Cari Blog Ini

Rabu, 27 Januari 2021

Plus-Minus Metode Penyusunan Omnibus Law di Mata Akademisi

Meski memiliki sejumlah manfaaat/kelebihan, tetapi penyusunan metode omnibus law potensial merusak sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Cipta Kerja terus menuai polemik di masyarakat. Tak hanya materi muatannya, tetapi metode penyusunan/pembuatan RUU Omnibus Law ini dinilai bermasalah. Sebab, metode penyusunan satu regulasi (UU) baru sekaligus menggantikan/menghapus beberapa pasal dalam satu regulasi atau lebih yang berlaku ini sejatinya tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Lantas, apa manfaat, tantangan, dan kelemahan metode omnibus law ini?

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menerangkan penyusunan omnibus law untuk mengubah, mengganti, ataupun mencabut pasal-pasal dari satu UU atau lebih UU ke dalam satu UU baru yang memuat banyak subjek/materi. Namun, lazimnya pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan hanya memuat satu subjek materi muatan.  

Meski begitu dalam praktiknya, kata Bayu, penyusunan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus law memiliki empat manfaat. Pertama, mempersingkat proses pembuatan dan pembahasan produk legislasi atau RUU. Dalam proses revisi UU misalnya, tentu membutuhkan waktu panjang. Sementara penyusunan UU dengan metode omnibus law, cukup satu kali merevisi banyak UU menjadi satu UU.

“Tetapi kalau mau satu-satu ubah UU, ada berapa kali proses pembahasannya sampai pengesahannya?” ujar Bayu dalam sebuah diskusi daring bertajuk, “Proyeksi Penerapan Metode Omnibus Law dalam Penyusunan Undang-Undang”, Selasa (14/4/2020).

Kedua, mencegah kebuntuan pembahasan substansi yang termuat dalam RUU di parlemen. Tak jarang dalam pembahasan sebuah RUU terjadi kebuntuan antara pemerintah dan DPR. Begitu pula ketika terdapat dua kubu di parlemen, tak jarang terjadi deadlock. Ketiga, efisiensi biaya proses pembuatan UU. Dalam pembuatan sebuah RUU dibutuhkan dana cukup besar, mulai pembuatan naskah akademik dengan menyerap aspirasi masyarakat, hingga pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR.

“Bila 79 UU direvisi satu per satu, tentu membutuhkan biaya yang jauh lebih besar ketimbang menggunakan omnibus law sebagai metode ‘sapu jagat’ dalam penyusunan UU,” kata dia. 

Keempat, harmonisasi pasal per pasal dalam UU Omnibus Law bakal terjaga. Meski penggunaan metode omnibus law menimbulkan problematika di kalangan akademisi dan masyarakat, namun teknik membaca RUU pun dapat dilakukan dalam satu waktu, sehingga bisa menjaga keharmonisasian satu UU dengan UU lain.

Sementara omnibus law terdapat empat kelemahan. Pertama, RUU dengan metode omnibus law cenderung pragmatis dan kurang demokratis. Kedua, membatasi ruang publik dalam memberi aspirasi dan masukan dari masyarakat. Ketiga, kurang ketelitian dan kehati-hatian dalam perumusan setiap norma pasalnya karena UU yang terdampak yang akan direvisi cukup banyak.

“Misalnya, menghidupkan pasal yang sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK); bagaimana bisa Peraturan Pemerintah (PP) bisa mengganti norma UU. Itu kan bentuk ketidaktelitian dan kehati-hatian dan ketidakcermatan,” kata dia memberi contoh. 

Keempat, potensi berkurangnya perhatian terhadap konstitusi dan putusan MK. Menurutnya, terdapat banyak putusan MK yang tidak dijadikan dasar penyusunan norma dalam RUU Cipta Kerja. “Akhirnya (pasal-pasalnya, red) malah bertentangan dengan konstitusi. Orang bilang cacat bawaan RUU Cipta Kerja ini dan selalu dibawa. Mau tidak mau itu konsekuensi yang diterima kalau menggunakan metode omnibus law.”

Sementara beberapa tantangan penyusunan peraturan dengan metode omnibus law. Pertama, permasalahan peraturan perundang-undangan tak hanya teknis penyusunan RUU, tetapi juga bisa menjadi cara mengatasi persoalan over regulasi. Kedua, setiap UU memiliki landasan filosofis yang mengacu pada konstitusi. Problemnya, ketika mengubah sejumlah pasal otomatis mengubah landasan filosofinya dalam konstitusi, seperti Pasal 33 UUD 1945 menjadi landasan filosofi tak diubah.

Ketiga, prinsip supremasi konstitusi membatasi kewenangan pembentuk UU dimana aturan baku tak boleh ditabrak. Keempat, ketidakpastian hukum akibat dominasi kepentingan egosektoral. Kelima, belum adanya parameter kapan penyusunan RUU menggunakan metode omnibus law atau sebaliknya. "Seolah latah ingin menggunakan omnibus law di semua RUU."

Keenam, partisipasi publik. Ada penyusunan RUU masih minim partisipasi publik. Seperti Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang cenderung tak membuka ruang bagi publik untuk memberi masukan. “Tiba-tiba kita ditawarkan dengan omnibus law. Tantangannya bagaimana aspirasi publik bisa diakomodir dalam penyusunan omnibus law,” katanya.


Merusak sistem

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitriani A. Sjarief menilai penyusunan RUU Cipta Kerja hanya mengkompilasi sejumlah pasal di 79 UU yang terdampak. “Seolah mengambil benang merah untuk satu tujuan (peningkatan investasi demi pertumbuhan ekonomi, red). Sayangnya, metode omnibus law RUU Cipta Kerja ini cenderung prosesnya tertutup sejak awal di pemerintah,” kata Fitriani.

Dia khawatir jika metode omnibus law dibakukan semakin menunjukan ketidakpatuhan terhadap UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya, meski omnibus law bisa diarahkan untuk menyederhanakan sejumlah UU, tapi tidak kemudian menabrak prinsip pembentukan peraturan sesuai UU 12/2011. Dia memberi contoh Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang mengatur PP dapat mengubah UU. “Bukankah ini merusak sistem penyusunan peraturan perundang-undangan yang ada?”

Namun demikian, Fitriani tak alergi dengan perubahan sebuah sistem penyusunan peraturan. Namun, bila memodifikasi kemudian menimbulkan masalah baru serta merusak sistem hukum yang ada, tetap tak dapat dibenarkan. “Saya ingin jangan merusak sistem hukum. Kalau tidak bisa diterima dan harus gaya seperti ini, maka lampiran UU 12/2011 harus diiubah,” katanya.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Fajri Nursyamsi menambahkan pengalaman pembuatan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law cenderung tertutup, tidak partisipatif. Publik sulit mengakses informasi seputar penyusunan draf RUU di internal pemerintah. Ironisnya, DPR tidak mampu mengimbangi dan mengontrol pemerintah dalam penyusunan RUU Cipta Kerja.

“Peran DPR sangat lemah, dan DPR tidak punya kewenangan saat itu. Ada banyak kesalahan pemerintah, tapi DPR malah banyak menggelar ‘karpet merah’ untuk pemerintah,” katanya.



Sumber: Hukum Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar