Cari Blog Ini

Rabu, 27 Januari 2021

Karut-Marut Penyusunan RUU Cipta Kerja

Persoalan cara penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini seharusnya menjadi perhatian dalam pembahasan di DPR. Atau menarik kembali draft RUU Cipta Kerja untuk diperbaiki terutama dari sisi prosedur penyusunan. 

 


Sejak pemerintah menyerahkan naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja ke DPR, RUU ini terus mengundang perbincangan publik baik prosedur penyusunannya maupun materi muatannya. Tak jarang, RUU Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law (penyederhaan regulasi) ini menuai kritik dan masukan berbagai kalangan, mulai organisasi serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, hingga kalangan akademisi.

Tak sedikit pula, beberapa kalangan mendukung keberadaan RUU Cipta Kerja. Selain pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dianggap salah satu pintu masuk reformasi regulasi untuk mengatasi kondisi obesitas/hiper regulasi, juga demi meningkat kemudahan berusaha dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang berujung pada penciptaan lapangan pekerjaan di berbagai sektor.

Secara hukum formal, bagi kalangan yang mengkritik, RUU Cipta Kerja dianggap tak sesuai pakem atau prosedur penyusunan peraturan dan memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Tak heran, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menuding RUU Cipta Kerja cacat formil dan ada upaya penyelundupan hukum oleh pemerintah. Bahkan, dia menyebut penyusunan Omnibus Law, salah satunya RUU Cipta Kerja, tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.


RUU Omnibus Law Cipta Kerja cacat formil dan terdapat upaya penyelundupan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Ini berdampak ke banyak orang, khusus berkaitan dengan buruh kalau dicek itu banyak sekali, yang dilibatkan pengusaha,” ujar Arif Maulana dalam sebuah diskusi di Fakultas Hukum UI Depok, Kamis (20/2/2020) lalu.

Alasannya, UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tak mengenal istilah omnibus law, penyusunan satu regulasi (UU) baru sekaligus mengubah/menghapus beberapa pasal dalam berbagai UU lain. Namun, pemerintah berdalih penyusunan RUU dengan metode omnibus law, dalam praktik ketatanegaraan pernah dilakukan (konvensi), seperti  UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Lantas, benarkah ada cacat formil dan penyelundupan hukum dalam RUU Cipta Kerja?

Memang beberapa kalangan menilai penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tak memenuhi prosedur penyusunan peraturan seperti digariskan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memandang penyusunan RUU Cipta Kerja sebuah langkah mundur reformasi regulasi dengan beberapa indikator. 

Pertama, draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas pembentukan perundang-undangan yakni asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”. Misalnya, asas kejelasan rumusan dalam perumusannya, pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama, sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya. 

Asas kedua yang berpotensi dilanggar adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU Cipta Kerja yang menyebut peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah oleh RUU Cipta Kerja harus disesuaikan dengan UU ini dalam jangka waktu 1 bulan. Mengubah peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu 1 bulan mandat yang sama sekali tidak realistis.

Kedua, banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah ini menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang atas kondisi regulasi di Indonesia. Hal ini seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami hiper regulasi.

Alih-alih menggunakan pendekatan omnibus law sebagai momentum pembenahan regulasi secara menyeluruh, pemerintah sebagai pengusul justru semakin menambah beban penyusunan regulasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang digaungkan presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan di level pemerintah pusat. Hasil penelitian PSHK menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 s.d. Oktober 2018 ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi UU, PP, Perpres, dan Permen. 


Bertentangan hierarki dan putusan MK

Ketiga, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar UU 12/2011. Terdapat dua pasal yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan MK. Seperti, Pasal 170 RUU Cipta Kerja mengatur PP dapat digunakan untuk mengubah UU. Hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 yang menyebut PP memiliki kedudukan lebih rendah dibanding UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan/mengubah UU. 

Selain itu, Pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebut Perpres bisa membatalkan Perda. Hal itu bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satunya, Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU Pemda terkait mekanisme pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri yang dinyatakan inkonstitusional/bertentangan dengan 24A ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah pengujian/pembatalan Perda menjadi kewenangan konstitusional MA.


Mahkamah beralasan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang memberi wewenang menteri dan gubernur membatalkan Perda Kabupaten/Kota selain bertentangan peraturan yang lebih tinggi (UU), juga menyimpangi logika bangunan hukum yang telah menempatkan MA sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota.





Langgar konstitusi

 

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti Muhammad Imam Nasef menilai Pasal 166 RUU Cipta Kerja bentuk pembangkangan terhadap konstitusi karena memuat kembali pasal yang sebelumnya sudah pernah dibatalkan MK. Menurutnya, Pasal 166 RUU Cipta Kerja mengkonfirmasi penelitian 3 dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada 2019 yang menemukan dari 109 putusan MK yang diteliti terdapat 25 putusan MK (22,01) persen tidak dipatuhi pemangku kepentingan. 

“Sudah sangat jelas ditentukan pembatalan perda hanya dapat dilakukan oleh MA melalui mekanisme hak uji materiil (HUM),” ujar Muhammad Imam Nasef kepada Hukumonline belum lama ini di Jakarta. 

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai rumusan Pasal 170 RUU Cipta Kerja melanggar konstitusi, khususnya Pasal 20 ayat (1) Tahun UUD 1945. Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebutkan DPR memegang kekuasaan membentuk UUNorma Pasal 20 ayat (1) itu sangat jelas posisi DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif sebagai pemegang kekuasaan pembentuk UU.

Menurutnya, materi muatan Pasal 170 RUU Cipta Kerja itu bentuk pengambilalihan kewenangan DPR oleh presiden (pemerintah pusat, red) dalam mengubah/merevisi UU dengan PP melalui Pasal 170 itu. “Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, presiden tidak boleh mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pengambilalihan kewenangan DPR oleh presiden ‘menabrak’, bahkan merusak konstitusi,” tegasnya.

Senada, Peneliti Senior PSHK Muhammad Nur Sholikin menilai Pasal 170 RUU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945. Dia menerangkan materi muatan PP merupakan instrumen hukum untuk menjalankan UU. Dia merujuk Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.

Menurut dia, kedudukan PP ada dua. Pertama, PP kedudukannya di bawah UU lantaran undang-undangnya menentukan kebutuhan pembentukannya. Kedua, karena secara hierarki berbeda, maka materi muatan norma antara UU dan PP tak dapat disamakan. “PP memiliki jangkauan pengaturan lebih teknis dibandingkan dengan UU,” kata dia.

Dia melihat Pasal 170 RUU Cipta Kerja nampak mengambil alih kewenangan DPR dalam membentuk UU. Padahal, porsi kewenangan legislasi pasca reformasi melalui amandemen UUD 1945 lebih menitikberatkan ke DPR atau legislative heavy. Menurutnya, Pasal 170 RUU Cipta Kerja merusak prinsip dasar ketatanegaraan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Lolosnya norma ini menunjukkan ada persoalan mendasar di internal pemerintah dalam penyusunan RUU ini baik dari sisi prosedur maupun substansi.  

“Bagaimana mungkin norma semacam ini bisa diloloskan oleh Presiden dan diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama? Bagaimana pertanggungjawaban Menteri Hukum dan HAM yang mempunyai tugas melakukan harmonisasi setiap RUU sesuai Perpres No. 87 Tahun 2014?”

Menurutnya, lolosnya norma Pasal 170 RUU Cipta Kerja mengindikasikan lemahnya proses harmonisasi yang seharusnya bisa menunjukkan adanya pertentangan dengan UUD 1945, UU lain, dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. “Atau jangan-jangan RUU ini diserahkan ke DPR tanpa proses harmonisasi terlebih dahulu?” katanya menduga.

 

Salah ketik?

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD mengakui materi muatan UU tidak bisa diubah atau diganti dengan menggunakan PP. "Undang-undang diganti dengan Perppu sejak dulu bisa dan sampai kapanpun bisa. Tapi isi undang-undang diganti dengan PP, diganti dengan Perpres itu tidak bisa," ujar Mahfud di Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2020) lalu.

Dia mensinyalir adanya kesalahan ketik dalam pasal yang tertuang di rancangan undang-undang tersebut. "Mungkin itu keliru ketik atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada begitu. Oleh sebab itu, kalau ada yang seperti itu nanti disampaikan ke DPR dalam proses pembahasan (di DPR, red)," ujar dia.

Mahfud pun enggan berkomentar lebih jauh terkait hal tersebut. Dia akan terlebih dahulu mengecek dan mempelajari isi pasal yang dimaksud. "Prinsipnya begini, tidak bisa sebuah UU diubah dengan PP atau Perpres, kalau dengan Perppu bisa. Perubahan kalau untuk Perppu konsultasi dulu (ke DPR) bisa iya, bisa tidak. Coba nanti saya cek dulu, besok tanyakan lagi.”

Dia mempersilakan publik menilai dan mengkritisi draf RUU Cipta Kerja. Hanya saja dia mewanti-wanti agar tak curiga berlebihan terhadap pemerintah sebelum membaca draf RUU Cipta Kerja.

Belakangan persoalan ini diluruskan seorang anggota tim perumus omnibus law RUU Cipta Kerja, Ahmad Redi. Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara ini mengaku rumusan Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang sempat ramai dibicarakan publik ini, sama sekali tidak terdapat unsur salah ketik di dalamnya. Redi menyebutkan ketika merumuskan Pasal 170 RUU Cipta Kerja, dilakukan dengan penuh kesadaran.

“Dalam perumusannya, pasal tersebut dibuat dengan sadar, sehingga tidak ada unsur salah ketik,” ujar Redi dalam sebuah diskusi bertajuk “Rambu-Rambu Konstitusi dalam Wacana Omnibus Law” di Jakarta, Kamis (5/3/2020) lalu.

Hal ini disampaikan Redi menjawab sejumlah klarifikasi pihak pemerintah tentang adanya kemungkinan kesalahan ketik ketika merumuskan bunyi Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Redi melanjutkan saat itu anggota tim perumus berpikir bagaimana memberi kewenangan lebih kepada presiden mewujudkan kelancaran iklim berusaha dan investasi di Indonesia. “Kita (tim perumus berpikir) butuh presiden (bisa) melakukan ‘akrobatik’ kebijakan untuk peningkatan investasi,” terang Redi.

Menurut Redi, karena alasan tersebut, kemudian Pasal 170 dirumuskan. Ia menggambarkan bagaimana perdebatan seru yang terjadi saat perumusan pasal ini. Redi mengklaim dirinya termasuk orang yang tidak menyepakati rumusan pasal tersebut. Menurut Redi, ketentuan yang mengatur Perpres dapat mengubah UU tidaklah dimungkinkan. “PP ‘haram’ hukumnya mengotak-atik atau mengubah UU,” tegasnya.



Penyusunannya kacau

 

Sementara Mantan Hakim Konstitusi Prof Maria Farida Indrati menegaskan Omnibus Law biasa diterapkan di negara yang menganut sistem hukum Common Law. Sementara Indonesia adalah negara yang menganut sistem Civil Law. Jika pemerintah ingin menelurkan UU Omnibus Law, Maria menilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. 

Misalnya, ada pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, dan partisipasi masyarakat; diperlukan sosialisasi yang luas, terutama bagi pejabat dan pihak terkait, kalangan profesi hukum, dan akademisi; pembahasan di DPR yang transparan dengan memperhatikan masukan pihak-pihak yang terkait/terdampak dengan isi RUU, tidak tergesa-gesa pembahasannya, mempertimbangkan jangka waktu yang efektif berlakunya UU tersebut; dan mempertimbangkan status keberlakuan sejumlah UU yang terdampak selanjutnya.

“Ini harus kita kaji bersama, jangan sampai jadi UU compang-camping. Mau dijadikan UU bisa saja, tapi bagaimana implementasinya. Ada 1.028 pasal dan pasal-pasalnya ini kacau,” kritik Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Maria Farida mengkritisi urutan pasal dalam draft RUU Cipta Kerja. Dia menilai tim perumus tidak membuat pasal secara urut, dan dalam pasal yang dinyatakan diubah tidak disertakan bunyi pasal sebelumnya. “Kalau Anda lihat dalam pasal itu, ada pasal yang diubah, tapi pasal yang lama tidak ada. Membuat UU tidak kronologis, seharusnya kronologisnya UU yang dahulu baru yang diubah. Ini ada 79 UU yang direvisi, harmonisasi, dan sinkronisasi sangat sulit. Bagaimana dengan 79 UU yang diambil sepotong-sepotong dijadikan satu. Implementasinya sangat sulit,” bebernya.

Selain itu, Maria Farida menyebutkan kalau selama ini pemerintah berkilah bahwa UU Omnibus Law bakal memangkas banyak aturan yang dinilai over regulated. Namun faktanya, jika nanti RUU ini disahkan menjadi UU, maka pemerintah bakal menerbitkan sekitar 493 Peraturan Pemerintah (PP). “Dan (penyusunan, red) 493 PP itu bukan barang mudah,” katanya.

 

 

Wakil Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Trisakti Tri Sulistyowati menilai substansi RUU Cipta Kerja tidak mudah untuk dipahami. Menurutnya, masyarakat bingung membaca RUU Cipta Kerja yang isinya memuat 79 UU dengan lebih dari 1.200 pasal terdampak.  “Masyarakat sulit membaca RUU Cipta Kerja, apalagi memahami substansinya,” kata Tri Sulistyowati dalam acara diskusi bertajuk “Omnibus Law: Perspektif Hukum, Ekonomi, & Ketenagakerjaan” di kampus A Trisakti Jakarta, Rabu (4/5/2020) lalu. 

Menurut Tri, selain pasal-pasalnya mencapai ribuan, substansi RUU Cipta Kerja tidak jelas arahnya karena memuat hampir seluruh sektor. Misalnya, judulnya menyebut soal cipta kerja - sebelumnya penciptaan lapangan kerja – tapi menyasar banyak hal, seperti UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Tri menilai ada persoalan dalam sistematika pembentukan RUU Cipta Kerja ini. Seharusnya, kata dia, penyusunan RUU Cipta Kerja ini mengikuti mekanisme yang diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan UU No.15 Tahun 2019. Menurutnya, untuk mencabut/menghapus atau mengubah pasal-pasal dalam UU, harus dilakukan melalui penerbitan UU baru.

Misalnya, “UU tentang Perubahan…” atau menerbitkan UU baru yang mencabut UU lama. Namun, dia melihat RUU Cipta Kerja yang disusun melalui mekanisme omnibus law ini tidak mengikuti pakem pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “UU itu dibentuk untuk masyarakat. Karena itu, masyarakat seharusnya dibuat mudah membaca dan mengerti isi UU tersebut,” pesan dia.

Dia mengingatkan UU dibentuk secara sistematis dan pasal-pasal yang ada di dalamnya saling berkaitan. Dalam RUU Cipta Kerja, jika satu atau beberapa pasal dalam sejumlah UU tertentu diubah atau dicabut/dihapus mempengaruhi pasal-pasal lain. Akibatnya, pasal-pasal yang dicabut, dihapus, atau diubah tersebut menjadi tidak utuh lagi. Seharusnya, hal itu (dibarengi dengan) menerbitkan UU baru yang membahas substansi yang sama.

“Ini nanti bagaimana bunyi judul RUU Cipta Kerja, apakah UU tentang Perubahan atau UU baru yang mencabut sejumlah UU lama? Sejak awal penyusunan, pemerintah seharusnya mengajak pemangku kepentingan dan kelompok terdampak, serta transparan dalam setiap prosesnya.”

Karenanya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendorong pemerintah agar draf RUU Cipta Kerja ditarik kembali untuk diperbaiki karena RUU ini banyak dikritik berbagai kalangan baik prosedur penyusunan maupun substansinya. Ini sesuai mekanisme yang diatur Pasal 70 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Presiden Jokowi sebaiknya menghentikan (menunda, red) proses pembahasan dan menarik kembali RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan kepada DPR,” ujar Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar, Jumat (6/3/2020) lalu.

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi jika RUU ini ditarik, pemerintah mesti bersungguh-sungguh memperbaiki cara penyusunan RUU ini. “Pemerintah agar menginisiasi perubahan UU No. 15 Tahun 2019 sebagai dasar hukum dalam penyusunan RUU yang berkarakter omnibus law,” katanya.

Lantas, adanya penilaian cacat formil dan penyelundupan hukum dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja ini nantinya bakal menjadi pokok pembahasan serius dan mendasar di DPR?

 

Sumber: Hukum Online

 

 

Plus-Minus Metode Penyusunan Omnibus Law di Mata Akademisi

Meski memiliki sejumlah manfaaat/kelebihan, tetapi penyusunan metode omnibus law potensial merusak sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Cipta Kerja terus menuai polemik di masyarakat. Tak hanya materi muatannya, tetapi metode penyusunan/pembuatan RUU Omnibus Law ini dinilai bermasalah. Sebab, metode penyusunan satu regulasi (UU) baru sekaligus menggantikan/menghapus beberapa pasal dalam satu regulasi atau lebih yang berlaku ini sejatinya tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Lantas, apa manfaat, tantangan, dan kelemahan metode omnibus law ini?

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menerangkan penyusunan omnibus law untuk mengubah, mengganti, ataupun mencabut pasal-pasal dari satu UU atau lebih UU ke dalam satu UU baru yang memuat banyak subjek/materi. Namun, lazimnya pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan hanya memuat satu subjek materi muatan.  

Meski begitu dalam praktiknya, kata Bayu, penyusunan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus law memiliki empat manfaat. Pertama, mempersingkat proses pembuatan dan pembahasan produk legislasi atau RUU. Dalam proses revisi UU misalnya, tentu membutuhkan waktu panjang. Sementara penyusunan UU dengan metode omnibus law, cukup satu kali merevisi banyak UU menjadi satu UU.

“Tetapi kalau mau satu-satu ubah UU, ada berapa kali proses pembahasannya sampai pengesahannya?” ujar Bayu dalam sebuah diskusi daring bertajuk, “Proyeksi Penerapan Metode Omnibus Law dalam Penyusunan Undang-Undang”, Selasa (14/4/2020).

Kedua, mencegah kebuntuan pembahasan substansi yang termuat dalam RUU di parlemen. Tak jarang dalam pembahasan sebuah RUU terjadi kebuntuan antara pemerintah dan DPR. Begitu pula ketika terdapat dua kubu di parlemen, tak jarang terjadi deadlock. Ketiga, efisiensi biaya proses pembuatan UU. Dalam pembuatan sebuah RUU dibutuhkan dana cukup besar, mulai pembuatan naskah akademik dengan menyerap aspirasi masyarakat, hingga pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR.

“Bila 79 UU direvisi satu per satu, tentu membutuhkan biaya yang jauh lebih besar ketimbang menggunakan omnibus law sebagai metode ‘sapu jagat’ dalam penyusunan UU,” kata dia. 

Keempat, harmonisasi pasal per pasal dalam UU Omnibus Law bakal terjaga. Meski penggunaan metode omnibus law menimbulkan problematika di kalangan akademisi dan masyarakat, namun teknik membaca RUU pun dapat dilakukan dalam satu waktu, sehingga bisa menjaga keharmonisasian satu UU dengan UU lain.

Sementara omnibus law terdapat empat kelemahan. Pertama, RUU dengan metode omnibus law cenderung pragmatis dan kurang demokratis. Kedua, membatasi ruang publik dalam memberi aspirasi dan masukan dari masyarakat. Ketiga, kurang ketelitian dan kehati-hatian dalam perumusan setiap norma pasalnya karena UU yang terdampak yang akan direvisi cukup banyak.

“Misalnya, menghidupkan pasal yang sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK); bagaimana bisa Peraturan Pemerintah (PP) bisa mengganti norma UU. Itu kan bentuk ketidaktelitian dan kehati-hatian dan ketidakcermatan,” kata dia memberi contoh. 

Keempat, potensi berkurangnya perhatian terhadap konstitusi dan putusan MK. Menurutnya, terdapat banyak putusan MK yang tidak dijadikan dasar penyusunan norma dalam RUU Cipta Kerja. “Akhirnya (pasal-pasalnya, red) malah bertentangan dengan konstitusi. Orang bilang cacat bawaan RUU Cipta Kerja ini dan selalu dibawa. Mau tidak mau itu konsekuensi yang diterima kalau menggunakan metode omnibus law.”

Sementara beberapa tantangan penyusunan peraturan dengan metode omnibus law. Pertama, permasalahan peraturan perundang-undangan tak hanya teknis penyusunan RUU, tetapi juga bisa menjadi cara mengatasi persoalan over regulasi. Kedua, setiap UU memiliki landasan filosofis yang mengacu pada konstitusi. Problemnya, ketika mengubah sejumlah pasal otomatis mengubah landasan filosofinya dalam konstitusi, seperti Pasal 33 UUD 1945 menjadi landasan filosofi tak diubah.

Ketiga, prinsip supremasi konstitusi membatasi kewenangan pembentuk UU dimana aturan baku tak boleh ditabrak. Keempat, ketidakpastian hukum akibat dominasi kepentingan egosektoral. Kelima, belum adanya parameter kapan penyusunan RUU menggunakan metode omnibus law atau sebaliknya. "Seolah latah ingin menggunakan omnibus law di semua RUU."

Keenam, partisipasi publik. Ada penyusunan RUU masih minim partisipasi publik. Seperti Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang cenderung tak membuka ruang bagi publik untuk memberi masukan. “Tiba-tiba kita ditawarkan dengan omnibus law. Tantangannya bagaimana aspirasi publik bisa diakomodir dalam penyusunan omnibus law,” katanya.


Merusak sistem

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitriani A. Sjarief menilai penyusunan RUU Cipta Kerja hanya mengkompilasi sejumlah pasal di 79 UU yang terdampak. “Seolah mengambil benang merah untuk satu tujuan (peningkatan investasi demi pertumbuhan ekonomi, red). Sayangnya, metode omnibus law RUU Cipta Kerja ini cenderung prosesnya tertutup sejak awal di pemerintah,” kata Fitriani.

Dia khawatir jika metode omnibus law dibakukan semakin menunjukan ketidakpatuhan terhadap UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya, meski omnibus law bisa diarahkan untuk menyederhanakan sejumlah UU, tapi tidak kemudian menabrak prinsip pembentukan peraturan sesuai UU 12/2011. Dia memberi contoh Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang mengatur PP dapat mengubah UU. “Bukankah ini merusak sistem penyusunan peraturan perundang-undangan yang ada?”

Namun demikian, Fitriani tak alergi dengan perubahan sebuah sistem penyusunan peraturan. Namun, bila memodifikasi kemudian menimbulkan masalah baru serta merusak sistem hukum yang ada, tetap tak dapat dibenarkan. “Saya ingin jangan merusak sistem hukum. Kalau tidak bisa diterima dan harus gaya seperti ini, maka lampiran UU 12/2011 harus diiubah,” katanya.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Fajri Nursyamsi menambahkan pengalaman pembuatan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law cenderung tertutup, tidak partisipatif. Publik sulit mengakses informasi seputar penyusunan draf RUU di internal pemerintah. Ironisnya, DPR tidak mampu mengimbangi dan mengontrol pemerintah dalam penyusunan RUU Cipta Kerja.

“Peran DPR sangat lemah, dan DPR tidak punya kewenangan saat itu. Ada banyak kesalahan pemerintah, tapi DPR malah banyak menggelar ‘karpet merah’ untuk pemerintah,” katanya.



Sumber: Hukum Online

Menyoal Good Legislation Making dalam Penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja

Pemerintah dianggap belum menerapkan prinsip good legislation making dalam penyusunan RUU Cipta Kerja. Alhasil, terdapat muatan RUU tersebut yang justru bermasalah. 
 
 

Omnibus law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja terus menjadi polemik karena terdapat pertentangan dari berbagai pihak yang menganggap rancangan aturan tersebut bermasalah dari sisi penyusunan hingga muatan pasal. Di sisi lain, pemerintah tetap menginginkan rancangan aturan tersebut segera disahkan demi menggenjot investasi yang diharapkan berimplikasi terhadap ekonomi nasional.

Direktur Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Stepahine Juwana, mengatakan pemerintah belum menerapkan penyusunan legislasi secara baik atau good legislation making sehingga muatan rancangan aturan tersebut bermasalah. Berdasarkan analisis IOJI, dia menjelaskan rancangan aturan tersebut tidak menerapkan keberlanjutan ekonomi dan bertentangan dengan Undang Undang Dasar. Kemudian, rancangan aturan tersebut juga mencabut sejumlah kewenangan pemerintah daerah dan mengalihkannya ke pusat.

Stephanie juga menambahkan partisipasi publik juga minim terhadap perumusan RUU tersebut. “Saat menganalisis, kami temukan ketidaksesuaian dengan UU 1945, Pasal 33 ayat 4. Kami lihat pasal-pasal yang melemahkan keberlanjutan dan pasal 18 (UUD 1945) berupa penarikan kewenangan ke pemerintah pusat dan ada juga (minimnya) partisipasi publik,” jelas Stephanie dalam Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU Cipta Kerja Terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Rabu (19/8).

Dia menjelaskan metode penyusunan UU omnibus law memiliki ragam kelemahan di berbagai negara seperti Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru dan Jerman. Permasalahan tersebut antara lain rancangan tersebut sulit dikaji mendalam, minimnya partisipasi publik, rawan ditunggangi kelompok tertentu, tidak sesuai dengan judul UU, gemuk muatan hingga penggunaan metode omnibus law yang berlebihan.

Sayangnya, permasalahan metode omnibus law di berbagai negara tersebut juga terdapat pada RUU Cipta Kerja. Sebab, Stephanie menjelaskan ruang lingkup RUU Cipta Kerja sangat luas sehingga pembahasannya tidak optimal. Selain itu, dia juga mengatakan terdapat pelemahan penegakan hukum dalam RUU Cipta Kerja tersebut.

Atas persoalan tersebut, Stephanie mengatakan IOJI menyarankan pemerintah dan DPR perlu menarik RUU Cipta Kerja dari proses pembahasan, menata ulang ketentuan pasal-pasal rancangan aturan tersebut, menghilangkan pasal-pasal yang tidak relevan dan melaksanakan tahap penyusunan dan pembahasan ulang dengan melibatkan partisipasi publik.

Kemudian, dia mengatakan pemerintah bersama DPR perlu menetapkan persyaratan dan prosedur penyusunan omnibus law di Indonesia. Setidaknya, prosedur penyusunan tersebut memuat indikator-indikator yang menjadi dasar pertimbangan metode omnibus law. Lalu, omnibus law juga harus mengatur subjek persoalan, menghindari tunggangan kelompok tertentu dan memastikan keterlibatan publik.

Chief Executive Officer Hukumonline, Arkka Dhiratara, RUU Cipta Kerja perlu dikritisi dari sisi proses penyusunannya. “Hingga saat ini omnibus law masih berjalan dan belum final. Pemerintah anggap dengan penggunaan omnibus law mempercepat harmonisasi perundang-undangan. Metode omnibus law tentunya juga akan ditetapkan pada RUU lainnya sehingga, apakah RUU Cipta Kerja ini sudah diterapkan prinsip-prinsip good legislation making. Selain itu, RUU Cipta Kerja ini apakah sudah berorientasi pada kelautan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Ini harus dilihat secara utuh dan komprehensif,” jelas Arkka.

Sementara itu, Prof Jimly Asshidiqqie mengatakan metode penyusunan omnibus law perlu diterapkan dalam perundang-undangan Indonesia. Namun, dia menekankan metode omnibus law tersebut jangan dipersempit untuk kebutuhan investasi saja dengan RUU Cipta Kerja. Dia mengatakan muatan RUU Cipta Kerja terlalu luas sehingga pembahasannya tidak fokus dan berdampak terhadap kualitas UU tersebut.

Selain itu, dia menganggap pemerintah terburu-buru menginginkan RUU Cipta Kerja segera disahkan padahal, muatan RUU tersebut menyangkut dengan UU lain dan memiliki banyak pasal. “RUU Cipta Kerja tebal sekali, maunya cepat dan mengabaikan hak-hak publik,” jelas Jimly. Dia membandingkan dengan Vietnam yang sudah terlebih dulu menerapkan metode omnibus law pada 2007 yang pengaturannya fokus pada topik tertentu.

Selain itu, dia juga menilai muatan RUU Cipta Kerja sudah tidak relevan dengan saat ini karena perumusannya dilakukan sebelum pandemi Covid-19. “RUU Cipta Kerja yang disusun sebelum Covid menjadi tidak relevan. Ini betul-betul sesuatu yang serius. Skenario di RUU Cipta Kerja itu enggak kena dengan kondisi saat ini karena ketika semua pelaku bisnis dunia berpikir sustainable development, RUU Cipta Kerja justru merusak lingkungan,” kata Jimly.

Sehingga, dia juga menyarankan agar pembahasan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR segera dicabut. Kemudian, dia juga menyarankan agar penyusunan RUU Cipta Kerja mempertimbangkan prinsip good legislation making. 

 

Sumber: Hukum Online

Tujuh Dampak Negatif RUU Cipta Kerja Terhadap Publik

Akademisi IPB meminta DPR dan pemerintah menghentikan omnibus law RUU Cipta Kerja. DPR mengklaim substansi RUU Cipta Kerja terus disempurnakan dengan meminta masukan masyarakat. 
 
 
 
 

Demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja yang digelar berbagai elemen masyarakat di banyak daerah belum lama ini ternyata tidak menyurutkan pemerintah dan DPR untuk terus membahas RUU Cipta Kerja. Seperti diketahui, sejak awal substansi RUU Cipta Kerja menjadi sorotan publik karena banyak pasal yang dinilai bermasalah.

Akademisi IPB, Rina Mardiana mengatakan tidak ada persoalan dengan mekanisme omnibus law (menggabungkan sejumlah regulasi dalam satu peraturan) dalam menyusun RUU Cipta Kerja ini. Tapi yang jadi masalah omnibus law RUU Cipta Kerja ini substansinya menyasar terlalu banyak sektor.

Rina menilai sangat sulit membaca RUU Cipta Kerja karena isinya menggabungkan 79 UU dengan lebih dari seribu pasal yang terdampak. Pemerintah mengklaim tujuan RUU Cipta Kerja, salah satunya untuk menyederhanakan proses perizinan. Padahal, menurut Rina, persoalan yang dihadapi dalam proses perizinan, terutama sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) adalah korupsi.

Salah satu penyebabnya banyak UU sektoral yang saling tumpang tindih dan membuka celah hukum. Padahal, sederhananya UU yang harus menjadi acuan bagi pemerintah dan DPR dalam mengelola sumber daya alam di Indonesia yakni UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

“Sektoralisme kebijakan agraria ini terjadi pasca 1965. Padahal, UU No.5 Tahun 1960 seharusnya menjadi payung. Kebijakan sektoral ini melahirkan oligarki penguasaan sumber daya alam,” kata Rina dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan PSHK Indonesia bertema “Penguasaan Negara dan Pelindungan Publik atas Sumber Daya Alam dalam RUU Cipta Kerja”, Jumat (17/7/2020).

Rina mencatat sedikitnya ada tujuh dampak RUU Cipta Kerja terhadap publik. Pertama, meluruhkan kewibawaan konstitusi karena ada 31 pasal inkonstitusional yang dihidupkan lagi. Kedua, resentralisasi dan otoriter, bahkan antidemokrasi karena menjauhkan pelayanan publik dari partisipasi. Ketiga, preseden buruk atas proses pembentukan omnibus law RUU Cipta Kerja akan menjadi modal budaya pemerintah dalam penyusunan kebijakan yang tertutup dan tidak transparan.

Keempat, instrumen perizinan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja, menurut Rina lebih dominan kepada investor daripada memperhatikan dampak sosial dan lingkungan hidup. Kelima, bias pengusaha, misalnya sanksi untuk pengusaha bentuknya administratif dan kriminalisasi terhadap masyarakat semakin kuat. Keenam, jauh dari semangat antikorupsi; ada imunitas pejabat pengelola investasi; dan membuka peluang institutional state corruption. Ketujuh, berpotensi melahirkan celah legalisasi perampasan tanah.

Menurut Rina, RUU Cipta Kerja lebih banyak memuat pasal yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat, tapi menguntungkan segelintir pengusaha, memperkuat posisi dan status oligarki. “DPR dan pemerintah hentikanlah omnibus law RUU Cipta Kerja! Menghentikan RUU ini berarti negara mempertimbangkan kepentingan kedaulatan negara,” tegasnya.

Peneliti PSHK dan dosen STH Indonesia Jentera, Giri Ahmad Taufik, menyebut salah satu isu yang ramai diperdebatkan dalam RUU Cipta Kerja yakni penguasaan SDA yang dasarnya diatur dalam Pasal 33 UUD RI 1945. Ada 3 aktor ekonomi yakni negara, swasta, dan masyarakat sipil. Peran setiap aktor ini dibatasi Pasal 33 ayat (4) yakni perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Menurut Giri, RUU Cipta Kerja mengubah pendekatan perizinan menjadi berbasis risiko (risk based approach). Sayangnya, RUU Cipta Kerja tidak mengatur rinci apa yang dimaksud dengan pendekatan berbasis risiko ini, sehingga berpotensi mengorbankan masyarakat. Posisi masyarakat hukum adat dan masyarakat sipil secara umum semakin lemah karena tidak ada ruang partisipasi yang jelas dan kuat.

Selain itu, banyak pasal dalam RUU Cipta Kerja yang arahnya menarik kewenangan daerah ke pemerintah pusat, sehingga menjauhkan partisipasi masyarakat di daerah. “RUU Cipta Kerja memuat banyak pasal ‘blanko kosong’ yang bisa diisi pemerintah melalui pembentukan peraturan pemerintah (PP),” ujar Giri.


Terus disempurnakan

Wakil Ketua Panja DPR RUU Cipta Kerja, Ibnu Multazam mengatakan substansi RUU Cipta Kerja terus disempurnakan. Masyarakat bisa memberi masukan secara langsung atau tertulis karena pembahasan di Panja bersifat terbuka. Soal kewenangan pemerintah daerah yang ditarik ke pusat, Ibnu menilai hal ini tidak otomatis karena keterlibatan pemda tetap ada.

Norma yang masih berlaku dalam UU terdampak akan ditarik dalam PP. Untuk memastikan hal tersebut, Ibnu menilai harus ada jaminan dari pemerintah. Misalnya, terkait pasal yang mengatur Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) akan diatur dalam PP dan ada keterlibatan pemerintah daerah.

Politisi PKB itu juga menjelaskan pembahasan RUU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya berjalan paralel. Paling penting PP itu harus memuat sebagaimana norma yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.

“Untuk membatasi pemerintah (memastikan PP yang terbit sesuai RUU Cipta Kerja, red) akan ditegaskan dalam pasal penjelasan. Ini agar pemerintah tidak bisa membuat PP semaunya,” katanya.

 

 

Sumber: Hukum Online