta yang ditinggalkan oleh seorang yang telah meninggal itu tentu tidak diinginkan oleh siapapun. Baik oleh pihak yang masih hidup, ataupun orang yang telah meninggal dunia. Setuju, kan?



Sumber: IndonesiaGO Digital

Jumat, 16 Juli 2021

Legalitas Perkawinan Beda Keyakinan di Indonesia

 

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]

Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan haruslah memberitahukan perihal rencana perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama bagi calon mempelai yang beragama Islam dan Pencatatan Sipil bagi yang beragama selain Islam sebagaimana dijelaskan  dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lantas, bagaimanakah dengan perkawinan yang hendak dilakukan oleh pasangan yang berbeda keyakinan?

Negara Indonesia tidak mempunyai aturan hukum yang mengatur secara jelas mengenai perkawinan beda keyakinan. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) menyatakan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Bila mengacu pada pasal tersebut, tentunya akan banyak penafsiran apakah benar dibolehkan dilakukan perkawinan beda keyakinan selama menurut hukum agama diperbolehkan ataukah sebaliknya. Dalam Undang-Undang Perkawinan sendiri juga tidak dijelaskan secara tegas perihal perkawinan beda keyakinan.

Ketentuan Penutup Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”[2]

Secara a contrario, ketentuan perkawinan beda keyakinan dapat mengacu pada ketentuan perihal perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengingat tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai perkawinan beda keyakinan, namun ketentuan ini tidak serta merta dapat menjadi acuan mengingat banyaknya penafrisan dan pendapat para ahli hukum yang berbeda.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Undang-Undang Administrasi Kependudukan) Pasal 35 menyatakan bahwa:

Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:

  1. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
  2. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkuta.”

Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.[3] Sejauh diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan selama adanya penetapan yang dikeluarkankan oleh Pengadilan perihal permohonan perkawinan beda keyakinan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 perihal permohonan agar perkawinan beda keyakinan dapat dicatatkan, pada pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung menjelaskan bahwa untuk mengisi kekosongan hukum dikarenakan tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan beda keyakinan, pencatatan perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil.

Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya juga menyebutkan, “Bahwa perbedaan agama dari calon suami istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka.” Persoalan boleh atau tidaknya dilangsungkan perkawinan beda keyakinan juga diperkuat dengan Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Dalam penetapan tersebut, Majelis Hakim memberikan izin kepada pasangan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan beda keyakinan.

Berdasarkan penjabaran secara singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda keyakinan dapat dilakukan sepanjang calon pasangan suami-isteri mengajukan permohonan ke Pengadilan sehingga Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan dijadikan dasar agar perkawinan beda keyakinan tersebut dapat dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yakni Pencatatan Sipil sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Kependudukan.

Adapun karena fenomena perkawinan beda keyakinan kerap terjadi dan masih belum adanya dasar hukum yang secara tegas mengatur mengenai perkawinan beda keyakinan, Pemerintah sudah selayaknya membuat peraturan atau memperbaharui ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan sehingga tidak ada lagi kekosongan hukum bagi pihak yang hendak melangsungkan perkawinan beda keyakinan.

 

Referensi:

[1] Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[2] Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[3] Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006

 

Penulis:
Lordamanu
(Advokat)

 

Sumber: Doktor Hukum

 

 

Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian/Kontrak


Asas dalam hukum perjanjian/kontrak dapat dikatakan sebagai batu uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya.  Apabila dilihat dari segi fungsinya, maka asas dalam hukum perjanjian/kontrak memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu Pertama, membangun fondasi bagi kontruksi hukum kontrak yang kokoh, yang menempatkan kedudukan hukum para pihak yang membuat kontrak dalam hubungan-hubungan hukum kontekstual yang setara, jelas dan konkrit. Kedua, mengarahkan para pihak yang membuat perjanjian/kontrak untuk mementukan substansi (isi)-nya yang memuat hak dan kewajiban serta hubungan hukum yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Isnaeni menegaskan beberapa asas hukum perjanjian/kontrak selain asas kebebasan berkontrak, yaitu :

  1. Asas pacta sunt servanda;
  2. Asas kesederajatan;
  3. Asas privity of contract;
  4. Asas konsensualisme; dan
  5. Asas itikat baik.

Sedangkan, menurut Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan beberapa asas dalam kontrak/perjanjian, yaitu :

  1. Asas perjanjian yang sah adalah undang-undang;
  2. Asas kebebasan berkontrak;
  3. Asas konsensulisme;
  4. Asas kepercayaan;
  5. Asas kekuatan mengikat;
  6. Asas persamaan hukum;
  7. Asas keseimbangan;
  8. Asas kepastian hukum;
  9. Asas moral; dan
  10. Asas kepatutan.

Pada dasarnya asas-asas yang disebutkan diatas tidak dipisahkan satu sama lain, karena keberadaannya yang mandiri dan berdiri sendiri serta setara satu sama lain. kemudian selain itu, saling mengisi dan melengkapi. Bekerjanya asas-asas hukum kontrak berdasarkan fungsi “check and balances system”,  sehingga menjangkau perjanjian/kontrak yang bersangkutan.

Terkait dengan asas hukum yang disebutkan diatas, maka penulis akan menguraikan beberapa asas yang dianggap penting untuk diperhatikan para pihak dalam membuat suatu kontrak/perjanjian :

 

1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak ini dikenal dengan istilah “partij otonomie” atau “freedom of contract” atau “liberty of contract”. Pada dasarnya asas ini bersifat universal dikarenakan digunakan disemua negara pada umumnya.

Adapun latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara emberional lahir pada zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau. Menurut paham Individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Asas kebebasan berkontrak ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Salah satu dasar hukum untuk melihat diberlakukannya asas kebebasan berkontrak tersebut adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”  Kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) tersebut pada dasarnya :

  1. Memberikan kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
  2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
  3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya,
  4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Keempat hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

 

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme ini berasal dari kata latin “concensus” yang artinya sepakat. Dalam mebuat kontrak disyaratkan adanya consensus, yaitu para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang dijanjikan atau dapat diartikan, perjanjian/kontrak tersebut di dadasari adanya kata “sepakat dari kedua pihak”. Asas konsensualisme didasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan salah satu syarat dalam perjanjian adalah adanya “kesepakatan kedua pihak”.

Walaupun terjadi kesepakatan, tetapi perlu tetap diperhatikan unsur “kehendak” dalam melakukan kesepakatan tersebut. Apabila kehendak melakukan perjanjian/kontrak atas dasar kedua belah pihak, maka perjanjian dianggap sah. Namun, apabila perjanjian/kontrak yang dilakukan dengan adanya paksaan (conradictio interminis), maka perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan dengan memohon kepada pengadilan. Dalam KUHPerdata terdapat hal-hal yang dapat dikategori dengan “cacat kehendak” yang membuat perjanjian/kontrak dapat dibatalkan, yaitu :

  1. Kesesatan (dwaling);
  2. Penipuan atau (bedrog); serta
  3. Paksaan atau (dwang).

 

3. Asas kekuatan hukum mengikat perjanjian/kontrak

Asas kekuatan mengikat perjanjian/kontrak mengharuskan para pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat. Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda, yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang memuat ketentuan imperatif, “semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Adapun pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang yang terkandung didalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya. Asas ini menimbulkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah memperjanjikan sesuatu memperoleh kepastian bahwa perjanjian itu dijamin pelaksanaannya.Hal ini sesuai dengan kekuatan Pasal 1338 KUH Perdata, yang intinya menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain diperbolehkan oleh undang-undang.

Asas ini dapat berlaku apabila kedudukan para pihak tidak seimbang.Tetapi jika kedudukan para pihak seimbang maka undang-undang memberi perlindungan bahwa perjanjian itu dapat dibatalkan, baik atas tuntutan para pihak yang dirugikan, kecuali dapat dibuktikan pihak yang dirugikan menyadari sepenuhnya akibat-akibat yang timbul.

 

4. Asas Itikat Baik

Asas itikad baik (in good faith) merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian/kontrak. Ketentuan ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dalam pelaksanaan perjanjian, asas itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu:

  1. Itikad baik dalam pengertian subyektif. Merupakan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu hubungan hukum berupa perkiraan bahwa syarat-syarat yang telah diperlukan telah dipenuhi, di sini berarti adanya sikap jujur dan tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat merugikan pihak lain.
  2. Itikad baik dalam pengertian obyektif. Ini merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan perjanjian yaitu pada saat melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum.Artinya bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas ketentuan yang benar, yaitu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.Asas itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan bahwa persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik.Dari ketentuan di atas, hakim diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

Pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan inilah yang dipandang adil dan hal ini dapat dikesampingkan oleh para pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud dari pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik adalah bagi para pihak dalam perjanjian harus ada keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan sehingga menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak. Adapun akibat dari pelanggaran asas itikad baik adalah perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan di pengadilan.

Dalam perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian, terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup.

 

Editor : R. Indra

 

Sumber: Doktor Hukum

Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana


 Asas-asas hukum dalam hukum acara pidana sangat penting, dikarenakan :

  1. Merupakan dasar dalam pembentukan hukum acara pidana;
  2. Memperlihatkan apakah hukum acara pidana yang dilaksanakan tersebut memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan (criminal justice system).
  3. Dijadikan dasar untuk mengukur apakah tindakan penegak hukum dalam melaksakan hukum acara pidana telah sesuai atau tidak.

Pada dasarnya asas dalam hukum acara pidana terdiri dari :

  1. Asas legalitas.  Asas legalitas dalam hukum pidana dan hukum acara pidana adalah sesuatu yang berbeda. Dalam hukum pidana, asas legalitas dapat diartikan “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana tanpa ada peraturan yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine lege poenali). Namun, dalam hukum acara pidana, asas legalitas memiliki makna setiap Penuntut Umum wajib segera mungkin menuntut setiap perkara. Artinya, asas legalitas lebih dimaknai setiap perkara hanya dapat diproses di pengadilan setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya. Sedangkan penyimpangan terhadap asas ini dikenal dengan asas oportunitas yang berarti bahwa demi kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana.
  2. Asas diferensiasi fungsional. Asas ini menyatakan setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain;
  3. Asas lex scripta. Asas ini  berarti hukum acara pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis. Selain itu, asas ini juga mengajarkan bahwa aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat.

Selain yang disebutkan diatas, terdapat beberapa asas dalam hukum acara pidana yang secara eksplisit juga diatut dalam KUHAP Indonesia, yaitu :

1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

Pemberlakuan asas ini sebenarnya diatur dalam  HIR. Selain itu, diatur juga dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” “Sederhana” berarti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif.  Sedangkan “Biaya ringan” artinya biaya perkara yang dapat di jangkau oleh masyarakat banyak. Adapun “Cepat” diartikan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim.

Apabila mengacu pada KUHAP, terdapat beberapa pasal yang dapat diketegorikan sebagai perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan ringan, yaitu misalnya dalam Pasal 50 ayat (1) yang merumuskan:

“Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”

Apabila mencermati  Pasal 50 ayat (1) tersebut,  terdapat kata “segera” yang berarti tersangka memilik hak  secara cepat mendapatkan pemeriksanaan yang selanjutnya diajukan kepada penuntut umum untuk dilakukan pemeriksanaan di pengadilan. Ini menunjukan pentingnya suatu kepastian hukum dalam pelaksanaan hukum acara pidana.

Selain itu, Pasal 67 juga dapat dimaknai adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yaitu :

“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”

Implementasi lainnya terhadap asas peradilan cepat dapat terlihat dalam hal batas waktu penahanan yang dilakukan oleh penegak hukum. Penahanan merupakan suatu hak dari para penegak hukum untuk menahan seseorang yang telah berstatus “tersangka” atau “terdakwa” dengan alasan untuk memperlancar penyidikan.  Pada dasarnya pengaturan mengenai batas waktu penahanan oleh penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang atas izin penuntut umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila  sampai batas waktu maksimal (60 hari) penyidik belum juga menyelesaikan penyidikannya, maka tersangka atau terdakwa harus segera dikeluarkan demi hukum dan tanpa syarat apapun. Begitu pula halnya apabila penahanan tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung (MA).

 

2. Praduga tak bersalah (presumption of innocence)

Asas ini mengandung makna setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan dipengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP yang disebutkan sebagai berikut :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Selain diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 1948  juga mengatur megenai pentingnya asas praduga tidak bersalah tersebut, yaitu :

“Everyone change with a penal offence has the right to be persumed innocent until proved guilty according to law in public trial at which he has all quarantees necessary for his defence.”

Dengan demikian, asas praduga tidak bersalah ini merupakan perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia (human rights).

 

3. Asas oportunitas

Asas Oportunitas merupakan suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. Pada dasarnya asas ini merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas. Artinya, demi kepentingan umum, asas legalitas tersebut dikecualikan. Dalam praktek, istilah asas oportunitas  disebut dengan istilah “deponering”.

Asas ini tidak dapat digunakan secara sembarangan. Asas ini hanya berlaku jika kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua jaksa dapat memberlakukan asas ini. Artinya, hanya “Jaksa Agung” yang dapat melaksanakan asas ini sebagaimana  diatur oleh Pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan , yaitu sebagai berikut :

“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”

 

4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum

Asas pengadilan terbuka untuk umum memiliki makna yaitu menghendaki adanya bentuk transparansi atau keterbukaan dalam sidang peradilan pidana. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yaitu :

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.”

Dari rumusan Pasal 153 tersebut, dapat dimaknai terdapat beberapa perkara dalam hukum  pidana yang mendapat pengecualian persidangan yang dibuka untuk umum, yaitu pertama, perkara kesusilaan dan kedua, terdakwanya adalah anak-anak. Yahya Harahap memberikan tanggapannya terkait dengan kenapa perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak tersebut pemeriksaan pengadilannya harus ditutup untuk umum, yaitu:

 “Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan memaparkannya secara terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anak-anak, cara-cara pemeriksaan persidangannya memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan yang agaknya bisa dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan” semata-mata.”

Apabila perkara terkait kesusilaan atau terdakwanya anak-anak tersebut tetap dilakukan persidangan dengan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP, yaitu :

“ tidak dipenuhinya dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”

Dengan dasar Pasal 153 ayat (4) KUHAP ini ,maka konsekuensi hukum jika perkara tetap dibuka untuk umum adalah putusan batal demi hukum.

 

5. Semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equlity before the law).

Asas diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law) adalah bentuk perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya. Maksud dari asas ini  adalah di depan pengadilan kedudukan semua orang sama, maka mereka harus diperlakukan sama. Seseorang bersalah maka harus dihukum, sedangkan  jika tidak  bersalah, maka harus dibebaskan. Selain itu, walaupun seseorang mendapatkan suatu hukuman, tetapi hukuman yang diberikan haruslah sesuai dengan   kesalahan yang diperbuatnya.

Penerapan asas ini dapat terlihat dalam penjelasan umum butir 3 a KUHAP yang menyebutkan :

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”

Selain itu, terlihat juga dalam  Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan  :

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

 

 6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannnya dan tetap

Asas ini meunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri yang dimana kesalahan terdakwa ditentukan oleh suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya biasanya mereka awam terhadap ilmu hukum.

 

7. Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan Hukum

Salah satu asas yang terdapat dalam KUHAP adalah bahwa tersangka dan terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 s/d Pasal 74 KUHAP. Bantuan hukum yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang advokat/pengacara. Bantuan hukum tersebut dianggap penting, sebab dengan didampingi seorang advokat/pengacara, maka seorang tersangka dan terdakwa dapat diberikan penjelasan mengenai hak-haknya secara independen. Selain itu, menurut hukum apabila diancam hukuman mati atau pidana penjara diatas 5 (lima) tahun, maka seorang tersangka atau terdakwa wajib  diberikan bantuan hukum dengan didampingi oleh seorang advokat/pengacara.

Pada dasarya hak untuk mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi seorang advokat/pengacara merupakan konsep yang diadopsi dari “miranda rule” yang kemudian  diakomodir dalam KUHAP.  Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum pada dasarnya menghormati konsep miranda rule ini. Komitmennya terhadap penghormatan miranda rule telah dibuktikan dengan mengadopsinya ke dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP :

“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.”

Asas ini juga berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan diaturnya dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d yang menyebutkan sebagai berikut :

“To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interest justice so require, and without payment by him in any such case, if he does not have sufficient means topay for it.” (Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran).”

 

8. Asas Akusator

Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Asas ini merupakan asas yang dianut KUHAP yang berbeda dengan asas inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan sebagaimana diatur dalam HIR.

Asas inkuisatoir yang dianut dalam  HIR berbeda dengan asas akusator yang dianut dalam KUHAP yang ditandari adanya perubahan istilah salah satu alat bukti. Dalam HIR disebut dengan “pengakuan terdakwa”, sedangkan di dalam KUHAP disebut dengan “keterangan terdakwa”.  Istilah “pengakuan terdakwa” dalam HIR memiliki kecenderungan  terdakwa harus mengakui bahwa dia bersalah, sedangkan istilah “keterangan terdakwa” lebih kepada adanya hak terdakwa untuk membela diri sebagai bentuk perlindungan hak-hak terdakwa.

 

9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Asas ini menghendaki dalam pemeriksaan sidang perkara pidana, pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara perdata yang di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan oleh hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis sebagaimana antara hakim dan terdakwa.

Dasar hukum mengenai asas ini  diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Dari “asas langsung” tersebut yang dipandang sebagai pengecualian adanya kemungkinan dari putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau in absentia.

Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan  dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap dan cara mereka dalam memberikan keterangan.

 

10. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut (remedy and rehabilitation).

Apabila terdapat seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan konsekuensi sanksinya bagi para pejabat penegak hukum tersebut apabila dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi. Tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang atau kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan. Dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa baik ketika perkara pidananya diperiksa maupun setelah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana yang bersangkutan. Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi:

  1. Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum;
  2. Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang-undang;
  3. Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum, dan
  4. Penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person).

Terkait upaya prapradilan tersebut diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP.

 

 

Referensi selain peraturan perundang-undangan :

  1. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
  2. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, Modul Pengantar Hukum Acara Pidana.

 

Penulis :

R. Indra

 

Sumber: Doktor Hukum

Rabu, 02 Juni 2021

Penetapan Pengadilan Terkait Penerbitan Akta Kelahiran Anak Luar Kawin

Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.

Pertanyaan

Kami punya anak yang lahir tahun 2008, sedangkan kami nikah resmi tahun 2014. Saat kami mengurus akte kelahiran anak di dispendukcapil, oleh pegawainya kami disuruh untuk membuat surat pengesahan di pengadilan agar nama ayah tercantum karena anak kami adalah anak di luar nikah. Saat ini kami sangat membutuhkan akte tersebut. Apa kami ke pengadilan agama atau ke pengadilan negeri? Syarat-syarat apa saja yang diperlukan di pengadilan? Terima kasih.


Ulasan:
 
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 
Berdasarkan keterangan bahwa anak Anda lahir pada 2008 serta Anda dan pasangan menikah resmi 2014, maka ini berarti anak Anda lahir di luar perkawinan (anak luar kawin). Masalah hubungan hukum antara anak yang dilahirkan di luar kawin dengan orang tuanya itu sendiri diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).

 
Namun, Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca:

 
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

 
Jadi, jika Anda menginginkan anak Anda memiliki hubungan perdata dengan ayahnya juga, hal itu dapat dibuktikan secara hukum, yakni melalui penetapan pengadilan. Untuk kepentingan penerbitan akta kelahiran, apa yang dikatakan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) itu benar bahwa diperlukan penetapan pengadilan guna perlindungan hukum anak itu sendiri.

 
Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., MH dalam laman resminya Jimly School menjelaskan bahwa Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum.

 
Dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) antara lain dikatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia. Pengakuan status hukum pada peristiwa penting di sini salah satunya adalah diterbitkannya akta kelahiran.

 
Pada dasarnya, setiap kelahiran wajib dilaporkan kepada instansi yang mengurus administrasi kependudukan untuk dibuatkan aktanya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Adminduk:

 
(1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.

(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.

 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Akta Kelahiran Anak yang Lahir Sebelum Perkawinan Tercatat di KUA.

 
Pengadilan yang Berwenang
Kemudian, soal pengadilan yang berwenang mengeluarkan penetapan soal pengesahan anak luar kawin, bagi yang beragama Islam, permohonan penetapan pengadilan diajukan ke pengadilan agama. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan. Adapun yang termasuk perkara di bidang perkawinan salah satunya adalah penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam (lihat penjelasan pasal angka 20).[1]

 
Sedangkan bagi yang beragama non Islam, permohonan penetapan pengadilan soal pengesahan anak luar kawin diajukan ke pengadilan negeri.[2]

 
Hal serupa mengenai akta kelahiran anak luar kawin juga dijelaskan dalam artikel Akta Anak di Luar Nikah Resmi Butuh Penetapan dari Pengadilan yang kami akses dari laman berita online Jawa Tengah antarajateng.com, Kepala Bidang Pecatatan Sipil Dispendukcapil Kota Semarang Retno Tri Widyastuti menjelaskan bahwa bagi yang ingin mendapatkan akta kelahiran, maka harus mengajukan sendiri dengan membawa alat bukti tes DNA dan memohon penetapan dari pengadilan dengan dasar putusan MK. Tugas Dispendukcapil adalah mencatat dan tidak dapat membuktikan anak lelaki atau perempuan siapa (orang tuanya). Oleh karena itu, untuk membuktikan kebenaran tersebut, harus dibuktikan di pengadilan. Jika Islam di Pengadilan Agama, sementara yang non-Islam di Pengadilan Negeri.

 
Sebagai contoh permohonan penetapan pengadilan untuk yang beragama non-muslim ke Pengadilan Negeri dapat kita lihat dalam Penetapan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor Nomor : 29/PDT.P /2011 /PN .CLP. Dalam penetapan tersebut diketahui bahwa para pemohon telah menikah pada 25 Juli 2010 di Gereja Kawunganten. Sebelum menikah, para pemohon telah mempunyai seorang anak laki-laki luar kawin bernama Putra Arjun Shane Reginal yang lahir pada 28 Maret 2006. Kurang tahunya para pemohon saat melangsungkan perkawinan tersebut, para pemohon tidak mengesahkan secara langsung anak luar kawinnya sebagai anak sah para pemohon dan dibutuhkan untuk dicatat dan didaftar mengenai pengakuan dan pengesahan anak luar kawin ke dalam register akta kelahiran. Untuk itu, para pemohon meminta penetapan dari pengadilan. Akhirnya, Pengadilan Negeri Cilacap menyatakan bahwa para pemohon mengakui dan mengesahkan anak luar kawin tersebut sebagai anak sah dari pemohon dan memerintahkan panitera untuk mengirimkan salinan sah penetapan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kabupaten Cilacap guna kepentingan penerbitan Akta Kelahiran.

 
Adapun soal syarat-syarat yang diperlukan pengadilan sehubungan dengan bukti-bukti yang perlu Anda persiapkan, dalam Penetapan Pengadilan Negeri Cilacap di atas diketahui bahwa bukti-bukti yang diajukan untuk penetapan Pengesahan anak luar kawin antara lain yaitu:

a.    fotokopi identitas kedua orang tua,

b.    fotokopi kutipan akta perkawinan atau yang dalam agama Islam adalah buku nikah,

c.    fotokopi surat keterangan domisili, dan

d.    surat pernyataan pengakuan anak.

 
Namun, berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang telah diputus MK di atas, maka ada baiknya Anda juga lengkapi dengan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa anak tersebut benar anak dari Anda dan pasangan, yakni yang dikenal dengan tes Deoxyribonucleic Acid (tes DNA). 

 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


Dasar Hukum:
1.    Undang-Undang Dasar 1945;

2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

4.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013;

5.    Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

 
Putusan:
1.    Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
2.    Penetapan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor Nomor : 29/PDT.P /2011 /PN .CLP.


Referensi:
1. http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-status-anak-luar-kawin/ diakses pada 16 April 2015 pukul 16.34 WIB.

2.    http://www.antarajateng.com/detail/akta-anak-di-luar-nikah-resmi-butuh-penetapan-dari-pengadilan.html, diakses pada 16 April 2015 pukul 18.02 WIB.

 

[1] Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

[2] Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


Kamis, 01 April 2021

Layar Terkembang untuk Hak Gugat Organisasi, Class Action, dan Citizen Lawsuit

Hukum acara yang diamanatkan perundang-undangan nasional justru berbeda-beda. Ada yang menunggu Hukum Acara Perdata nasional, ada yang menyerahkan pada Perma. 


 

Perkembangan hukum acara perdata Indonesia dipengaruhi pula penyerapan  sistem hukum luar negeri akibat pergaulan dan hubungan hukum lintas negara. Praktek hukum luar negeri dicoba untuk diterapkan di Indonesia melalui mekanisme pengadilan. Tiga konsep hukum yang kuat pengaruhnya pada hukum acara perdata adalah hak gugat organisasi, class action, dan citizen lawsuit.

Hukum acara perdata yang diperbaharui (HIR) dan RBg belum mengatur ketiga konsep hukum ini. Alih-alih mengatur, konsep hukum ini kadang masih menimbulkan kontroversi dalam praktek. Salah satunya karena ketiadaan tata cara yang jelas. Tidak mengherankan, pengaturannya bergantung pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma), bukan pada Hukum Acara Perdata. Inilah yang membuat banyak orang tertarik untuk menelusuri ketiga konsep hukum ini, sekaligus menjawab ‘teka-teki’ mekanisme gugatannya.

Fajar Winarni, salah seorang yang mendalami hak gugat organisasi, dan berhasil mempertahankan disertasi mengenai topik ini (Kajian Yuridis Legal Standing Organisasi Lingkungan Hidup di Indonesia) pada Desember tahun lalu. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta melakukan kajian tentang hak gugat organisasi lingkungan hidup yang disebut legal standing dalam hukum Indonesia. “Pada awal pengajuannya ke pengadilan, legal standing organisasi lingkungan hidup selalu ditolak oleh hakim karena tidak ada peraturannya dalam hukum acara perdata yang berlaku,” jelas Winarni kepada hukumonline.

Perubahan justru terjadi paa 1988 ketika  mulai ada pergeseran paradigma hakim dalam memahami makna ‘partisipasi masyarakat’ dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pertama kalinya, perubahan paradigma itu tampak pada gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap PT Inti Indorayon Utama (IIU), Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, dan Gubernur Sumatera Utara. Dalam putusan perkara ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengakui legal standing Walhi. “Kasus tersebut telah mengukir sejarah, karena legal standing Walhi diterima oleh hakim meskipun saat itu belum ada peraturannya,” ujar Winarni.

Setelah putusan itu, Pemerintah dan DPR akhirnya mengadopsi konsep legal standing dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengakuan yang tegas juga dimasukkan dalam perubahan Undang-Undang tersebut, yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 92 ayat (1) UU PPLH menegaskan ‘Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”.

Organisasi lingkungan yang dapat mengajukan gugatan adalah organisasi yang memenuhi syarat: berbentuk badan hukum; menegaskan di dalam Anggaran Dasarnya bahwa organisasi itu didirikan untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup; dan telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasarnya paling singkat dua tahun. Persyaratan inilah yang diuji hakim dalam perkembangan gugatan legal standing pasca pengakuan terhadap konsep ini sejak 1997.

Peraturan perundang-undangan sektoral, kata Fajar, sebenarnya sudah banyak mengatur legal standing. Ia juga menepis pandangan bahwa pemberian hak gugat organisasi itu tidak bertentangan dengan asas point d’interest point d’action. Legal standing organisasi justru memperluas makna kepentingan dalam hukum. Dalam hukum perdata konvensional, kepentingan hukum itu adalah kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan atau kepentingan materiil berupa kerugian yang dialami secara langsung. Dalam legal standing organisasi lingkungan hidup, kepentingan hukumnya diartikan sebagai kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, organisasi lingkungan hidup tidak memiliki kepentingan kepemilikan atau mengalami kerugian secara langsung. “Inilah yang belum terakomodasi dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku,” jelasnya kepada hukumonline.

Dijelaskan Winarni, pemberian hak gugat bagi organisasi lingkungan hidup untuk beracara di pengadilan sebagai wali bagi lingkungan hidup, berarti bahwa lingkungan hidup secara implicit telah diakui memiliki hak. Legal standing organisasi lingkungan hidup itu penting bagi perlindungan ligkungan karena banyak faktor. Misalnya faktor kepentingan masyarakat luas, faktor penguasaan sumber daya alam oleh negara, serta organisasi lingkungan hidup menguasai dan memiliki pengetahuan dan wawasan tentang apa yang menjadi fokus kegiatannya.


Class action

Konsep class action, gugatan perwakilan, atau gugatan kelas masyarakat, berasal dari tradisi hukum Anglo Saxon, yang kemudian diterima berdasarkan praktek peradilan. Bahkan kemudian diatur dalam perundang-undangan. Semula, konsep class action dikenal dalam lingkup lingkungan hidup. Belakangan, berkembang ke bidang lain seperti perlindungan konsumen, perbankan, jasa jasa konstruksi.

Berdasarkan penelusuran yang pernah dilakukan, belasan Undang-Undang di Indonesia mengakomodasi hak warga negara mengajukan class action. Bahkan mungkin di luar perkiraan. Sekadar contoh, di bidang antariksa. Pasal 29 ayat (2) huruf h UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan menyebut peran serta masyarakat untuk melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan keantariksaan yang mengganggu, merugikan, atau membahayakan kepentingan umum.

Pengaturan hukum acara class action termasuk yang menggambarkan ketidakharmonisan perundang-undangan. Dari 18 Undang-Undang yang memuat aturan class action, sebagian menyebutkan peraturan lebih lanjut mengenai class action diatur dalam perundang-undangan. Rumusan ini tak menyebut tegas dan detil, perundang-undangan dimaksud. Ini model pengaturan pertama.

Model pengaturan kedua adalah menyebutkan secara tegas. UU Jasa Konstruksi yang lama (UU No. 18 Tahun 1999) menyebutkan pengaturan lebih lanjut gugatan perwakilan kelompok mengacu pada Hukum Acara Perdata. Masalahnya, HIR/Rbg –hukum acara perdata yang masih berlaku kini, tak mengatur class action. Banyak pertanyaan yang muncul, termasuk bagaimana membuat surat gugatan perwakilan kelompok.

Untuk mengatasi kekosongan hukum itulah Mahkamah Agung pernah menerbitkan Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Perma ini, sesuai judulnya, menjadi panduan hukum acara yang bersifat sementara. Dalam Konsiderans Perma disebutkan ‘Sambil menunggu peraturan perundang-undangan, dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam memeriksa, mengadili dan memutus gugatan perwakilan kelompok, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung”.

Sifat kesementaraan Perma tersebut mengandung makna bahwa Mahkamah Agung pun sebenarnya menunggu selesainya Hukum Acara Perdata. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Balitbang Kumdil Mahkamah Agung, Basuki Rekso Wibowo, mengatakan konsep-konsep baru dalam hukum itu perlu dimasukkan dalam hukum acara perdata nasional ke depan. Menurut dia, praktek peradilan yang selama ini banyak diisi lewat Perma sebaiknya dimaksukkan ke dalam RUU Hukum Acara Perdata.

Gugatan permintaan ganti rugi dengan menggunakan mekanisme class action sudah banyak diajukan. Bukan hanya kasus kerusakan lingkungan hidup, tetapi juga kasus kecelakaan kereta api. Salah satu yang berhasil adalah gugatan korban tabrakan kereta api (KA) Empu Jaya dengan KA Gaya Baru Malam di Brebes. Kecelakaan yang menewaskan lebih dari 31 orang itu mendorong korban dan ahli waris menggugat secara class action PT KAI, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN dan Menteri Keuangan untuk membayar ganti rugi kepada para korban. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu, dan tergugat membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan.


Citizen Lawsuit (CLS)

Kemenangan 12 warga negara di tingkat kasasi melawan Pemprov DKI Jakarta dalam kasus swastanisasi air adalah contoh konkrit gugatan bernama citizen lawsuit (CLS). Dalam putusan No. 31 K/Pdt/2017, Mahkamah Agung menyatakan tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia atas air terhadap warga DKI Jakarta. Putusan ini juga memicu kaji ulang terhadap kontrak pengelolaan air minum antara Pemprov DKI Jakarta dengan perusahaan swasta.

Lepas dari masalah swastanisasi air, putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan salah satu konsep hukum CLS yang berkembang dalam praktek. Sebelumnya, gugatan warga negara juga pernah diakomodasi dalam kasus ujian nasional (UN). CLS menjadi salah satu konsep hukum perdata yang berkembang sejak masuknya gugatan Tim Advokasi Tragedi Nunukan, sebuah gugatan model CLS terhadap instansi pemerintah terkait penanganan buruh migran di Nunukan, Kalimantan Timur.


Contoh Gugatan CLS di Indonesia


· Gugatan warga negara terhadap sejumlah instansi pemerintah dalam penanganan buruh migrant di Nunukan Kalimantan Timur (2003). PN Jakarta Pusat menerima gugatan, tetapi di tingkat banding penggugat kalah. Inilah CLS pertama di Indonesia. Gugatan CLS ini menginspirasi lahirnya UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

· Gugatan korban ujian nasional terhadap pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan, dan menghukum pemerintah melakukan perbaikan.

· Gugatan warga negara atas swastanisasi air di Jakarta. Diterima Mahkamah Agung.

· Gugatan rakyat miskin terhadap pemerintah yang melakukan operasi yustisi atau operasi kependudukan di Jakarta. Gugatan ini ditolak.


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung sendiri sudah pernah melakukan kajian terhadap CLS, dan hasil kajian itu diterbitkan pada tahun (2009). Dalam penelitian itu disebutkan CLS adalah perwujudan akses individu/orang perorangan warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik. Setiap warga negara dapat mengajukan gugatan terhadap tindakan atau pembiaran (omisi) oleh negara terhadap hak-hak warga negaranya. Intinya, CLS adalah mekanisme bagi warga negara meminta tanggung jawab penyelengara negara atas kewajiban hukumnya.

Seperti halnya class action, CLS juga diadopsi dari sistem hukum Common Law di Anglo Saxon. Modelnya mirip gugatan action popularis dalam Civil Law. Perkembangan awalnya juga ditetemukan dalam kasus lingkungan, meskipun kini sudah meluas. Namun, persoalan yang dihadapi dalam CLS lebih pelik dibandingkan legal standing organisasi dan class action karena CLS tak diatur sekali dalam perundang-undangan. Selama ini, hakim menerima CLS antara lain mendasarkan pada prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya dan prinsip hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Penelitian Puslitbang MA juga menggarisbawahi tentang pentingnya mengatur tata cara CLS terutama berkaitan dengan penentuan hak gugat (standing) dari subjek hukum penggugat, kriteria tergugat, kriteria materi gugatan, dan perlunya notifikasi. Perlunya pengaturan lebih lanjut juga didasari kenyataan bahwa belum semua hakim punya pandangan yang sama tentang CLS. Penelitian Puslitbang MA merekomendasikan pembuatan Perma tentang Citizen Lawsuit.

Advokat publik LBH Jakarta, Matthew Michelle, percaya perbedaan perspektif hakim dalam CLS tak lepas dari ketiadaan hukum acara yang mengaturnya. Jika tak diatur segera, ia khawatir hakim tak punya standar baku, sehingga putusan pengadilan berbeda-beda. “Hambatannya nanti di perspektif hakim ke depan yang menilai. Pengadilan harus strict pada hukum acara,” ujarnya kepada hukumonline.

Kini, tinggal menunggu bagaimana Hukum Acara Perdata nasional mengaturnya. Sebuah teka-teki yang tak bisa dijawab kepastiannya.

 

 

Sumber: Hukum Online

 

 

 

 

Class Action

 

Gugatan kelompok atau lebih dikenal dengan nama class action atau class representative adalah pranata hukum yang berasal dari sistem common law. walaupun demikian, banyak juga negara-negara yang menganut sistem civil law (seperti Indonesia) prinsip tersebut diadopsi, seperti yang ada dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yang baru.

 

Class action adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok. Persyaratan umum yang perlu ada mencakup banyak orangnya, tuntutan kelompok lebih praktis, dan perwakilannya harus jujur dan adequate (layak). Dapat diterima oleh kelompok, dan mempunyai kepentingan hukum dan fakta dari pihak yang diwakili.

Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.

Peran pengadilan sangat besar karena setiap perwakilan untuk maju beracara di peradilan harus mendapat persetujuan dari pengadilan, dimana pengadilan akan menilai/memperhatikan:

a. Class action merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan;

b. mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama;

c. penggugatnya sangat banyak; dan

d. perwakilannya layak atau patut.

 

kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

 

Demikianlah semoga bermanfaat.

 

 

Sumber: Hukum Online