Cari Blog Ini

Rabu, 27 Januari 2021

Tujuh Dampak Negatif RUU Cipta Kerja Terhadap Publik

Akademisi IPB meminta DPR dan pemerintah menghentikan omnibus law RUU Cipta Kerja. DPR mengklaim substansi RUU Cipta Kerja terus disempurnakan dengan meminta masukan masyarakat. 
 
 
 
 

Demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja yang digelar berbagai elemen masyarakat di banyak daerah belum lama ini ternyata tidak menyurutkan pemerintah dan DPR untuk terus membahas RUU Cipta Kerja. Seperti diketahui, sejak awal substansi RUU Cipta Kerja menjadi sorotan publik karena banyak pasal yang dinilai bermasalah.

Akademisi IPB, Rina Mardiana mengatakan tidak ada persoalan dengan mekanisme omnibus law (menggabungkan sejumlah regulasi dalam satu peraturan) dalam menyusun RUU Cipta Kerja ini. Tapi yang jadi masalah omnibus law RUU Cipta Kerja ini substansinya menyasar terlalu banyak sektor.

Rina menilai sangat sulit membaca RUU Cipta Kerja karena isinya menggabungkan 79 UU dengan lebih dari seribu pasal yang terdampak. Pemerintah mengklaim tujuan RUU Cipta Kerja, salah satunya untuk menyederhanakan proses perizinan. Padahal, menurut Rina, persoalan yang dihadapi dalam proses perizinan, terutama sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) adalah korupsi.

Salah satu penyebabnya banyak UU sektoral yang saling tumpang tindih dan membuka celah hukum. Padahal, sederhananya UU yang harus menjadi acuan bagi pemerintah dan DPR dalam mengelola sumber daya alam di Indonesia yakni UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

“Sektoralisme kebijakan agraria ini terjadi pasca 1965. Padahal, UU No.5 Tahun 1960 seharusnya menjadi payung. Kebijakan sektoral ini melahirkan oligarki penguasaan sumber daya alam,” kata Rina dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan PSHK Indonesia bertema “Penguasaan Negara dan Pelindungan Publik atas Sumber Daya Alam dalam RUU Cipta Kerja”, Jumat (17/7/2020).

Rina mencatat sedikitnya ada tujuh dampak RUU Cipta Kerja terhadap publik. Pertama, meluruhkan kewibawaan konstitusi karena ada 31 pasal inkonstitusional yang dihidupkan lagi. Kedua, resentralisasi dan otoriter, bahkan antidemokrasi karena menjauhkan pelayanan publik dari partisipasi. Ketiga, preseden buruk atas proses pembentukan omnibus law RUU Cipta Kerja akan menjadi modal budaya pemerintah dalam penyusunan kebijakan yang tertutup dan tidak transparan.

Keempat, instrumen perizinan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja, menurut Rina lebih dominan kepada investor daripada memperhatikan dampak sosial dan lingkungan hidup. Kelima, bias pengusaha, misalnya sanksi untuk pengusaha bentuknya administratif dan kriminalisasi terhadap masyarakat semakin kuat. Keenam, jauh dari semangat antikorupsi; ada imunitas pejabat pengelola investasi; dan membuka peluang institutional state corruption. Ketujuh, berpotensi melahirkan celah legalisasi perampasan tanah.

Menurut Rina, RUU Cipta Kerja lebih banyak memuat pasal yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat, tapi menguntungkan segelintir pengusaha, memperkuat posisi dan status oligarki. “DPR dan pemerintah hentikanlah omnibus law RUU Cipta Kerja! Menghentikan RUU ini berarti negara mempertimbangkan kepentingan kedaulatan negara,” tegasnya.

Peneliti PSHK dan dosen STH Indonesia Jentera, Giri Ahmad Taufik, menyebut salah satu isu yang ramai diperdebatkan dalam RUU Cipta Kerja yakni penguasaan SDA yang dasarnya diatur dalam Pasal 33 UUD RI 1945. Ada 3 aktor ekonomi yakni negara, swasta, dan masyarakat sipil. Peran setiap aktor ini dibatasi Pasal 33 ayat (4) yakni perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Menurut Giri, RUU Cipta Kerja mengubah pendekatan perizinan menjadi berbasis risiko (risk based approach). Sayangnya, RUU Cipta Kerja tidak mengatur rinci apa yang dimaksud dengan pendekatan berbasis risiko ini, sehingga berpotensi mengorbankan masyarakat. Posisi masyarakat hukum adat dan masyarakat sipil secara umum semakin lemah karena tidak ada ruang partisipasi yang jelas dan kuat.

Selain itu, banyak pasal dalam RUU Cipta Kerja yang arahnya menarik kewenangan daerah ke pemerintah pusat, sehingga menjauhkan partisipasi masyarakat di daerah. “RUU Cipta Kerja memuat banyak pasal ‘blanko kosong’ yang bisa diisi pemerintah melalui pembentukan peraturan pemerintah (PP),” ujar Giri.


Terus disempurnakan

Wakil Ketua Panja DPR RUU Cipta Kerja, Ibnu Multazam mengatakan substansi RUU Cipta Kerja terus disempurnakan. Masyarakat bisa memberi masukan secara langsung atau tertulis karena pembahasan di Panja bersifat terbuka. Soal kewenangan pemerintah daerah yang ditarik ke pusat, Ibnu menilai hal ini tidak otomatis karena keterlibatan pemda tetap ada.

Norma yang masih berlaku dalam UU terdampak akan ditarik dalam PP. Untuk memastikan hal tersebut, Ibnu menilai harus ada jaminan dari pemerintah. Misalnya, terkait pasal yang mengatur Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) akan diatur dalam PP dan ada keterlibatan pemerintah daerah.

Politisi PKB itu juga menjelaskan pembahasan RUU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya berjalan paralel. Paling penting PP itu harus memuat sebagaimana norma yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.

“Untuk membatasi pemerintah (memastikan PP yang terbit sesuai RUU Cipta Kerja, red) akan ditegaskan dalam pasal penjelasan. Ini agar pemerintah tidak bisa membuat PP semaunya,” katanya.

 

 

Sumber: Hukum Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar