Cari Blog Ini

Rabu, 27 Januari 2021

Jimly: Ada Untung-Rugi Terapkan Metode Omnibus Law

Omnibus law disebut sebagai metode pembentukan UU dengan pendekatan sapu jagat. Terpenting, setiap pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja harus melibatkan partisipasi publik yang luas dan langsung, serta menyentuh substansi. 


Kontroversi RUU Cipta Kerja belum berakhir, berbagai elemen masyarakat sipil terus menyampaikan protes kepada pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU tersebut. Selain substansinya bermasalah, metode penyusunan RUU Cipta Kerja dengan cara omnibus law ini sejak awal dianggap tidak tepat dan tidak sesuai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.    

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan omnibus law merupakan teknik pembentukan UU. Omnibus law berfungsi antara lain untuk menata hukum, misalnya membenahi peraturan yang saling tumpang tindih dan mengintegrasikan beberapa regulasi ke dalam satu regulasi.

“Omnibus law merupakan metode pembentukan UU dengan pendekatan ‘sapu jagat’. Ini teknik pembentukan UU,” kata Jimly dalam peluncuran bukunya berjudul Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia secara daring, Rabu (23/7/2020) malam.

Jimly mengingatkan ada untung dan ruginya penyusunan UU dengan menerapkan teknik/metode omnibus law. Keuntungannya, teknik ini dapat digunakan untuk mengintegrasikan, harmonisasi, konsolidasi berbagai kebijakan hukum, menyelesaikan UU yang saling bertentangan substansinya.

Mengingat omnibus law merupakan UU sapu jagat, maka ada banyak substansi yang bisa masuk, misalnya UU tentang Perkapalan di Kanada, disitu tidak hanya mengatur tentang kapal laut, tapi juga hukum perkawinan, perceraian, dan warisan. “Ini makanya kenapa omnibus law disebut juga sebagai peraturan yang menerobos kanan-kiri,” ujarnya.

Anggota DPD yang mewakili provinsi DKI Jakarta ini melanjutkan keuntungan lain teknik omnibus lawa mampu menata hukum lebih cepat karena dalam pembahasan bisa menyasar banyak UU untuk dicabut atau diubah. Ketentuan yang masuk dalam omnibus law tidak melulu menghapus pasal, tapi juga bisa menambah atau mengubah. Teknik ini layak (cocok, red) dilakukan di negara-negara yang memiliki banyak peraturan, seperti Indonesia.

“Kegunaan omnibus law ini untuk membenahi peraturan yang tidak harmonis,” paparnya.

Selain ada keuntungan, tapi juga ada kerugian atau kelemahan menggunakan metode penyusunan regulasi dengan omnibus law ini. Jimly menyebutkan salah satu kritik yang paling banyak dilontarkan publik yakni mengurangi kualitas demokrasi karena peran legislator yang dipilih rakyat bisa diterobos lewat satu legislasi dengan omnibus law ini.

Kelemahan berikutnya terlalu banyak pasal yang diatur dalam omnibus law dan substansinya tidak saling terkait. Kelemahan ini muncul karena ada semangat untuk membenahi semua UU dalam satu UU Omnibus Law. Akibatnya berkas UU Omnibus Law tersebut sangat tebal dan banyak halamannya.

“Perdebatan di parlemen juga menjadi kurang substantif dan partisipasi publik kurang luas,” bebernya.

Melihat teknik omnibus law dalam RUU Cipta Kerja, Jimly menilai UU terdampak jumlahnya sangat banyak (79 UU). Begitu pula substansinya mengubah beragam pasal termasuk mengurangi/membatasi hak masyarakat terutama kalangan buruh. Target yang ditetapkan pemerintah untuk menyelesaikan RUU Cipta Kerja sangat cepat dan singkat hanya beberapa bulan. Pembahasan terus dilakukan pemerintah dan DPR kendati pandemi Covid-19 belum berakhir (bahkan masa reses tetap dibahas, red).

“Mengacu kondisi yang ada saat ini, maka tidak mungkin ada partisipasi publik yang luas dan substantif. Ini sangat mengkhawatirkan,” ujarnya mengingatkan.


Substansinya harus disederhanakan

Direktur PuSaKo Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai tujuan omnibus law itu sebenarnya baik yakni teknik penyusunan legislasi yang singkat, sehingga tidak membebani keuangan negara. Tapi karena substansi yang diatur dalam UU Omnibus Law sangat banyak dan menyangkut banyak hal, maka rawan disusupi kepentingan pelaku bisnis.

Sejumlah negara yang menerapkan praktik omnibus law, seperti Amerika Serikat membatasi omnibus law ini hanya untuk regulasi yang memiliki tema sama. Hal ini sebenarnya bisa dijadikan contoh praktik terbaik. Misalnya, omnibus law perpajakan yang diatur adalah segala hal terkait tentang pajak dan tidak boleh dimasukan kepentingan bisnis yang merugikan publik.

“Makanya, di Amerika Serikat, praktik omnibus law tidak boleh dilakukan jika UU terdampak tidak satu tema yang sama,” ujarnya.

Pelibatan publik secara luas dan langsung, menurut Feri mutlak harus dilakukan dalam setiap pembentukan peraturan tak terkecuali UU Omnibus Law. Feri menilai penyusunan RUU Cipta Kerja yang sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) sangat tertutup. Pemerintah hanya membentuk tim, yang salah satu anggotanya kalangan dunia usaha. Akibatnya publik curiga terhadap omnibus law yang didorong pemerintah melalui RUU Cipta Kerja.

Karena itu, Feri mengusulkan kepada pemerintah dan DPR jika ingin menyusun UU Omnibus Law, seperti RUU Cipta Kerja, substansinya harus disederhanakan dan satu tema saja. “Kemudian benahi dulu UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, red) karena disitu tidak mengenal teknik omnibus law,” usulnya.

 

 

Sumber: Hukum Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar