Cari Blog Ini

Rabu, 27 Januari 2021

Menyoal Good Legislation Making dalam Penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja

Pemerintah dianggap belum menerapkan prinsip good legislation making dalam penyusunan RUU Cipta Kerja. Alhasil, terdapat muatan RUU tersebut yang justru bermasalah. 
 
 

Omnibus law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja terus menjadi polemik karena terdapat pertentangan dari berbagai pihak yang menganggap rancangan aturan tersebut bermasalah dari sisi penyusunan hingga muatan pasal. Di sisi lain, pemerintah tetap menginginkan rancangan aturan tersebut segera disahkan demi menggenjot investasi yang diharapkan berimplikasi terhadap ekonomi nasional.

Direktur Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Stepahine Juwana, mengatakan pemerintah belum menerapkan penyusunan legislasi secara baik atau good legislation making sehingga muatan rancangan aturan tersebut bermasalah. Berdasarkan analisis IOJI, dia menjelaskan rancangan aturan tersebut tidak menerapkan keberlanjutan ekonomi dan bertentangan dengan Undang Undang Dasar. Kemudian, rancangan aturan tersebut juga mencabut sejumlah kewenangan pemerintah daerah dan mengalihkannya ke pusat.

Stephanie juga menambahkan partisipasi publik juga minim terhadap perumusan RUU tersebut. “Saat menganalisis, kami temukan ketidaksesuaian dengan UU 1945, Pasal 33 ayat 4. Kami lihat pasal-pasal yang melemahkan keberlanjutan dan pasal 18 (UUD 1945) berupa penarikan kewenangan ke pemerintah pusat dan ada juga (minimnya) partisipasi publik,” jelas Stephanie dalam Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU Cipta Kerja Terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Rabu (19/8).

Dia menjelaskan metode penyusunan UU omnibus law memiliki ragam kelemahan di berbagai negara seperti Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru dan Jerman. Permasalahan tersebut antara lain rancangan tersebut sulit dikaji mendalam, minimnya partisipasi publik, rawan ditunggangi kelompok tertentu, tidak sesuai dengan judul UU, gemuk muatan hingga penggunaan metode omnibus law yang berlebihan.

Sayangnya, permasalahan metode omnibus law di berbagai negara tersebut juga terdapat pada RUU Cipta Kerja. Sebab, Stephanie menjelaskan ruang lingkup RUU Cipta Kerja sangat luas sehingga pembahasannya tidak optimal. Selain itu, dia juga mengatakan terdapat pelemahan penegakan hukum dalam RUU Cipta Kerja tersebut.

Atas persoalan tersebut, Stephanie mengatakan IOJI menyarankan pemerintah dan DPR perlu menarik RUU Cipta Kerja dari proses pembahasan, menata ulang ketentuan pasal-pasal rancangan aturan tersebut, menghilangkan pasal-pasal yang tidak relevan dan melaksanakan tahap penyusunan dan pembahasan ulang dengan melibatkan partisipasi publik.

Kemudian, dia mengatakan pemerintah bersama DPR perlu menetapkan persyaratan dan prosedur penyusunan omnibus law di Indonesia. Setidaknya, prosedur penyusunan tersebut memuat indikator-indikator yang menjadi dasar pertimbangan metode omnibus law. Lalu, omnibus law juga harus mengatur subjek persoalan, menghindari tunggangan kelompok tertentu dan memastikan keterlibatan publik.

Chief Executive Officer Hukumonline, Arkka Dhiratara, RUU Cipta Kerja perlu dikritisi dari sisi proses penyusunannya. “Hingga saat ini omnibus law masih berjalan dan belum final. Pemerintah anggap dengan penggunaan omnibus law mempercepat harmonisasi perundang-undangan. Metode omnibus law tentunya juga akan ditetapkan pada RUU lainnya sehingga, apakah RUU Cipta Kerja ini sudah diterapkan prinsip-prinsip good legislation making. Selain itu, RUU Cipta Kerja ini apakah sudah berorientasi pada kelautan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Ini harus dilihat secara utuh dan komprehensif,” jelas Arkka.

Sementara itu, Prof Jimly Asshidiqqie mengatakan metode penyusunan omnibus law perlu diterapkan dalam perundang-undangan Indonesia. Namun, dia menekankan metode omnibus law tersebut jangan dipersempit untuk kebutuhan investasi saja dengan RUU Cipta Kerja. Dia mengatakan muatan RUU Cipta Kerja terlalu luas sehingga pembahasannya tidak fokus dan berdampak terhadap kualitas UU tersebut.

Selain itu, dia menganggap pemerintah terburu-buru menginginkan RUU Cipta Kerja segera disahkan padahal, muatan RUU tersebut menyangkut dengan UU lain dan memiliki banyak pasal. “RUU Cipta Kerja tebal sekali, maunya cepat dan mengabaikan hak-hak publik,” jelas Jimly. Dia membandingkan dengan Vietnam yang sudah terlebih dulu menerapkan metode omnibus law pada 2007 yang pengaturannya fokus pada topik tertentu.

Selain itu, dia juga menilai muatan RUU Cipta Kerja sudah tidak relevan dengan saat ini karena perumusannya dilakukan sebelum pandemi Covid-19. “RUU Cipta Kerja yang disusun sebelum Covid menjadi tidak relevan. Ini betul-betul sesuatu yang serius. Skenario di RUU Cipta Kerja itu enggak kena dengan kondisi saat ini karena ketika semua pelaku bisnis dunia berpikir sustainable development, RUU Cipta Kerja justru merusak lingkungan,” kata Jimly.

Sehingga, dia juga menyarankan agar pembahasan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR segera dicabut. Kemudian, dia juga menyarankan agar penyusunan RUU Cipta Kerja mempertimbangkan prinsip good legislation making. 

 

Sumber: Hukum Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar