Cari Blog Ini

Sabtu, 21 Maret 2020

Pengacara, Profesi yang Mulia dan Terhormat.

Pengacara / Advokat  seperti yang kita ketahui dalam istilah yang terdapat di Negara Indonesia ialah Orang yang memberikan Advise / Nasihat , Mendampingi maupun mewakili seseorang yang mempunyai masalah hukum dan bertindak demi kepentingan hukum orang yang membutuhkan jasa pengacara tersebut.

      Sering juga pernah terdengar istilah lain dari Pengacara, yaitu Pengacara ialah Singkatan dari pada "Pengangguran Banyak Acara", istilah tersebut memang agak terdengar jenaka namun hal tersebut memang benar adanya karena bisa juga mereka yang berprofesi sebagai pengacara bisa menjadi pengangguran jika tidak ada Kasus yang ditangani. karena Profesi Tersebut merupakan satu-satunya Penegak hukum yang independen atau berdiri sendiri dan tidak digaji oleh Negara seperti penegak hukum lainnya, contoh : Polisi, Jaksa, dan Hakim. artinya pendapatan atau penghasilan pengacara bergantung dari pada Klien yang memakai jasanya tersebut.

      Di Negara Indonesia Profesi Pengacara / Advokat tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat , didalamnya berisi syarat-syarat untuk menjadi pengacara / advokat, dan juga kode etik Pengacara/ Advokat dalam Berpraktek Hukum. Secara Teknis itulah payung Hukum Pengacara / Advokat dalam memberikan jasa Hukum di Indonesia. 

      Pengacara selalu Identik dengan Jas beserta Dasinya ketika bersidang maupun diluar persidangan, bahkan kadang juga Pengacara identik dengan kerapihan dan kemehawannya dalam berpakaian sehingga ketika sebagian masyarakat melihat cara berpakaian tersebut pastinya sudah bisa menebak apa profesi dari orang tersebut, dan tidak lain ialah Pengacara / Advokat. 
      
      Profesi ini di Indonesia sendiri mulai banyak diminati oleh para lulusan Sarjana Hukum dari kampus-kampus yang berada di seluruh Indonesia. tidak hanya para lulusan Baru yang meminatinya melainkan pensiunan polisi, pensiunan Jaksa, pensiunan Hakim, pensiunan pegawai negeri sipil bahkan para pekerja yang sudah tidak aktif atau pensiun dari tempat Perusahaan dia bekerja juga meminatinya, ketika sudah tidak menjabat lagi dalam jabatan yang dijelaskan sebelumnya. Alasan tersebut Karena dalam Pengacara / Advokat ketika berpraktek tidak ditentukan batas usia Maksimal untuk menjadi Pengacara/ Advokat di Indonesia dan juga dalam hal pendapatan sangat menggiurkan  bagi peminat profesi ini, ketika melihat banyak pengacara-pengacara kondang di Indonesia yang kaya raya, dan sukses atau berhasil dalam menjalankan profesinya tersebut.
      Pengacara / Advokat sangat dibutuhkan dalam perkembangan zaman yang terjadi di Indonesia maupun di dunia, karena dari segala aspek kehidupan seperti Keuangan, Teknologi, Hubungan Perindustrian, dll sangat memerlukan jasa dari pada pengacara ketika timbulnya suatu permasalahan  hukum nantinya (bisa dibilang profesi ini tak lekang oleh waktu).

      Dan Perlu diketahui selain seperti yang dijelaskan tersebut diatas,  Pengacara / Advokat ialah Profesi yang Mulia dan Terhormat dalam istilah lainnya dikenal dengan sebutan "Officium Nobile" , Artinya dalam pekerjaan yang dilakukan oleh profesi ini, Pengacara selalu berusaha berjuang supaya apa yang menjadi hak dari pada seseorang maupun berkelompok yang diambil dari padanya bisa terpenuhi atau hak yang seharusnya diterima oleh seseorang maupun berkelompok bisa terpenuhi. oleh karena itu Profesi ini bisa dibilang sebagai "Dokter Hukum" bagi orang yang memerlukan bantuannya, Karena Pekerjaan Sejati dalam Profesi ini ialah "Pemecah Masalah"


Demikian Semoga Bermanfaat , Terimakasih .



Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat


4 Alasan Penting Kenapa Anda Perlu Untuk Melek Hukum

Hukum adalah Kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur manusia dalam kehidupan bermasyarakat di Lingkungan sekitarnya, dimana dalam peraturan-peraturan tersebut selain menjaga hak dari pada manusia itu sendiri, juga terdapat kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia itu sendiri. Biasa nya orang yang melanggar Hukum bisa terkena sanksi dan/atau denda didalam peraturan yang dilanggar tersebut. 

      Selain dari definisi tentang hukum diatas, Pengertian dari Hukum sendiri menurut penulis ialah Hanya Untuk Kepentingan Umat Manusia. Artinya aturan hukum yang dibuat harus disesuaikan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan manusia itu sendiri dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya. Diikuti dengan perkembangan zaman yang terjadi di dalam kehidupan manusia dan juga diikuti kepada masalah -masalah yang dialami oleh manusia itu sendiri sehingga dibutuhkan peraturan yang dianggap adil bagi manusia dalam berkehidupan di lingkugan sekitarnya. 

      Dan Terkait judul diatas yang membahas tentang Melek Hukum, sebelum masuk dari pembahasan inti arti dari pentingnya anda perlu untuk Melek Hukum, Menurut Penulis Melek Hukum itu sendiri ialah Manusia yang paham tentang hukum atau mengerti mengenai apa yang dilarang maupun apa yang menjadi hak-hak nya dari segi hukum. Karena kata Melek tersebut memiliki arti yaitu "Dapat Melihat" menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan Hukum memiliki arti seperti yang dijelaskan oleh penulis sebelumnya. 



      Melek hukum di zaman yang serba canggih ini sekarang sudah sangat mudah, Selain anda bisa pergi ke toko buku untuk membeli sebuah buku hukum atau memesan buku hukum melalui media online, sekarang dengan hanya membuka handphone dan membaca peraturan atau kumpulan artikel yang membahas tentang Hukum, anda juga sudah bisa mengerti dan mendapat pengetahuan baru mengenai hukum yang sangat berdampak positif bagi hidup anda. Dan inilah 4 Alasan yang sangat penting menurut penulis kenapa anda perlu untuk Melek Hukum di zaman sekarang ini, Berikut Penjelasannya :

1. Anda Bisa Tau Apa Yang Menjadi Hak-Hak Anda
      Ketika anda mengalami sebuah masalah apalagi mengenai masalah hukum yang sangat membuat anda kebingungan, pasti anda sangat merasa buta atau sama sekali tidak mengerti apa saja yang menjadi hak-hak anda dari segi hukum. Seperti penulis ambil sebuah contoh : Si A bekerja di suatu perusahaan dan sudah bekerja selama 10 Tahun, yang mana si A hampir menghabiskan waktu yang panjang selama hidupnya untuk bekerja di Perusahaan Tersebut. Namun ada suatu kejadian yang membuat perusahaan tersebut melakukan efisiensi karyawan, Sehingga A terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan A hanya mendapat Uang pisah yang menurut A hanya sebatas 1 Bulan gaji dia bekerja di perusahaan itu. Apa yang dapat diambil dari kasus tersebut ? jawabannya ialah kurangnya melek hukum tentang apa yang menjadi Hak dari pada si A Ketika sudah bekerja selama 10 Tahun dengan loyalitas tanpa batas karena ketika di PHK hanya mendapat uang pisah sebesar 1 bulan gaji yang tidak sebanding dengan masa kerja si A yang sudah 10 Tahun bekerja. Yang padahal di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Ketika dilakukanya PHK Tersebut si A berhak mendapat Pesangon, Penghargaan Masa Kerja, dan juga Uang Penggantian hak yang diatur dalam Undang-Undang Tersebut. Dan pastinya uang yang akan di dapat menurut undang-undang jauh melebihi apa yang didapat si A sebelumnya .

2. Anda Bisa Tahu Apa Yang Menjadi Kewajiban Anda
      Ketika berbicara tentang hak pastinya juga ada kewajiban disitu, Dan dalam segi hukum selalu ada yang namanya hak dan kewajiban yang diatur dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Kewajiban yang dimaksud disini ialah seperti contoh : Ketika anda membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) baik buat baru atau perpanjang SIM, dengan membaca peraturan yang ada anda juga tau berapa kewajiban anda membayar pembuatan atau perpanjangan SIM tersebut. Yang dimana ketika anda menggunakan kendaraan bermotor anda wajib memiliki surat izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor tersebut. Begitu juga mengenai jual beli tanah dimana ada kewajiban anda disitu baik sebagai pembeli maupun penjual yang akan dikenakan pajak pembeli dan pajak penjual yang akan disetorkan Negara. 

3. Tidak Mudah Tertipu atau Bisa Menghindar Dari Tindak Penipuan

      Dalam Hal Jual Beli atau hal-hal lainnya yang menyangkut dengan Uang, Pasti menjadi hal yang sangat sensitif ketika uang tersebut hilang atau tidak bisa kembali ketika Seseorang yang berniat baik untuk membeli sebuah barang baik bergerak atau tidak bergerak ketika sudah melakukan kewajibannya membayar, malah tidak mendapat hak nya atau bisa juga sudah mendapat hak nya malah tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Hal tersebut sangat sering terjadi dalam kehidupan kita bermasyarakat, Dan untuk mencegah hal-hal tersebut terjadi penting sekali untuk memahami peraturan-peraturan yang terkait dengan masalah tersebut. Seperti sebelumnya penulis juga pernah membahas mengenai kehati-hatian dalam membeli unit apartemen dan barang yang sudah dibeli ternyata terdapat cacat yang tersembunyi .  Hal-Hal tersebut ialah contoh kecil dari pada pentingnya melek hukum agar tidak mudah tertipu atau bisa menghindar dari tindak penipuan yang bisa merugikan bagi pribadi orang tersebut baik secara materil maupun immateril. 

4. Tau Langkah Yang Akan di Tempuh Ketika Terjerat Masalah Hukum
      Terkadang Orang yang terjerat masalah bingung untuk tau langkah yang akan dilakukan seperti apa untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ketika anda sudah mengetahui apa yang menjadi Hak-Hak anda dalam hukum seperti yang sudah dijelaskan oleh penulis sebelumnya , Penting juga tau langkah-Langkah apa saja yang dapat ditempuh ketika terjerat dalam sebuah masalah hukum. Dan dalam Hukum kita yang berada di Indonesia, Secara umumnya Masalah Hukum yang terjadi hanya Menyangkut kepada Ranah Hukum Pidana atau Ranah Hukum Perdata, Jadi Penting sekali untuk tau apa masalah hukum tersebut itu masuk Ranah Pidana atau masalah hukum tersebut masuk ke ranah perdata. Tentunya ketika sudah tau mengenai hal tersebut, Langkah yang dapat ditempuh terdapat di dalam Hukum Acara dari pada Hukum yang berlaku baik itu Pidana atau Perdata. Contoh nya Ranah permasalahan hukum tersebut mengenai Hutang Piutang, Ketika ingin menempuh upaya hukum secara perdata karena sudah tidak bisa ditagih lagi secara pribadi, Seseorang tersebut dapat memakai jasa Advokat untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut mulai dari somasi hingga sampai ke Gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri yang menjadi tempat permasalahan tersebut akan disidangkan. Yang dimana langkah-langkah tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

      4 (Empat) Hal tersebutlah yang menurut penulis penting bagi masyarakat untuk melek hukum ketika menjalani kehidupan dalam bermasyarakat. Baik di lingkungan sekitar rumah, Tempat bekerja, atau lingkungan baru untuk memulai sebuah bisnis atau perikatan bersama orang lain yang dimana sangat penting untuk setidaknya menjadi pengetahuan dalam mengambil sebuah keputusan maupun bertindak dalam perbuatan hukum yang bisa mempunyai sebab akibat dari pada menjalankan kehidupan kita dalam segala aspek.



Demikian Semoga Bermanfaat, Terimakasih .



Setiap Orang Kebal Hukum Ketika Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat

 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan"Kalimat itu tertuang di dalam Pasal 28H Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau biasa kita dengar dengan sebutan UUD 1945. Dari kalimat itulah dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut.

      Dalam kehidupan kita bermasyarakat penulis menganggap kesehatan adalah hal yang paling utama dan menjadi daftar utama dalam hidup kita sebagai manusia. Karena ketika manusia itu sendiri mengalami sakit otomatis aktivitas menjadi terganggu dan apa yang ingin dicapai terhambat karena tubuh berasa tidak nyaman, oleh karena itu sehat merupakan hal yang paling utama dalam hidup sehingga apa yang menjadi cita-cita maupun impian kita bisa tercapai.

      Terkait judul diatas, yang dimaksud kebal hukum ialah tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Kebal hukum tersebut terjadi ketika seseorang yang memperjuangkan haknya untuk hidup yang baik dan sehat karena akibat dari pada aktifitas maupun kegiatan usaha yang menyebabkan dampak lingkungan hidup yaitu pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup bagi kelangsungan hidup manusia yang berada disekitarnya. Hak imunitas atau kekebalan tersebut tertuang dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berisi : 
"Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata." 



      Selain dari pada pasal diatas terdapat juga hak lain yang tertuang di dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berisi :

"(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri."

      Pasal-Pasal tersebut diatas lah yang menjadi hak dari pada setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, Karena menurut penulis masih banyak juga orang yang bertempat tinggal atau kediamannya dekat dengan perusahaan atau pabrik yang mungkin dampak dari kegiatan usahanya tersebut berpotensi menyerang kesehatan dari pada manusia yang tinggal dalam radius dekat kegiatan usaha tersebut.

     Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang termasuk kriteria wajib amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan dalam rangka prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, Namun menurut penulis bukan hanya secara administrasi izin lingkungan saja yang diutamakan, Melainkan hal yang utama ialah  pengawasan berkelanjutan oleh petugas pemerintahan terkait lah yang harus di diperketat dan tetap sesuai prosedur sehingga dampak akibat kegiatan usaha itu tidak berakibat negatif terhadap lingkungan sekitarnya.

      Oleh karena itu selain dari pada hak imunitas/kekebalan Ketika memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, kesadaran akan Environmental Ethics atau Etika Lingkungan juga harus di tanamkan untuk para stake holders atau pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan usaha yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Agar lingkungan hidup manusia tetap terjaga dan tidak menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan terhadap lingkungan sekitarnya.


Demikian Semoga Bermanfaat, Terimakasih. 


Dasar Hukum :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Pelapor Tidak Dapat Dituntut Secara Hukum Baik Pidana maupun Perdata Atas Laporan yang Dibuatnya

Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi. Hal tersebut tertuang di dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU LPSK). Dalam praktek hukum di Negara Indonesia, Pelapor biasanya identik dengan saksi dan/atau korban itu sendiri yang dimana ia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu tindak pidana dan/atau juga merasa mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

      Banyak sekali contoh dari pada perbuatan tindak pidana dimana seseorang dapat membuka laporan terkait perbuatan yang diduga merupakan suatu tindak pidana, seperti hal nya diancam melalui media elektronik, pencemaran nama baik, pelecehan seksual dan lain-lain yang dilakukan oleh pelaku. Laporan itu sendiri didalam Pasal 1 angka 24 Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Oleh karena itu sangat berkaitan antara pelapor dengan laporan yang dibuatnya.

      Dan terkait judul diatas, Apakah pelapor ketika memberikan laporan terkait adanya dugaan tindak pidana tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata ? Penjelasan mengenai hal tersebut diatur di dalam Pasal 10 UU LPSK khususnya ayatnya yang ke 1 (satu) yang berisi :
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Baca juga : Setiap Orang Kebal Hukum Ketika Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat

      Dari ketentuan pasal 10 UU LPSK diatas jika dikaitkan dengan judul artikel dijelaskan bahwa pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. Artinya laporan tersebut harus benar adanya dan tidak dibuat-buat alias keterangan yang diberikan ialah merupakan keterangan yang palsu semata. Dan akibat dari pada kesaksian atau laporan yang diberikan tidak dengan itikad baik selain dari pada dihentikannya kekebalan hukum untuk pelapor tersebut, pelapor tersebut juga dapat berpotensi terjerat pidana dalam hal memberikan keterangan palsu sesuai Pasal 242 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

      Bagaimana jika pelapor tetap menerima laporan pidana atau dilapor balik oleh terlapor atas laporan yang telah diberikannya ? Pasal 10 ayat 2 UU LPSK diatas menjelaskan bahwa tuntutan hukum terhadap Pelapor atas laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya laporan balik dari pada terlapor dapat dijalankan jika laporan terkait dugaan suatu tindak pidana  yang diberikan oleh pelapor sudah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau seperti yang dijelaskan sebelumnya, pelapor dalam laporannya tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.

      Hal berikut diataslah yang merupakan penjelasan mengenai hak kekebalan hukum dari pada pelapor yang tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan yang dibuatnya. Dan perlu diketahui juga ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 10 UU LPSK tersebut juga berlaku bagi saksi, korban, dan juga saksi pelaku. Selain itu juga UU LPSK ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban bukan hanya dalam tahap penyelidikan ataupun penyidikan saja, melainkan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan dengan syarat dan ketentuan beserta tata cara yang berlaku dalam undang-undang tersebut. Tujuannya untuk apa ? tujuannya ialah agar setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 


Demikian Semoga Bermanfaat, Terimakasih.




Dasar Hukum :

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU LPSK)
2. Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)


Selasa, 17 Maret 2020

Putusan Serta Merta, dari Hukum dan Keadilan


Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum Banding, Kasasi atau Perlawanan oleh pihak Tergugat atau oleh pihak Ketiga yang dirugikan.

Kita tahu bahwa peradilan di negeri ini dibagi menjadi dua tingkat peradilan yaitu Pengadilan Negeri ( pengadilan tingkat Pertama) dan Pengadilan Tinggi ( pengadilan tingkat Kedua ) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan Judex Factie, atau peradilan yang memeriksa pokok perkara. Adapun Mahkamah Agung tidak disebut Pengadilan Tingkat Ketiga, karena Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak memeriksa pokok perkara, melainkan sebagai pemeriksa dalam penerapan hukumnya saja.

Putusan uitvoerbaar bij voorrrad tersebut dapat dijatuhkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan/atau pengadilan tingkat kedua. Dari segi hukum acara perdata putusan tersebut memang dibolehkan walaupun menurut pengamatan dan penelitian Mahkamah Agung RI pelaksanaan dari adanya penjatuhan putusan serta merta tersebut sering meninmbulkan berbagai masalah. Oleh karenanya Mahkamah Agung RI mengeluarkan berbagai Surat Edaran yang mengatur tentang tata cara dan prosedur penjatuhan serta pelaksanaan putusan tersebut.

Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun 2000 Mahkamah Agung telah menetapkan tata cara, prosedur dan gugatan-gugatan yang bisa diputus dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2001 mahkamah Agung kembali menetapkan agar dalam setiap pelaksanaan putusan serta merta disyaratkan adanya jaminan yang nilainya sama dengan barang / benda objek eksekusi.

Dari sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui” adanya putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara tersebut memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIRdan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta.

Bahwa selain pelaksaan putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang Tereksekusi ternyata diputus menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua Pengadilan bersangkutan harus super hati-hati dalam mengabulkan gugatan provisionil dan permintaan putusan serta-merta.

Adapun dapat dikabulkannya uitvoerbaar bij voorraad dan provisionil menurut Surat Ederan Ketua Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 adalah :
1). Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik/tulis tangan yang tidak dibantah kebenarannya oleh pihak Lawan ;
2) Gugatan hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah ;
3). Gugatan tentang sewa-menyewa tanah,rumah,gudang dll, dimana hubungan sewa-menyewa telah habis atau Penyewa melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang baik ;
4). Pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini dan putusannya telah inkracht van gewijsde;
5) Dikabulkannya gugatan provisionil dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv ; dan
6) Pokok sengketa mengenai bezitsrecht ;

Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan uitvoerbaar bij voorraad sepanjang hal itu memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini Hakim masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta tersebut.

Guna memproteksi hal-hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang Tereksekusi ternyata dikemudian hari menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.4 tahun 2001 tentang Putusan Serta-Merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta-merta dapat dijalankan pihak Pemohon Eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain. Apalagi kalau yang akan dieksekusi itu sebuah bangunan yang mempunyai nilai sejarah yang mana bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak Pemohon Eksekusi bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang akan digantikan dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya.

Masalahnya menjadi lain jika di kemudian hari pihak Tereksekusi ternyata diputus menang sehingga jelas pihak Tergugat/Termohon telah diperlakukan tidak adil.

Selama upaya hukum berjalan Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Ketua Pengadilan Tinggi harus dapat menjamin bahwa bangunan yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti semula tanpa mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi Pihak Ter-eksekusi tidak ada lagi ( Inkracht Van Gewijsde ). Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan ancaman yang keras kepada Pejabat Pengadilan yang bersangkutan yang ditemukan menyimpang dalam melaksanakan putusan serta-merta sebagaimana ditegaskannya dalam butir ke-9 SEMA No.3 tahun 2000 tentang Putusan Serta-Merta dan Provionil.

sofyanlubisPenulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM

Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia


Sumber Artikel

Dasar Hukum dan Pelaksanaan Putusan Serta Merta

Pertanyaan

Saya mau tanya tentang pengertian hukum acara perdata dan apakah dalam putusan serta merta itu dapat dilaksanakan dengan baik? Selain itu, bagaimana dengan kelembagaannya dalam lingkungan peradilan apakah sudah mempunyai kekuatan hukum?

Ulasan Lengkap

1.      Mengenai pengertian hukum acara perdata kami merujuk pada buku “Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata” karya Moh. Taufik Makarao, S.H., M.H. Dalam buku tersebut (hal. 5) dikutip pendapat Wirjono Prodjodikoro (mantan Ketua Mahkamah Agung) mengenai pengertian hukum acara perdata sebagai berikut;

 

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

 

2.      Putusan serta merta sebenarnya terjemahan dari “uitvoerbaar bij voorraad” yang artinya adalah putusan yang dapat dilaksanakan serta merta. Artinya,  putusan yang dijatuhkan dapat langsung dieksekusi, meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.


Pada dasarnya putusan serta merta tidak dapat dilaksanakan, kecuali dalam keadaan khusus. Dasar hukum atas larangan tersebut adalah Pasal 180 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”)Pasal 191 ayat (1) Reglement Voor de Buitengewesten (“RBG”)Pasal 54 dan Pasal 57 Reglement Op De Rechtsvordering (Rv), dan SEMA  No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil, serta SEMA No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil. Lebih jauh, simak artikel Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta.

 

Dalam buku “Hukum Acara Perdata” yang ditulis M. Yahya Harahap, S.H. disebutkan bahwa menurut Subekti, praktik penerapan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (putusan serta merta, red.), telah mendatangkan banyak kesulitan dan memusingkan para hakim. Satu segi undang-undang telah memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan yang seperti itu meskipun dengan syarat-syarat yang sangat terbatas. Pada sisi lain, pengabulan dan pelaksanaan putusan tersebut selalu berhadapan dengan ketidakpastian, karena potensial kemungkinan besar putusan itu akan dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Demikian menurut Subekti sebagaimana kami sarikan dari buku “Hukum Acara Perdata” (hal. 898).

 

Dalam artikel Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta,ditulis antara lain bahwaAndi Samsan Ngaro yang pada saat itu adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pernah menanggapi pendapat Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung pada saat itu, yang meminta para hakim untuk tidak gegabah membuat putusan serta merta karena putusan serta merta lebih banyak membawa masalah daripada manfaat. Menurut Andi pernyataan Bagir tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya putusan serta merta yang tidak bisa dilaksanakan, karena jaminan yang diberikan oleh Pemohon eksekusi nilainya tidak setara/sesuai dengan nilai obyek eksekusi.

 

Di sisi lain, pada perkara kepailitan, putusan pailit pada tingkat pertama (Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri) dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (lihat Pasal 8 ayat [7] UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Dengan demikian, terhadap pelaksanaan putusan pailit yang juga termasuk putusan serta merta ini dalam praktiknya dapat terlaksana dengan baik.

 

Kesimpulannya, mengenai pelaksanaan putusan serta merta ini ada yang dapat terlaksana dengan baik, ada pula yang tidak mudah pelaksanaannya.

 

3.      Mengenai kelembagaan putusan serta merta dalam lingkungan peradilan tentu telah mempunyai kekuatan hukum dengan sejumlah peraturan perudang-undangan yang  menjadi landasan hukumnya seperti kami sebutkan pada jawaban no. 2 di atas.

 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

1.      Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)

2.      Reglement Voor de Buitengewesten (RBG), Lembaran Negara No. 227 Tahun 1927

3.      Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun 1849 No. 63 (Rv)

4.      Surat Edaran Mahkamah Agung  No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil

5.      Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil



Sumber Hukum Online

Sabtu, 07 Maret 2020

Hal-hal yang Menentukan Berat Ringannya Hukuman Terdakwa


Pertanyaan

Katakanlah seseorang terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap 20 korban yang diakuinya dan sudah dipastikan 6 dari korban tewas. Bagaimana sebaiknya memberi hukuman yang pantas bagi tersangka tersebut? Berdasarkan pasal dan ketentuan berapa? Terima kasih sebelumnya :)


Ulasan Lengkap

Pertama, kami akan menerangkan bahwa tindak pidana pembunuhan berencana tersebut diancam pidana berdasarkan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

 

Akan tetapi, Anda tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana tindak pidana pembunuhan berencana terhadap para korban tersebut dilakukan, apakah dilakukan dalam satu tempat dan waktu yang sama, atau dilakukan pada tempat dan waktu yang berbeda-beda.

 

Oleh karena itu, kami asumsikan bahwa pembunuhan tersebut terjadi dalam satu waktu yang sama dan di tempat yang sama. Dalam hal tindak pidana pembunuhan berencana tersebut dilakukan dalam satu waktu yang sama dan tempat yang sama, maka tindak pidana pembunuhan berencana tersebut hanya dapat dipidana dengan Pasal 340 KUHPtanpa melihat jumlah korban yang ditimbulkan oleh tindakan tersebutIni karena sistem pidana Indonesia tidak mengatur penjatuhan hukuman kumulatif berdasarkan jumlah korban, akan tetapi hukuman kumulatif dapat diberlakukan dalam hal orang tersebut melakukan lebih dari 1 (satu) perbuatan tindak pidana atau melakukan 1 (satu) perbuatan akan tetapi perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan pidana (Pasal 63 – Pasal 71 KUHP). Dalam kasus Anda hanya terdapat 1 (satu) perbuatan yang melanggar 1 (satu) ketentuan pidana yaitu Pasal 340 KUHP.

 

Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana (hal. 562-563), mengatakan bahwa hal yang juga penting dalam menetapkan berat-ringannya pidana adalah penilaian dari semua situasi dan kondisi yang relevan dari tindak pidana yang bersangkutan, yang oleh Jescheck disebut dengan Strafzummessungstatsachen (fakta yang berkaitan dengan penetapan berat-ringan pidana). Tercakup ke dalamnya:

1.    Delik yang diperbuat;

2.    Nilai dari kebendaan hukum yang terkait;

3.    Cara bagaimana aturan dilanggar;

4.    Kerusakan lebih lanjut;

5.    Personalitas pelaku, umur, jenis kelamin, dan kedudukannya dalam masyarakat;

6.    Mentalitas yang ditunjukkannya (misalnya karakter berangasan);

7.    Rasa penyesalan yang mungkin timbul; maupun

8.    Catatan kriminalitas.

 

Berdasarkan hal di atas, maka dapat kita lihat bahwa Hakim dalam menjatuhkan pidana untuk terdakwa, dapat mempertimbangkan banyak hal. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa Hakim akan mempertimbangkan jumlah korban dari tindak pidana pembunuhan berencana tersebut dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 
Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana



Sumber Hukum Online

Penerapan Asas In Dubio Pro Reo


Pertanyaan

Saya mahasiswa fakultas hukum semester awal, sehingga saya masih memiliki banyak keraguan dan kerancuan dalam menerapkan asas-asas hukum dalam kasus-kasus hukum yang terjadi di sekitar kita sehari-hari. Dalam asas-asas hukum yang baru saya pelajari, tertulis bahwa "Dalam keraguan, hakim akan menggunakan hukuman yang paling meringankan bagi terdakwa (asas in dubio pro reo). Tetapi, beberapa waktu yang lalu, saya membaca tentang suatu kasus hukum di harian ibu kota, yang mana tim pembela (pengacara) dari seorang tersangka mengatakan bahwa kira-kira "Dalam keraguan, hakim harus membebaskan terdakwa", padahal dalam kasus tersebut, terdakwa sudah dijerat dengan 2 pasal berlapis tentang dua tindak kejahatan. Hanya saja, pada kasus yang ke-3, pihak kepolisian tidak dapat membuktikan. Apakah pernyataan yang dinyatakan oleh pengacara tersebut benar dan sesuai dengan asas in dubio pro reo? Terima kasih.


Ulasan Lengkap

Menurut “Kamus Hukum” yang ditulis oleh Simorangkir et.al. (hlm. 73), frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa”.

 

Asas in dubio pro reo sendiri sudah sering digunakan Mahkamah Agung (“MA”) untuk memutus perkara, di antaranya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 33 K/MIL/2009 yang salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa:

 

asas IN DUBIO PRO REO yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.

 

Selain itu, MA juga pernah berpendapat mengenai hubungan antara hukum acara pidana dengan asas in dubio pro reo pada Putusan Mahkamah Agung No. 2175/K/Pid/2007 yang salah satu pertimbanganya menyatakan:

 

“...sistem pembuktian di negara kita memakai sistem "Negatief Wettelijk", yaitu keyakinan yang disertai dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang; Hal ini dapat terlihat pada Pasal 183 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yang berbunyi sebagai berikut: "Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya"

 

Pertimbangan Putusan yang sama juga menyebutkan:

 

Suatu asas yang disebut "IN DUBIO PRO REO" yang juga berlaku bagi hukum pidana..... Asas ini tidak tertulis dalam Undang-Undang Pidana, namun tidak dapat dihilangkan kaitannya dengan asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" (“Geen Straf Zonder Schuld") atau "Anwijzigheid van alle Schuld' yang sudah menjadi yurisprudensi konstan dan dapat diturunkan dari Pasal 182 ayat (6) KUHAP

 

Sedangkan Pasal 182 ayat (6) KUHAP sendiri menyebutkan:

 

“Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

a.      putusan diambil dengan suara terbanyak;

b.      jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.”

 

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut dapat kita ketahui bahwa penerapan asas in dubio pro reo sejalan dengan pengaturan Pasal 183 dan Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pasal 183 KUHAP mengharuskan hakim yang hendak menjatuhkan putusan pidana untuk memperoleh keyakinan berdasarkan alat bukti bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

 

Sedangkan, Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengatur keadaan bila proses pengambilan putusan dalam musyawarah majelis hakim tidak dicapai hasil pemufakatan bulat, dan tidak dapat diambil putusan berdasarkan suara terbanyak (karena pendapat anggota majelis hakim berbeda-beda), maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

 

Jadi, praktiknya asas in dubio pro reo ini digunakan bila hakim berdasarkan alat bukti yang ada masih memiliki keragu-raguan mengenai bersalah atau tidaknya terdakwa. Bila hakim masih memiliki keraguan mengenai bersalah atau tidaknya terdakwa, maka berlaku Pasal 183 KUHAP yang melarang hakim menjatuhkan pidana bila berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia tidak memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

 

Karena itu, menurut hemat kami, penafsiran asas in dubio pro reo yang dilakukan pengacara yang Anda jelaskan tersebut tidak keliru. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim tidak boleh menjatuhkan pidana bila berdasarkan alat bukti yang ada di persidangan ia tidak memperoleh keyakinan atas bersalahnya terdakwa. Sehingga hakim harus memutus terdakwa bebas dari dakwaan berdasarkan pengaturan Pasal 191 KUHAP yang menyatakan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkanmaka terdakwa diputus bebas

 

Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

 

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.



Sumber Hukum Online

Jumat, 06 Maret 2020

Bisakah Ditangkap Polisi Karena Berduaan dengan Pacar?


Pertanyaan

Ceritanya begini, umurku 23 tahun, aku pacaran dengan anak 16 tahun. Waktu kami berduaan di pinggir jalan tiba-tiba ada dua polisi berhenti dan meminta KTP saya. Saya serahkan, tapi dia berbicara seakan-akan aku melanggar hukum dan aku akan dibawa ke Polres. Terus jika tidak ingin dibawa ke polres, aku disuruh menyerahkan uang sebesar Rp600 ribu. Setelah nego cukup lama akhirnya aku kasih Rp100 ribu dia mau, terus aku dilepaskan. Pertanyaanku benarkah aku bisa dipidana (cewek yang bersamaku diizinkan orang tuanya)? Terus polisi tersebut apa bisa dikatakan melakukan pemerasan? Kalau bisa aku melapornya ke mana dan apa yang bisa aku buktikan?


Ulasan Lengkap

 
Kemungkinan Tindak Pidana yang Dapat Dijerat Pada Anda
Pertama mengenai bisa tidaknya Anda dipidana. Terkait ini kita perlu mencermati ketentuan Pasal 281 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan:
 
Dihukum pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.000 barang siapa dengan sengaja di muka umum melanggar kesusilaan.[1]
 
Menurut R. Soesilo dalam buku KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal. 204), kata “kesusilaan” dalam Pasal 281 angka 1 KUHP berhubungan dengan hal-hal yang terkait nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya.
 
Dalam kasus Anda, perlu penjelasan lebih lanjut apa yang sedang Anda dan pacar Anda lakukan pada saat didatangi Polisi. Jika ternyata saat itu Anda didapati sedang melakukan salah satu perbuatan di atas, maka Polisi tersebut memang berwenang memeriksa Anda.
 
Terlebih lagi, jika ternyata polisi memang mendapati Anda melakukan perbuatan lebih dari sekedar duduk berduaan, Anda bisa saja dijerat dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (“UU 17/2016”). Karena, gadis yang Anda akui sebagai pacar masih tergolong anak menurut UU tersebut. Dalam UU 35/2014, batas usia dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun.[2] Sehingga, ancaman pidananya bahkan jauh lebih berat.
 
Pasal 76E UU 35/2014 mengatur sebagai berikut:
 
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
 
Bagi yang melanggar ketentuan Pasal 76E UU 35/2014, dapat dipidana berdasarkan Pasal 82 Perpu 1/2016, yang berbunyi:
 
  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
  4. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  5. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
  6. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
  7. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
  8. Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
 
Jadi, jika Anda melakukan perbuatan cabul dengan pacar Anda yang masih tergolong sebagai anak (16 tahun), maka Anda dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.[3]
 
Unsur yang perlu diperhatikan adalah membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul.
 
Mengenai perbuatan cabul, R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 212) mengatakan perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesusilaan dalam lingkup nafsu birahi. Contohnya, sama dengan yang kami jelaskan di atas. Artinya, sebagaimana sudah disampaikan, jika pada saat didatangi Polisi Anda kedapatan sedang melakukan salah satu perbuatan yang melanggar kesusilaan di atas, maka Anda kemungkinan dapat pula dijerat dengan Pasal 76E UU 35/2014 jo. Pasal 82 Perpu 1/2016. Meskipun gadis itu pergi bersama Anda atas izin orang tuanya.
 
Sedangkan, jika ternyata Anda berdua hanya duduk saja di pinggir jalan, bukan berarti Anda bisa bebas dari ancaman pidana. Menurut R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 205), dalam komentarnya untuk Pasal 281 angka 1 KUHP, Polisi perlu mempertimbangkan nilai-nilai kesopanan yang dianut masyarakat setempat. Sifat melanggar kesusilaan ini amat bergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat kejadian berlangsung. Artinya, jika masyarakat setempat menilai duduk berduaan di ruang publik antara lelaki dan perempuan yang belum menikah adalah salah, ada kemungkinan Anda pun dapat dijerat dengan pasal-pasal yang kami sebutkan di atas.
 
Langkah yang Dapat Dilakukan
Kedua, mengenai tindakan polisi yang meminta uang kepada Anda, menurut hemat kami, tindakan tersebut tidak sepatutnya dilakukan oleh Polisi. Jika Anda merasa dirugikan karena tindakan Polisi tersebut, Anda bisa melaporkan yang bersangkutan kepada Komisi Kepolisian Nasional (“Kompolnas”). Hal ini merupakan kewenangan Kompolnas, sebagaimana diatur Pasal 38 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI:
 
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.
 
Berdasarkan laman Kompolnas, setiap keluhan atau laporan dapat disampaikan melalui surat ke alamat: Jl. Tirtayasa VII No. 20 Kebayoran Baru - Jakarta Selatan 12160, surat elektronik ke alamat sekretariat@kompolnas.go.id, atau via telepon: 021-7392315, atau Fax: 021-7392317. Atau bisa melalui sistem aplikasi E-Kompolnas Complaint Apps.
 
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Slawi Nomor 85/Pid.Sus/2013/PN.SLW. Diketahui bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur di tempat umum. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terdakwa memeluk korban dari arah belakang dan mencium telinga, leher dan pipi. Hal ini jelas merupakan perbuatan cabul. Terdakwa juga menghalang-halangi jalan korban dengan cara Terdakwa jongkok memeluk kaki korban dan cara-cara perbuatan cabul lainnya di jalanan saat saksi korban berjalan pulang ke rumahnya.
 
Perbuatan Terdakwa tersebut menyebabkan korban memberontak sambil menangis dan merasa malu karena dilakukan di tempat umum dan dilihat oleh banyak orang. Terdakwa dijerat dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak tentang perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur.
 
Hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "memaksa anak untuk membiarkan dilakukan perbuatan cabul" dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dan 3 bulan dan denda sebesar Rp 60 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.
 
Putusan:
 
Referensi:
  1. E-Kompolnas Complaint Apps, diakses pada Selasa, 22 Januari 2019, pukul 14.36 WIB;
  2. Kompolnas diakses pada Selasa, 22 Januari 2019, pukul 14.25 WIB;
  3. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

 


[2] Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 UU 35/2014)
[3] Pasal 82 ayat (1) Perpu 1/2016



Pasal Apa untuk Menjerat Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab?


Pertanyaan

W (seorang wanita), pacaran dengan L (laki-laki), hubungan mereka telah berjalan kira-kira 8 bulan. Suatu hari mereka melakukan hubungan suami istri. Sebenarnya W tidak mau melakukannnya, namun karena L berjanji akan bertanggung jawab ditambah W sayang pada L, maka akhirnya perbuatan itu terjadi. Setelah sekitar 4 bulan dari kejadian itu ternyata L menyatakan hubungan mereka putus, sebab L sudah bosan. W ingin melaporkan perbuatan L ke polisi, kira-kira pasal apa yang akan kena pada L? Apakah pasal kesopanan atau penipuan?



Ulasan Lengkap

 
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), jika kedua orang tersebut adalah orang dewasa dan melakukan hubungan seksual dengan kesadaran penuhdan atas dasar suka sama suka, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki tersebut.
 
Hal ini karena hubungan seksual yang dapat dipidana adalah hubungan seksual yang dilakukan dengan anak yang belum berusia 18 tahun,[1] perbuatan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang salah satunya terikat dalam suatu perkawinan yang disebut dengan perzinaan sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak,[2] dan hubungan seksual yang dilakukan dengan paksaan atau pemerkosaan.[3]
 
Sayangnya Anda kurang memberikan keterangan kepada kami soal berapa usia laki-laki dan perempuan tersebut sehingga kami dapat memberikan penjelasan lebih komprehensif. Jika keduanya telah dewasa, memang tidak ada alasan bagi wanita untuk menuntut si pria.
 
Jika perbuatan tersebut dilakukan di mana salah satu atau keduanya masih anak–anak, maka pelakunya dapat diancam pidana karena pencabulan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (“UU 17/2016”).
 
Pasal 76D UU 35/2014 menyatakan:
 
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
 
Pasal 81 ayat (1) dan (2) Perpu 1/2016 menyatakan:
 
  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
  3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  4. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
  5. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
  6. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
  7. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
  8. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
  9. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
 
Sekedar diketahui, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu.[4] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dala artikel Menggugat Janji-janji Kekasih, Bisakah?.
 
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Wonosobo Nomor 120/Pid.Sus/2015/PN Wsb. Terdakwa dan korban yang masih di bawah umur (15 tahun) berpacaran. Terdakwa membujuk saksi korban dengan menyatakan bahwa terdakwa akan menikahi jika korban hamil. Namun faktanya Terdakwa malah susah ditemui dan terus menghindar ketika korban diketahui hamil.
 
Akhirnya, hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya” dengan mengacu pada Pasal 76D UU 35/2014. Hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa yaitu pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp 10 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
 
Putusan:

Langkah Hukum Jika Pacar Tidak Berani Pertanggungjawabkan Perbuatannya

Ali Salmande, S.H. 

Pertanyaan

Pak, saya mahasiswi berusia 21 tahun, saya ada masalah dengan pacar saya. Kami udah kelewat batas dan ketika saya dan orangtua saya meminta pertanggungan jawabnya, keluarganya menolak dengan alasan saya sudah dilecehkan terlebih dahulu. Padahal hal tersebut tidak benar, memang saya tidak mempunyai bukti tapi pacar saya tahu betul tentang itu. Dia tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya karena dia diintimidasi oleh orangtuannya. Apa yang harus saya dan keluarga saya lakukan? Masalah ini sudah berjalan 2 bulan dan bahkan saya sempat hamil namun keguguran, keluarga pacar saya sampai sekarang masih mengetahui kalau saya sedang hamil, Tolonglah apa yang harus aku lakukan lagi?



Ulasan Lengkap

Bila mengacu ke peraturan perundangan-undangan yang ada, posisi Anda sulit untuk mempersoalkan kekasih Anda secara hukum. Bila mengacu ke UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), usia Anda sudah dinilai cukup dewasa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang Anda lakukan.

 

Pasal 287 ayat (1) KUHP menyatakan, ‘Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun’.

 

Bila menggunakan pasal yang mengatur perkosaan, Anda juga tak bisa melaporkan pacar Anda ke polisi karena tidak ada unsur paksaan dalam perbuatan itu. Berdasarkan cerita yang Anda sampaikan, kami berkesimpulan bahwa perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka.

 

Lalu, bagaimana dengan penipuan?

 

Dahulu, ada putusan Pengadilan Tinggi Medan No.144/PID/1983/PT Mdn yang diketuai oleh Bismar Siregar yang menghukum seorang pria yang menghamilli seorang perempuan dengan tuduhan penipuan, dengan hukuman 3 tahun penjara. Untuk memenuhi unsur penipuan, Bismar menafsirkan bahwa ‘kemaluan perempuan’ dapat disamakan dengan barang. Tapi, putusan ini tak bisa digunakan sebagai dasar karena Mahkamah Agung (“MA”) akhirnya membatalkan putusan yang cukup kontroversial ini.

 

Hukum Perdata

Namun, Anda tak perlu berkecil hati terlebih dahulu, bila Anda sulit memintai pertanggungjawaban kekasih Anda secara pidana, Anda bisa menggunakan melalui jalur perdata. Anda bisa menggugat kekasih Anda karena telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) dan meminta sejumlah ganti rugi kepada kekasih Anda (atau keluarganya) karena tak mau bertanggung jawab.

 

Berdasarkan artikel ‘Tidak Menepati Janji Menikahi adalah PMH’, MA pernah menghukum seorang pria yang menjadi tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena tak menepati janji untuk menikahi, dalam sebuah kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan keterangan atasan tergugat, tergugat sudah memperkenalkan penggugat sebagai calon istrinya kepada orang lain.

 

Beberapa dokumen penting, seperti tabungan, juga sudah diserahkan tergugat kepada penggugat (wanita yang dihamilinya) sebagai  bukti keseriusannya mau menikahi. Mereka juga sudah hidup bersama. Namun, ketika si perempuan menagih janji untuk dinikahi, si laki-laki ingkar. MA menyatakan perbuatan si pria ‘melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat’. Karena itu pula, perbuatan si pria dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

 

Kasus ini memang tak sama persis dengan apa yang Anda alami. Namun, kasus ini bisa menjadi gambaran bagi Anda bila ingin menggugat kekasih Anda (dan keluarganya) di jalur perdata, dengan tuduhan PMH dan meminta sejumlah ganti rugi, maka Anda harus bisa menyiapkan bukti-bukti berupa janji-janji kekasih Anda yang akan menikahi Anda.

 

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73)



Sumber Hukum Online

Selasa, 03 Maret 2020

Contoh Surat Permohonan Penetapan Ahli Waris

Perihal : Permohonan Penetapan Ahli Waris             Banyuwangi16 Desember 2014



Kepada
Yth.Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi
Di -
            Banyuwangi


AssalamualaikumWr.Wb.

Kami  yang bertanda tangan di bawah ini :

1.    Sumiyati Binti Nasri, umur 45 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di Jalan Kembiritan No. 45, RT. 02 RW 03, Desa Kembiritan , Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya disebut Pemohon I.

2.    Siti Alimah Binti Slamet, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan Petani, tempat tinggal di Jalan Kembiritan No. 30, RT. 03 RW. 03, Dessa Kembiritan, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya disebut Pemohon II.

3.    Wahyu Suhardiniyati Bin Sukadi, umur 25 tahun, agama Islam, pendidikan Strata-1, pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di Jalan Kembiritan No. 30 RT. 03 RW. 03, Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya disebut Pemohon III.

4.    Anida Sulastri Binti Sukadi, umur 22 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di Jalan Kembiritan No. 30 RT. 03 RW. 03, Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya disebut Pemohon IV.
                                                                                                                               
Pemohon I, II, III dan IV untuk selanjutnya disebut Para Pemohon

Dengan ini hendak mengajukan Permohonan Penetapan Ahli Waris dari Pengadilan Agama Banyuwangi.
Adapun yang menjadi dasar / alasan dari Permohonan Penetapan Ahli Waris tersebut adalah sebagai berikut ;

1.    Bahwa pada tanggal 23 januari 2002 telah meninggal dunia ayah kandung dari Para Pemohon yang bernama Anida di Genteng karena sakit dan dalam keadaan beragama Islam, tempat tinggal terakhir di Genteng, Surat Keterangan Kematian Penduduk WNI No. 1.4356/04/IV tertanggal 14 Februari 2014 yang dikeluarkan oleh Kantor Kepala Desa pada tanggal 14 Februari 2014, Selanjutnya disebut Almarhum;

2.    Bahwa, ketika Almarhum wafat ayahnya yang bernama Bambang meninggal dunia lebih dahulu yaitu pada tanggal 22 Oktober 1999 dan ibunya yang bernama Sumiyati hingga kini masih hidup.

3.     Bahwa, semasa hidupnya Almarhum telah menikah 1 (satu) kali yaitu dengan Sumiyati pada tanggal 15 Maret 1971 (sesuai surat nikah Nomor : 32/32/IV/71 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Genteng) pada saat wafatnya Almarhum masih sebagai Suami dan dari pernikahan tersebut telah lahir 2 orang anak yang bernama :
a.    Wahyu Suhardiniyati
b.    Anida Sulastri

4.    Bahwa, Almarhum Bambang yang telah meninggal dunia pada tanggal 22 Oktober 1999 meninggalkan ahli waris sebagai berikut :
a. Sumiyati (sebagai ibu kandung).
b. Siti Alimah (sebagai istri).
c. Wahyu Suhardiniyati (sebagai anak laki-laki kandung).
d. Anida Sulastri (sebagai anak perempuan kandung).

5.    Bahwa, Para Pemohon kesemuanya beragama Islam.

6.    Bahwa, maksud Para Pemohon mengajukan permohonan ini mohon untuk ditetapkan siapa Ahli Waris yang Mustahak dari Almarhum Bambang sesuai Hukum Waris Islam.

Bahwa, berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, Para Pemohon mohon agar ditetapkan Ahli Waris dari Almarhum Bambang, oleh karena Para Pemohon merupakan ahli waris yang sah dari Almarhum Bambang, oleh karena itu   Para Pemohon mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi atau Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini dan berkenan menetapkan sebagai berikut :


1.     Mengabulkan permohonan Para Pemohon;

2.     Menetapkan Almarhum Bambang telah meninggal dunia pada tanggal 22 Oktober 1999;

3.     Menetapkan ahli waris yang dari Almarhum Bambang adalah :  
           a. Sumiyati (sebagai ibu kandung).
           b. Siti Alimah (sebagai istri).
           c. Wahyu Suhardiniyati (sebagai anak laki-laki kandung).
           d. Anida Sulastri (sebagai anak perempuan kandung).

4.     Menetapkan bagian dari masing-masing Ahli Waris sesuai dengan faroid Hukum Waris Islam.

5.    Menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Demikian permohonan kami, semoga menjadi maklum dan terima kasih.

Wassalamu’alaikumWr.Wb.
Hormat kami,




1. Sumiyati               3. Wahyu Suhardiniyati




2. Siti Alimah            4. Anida