Cari Blog Ini

Minggu, 17 Januari 2021

Bahasa Hukum: ‘Klausula Baku’, Klausula yang Mengganggu


Muhammad Yasin
Pencantuman klausula baku dapat mengganggu hubungan konsumen dan produsen. Sudah banyak kasus sengketa yang terjadi.

Sudaryatmo masih ingat betul ketika di awal 1990-an Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) banyak menerima keluhan dari anggota masyarakat tentang layanan perbankan. Yang paling sering adalah kenaikan tiba-tiba biaya yang harus ditanggung konsumen (nasabah) bank. Konsumen tak dapat berkutik karena dalam perjanjian yang sudah dibuat –misalnya untuk kredit perumahan—ada klausula yang menyebutkan konsumen harus membayar ‘kenaikan biaya yang terjadi di kemudian hari’. Kasus lain adalah pengenaan biaya penutupan rekening di bank.


Kasus-kasus semacam itu terjadi ada ‘jebakan’ dalam perjanjian antara kedua belah pihak yang lazim disebut klausula baku. “Problem klausula baku itu sudah marak terjadi sejak 1990-an,” kata pengurus harian YLKI itu dalam diskusi peringatan Hari Konsumen Nasional 2019 di Jakarta, Sabtu (20/4).


Advokat yang banyak mengadvokasi isu perlindungan konsumen, David ML Tobing, bahkan berhasil menelusuri waktu yang lebih jauh. Pemerintah telah membahasnya pada Oktober 1980 di Jakarta. Pada saat itu sudah muncul istilah standard contract, yang kemudian dipahami sebagai perjanjian baku. Perjanjian baku diartikan sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir, tetapi tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu (vorm vrij). Perjanjian baku dikeluarkan pemerintah dan swasta dan meniadakan asas konsensual serta tidak membedakan kondisi debitor. David juga menelusuri klausula baku dalam praktik melalui sejumlah putusan dan sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).


Penelitian yang relevan pernah dilakukan Fannieka Kristianto (2019: 182). Akademisi Presiden University ini telah meneliti 18 perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) satuan rumah susun. Hasilnya? Ternyata, pelaku usaha menetapkan secara sepihak PPJB yang merupakan perjanjian baku dan berisi janji-janji (klausula baku) yang pada dasarnya berat sebelah dan merugikan konsumen. Penelitian ini dilakukan setelah puluhan tahun UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku. UU Perlindungan Konsumen sudah secara tegas melarang beberapa klausula baku.



Pengertian dan doktrin

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud ‘klausula baku’ itu? Secara leksikal (Sri Rejeki Hartono, Paramita Prananingtyas dan Fahimah, Kamus Hukum Ekonomi, 2010: 87),  klausula atau klausul mengandung arti ketentuan khusus dalam suatu perjanjian, dapat bersifat memperluas atau membatasi. Sedangkan Kamus Hukum Kontemporer karya M. Firdaus Sholihin dan Wiwin Yulianingsih (2016: 102), mendefinisikan klausula baku sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.


Gambaran lebih detail tentang klausula baku termuat dalam buku berwujud restatement, yakni Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku, yang ditulis Ahmad Fikri Assegaf (2014). Ternyata istilah yang dipakai oleh para sarjana berbeda-beda. Mariam darus Badrulzaman menggunakan istilah ‘perjanjian baku’, sebagai terjemahan dari bahasa Belanda standaardcontract atau standaardvoorwaarden. Sutan Remy Sjahdeini mengutip beberapa istilah yang dipakai yakni standardized agreement, standardized contract, pad contract, standard contract, contract of adhesion dan lain-lain. Yang harus diingat adalah konteks penggunaan masing-masing istilah.


Sebagai contoh kontekstualisasi klausula dan perjanjian baku, penting melihat pandangan majelis hakim yang memutus perkara No. 267 K/Pdt.Sus/2012. Majelis tidak melihat adanya perbedaan penting antara klausula baku dengan perjanjian baku. Padahal, pada proses di BPSK tergugat sudah mencoba membangun argumentasi tentang perbedaan perjanjian baku dengan klausula baku. Perjanjian yang dipersoalkan para pihak adalah perjanjian baku sedangkan yang diatur UU Perlindungan Konsumen adalah klausula baku.


Az. Nasution, pakar yang banyak mengembangkan hukum perlindungan konsumen, menyebutkan perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi atau perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan atau penghapusan tanggung jawab. Dengan perjanjian ini, kata Nasution (2014: 114) diinginkan salah satu dari para pihak dibatasi atau dibebaskan dari suatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang mungkin diberikan oleh peraturan perundang-undangan dihapus terhadap penyusun perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi tersebut.


Mengutip RHJ Engels (1978), Nasution tiga bentuk yuridis perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi. Pertama, tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian. Kedua, kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan, misalnya perjanjian keadaan darurat. Ketiga, kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab pihak yang lain  yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.


P. Lindawaty Sewu, dalam disertasinya ‘Aspek Hukum Perjanjian Baku dan Posisi Berimbang Para Pihak dalam Perjanjian Waralaba’ menyatakan bahwa perjanjian baku tidak dapat  dikatakan sama dengan  syarat-syarat standar. Tetapi dalam perjanjian baku biasanya ada syarat-syarat standar.


KUH Perdata tidak memberikan definisi klausula baku. Dalam perundang-undangan lain, klausula baku diartikan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen (Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen).




Kasus dan putusan

Berkaitan dengan klausula baku, satu hal yang penting diingat adalah tidak semua klausula baku dilarang. Dalam konteks Indonesia, hanya apa yang diatur dalam pasal 18 UU Perlindungan Konsumen yang tegas-tegas dilarang. Memang, ada kontekstualisasi seperti yang diatur dalam kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tetapi dalam praktik sudah pernah muncul beberapa kasus dan putusan pengadilan mengenai pengadilan.


Salah satu yang terkenal adalah kasus klausula baku dalam karcis parkir. Kasusnya berangkat dari kehilangan kendaraan di lokasi parkir, dan berujung pada sengketa di pengadilan. David ML Tobing adalah pengacara pemilik mobil menggugat pengelola lahan parkir. Hingga putusan berkekuatan hukum tetap, majelis hakim memenangkan klien David. Hakim menghukum pengelola parkir, dan menepis klausula baku yang dijadikan alasan oleh tergugat untuk mengalihkan tanggung jawab. Dalam kasus Anny R Gultom vs Secure Parking ini Mahkamah Agung menyatakan pada hakekatnya klausula karcis parkir merupakan perjanjian yang kesepakatanya cacat hukum karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausula. Manakala pengendara masuk ke lokasi parkir, tidak ada pilihan baginya untuk memilih lokasi lain untuk parkir (putusan MA No. 1264 K/Pdt/2003).


Masih berkaitan dengan tiket, pengadilan pernah memutus dan memenangkan konsumen atas perkara klausula baku dalam tiket penerbangan. Perjanjian batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika memuat klausula baku pengalihan tangggung jawab. Hal yang sama diputuskan dalam putusan No. 1391 K/Pdt/2011, dimana perusahaan penerbangan membatalkan penerbangan penggugat tanpa alasan yang dapat diterima. Ada banyak putusan pengadilan di Indonesia yang pada intinya menyatakan pencantuman klausula baku bertentangan dengan hukum dan dinyatakan melanggar hukum.


Di luar negeri juga ada yurisprudensinya. Salah satu putusan di Belanda yang terkenal adalah putusan pengaduilan yang menghukum pengelola parkir di bandara Schipol. Mobil audi seorang pengunjung menabrak pipa saluran udara karena lokasinya yang terlalu pendek. Schipol menggunakan dalil klausula baku pelepasan tanggung jawab atas kerugian yang diderita pengunjung bandara. Ini dicantumkan pada beberapa tempat sebelum masuk bandara dan gedung parkir. Putusan pengadilan menepis argumen Schipol tentang klausula baku. Boleh jadi pemilik lokasi parkir telah  mengecualikan pertanggungjawaban mereka atas kerugian yang diderita pengguna lokasi parkir, dengan menggunakan klausula eksonerasi. Namun ini bukan berarti klausula semacam itu otomatis tidak atau tidak dapat memberatkan secara wajar. Untuk itu, segala keadaan yang relavan harus ikut dipertimbangkan. Pengendara sebuah mobil yang menggunakan gedung parkir pada dasarnya percaya bahwa dia dapat menaruh mobilnya di gedung parkir tanpa kerusakan, tanpa membayangkan kemungkinan adanya konstruksi kotak parkir semacam itu sehingga hanya mungkin ditempati dengan cara tertentu. Alasan Schipol dapat diterima hanya jika perusahaan telah mengambil tindakan agar pengguna parkir memperhatikan keterbatasan lokasi parkir tertentu. Faktanya, tidak ada pernyataan  atau petunjuk untuk itu (Arsil, Nursyarifah, dan Imam Nasima, 2014:85-86).


Sengketa atas klausula baku masih berpotensi timbul mengingat dalam kehidupan sehari-hari masih sering ditemukan klausula baku. Putusan-putusan terdahulu yang sudah dianalisis oleh banyak penulis seharusnya dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk mengawasi pencantuman klausula baku. Atau, meniru praktik di negara lain, pengadilan yang diberi wewenang mengesahkan perjanjian baku sebelum ditawarkan kepada masyarakat, agar mereka terhindar dari jebakan klausula baku.


Simak saja klausula penolakan jaminan dan batasan tanggung jawab salah satu pelaku e-commerce. Sejauh diizinkan oleh hukum yang berlaku, nama perusahaan (termasuk induk perusahaan, direktur, dan karyawan) tidak bertanggung jawab, dan Anda setuju untuk tidak menuntut (nama perusahaan) bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kerugian yang diakibatkan secara langsung atau tidak langsung dari beberapa hal. Misalnya dari harga, pengiriman, penggunaan atau ketidakmampuan pengguna, dan keterlambatan atau gangguan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar