Cari Blog Ini

Rabu, 27 Januari 2021

Mengenal Metode “Omnibus Law”

Teknik penyusunan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law dapat mengatasi problem obesitas dan disharmoni regulasi. Tetapi jika menjalankannya tidak semudah yang dibayangkan. 
 
 

 
 
Rencana pengesahan RUU Cipta Kerja hasil pembahasan Pemerintah dan DPR di paripurna semakin menguat. Pemerintah mengajukan RUU ini sebagai salah satu jalan keluar mengatasi obesitas regulasi dan mempermudah perizinan berusaha. RUU Cipta Kerja –semula bernama RUU Cipta Lapangan Kerja merupakan salah satu RUU yang disusun menggunakan metode omnibus law.

RUU Cipta Kerja memuat 11 klaster, 15 bab, dan 174 pasal. RUU ini berdampak pada setidaknya 1.203 pasal dari 79 Undang-Undang. Beberapa ketentuan dari UU Ketenagakerjaaan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Administrasi Pemerintahan akan dihapuskan. Dalam konsiderannya, RUU Cipta Kerja disusun antara lain untuk menyerap banyak tenaga kerja, kemudahan berusaha, dan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan berusaha.

Ini juga berkaitan dengan ekspekstasi meningkatkan posisi Indonesia dalam kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB). Dalam rangka itu, peraturan perundang-undangan dianggap menjadi hambatan, sehingga Presiden mengusulkan penyusunan undang-undangan dengan menggunakan metode omnibus law.

Omnibus Law adalah salah satu metode penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih dikenal dalam sistem hukum Common Law. Metode ini kemudian hendak diadopsi ke Indonesia setelah Presiden Joko Widodo menyinggungnya dalam pidato pelantikan sebagai Presiden periode kedua (2019-2024).

Omnibus Law kemudian memunculkan perdebatan di ruang publik. Apakah metode ini sejalan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019? Apakah metode ini sudah pernah dipraktikkan di Indonesia? Pertanyaan yang paling mendasar: apa sebenarnya omnibus law? 



Definisi

Istilah ‘Omnibus Law’ lebih dikenal sebagai omnibus bill dalam sistem hukum Common Law. Lema ‘ominus’ berasal dari bahasa Latin, omnis, yang berarti untuk semuanya, atau banyak. Omnibus law, dengan demikian, adalah hukum untuk semua. Orang lebih memahaminya sebagai undang-undang sapu jagat.

Black’s Law Dictionary mengartikan omnibus bill sebagai: (1) a single bill containing various distinct matters, usually drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provisions; (2) a bill that deals with all proposals relating to a particular subject, such as an ‘omnibus judgeship bill’ covering all proposals for new judgeship or an ‘omnibus crime bill’ dealing with different subjects such as new crimes and grants to states for crime control.

Menurut Glen S Krutz (Getting Around Gridlock: the Effect of Omnibus Utilization on Legislative Productivity, 2000: 533), omnibus legislating adalah the practice of Combining numerous measures from disparate policy areas in on massive bill. Dalam tulisannya yang lain (Tactical Maneuvering on Omnibus Bill in Congress, 2000: 214), Glen mendefinisikan omnibus bill sebagai ‘a piece of major legislation that (a) spans three or more major topic policy areas or ten or more subtopic policy areas; and (b) is greater than the mean plus one standar deviatkion of major bills in size. (Baca: Jimly: Ada Untung Rugi Terapkan Metode Omnibus Law)



Karakteristik

Ahmad Redi (2020) menyebutkan lima watak atau ciri omnibus law. Pertama, multisektor dan terdiri dari banyak materi muatan dengan tema yang sama. Ada beberapa sektor terkait yang menjadi substansi omnibus law dengan materi muatan yang banyak. Misalnya, satu RUU yang hendak disusun berkaitan dengan sector pemerintahan daerah, sector penanaman modal. Administrasi pemerintahan, sector lingkungan hidup, dan lain-lain. RUU Cipta Kerja yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR mencerminkan banyaknya sector yang harus dikaitkan.

Kedua, terdiri dari banyak pasal akibat banyak sektor yang dicakup. Metode omnibus law akan menyebabkan ‘pembengkakan’ pasal-pasal karena banyaknya sector yang terkait. RUU Cipta Kerja, misalnya, memuat sekitar 1.203 pasal sebagai konsekuensi keterkaitannnya dengan 79 Undang-Undang.

Ketiga, terdiri atas banyak peraturan perundang-undangan yang dikumpulkan dalam satu perundang-undangan baru. Sebagai akibat banyaknya peraturan yang diperbaiki, baik melalui reformulasi norma(membuat rumusan ulang), maupun menegasikan norma yang ada, dan menciptakan norma baru, maka jumlah undang-undang yang tercakup dalam suatu omnibus law pasti banyak. Di Australia misalnya ada Act on Implementation of United States Free Trade Agreement –perjanjian dagang Australia dan AS—yang berisi 9 undang-undang mulai dari bea cukai sampai hak cipta. Krutz menyebutnya sebagai ‘one massive bill’.

Keempat, mandiri, berdiri sendiri, dan tanpa terikat atau minimum terikat dengan peraturan lain. Salah satu watak omnibus law adalah sifatnya yang mandiri sehingga tidak terikat pada peraturan lain yang selevel dan sejenis.  Dalam penyusunan perundang-undangan dengan tenis omnibus law, pembentuk undang-undang menutup mata terhadap substansi yang ada pada undang-undang lain sehingga rumusan norma berubah sangat drastic sesuai politik hukum yang dianut.

Kelima, mereformulasikan, menegasikan, atau mencabut sebagian atau keseluruhan peraturan lain. Teknis omnibus dipakai untuk menyelesaikan berbagai persoalan norma yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan. Tumpang tindih, disharmoni, obesitas, atau ketidaksinkronan menjadi bagian penting yang diubah, dinormakan ulang, atau dihapuskan sama sekali melalui omnibus law. Hal ini dapat menyebabkan perubahan paradigma dalam perundang-undangan.



Tujuan dan Manfaat

Perubahan lewat pembahasan bersama DPR dan Presiden (plus DPD untuk isu daerah), dan lewat putusan Mahkamah Konstitusi, adalah dua jalan yang dapat ditempuh untuk mengubah Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dapat diuji Mahkamah Agung. Namun, ketiga jalan itu dipandang sudah tidak memadai untuk mengatasi obesitas dan disharmoni peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mengubah satu persatu undang-undang yang dinilai menghambat investasi tidak efektif.

Untuk mengatasi persoalan itulah, Pemerintah memperkenalkan metode omnibus law, yang lebih efektif mengubah dan mencabut banyak rumusan undang-undang sekaligus, dan membuat norma baru dalam satu undang-undang. Metode ini dipilih untuk mempermudah perizinan yang selama ini dianggap menghambat investasi.

Dengan mengambil contoh perundang-undangan di bidang pendidikan, Krutz menyatakan bahwa omnibus law dipakai sebagai salah satu taktik untuk mempengaruhi para pemangku kepentingan. “In terms of tactics, the omnibus bill is regarded as the administration’s formula for giving the influential education interest groups a common stake in a combination bill to prevent the kind of falling out among the friends of federal aid for education which made enemies unnecessary in the last session of Congress”.

Menurut Ahmad Redi (Omnibus Law: Gagasan Pengaturan untuk Kemakmuran Rakyat, 2020), tujuan dan manfaat omnibus law adalah: a. untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien; b. untuk mkenyeragamkan kebijakan pemerintah  baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah untuk menunjang iklim investasi; c. untuk menjadikan pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif; d. agar mampu memutus mata rantai birokrasi yang berlama-lama; e. agar meningkatkan hubungan koordinatif antarinstansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu; dan f. agar ada jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.



Kelemahan

Di Indonesia, sejumlah akademisi dan praktisi hukum melayangkan kritik terhadap penggunaan omnibus law. Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan sekaligus mantan hakim konstitusi, Maria Farida Indrati, termasuk yang mempertanyakan metode omnibus law, dan meminta agar penggunaannya dalam RUU Cipta Kerja tidak terburu-buru.

Adam M. Dodek dalam tulisannya ‘Omnibus Bill: Constitutional Constraints and Legislative Liberations, Ottawa Law Review (2017) mencatat tiga keberatan metode omnibus law. Pertama, membuat parlemen tidak berdaya  dan sulit meminta pertanggungjawaban pemerintah. Kedua, sulit bagi anggota parlemen untuk melakukan penelitian yang seimbang dengan penelitian yang dilakukan pemerintah. Ketiga, ada kesan radikal karena mengubah dan mengasikan sekaligus banyak pasal dan banyak undang-undang. Dodek menyebut omnibus law sebagai metode yang abusive.

Patrick Keyzer, saat menyampaikan materi kuliah tamu di Universitas Brawijaya Malang, 29 Januari 2020, menyebutkan lima kelemahan penggunaan omnibus law, yaitu: (i) very difficult to draft; (ii) limited opportunities for debate and scrutiny; (iii) it may make consultation very difficult; (iv) It may be hard to implement; dan (v) it can add to complexity, rather than remove it

Apa yang disampaikan Keyzer itu sejalan dengan apa yang disinggung oleh John Walsh di majalah Science (Congress: Decision To Break Up Comprehensive Education Bill, Act on Parts, Taken in House, 1963). Salah satu problem yang akan dihadapi ketika ingin mendorong omnibus law adalah skeptisisme mengenai apakah omnibus bill benar-benar dapat disahkan.

 

Sumber: Hukum Online

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar