Cari Blog Ini

Senin, 26 Februari 2018

Dasar Hukum dan Peraturan Asuransi di Indonesia


Obbie Afri Gultom in Hukum Keluarga Hukum Perusahaan Perjanjian

Banyak yang menanyakan sebenarnya apa dasar hukum yang berlaku di Indonesia mengingat tidak terkendalinya usaha ini pada satu dekade ini. Tercatat sudah banyak sekali perusahaan asuransi baik lokal maupun internasional mengepakan sayapnya meskipun begitu masih banyak dari perusahaan-perusahaan tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan yang merugikan bukan hanya nasabahnya namun juga khalayak umum yang merasa dibujuk rayu oleh marketer perusahaan asuransi yang terkenal dengan teknik marketingnya yang masiv dan tak terkendali. Kita sebagai masyarakat awam harus tahu apa sebenarnya dasar yuridis dari usaha tanggung risiko ini di Indonesia, berikut daftarnya:

1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

Undang-undang ini merupakan dasar hukum utama dari seluruh kegiatan perasuransian di Indonesia. Pada peraturan ini diatur secara detil mengenai ruang lingkup perasuransian, bentuk kegiatan bisnis asuransi yang diperbolehkan, proses bisnis asuransi, pembentukan perusahaan asuransi serta larangan bagi perusahaan asuransi dalam menjalankan usahannya. Jika anda menemukan banyak penyimpangan dalam asuransi yang Anda beli atau dirugikan oleh perusahaan pialang asuransi maka Anda dapat membaca peraturan ini untuk mendapatkan jawaban dan solusi atas permasalahan tersebut. Sebenarnya berdasarkan informasi yang saya terima pada Tahun 2012 silam, UU Nomor 2 Tahun 1992 ini akan segera diganti dan telah dirancang peraturan pengganti aturan yang lama tersebut namun entah mengapa peraturan tersebut ditarik dan tidak ditentukan kembali wacana penggantian peraturan tersebut mengingat peraturan ini sudah tidak relevan lagi dengan usaha asuransi di Indonesia pada saat ini.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelight Wet Boek)

Sebenarnya peraturan produk kolonial Belanda ini sudah tidak berlaku lagi namun berdasarkan peraturan peralihan segala sesuatu yang belum diatur pada peraturan yang baru maka peraturan lama masih dipakai. Hal tersebut berarti KUH Perdata masih berlaku sampai saat ini namun hanya pasal-pasal tertentu saja seperti pasal yang mengatur tentang perjanjian pada umumnya seperti Pasal 1320  yang berbunyi:

Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan dalam membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang.


Serta pasal-pasal perikatan yang berkaitan dengan perjanjian, karena asuransi itu pada dasarnya adalah bentuk perjanjian maka tetap tunduk pada Pasal 1320 KUH Perdata ini.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

Sama seperti dengan KUH Perdata, KUH Dagang ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi secara keseluruhan namun untuk pasal-pasal tertentu tetap berlaku karena belum diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1992. Ketentuan mengenai asuransi dalam KUH Dagang secara khusus diatur pada Bab 9 KUHD menjelaskan tentang asuransi dan pertanggungan secara umum.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

PP Nomor 73 Tahun 1992 ini adalah peraturan pelaksana dari UU Nomor 2 Tahun 1992 sehingga mengatur secara teknis tentang usaha asuransi di Indonesia seperti teknis pembentukan usaha asuransi, pemberian sanksi terhadap perusahaan asuransi dan lain sebagainya. PP Nomor 73 Tahun 1992 ini telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 dengan beberapa perubahan sehubungan dengan pembentukan perusahaan asuransi.

Demikianlah daftar dasar dan peraturan hukum asuransi yang masih berlaku di Indonesia. Semoga daftar tersebut dapat mempermudah pembaca untuk mencari solusi atas permasalahan asuransi yang anda temukan atau hanya sekedar mencari referensi tugas mengenai asuransi.

Kewenangan Notaris Dalam Hukum Kewarisan


Obbie Afri Gultom in Hukum Keluarga

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. . Notaris sendiri terdiri dari beberapa macam, yaitu:

Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan Notaris yang meninggal dunia, diberhentikan, atau diberhentikan sementara.Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris;Notaris Pengganti Khusus adalah seorang yang diangkat sebagai Notaris khusus untuk membuat akta tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat penetapannya sebagai Notaris karena di dalam satu daerah kabupaten atau kota terdapat hanya seorang Notaris, sedangkan Notaris yang bersangkutan menurut ketentuan Undang-Undang ini tidak boleh membuat akta dimaksud.

Adapun terdapat beberapa kewenangan seorang Notaris dalam perbuatan hukum pewarisan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1)    Kewenangan Menerbitkan Akta Keterangan Hak Mewarisi

Notaris berwenang membuat akta otentik termasuk Akta Keterangan Hak Mewarisi bagi Orang Tiong Hoa dan mereka yang tunduk pada Hukum Waris berdasarkan KUHPerdata, hal ini dapat diketahui melalui Pasal 15 ayat (1) UU No.30 / 2004 yang menjelaskan bahwa “mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”

Disamping itu berkenaan dengan Akta Hak Mewarisi tersebut, Notaris juga berkewenangan untuk melakukan hal-hal berikut atas Akta Keterangan Hak Mewarisi:

mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

2)    Menjaga dan Menyimpan Akta Keterangan Hak Waris

Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

3)    Membuat Surat Wasiat Berbentuk Akta Umum,

Berdasarkan Pasal 938 BW ditentukan bahwa Wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan Notaris dan dua orang saksi.

4)    Menyimpan Surat Wasiat Yang berbentuk Olografis

berdasarkan Pasal 932 BW ,Wasiat olografis harus seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris. Wasiat ini harus dititipkan oleh pewaris kepada Notaris untuk disimpan.

5)    Membuat Akta Penjelasan atas Surat Wasiat tertutup

Berdasarkan Pasal 940 BW , Notaris harus Membuat akta penjelasan mengenai surat wasiat tertutup atau rahasia.

6)    Menyampaikan Surat Wasiat Tertutup Kepada Balai Harta Peninggalan

Berdasarkan Pasal 942 BW , ditentukan bahwa v Setelah pewaris meninggal dunia, Notaris harus menyampaikan wasiat rahasia atau tertutup itu kepada Balai Harta Peninggalan yang dalam daerahnya warisan itu terbuka; balai ini harus membuka wasiat itu dan membuat berita acara tentang penyampaian dan pembukaan wasiat itu serta tentang keadaannya, dan kemudian menyampailkannya kembali kepada Notaris yang telah memberikannya. Berkenaan dengan itu berdasarkan Pasal 943 ditentukan bahwa Notaris yang menyimpan surat-surat wasiat diantara surat-surat aslinya, dalam bentuk apa pun juga, setelah meninggalnya pewaris, harus memberitahukannya kepada orang-orang yang berkepentingan.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (“UU No.30 /2004”)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“BW”);Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU No.1/1974”)Surat Mahkamah Agung No. MA/kumdil/171/V/K/1991 (“Surat MA Tahun 1991”)

Syarat-Syarat Pewarisan Dengan Wasiat


Obbie Afri Gultom in Hukum Keluarga

Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.  Ahli waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undangundang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari pewaris.

Berdasarkan Pasal 874 BW, segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Sehingga dengan demikian pihak-pihak di luar Ahli waris utama juga bisa mewarisi sepanjang dengan cara Pewarisan dengan wasiat. Meskipun begitu, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat dilakukannya waris dengan surat wasiat, yaitu meliputi:

1)    Tidak Melanggar Ketentuan Pembagian (“Legitime Portie”)

Bagian Mutlak atau legitime Portie, ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat.

Adapun besarnya Legitime Portie ini berbeda tergantung dengan jumlah Ahli Waris Ab Intestato yang ada, ketentuannya sebagai berikut:

Bila pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah dalam garis ke bawah, maka legitieme portie itu terdiri dari seperdua (1/2) dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian.Bila yang meninggal meninggalkan dua orang anak, maka legitieme portie untuk tiap-tiap anak adalah dua pertiga bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu tiga perempat bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.Dalam garis ke atas legitieme portie itu selalu sebesar separuh dari apa yang menurut undangundang menjadi bagian tiap-tiap keluarga sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian;Legitieme portie dan anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah diakui dengan sah, ialah seperdua dari bagian yang oleh undang-undang sedianya diberikan kepada anak di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian.

Namun Bila keluarga sedarah dalam garis ke atas dan garis ke bawah dan anak-anak di luar kawin yang diakui menurut undang-undang tidak ada, maka hibah-hibah dengan akta yang diadakan antara mereka yang masih hidup atau dengan surat wasiat, dapat mencakup seluruh harta peninggalan.

2)    Memenuhi Persyaratan Tentang bentuk Surat Wasiat Yang ditentukan BW

Bentuk-bentuk surat wasiat yang diperbolehkan berdasarkan BW,yaitu sebagai berikut:

Wasiat Olografis, ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri kemudian dititipkan kepada notaris.Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum,dibuat di hadapan notaris.Surat wasiat rahasia atau tertutup, pada saat penyerahannya, pewaris harus menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus tertutup dan disegel kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya. Notaris harus membuat akta penjelasan mengenai hal itu, yang ditulis di atas kertas atau sampulnya, akta ini harus ditandatangani baik oleh pewaris maupun oleh Notaris serta para saksi, dan bila pewaris tidak dapat menandatangani akta penjelasan itu karena halangan yang timbul setelah penandatanganan wasiatnya, maka harus disebutkan sebab halangan itu. Wasiat tertutup atau rahasia itu harus tetap disimpan di antara surat-surat asli yang ada pada notaris yang telah menerima surat itu.

3)    Adanya Saksi

Dalam hal pembuatan surat wasiat, perlu adanya saksi yang menyaksikan dibuatnya surat wasiat tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut:

Pada pembuatan surat wasiat olografis dibutuhkan 2 (dua) orang saksi. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut, pada saat pewaris menitipkan surat waris, kemudian notaris langsung membuat akta penitipan (akta van de pot) yang ditandatangani oleh notaris, pewaris, serta dua orang saksi dan akta itu harus ditulis di bagian bawah wasiat itu bila wasiat itu diserahkan secara terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu disampaikan kepadanya dengan disegel;Pada pembuatan surat wasiat dengan akta umum dibutuhkan 2 (dua) orang saksi. Proses pembuatan surat wasiat dengan akta umum dilakukan di hadapan notaris yang kemudian ditandatangani oleh pewaris, notaris dan dua orang saksi.Pada pembuatan surat wasiat dengan keadaan tertutup dibutuhkan 4 (empat) orang saksi. Prosesnya yaitu pada saat penyerahan kepada notaris, pewaris harus menyampailkannya dalam keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya.

4)    Adanya Persetujuan dari Suami/Istri (Spousal Consent)

Dalam hal pembuatan surat wasiat pada saat Pewaris dan Pasangannya masih hidup, perlu adanya persetujuan dari pasangan yang masih hidup tersebut. Hal ini mengacu pada pengaturan mengenai harta bersama, yaitu Pasal 36 ayat (1) UU No.1 /1974 yang menjelaskan bahwa Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.  Akan tetapi, apabila harta tersebut adalah harta bawaan Pewaris, maka tidak perlu adanya persetujuan dari Pasangannya. Hal ini mengacu pada pengaturan mengenai harta bawaan Pasal 36 ayat (2) UU No.1 /1974 yang menjelaskan bahwa Mengenai harta bawaan masing-masing,suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum untuk harta bendanya.

5)    Harus Dititipkan kepada Notaris

Dalam pembuatan surat wasiat harus dilakukan atau dititipkan kepada notaris. Dengan demikian, surat wasiat harus dibuat dengan akta otentik sesuai  dengan pengaturan pada Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Berkenaan dengan ke 5 persyaratan yang harus dipenuhi agar sahnya suatu Surat Wasiat , terdapat Ketentuan yang diatur dalam BW isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi pasal 881 ayat (2), yaitu: “Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”. Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau “legitime portie” ini termasuk ahli waris menurut undang-undang, mereka ini termasuk ahli waris menurut undang-undang, para ahli waris dalam garis lurus bawak dan ke atas.

Demikian Syarat-Syarat Pewarisan Dengan Wasiat.

Cara Mengurus Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)


Obbie Afri Gultom in Hukum Kehutanan Perizinan

Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah Izin untuk memanfaatkan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan.  Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya dilakukan dibeberapa macam kawasan hutan yang meliputi:

Hutan Produksi Konversi yang telah dikonversi dengan cara pelepasan kawasan hutan atau kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan;Penggunaan Kawasan Hutan melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan.Kayu Dari Hasil Kegiatan Penyiapan Lahan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman;Areal Kawasan Hutan Yang Telah Dilepas Dan Dibebani Hak Guna Usaha (HGU)

Meskipun begitu Dalam hal pada areal penggunaan lain (APL) yang telah dibebani izin peruntukan, pada HPK yang telah dikonversi atau pada tukar menukar kawasan hutan, potensi kayunya tidak ekonomis untuk dijadikan satu izin IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Permenhut P.14/2011, maka tidak memerlukan IPK dan dapat melakukan kegiatan termasuk pembukaan lahan dan penebangan pohon.
1.    Izin Pemanfaatan Kayu Pada Areal Penggunaan Lain (APL) Yang Telah Diberikan Izin Peruntukan

Areal Penggunaan Lain di sini mempunyai arti yaitu areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Menjadi bukan kawasan hutan. Dalam hal ini APL tersebut sudah diberikan izin Peruntukkannya.

Adapun batasan kegiatan untuk Jenis izin IPK pada APL yang diberikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) Permenhut P.14/2011 terdiri atas:

kegiatan penebangan,penyaradan,pembagian batang,pembuatan Laporan Hasil Produksi (“LHP”) di TPn,pemuatan,pengangkutan,dan pembongkaran di Tempat Penimbunan kayu (TPK)

a)    Persyaratan

Penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu Pada Areal Penggunaan Lain (APL) Yang Telah Diberikan Izin Peruntukan dapat diberikan apabila telah memenuhi beberapa persyaratan yaitu meliputi:

Areal yang menjadi objek merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) yang ditentukan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan Peta Indikatif yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan dan telah diberikan izin peruntukannya;Pemohon berupa Perorangan, Koperasi, BUMN, BUMD dan BUMS yang sah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.Mengajukan Permohonan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota areal lokasi selaku Pejabat Penerbit IPK.

b)    Prosedur

Permohonan mendapatkan izin untuk Izin Pemanfaatan Kayu Pada Areal Penggunaan Lain (APL) ditujukan Kepala Dinas Kabupaten/Kota sebagai Pejabat Penerbit IPK. Berikut tahapannya:

1)    Mengajukan Permohonan Kepada Pejabat Penerbit IPK dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi, Kepala Balai dan Kepala BPKH, dengan dilengkapi oleh beberapa Dokumen yaitu:

Fotokopi Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian perusahaan pemohon beserta perubahannya;Fotokopi izin peruntukan penggunaan lahan seperti izin bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pemukiman, pembangunan transportasi, sarana prasarana wilayah, pembangunan sarana komunikasi dan informasi, Kuasa Pertambangan, PKP2B yang diterbitkan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang;Peta lokasi yang dimohon.

2)    Jika Permohonan IPK tidak memenuhi persyaratan maka Pejabat Penerbit IPK akan  menolak permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima;

3)    Jika Permohonan IPK yang memenuhi persyaratan maka Pejabat Penerbit IPK meminta pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Kepala Balai dengan dilampiri dengan persyaratan permohonan;

4)    Berdasarkan tembusan permintaan pertimbangan teknis, Kepala Balai dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya tembusan permintaan pertimbangan teknis menyampaikan hasil penelaahan terhadap kegiatan fisik di lapangan kepada Direktur Jenderal;

5)    Kepala Dinas Propinsi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan pertimbangan teknis, menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Bupati/Walikota, dan Kepala Balai. Adapun Pertimbangan teknis Kepala Dinas Propinsi didasarkan hasil penelaahan terhadap status kawasan hutan dan kondisi perusahaan pemegang izin peruntukan;

6)    Selanjutnya Berdasarkan pertimbangan teknis, Pejabat Penerbit IPK memerintahkan kepada pemohon untuk:

Melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan intensitas 5% (lima persen) untuk seluruh pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC); danMenuangkan RLHC sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam Berita Acara dan ditandatangani oleh pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Integritas yang berisi nama, jabatan, alamat, dan pernyataan kebenaran pelaksanaan timber cruising.

7)    Dalam hal pemohon telah memenuhi syarat, Pejabat Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK dan kepada pemohon diwajibkan untuk:

Membuat Rencana Penebangan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah;melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 50 (lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah;menyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah;

8)    Dalam hal memenuhi persyaratan, diterbitkan Keputusan Pemberian IPK , yang mana salinan/tembusannya disampaikan kepada:

Direktur Jenderal;Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;Kepala Dinas Kabupaten/Kota; danKepala Balai.

9)    Dalam hal pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada poin 7), dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja surat persetujuan IPK dibatalkan;

10)    Keputusan Pemberian IPK sebagaimana atau surat pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Poin 7) dan Poin 8), salinan/tembusannya disampaikan kepada:

Direktur Jenderal;Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;Kepala Dinas Kabupaten/Kota; danKepala Balai.

3. Biaya

Untuk penerbitan IPK pada APL ini ditentukan beberapa biaya-biaya yang membebaninya yaitu antara lain:

Pembayaran penggantian nilai tegakan dari IPK, dimana besarnya dihitung berdasarkan volume pada Laporan Hasil Produksi (LHP), dimana selanjutnya  Pejabat Penagih SPP-GR menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK. ;Pembayaran PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pembayaran DR (Dana Reboisasi) yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.    Areal Hutan Produksi Konversi yang telah dikonversi dengan cara pelepasan kawasan hutan atau kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan
Adapun batasan kegiatan untuk Jenis izin IPK pada APL yang diberikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) Permenhut P.14/2011 terdiri atas:

kegiatan penebangan,penyaradan;pembagian batang,pembuatan Laporan Hasil Produksi (“LHP”) di TPn,pemuatan,pengangkutan,dan pembongkaran di Tempat Penimbunan kayu (TPK)

a.    Persyaratan

Penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu Pada Areal Hutan Produksi Konversi yang telah dikonversi dengan cara pelepasan kawasan hutan atau kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan dapat diberikan apabila telah memenuhi beberapa persyaratan yaitu meliputi:

Areal yang menjadi objek merupakan Areal Hutan Produksi Konversi yang telah dikonversi dengan cara pelepasan kawasan hutan atau kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan;Pemohon berupa Perorangan, Koperasi, BUMN, BUMD dan BUMS yang sah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.Mengajukan Permohonan kepada Kepala Dinas Propinsi selaku Pejabat Penerbit IPK.

b.    Prosedur

Ada beberapa tahap yang yang perlu diketahui dalam rangka penerbitan IPK pada areal ini, adapun tahapan-tahapannya terdiri atas:

1)    Mengajukan Permohonan Kepada Pejabat Penerbit IPK Kepala Dinas Propinsi  dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi, Kepala Balai dan Kepala BPKH dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,Kepala Dinas Kabupaten/Kota,Kepala Balai dan Kepala BPKH, serta  dilengkapi oleh beberapa Dokumen yaitu:

Fotokopi Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian perusahaan pemohon beserta perubahannya;Foto copy Keputusan Menteri tentang pelepasan kawasan hutan yang telah dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang; danPeta lokasi yang dimohon.

2)    Jika Permohonan  IPK  yang  tidak  memenuhi  persyaratan  maka Pejabat Penerbit IPK menolak permohonan tersebut dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima;

3)    Jika Permohonan IPK yang memenuhi persyaratan maka Pejabat Penerbit IPK meminta pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan permohonan, dengan tembusan kepada Kepala Balai;

4)    Berdasarkan tembusan permintaan pertimbangan teknis, Kepala Balai dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya tembusan permintaan pertimbangan teknis menyampaikan hasil penelaahan terhadap kegiatan fisik di lapangan kepada Direktur Jenderal.

5)    Direktur Jenderal dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya hasil penelaahan terhadap kegiatan fisik di lapangan, menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan kepada Pejabat Penerbit IPK dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota, Kepala Balai, dan Kepala BPKH;

6)    Berdasarkan pertimbangan teknis tersebut, Pejabat Penerbit IPK memerintahkan kepada pemohon untuk:

Melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan intensitas 5% (lima persen) untuk semua pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC); danMenuangkan rekapitulasi LHC sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam Berita Acara dan ditandatangani oleh pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Integritas yang berisi nama, jabatan, alamat, pernyataan kebenaran pelaksanaan timber cruising. Adapun Rekapitulasi LHC ini digunakan sebagai dasar penentuan taksiran volume tebangan untuk dituangkan dalam Keputusan IPK dan penetapan Bank Garansi dari bank pemerintah yang besarnya 3/12 (tiga per duabelas) dari taksiran volume tebangan.

7)    Dalam hal pemohon telah memenuhi syarat maka Pejabat Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK dan kepada pemohon diwajibkan untuk:

Membuat Rencana Penebangan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah;Melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 50 (lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah; danMenyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah.

8)    Dalam hal memenuhi persyaratan , maka Pejabat Penerbit IPK akan menerbitkan Keputusan Pemberian IPK. Dalam hal pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada poin 7), dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja surat persetujuan IPK dibatalkan;

9)    Keputusan Pemberian IPK sebagaimana atau surat pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Poin 7) dan Poin 8), salinan/tembusannya disampaikan kepada:

Direktur Jenderal;Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;Kepala Dinas Kabupaten/Kota; danKepala Balai.

c.    Biaya

Untuk penerbitan IPK pada areal ini ditentukan beberapa biaya-biaya yang membebaninya yaitu antara lain:

Pembayaran penggantian nilai tegakan dari IPK, dimana besarnya dihitung berdasarkan volume pada Laporan Hasil Produksi (LHP), dimana selanjutnya  Pejabat Penagih SPP-GR menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK. ;Pembayaran PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pembayaran DR (Dana Reboisasi) yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.    Areal Pada Penggunaan Kawasan Hutan melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Adapun yang dimaksud dengan Areal yang disebut adalah areal penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa pada dasarnya jika Pelaku usaha telah mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan maka mereka telah mendapatkan Izin Pemanfaatan kayu, karena pada dasarnya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan melekat dan berlaku sebagai IPK. Sehingga proses penerbitannya lebih singkat jika dibandingkan dengan dua jenis areal sebelumnya.

Adapun yang perlu diperhatikan adalah Izin Pinjam Pakai Yang Dimaksud disini dibatasi hanya kepada jenis yang meliputi:

Izin pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi.Izin pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan lindung bagi 13 (tiga belas) izin pertambangan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.Izin pinjam pakai kawasan hutan selain untuk kegiatan pertambangan, baik pada kawasan hutan produksi maupun pada kawasan hutan lindung.

Batasan Kegiatan yang diperbolehkan dalam Peraturan ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu meliputi:

Pembukaan lahanPenebangan pohon,penyaradan,pembagian batang,pengukuran yang dilakukan oleh Tenaga Teknis pengukuran yang dimiliki oleh perusahaan atau menggunakan dari pihak lain.pengumpulan kayu,dan pelaporan di dalam arealnya.

a)    Persyaratan

Pada Dasarnya Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan, yang pelaksanaannya wajib dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana kerja pembukaan lahan tahunan, dengen beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:

Membayar lunas kewajiban PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;Menyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah yang besarnya 3/12 (tiga per duabelas) dari taksiran volume tebangan berdasarkan rekapitulasi LHC pada saat persetujuan prinsip izin pinjam pakai kawasan hutan.

b)    Prosedur

Seperti yang telah disinggung sebelumnya setelah Pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan melakukan Pembukaan lahan, yang diperlukan oleh Pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan tersebut untuk mendapatkan IPK disamping menyampaikan Bank Garansi dari Bank Pemerintah, utamanya hanya membayar biaya PSDH,DR dan Penggantian Nilai Tegakan. Adapun tahap-tahap pengenaan PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan tersebut, yaitu:

1)    Dilakukan Pengukuran terhadap Kayu hasil penebangan dalam rangka pembukaan lahan wajib dilakukan pengukuran yang hasilnya dicatat ke dalam buku ukur;

2)    Berdasarkan buku ukur, pemegang ijin pinjam pakai wajib membuat usulan LHP;

3)    Usulan LHP tersebut, dilaporkan untuk dimintakan pengesahan oleh pemegang izin pinjam pakai kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Dinas Propinsi, Kepala Balai, dan Kepala BPKH dengan dilampiri:

Foto copy izin pinjam pakai;Laporan hasil produksi; danBukti penyampaian Bank Garansi dari bank pemerintah.

4)    Berdasarkan laporan tersebut, Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat memerintahkan Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP) untuk dilakukan pemeriksaan atas kesesuaian:

Areal penebangan berdasarkan lokasi sesuai ijin pinjam pakai; danLHP dengan fisik kayu.

5)    Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan telah sesuai, P2LHP melakukan pengesahan LHP sebagai dasar pengenaan PSDH, DR, dan penggantian nilai tegakan;

6)    Berdasarkan LHP yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada huruf e, Pejabat Penagih menerbitkan SPP-PSDH, SPP-DR dan SPP-GR.

7)    Setelah terbitnya SPP sebagaimana dimaksud huruf f, maka paling lambat 6 (enam) hari kerja Wajib Bayar harus melunasi melalui Bank Persepsi yang telah ditetapkan.

8)    Dalam hal pembayaran PSDH, DR, penggantian nilai tegakan dan kewajiban-kewajiban lain telah dipenuhi, diterbitkan dokumen Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB)/FA-KB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c.    Biaya

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan hutan sudah otomatis mempunyai IPK, persyaratanya hanya cukup membayar biaya-biaya yang telah ditentukan yaitu terdiri atas:

Pembayaran penggantian nilai tegakan dari IPK, dimana besarnya dihitung berdasarkan volume pada Laporan Hasil Produksi (LHP), dimana selanjutnya  Pejabat Penagih SPP-GR menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK. ;Pembayaran PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pembayaran DR (Dana Reboisasi) yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.    Areal Kawasan Hutan Yang Telah Dilepas Dan Dibebani Hak Guna Usaha (HGU)

Seperti halnya pada Areal yang telah dibebani Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan , pada Areal kawasan hutan yang telah dibebani HGU juga dalam penrbitan IPK hanya perlu membayar membayar biaya PSDH,DR dan Penggantian Nilai Tegakan.

Yang perlu diperhatikan bahwa pada dasarnya  yang menjadi Objek berdasarkan peraturan ini adalah hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU, sehingga sifatnya terbatas.

a)    Persyaratan

Penerbitan IPK Pada areal yang telah dibebani HGU dapat diberikan apabila telah memenuhi beberapa persyaratan yaitu meliputi:

Terdapat hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU;Membayar biaya PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, tanpa melalui IPK;melaporkan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota perihal (2)    Hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU;

b)    Prosedur

Pada Dasarnya Pemegang HGU dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan, yang pelaksanaannya wajib dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana kerja pembukaan lahan tahunan,adapun tahap-tahap tersebut terdiri dari:

1)    Pemegang HGU mengajukan pengenaan PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat, dengan dilampiri:

Foto copy HGU yang telah dilegalisir pejabat yang berwenang;Foto  copy  akte  pendirian  perusahaan  pemegang  HGU  atau  foto  copy  KTP  apabila pemegang HGU perorangan;Daftar perkiraan potensi kayu bulat yang akan dibayar; danKeputusan Menteri Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan.

2)    Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud dalam Poin a) bagian 3), Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat memerintahkan Tenaga Teknis (GANIS) dan Pengawas Tenaga Teknis (WASGANIS) PHPL-PKBR untuk melakukan pengukuran volume kayu yang akan dibayar dan selanjutnya dibuatkan Daftar Kayu Bulat (DKB) sebagai dasar pengenaan PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan;

3)    Berdasarkan Daftar Kayu Bulat (DKB) yang dibuat pejabat pembuat DKB, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota memerintahkan Pejabat Penagih PSDH, DR dan Kepala Balai memerintahkan Pejabat Penagih penggantian nilai tegakan, untuk menerbitkan SPP PSDH, SPP DR dan SPP ganti rugi nilai tegakan;

4)    Atas SPP PSDH, SPP DR dan SPP ganti rugi nilai tegakan, pemegang HGU melakukan pembayaran di Bank Persepsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5)    Atas bukti setor PSDH, DR dan ganti rugi nilai tegakan yang setoran tersebut telah masuk ke rekening Bendaharawan Penerima Kementerian Kehutanan, pemegang HGU dapat mengajukan permohonan pengangkutan kayu bulat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c)    Biaya

Membayar biaya PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, tanpa melalui IPK.

5.    Kayu Dari Hasil Kegiatan Penyiapan Lahan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman.

Untuk jenis kayu yang berasal dari Penyiapan Lahan dalam Pembangunan Hutan Tanaman sebagaimana dimiliki oleh Pemegang Izin Usaha Pemegang Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) juga memerlukan IPK dalam pemanfaatannya.

a)    Persyaratan

Penerbitan IPK Pada Kayu Dari Hasil Kegiatan Penyiapan Lahan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman dapat diberikan apabila telah memenuhi beberapa persyaratan yaitu meliputi:

membayar penggantian nilai tegakan dari kegiatan penyiapan lahan dalam pembangunan hutan tanaman, tanpa melalui IPK.Kayu dari hasil kegiatan penyiapan lahan, dimasukan dalam RKT.

b)    Prosedur

Terhadap hasil kayu tersebut, pemegang IUPHHK-HT diwajibkan untuk melakukan tahap-tahap sebagai berikut:

melakukan timber cruising pada areal yang akan dilakukan penyiapan lahan dengan intensitas 5% (lima persen) untuk semua pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC);RLHC sebagaimana dimaksud huruf a, dituangkan dalam Berita Acara yang digunakan sebagai dasar pengesahan RKT sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;menyampaikan pernyataan kesediaan untuk membayar penggantian nilai tegakan dari hasil kegiatan penyiapan lahan yang dibuat di atas kertas bermaterai berisi nama perusahaan, alamat, nama pengurus, dan kesanggupan membayar;membayar PSDH dan DR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Volume kayu untuk perhitungan penggantian nilai tegakan dihitung berdasarkan volume pada Laporan Hasil Produksi (LHP);Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Penagih SPP-GR menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IUPHHK-HT.

c)    Biaya

Membayar biaya PSDH dan DR sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Dasar Hukum:

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.14/Menhut-II/2011 Tentang Izin Pemanfaatan Kayu (“Permenhut P.14/2011”);

Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)


Obbie Afri Gultom in Hukum Kehutanan

Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)– Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (“IUPHKK”) merupakan bagian dari Izin Pemanfaatan Hutan yang terdiri atas terdiri izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan. PP No.6/2007 sendiri memberikan Pengertiaan IUPHKK sebagai Izin  usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan beberapa unsur-unsur yang terdapat IUPHKK ini, yaitu meliputi:
1.    Memanfaatkan Hasil Hutan Kayu,
2.    Dilakukan dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi;
3.    Melalui beberapa kegiatan meliputi: Pemanenan atau penebangan, pengayaan, Pemeliharaan dan Pemasaran.

1. Memanfaatkan Hasil Hutan Berupa Kayu

Memanfaatkan hasil hutan berupa kayu mengandung arti kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.  Sehingga disini didapatkan bahwa kegiatan pemanfaatan hasil hutan berupa kayu ini oleh Peraturan Perundang-undangan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi pokoknya sebagai hutan.

2. Dilakukan dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi

Adapun yang dimaksud dengan Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.  Hutan Produksi sendiri dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:

Hutan Produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya disebut HPK adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kehutanan;Hutan Produksi Tetap yang selanjutnya disebut HP adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai dibawah 125, di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru;Hutan Produksi Terbatas yang selanjutnya disebut HPT adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174, di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru;Hutan produksi yang tidak produktif adalah hutan yang dicadangkan oleh Menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman;

Terdapat beberapa jenis IUPHHK yang dibedakan berdasarkan lokasi kawasan hutan yang menjadi objek Izin tersebut, yaitu meliputi:

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu;Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri;Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam hutan alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.

3.    Melalui beberapa kegiatan meliputi Pemanenan atau penebangan, pengayaan, Pemeliharaan dan Pemasaran.

Persyaratan

Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) memiliki beberapa Persyaratan yang terdiri dari Persyaratan Areal, Persyaratan Subyek dan Persyaratan Permohonan, yang penjelasannya sebagai berikut:

1) Persyaratan Areal

Areal yang dimohon adalah kawasan hutan produksi tidak dibebani izin/hak;Untuk IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif dan dicadangkan/ditunjuk oleh Menteri sebagai areal untuk pembangunan hutan tanaman atau untuk restorasi ekosistem;

2) Persyaratan Subyek Pemohon
a) Pemohon yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE adalah:

Perorangan;Koperasi;Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI);Badan Usaha Milik Negara (BUMN); atauBadan Usaha Milik Daerah.

b)    Dalam hal permohonan IUPHHK-HTI, untuk permohonan perorangan, tidak diperbolehkan;
c)    Permohonan IUPHHK-HTI, BUMS Indonesia dapat berupa perseroan terbatas yang berbadan hukum Indonesia dan modalnya dapat berasal dari investor atau modal asing;

3)  Persyaratan Permohonan

Adapun permohonan pengajuan suatu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) terdiri dari :

Untuk perorangan harus berbentuk CV atau Firma dan dilengkapi akte Pendirian;Akte pendirian Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia beserta perubahan-perubahannya yang disahkan instansi berwenang;Surat Izin Usaha dari instansi yang berwenang;Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);Pernyataan yang dibuat di hadapan Notaris, yang menyatakan kesediaan untuk membuka kantor cabang di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota;Rencana lokasi yang dimohon dengan dilampiri peta skala minimal 1 : 100.000 untuk luasan di atas 100.000 hektar atau skala 1 : 50.000 untuk luasan di bawah 100.000 hektar;Rekomendasi Gubernur yang dilampiri peta lokasi sekurang-kurangnya skala 1 : 100.000, dengan didasarkan pada;Pertimbangan Bupati/Walikota yang didasarkan pada pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, bahwa areal dimaksud tidak dibebani hak-hak lain;Analisis fungsi kawasan hutan dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan, yang berisi fungsi kawasan hutan sesuai;Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi dan data lain yang tersedia antara lain tata batas, uraian penutupan vegetasi, penggunaan, pemanfaatan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan yang dituangkan dalam data numerik dan spasial;Proposal teknis yang berisi antara lain :

Prosedur Permohonan

Permohonan mendapatkan izin untuk Izin Pemanfaatan Kayu Pada Areal Penggunaan Lain (APL) ditujukan Kepala Dinas Kabupaten/Kota sebagai Pejabat Penerbit IPK. Berikut tahapannya:

1. Mengajukan Permohonan Kepada Pejabat Penerbit IPK dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi, Kepala Balai dan Kepala BPKH, dengan dilengkapi oleh beberapa Dokumen yaitu:

Fotokopi Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian perusahaan pemohon beserta perubahannya;Fotokopi izin peruntukan penggunaan lahan seperti izin bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pemukiman, pembangunan transportasi, sarana prasarana wilayah, pembangunan sarana komunikasi dan informasi, Kuasa Pertambangan, PKP2B yang diterbitkan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang;Peta lokasi yang dimohon.

2. Jika Permohonan IPK tidak memenuhi persyaratan maka Pejabat Penerbit IPK akan  menolak permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima;
3. Jika Permohonan IPK yang memenuhi persyaratan maka Pejabat Penerbit IPK meminta pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Kepala Balai dengan dilampiri dengan persyaratan permohonan;
4. Berdasarkan tembusan permintaan pertimbangan teknis, Kepala Balai dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya tembusan permintaan pertimbangan teknis menyampaikan hasil penelaahan terhadap kegiatan fisik di lapangan kepada Direktur Jenderal;
5. Kepala Dinas Propinsi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan pertimbangan teknis, menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Bupati/Walikota, dan Kepala Balai. Adapun Pertimbangan teknis Kepala Dinas Propinsi didasarkan hasil penelaahan terhadap status kawasan hutan dan kondisi perusahaan pemegang izin peruntukan;
6. Selanjutnya Berdasarkan pertimbangan teknis, Pejabat Penerbit IPK memerintahkan kepada pemohon untuk:

Melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan intensitas 5% (lima persen) untuk seluruh pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC);Menuangkan RLHC sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam Berita Acara dan ditandatangani oleh pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Integritas yang berisi nama, jabatan, alamat, dan pernyataan kebenaran pelaksanaan timber cruising.

7. Dalam hal pemohon telah memenuhi syarat, Pejabat Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK dan kepada pemohon diwajibkan untuk:

Membuat Rencana Penebangan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah;melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 50 (lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah;menyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah;

8. Dalam hal memenuhi persyaratan, diterbitkan Keputusan Pemberian IPK , yang mana salinan/tembusannya disampaikan kepada:

Direktur Jenderal;Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;Kepala Dinas Kabupaten/Kota; danKepala Balai.

9. Dalam hal pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada poin 7), dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja surat persetujuan IPK dibatalkan;
10. Keputusan Pemberian IPK sebagaimana atau surat pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Poin 7) dan Poin 8), salinan/tembusannya disampaikan kepada:

Direktur Jenderal;Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;Kepala Dinas Kabupaten/Kota; danKepala Balai.

Biaya

Untuk penerbitan IPK pada APL ini ditentukan beberapa biaya-biaya yang membebaninya yaitu antara lain:

Pembayaran penggantian nilai tegakan dari IPK, dimana besarnya dihitung berdasarkan volume pada Laporan Hasil Produksi (LHP), dimana selanjutnya  Pejabat Penagih SPP-GR menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK. ;Pembayaran PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pembayaran DR (Dana Reboisasi) yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Dasar Hukum:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Hutan dan Penyusunan Rencana Pengeloaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (“PP No.6/2007”);Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (“PP No.3/2008”)Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2009 Tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan (“Permenhut P.50/2009”);Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri dan Hutan Produksi (“Permenhut P.50/2010”);Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.26/Menhut-II/2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.50/MENHUT-II/2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri dan Hutan Produksi (“Permenhut P.26/2012”)

Bukti Penguasaan Atas Tanah


Obbie Afri Gultom in Hukum Tanah Perizinan

Dokumen-Dokumen Yang Dapat Menjadi Bukti Penguasaan Atas Tanah

Bukti Penguasaan Atas Tanah – Apabila Anda mempunyai tanah yang tidak bersertifikat maka untuk memeriksa tanah tersebut adalah benar dikuasai oleh pihak yang berwenang mengklaimnya haruslah diperiksa ada atau tidaknya dokumen-dokumen yang membuktikan penguasaan tersebut. Sejak diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, keberadaan Hak-hak atas tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hukum Adat tidak lagi mendapatkan privilidge sebagai suatu bukti kepemilikan hak atas tanah di Indonesia sehingga kedudukan mereka hanya sebatas bukti penguasaan dan bukti pembayaran pajak saja.

Lebih lanjut hak-hak atas tanah terdahulu tersebut juga diwajibkan untuk di konversi menjadi Hak-hak atas tanah yang diakui oleh UUPA seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan dan lain sebagainya. Oleh karena itu peran pemilik harus aktif dalam hal ini jika tanahnya tidak mau dicaplok oleh orang lain karena tidak mempunyai alas dasar kepemilikan yang kuat.

Meskipun sampai saat ini sudah banyak kejadian yang merugikan bagi para pemilik yang tanahnya masih berlandaskan pada hukum barat dan hukum adat, masih banyak saja pemilik hak atas tanah tersebut tidak mensertifikasi / mengkonversi / mendaftarkan hak atas tanahnya menjadi hak-hak atas tanah yang diakui Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena kelalaian tersebut maka banyaklah terjadi sengketa khususnya terjadi di daerah-daerah pembangunan yang mana para pihak terdiri antara Perusahaan melawan masyarakat setempat.

Akan tetapi meskipun ada niat dari pemilik hak-hak atas tanah terdahulu untuk mensertifikasi tanahnya, perlu diketahui bahwa tidak semua hak-hak atas tanah Hukum Barat da Hukum Adat dapat menjadi bukti penguasaan tanah yang menjadi salah satu persyaratan pensertifikasian suatu bidang tanah. Berdasarkan riset yang dilakukan dan konfirmasi dari beberapa teman Notaris berikut daftar dokumen-dokumen yang dapat menjadi bukti kepenguasaan hak atas tanah:

Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrivings Ordonantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik;Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrivings Ordonantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan;Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan;Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959;Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban un tuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah  dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya;Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961;akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan;akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan;akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan;risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan;surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan;lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Dokumen-Dokumen Yang Dapat Menjadi Bukti Penguasaan Atas Tanah sebagaimana yang tercantum di atas sangat penting bagi Anda jika terjadi sengketa untuk membuktikan bahwa tanah yang Anda kuasai sememangnya berada ditangan yang berhak. Disamping itu dokumen-dokumen tersebut juga diperlukan untuk mendaftarkan tanah Anda menjadi hak-hak atas tanah yang diakui ke Kantor Pertanahan setempat. Jadilah pemilik tanah yang cerdas dengan segera mendaftar tanah Anda untuk menghindari sengketa dikemudian hari.

Dasar Hukum

Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai Dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai (“Kepmen Agraria No. 16 Tahun 1997”);Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria No. 3 Tahun 1997”);Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya (“Permen Agraria No. 9 Tahun 1965”);Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal (“Kepmen Agraria No. 21 Tahun 1994”)

Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan


Obbie Afri Gultom in Hukum Tanah Perizinan

Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan-Apabila Anda seorang Pengusaha atau Perusahaan yang sedang mencari tanah sebagai Modal usaha Anda maka yang perlu Anda perhatikan adalah bagaimana tata cara memperoleh hak atas tanah. Seperti yang pernah dibahas sebelumnya suatu Perusahaan tidak diperkenankan untuk memiliki tanah dengan alas Hak Milik (kecuali Perusahaan yang merupakan Bank Negara). Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut Anda harus memohon Hak Guna Bangunan agar usaha Anda dapat berjalan dengan lancar.

Tata cara permohonan Hak Guna Bangunan dapat dikatakan cukup panjang dan memakan waktu namun bukan berarti hal itu tidak mungkin dilakukan. Bahkan dengan sistem BPN yang terpadu seperti yang sekarang ini, permohonan Anda akan cepat membuahkan hasil dan memakan biaya yang sangat kecil. Yang Anda harus perhatikan dalam proses pemberian Hak Guna Bangunan ini adalah pemenuhan kewajiban yang dikenakan kepada Anda setelah diberitahukan oleh Kantor Pertanahan. Tetaplah fokus dalam mengikuti setiap proses tahapan untuk menghindari adanya keterlambatan dalam proses penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan.

Berikut tahapan demi tahapan pemberian Hak Guna Bangunan :

Pertama-tama Anda harus mengajukan permohonan secara tertulis yang ditujukan kepada masing-masing Pejabat sesuai dengan kewenangannya, dengan melampirkan dokumen-dokumen persyaratan yang ditentukan;Setelah berkas pemohon diterima, Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN sesuai dengan kewenangannya memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik;Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN sesuai dengan kewenangannya mencatat pada formulir isian atas permohonan;Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN sesuai dengan kewenangannya memberitahukan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian serta memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan Hak Guna Bangunan dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN memerintahkan Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk mempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran;Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN  memerintahkan kepada :    a) Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar, peningkatan, perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah dan terhadap tanah yang data yuridis atau data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (kojnstatering rapport);
b) Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara;
c) Panitia Pemeriksa Tanah Ajudikasiuntuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah;Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya;Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN , setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah Ajudikasi, Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN menerbitkan keputusan pemberian hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya;Penetapan pemberian hak dikeluarkan secara kolektif dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usul pemberian hak tersebut dari Ketua Panitia Ajudikasi.

Proses Pembukuan / Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan

Setelah Setelah si Pemohon menerima Kutipan Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan tersebut, maka Pemohon diwajibkan untuk segera memenuhi kewajiban, berupa antara lain :Uang pemasukan kepada Negara.Selanjutnya berdasarkan alat bukti hak yang ada (girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya) Hak Guna Bangunan yang bersangkutan dibukukan dalam buku tanah.Penandatanganan buku tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, dengan ketentuan bahwa dalam hal Kepala Kantor Pertanahan berhalangan atau dalam rangka melayani permohonan pendaftaran tanah yang bersifat massal Kepala Kantor Pertanahan dapat melimpahkan kewenangan menandatangani buku tanah tersebut kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah.Untuk Hak Guna Bangunan yang sudah didaftar dalam buku tanah dan memenuhi syarat untuk diberikan tanda bukti haknya menurut ketentuan dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diterbitkanlah sertipikat;Penandatanganan sertipikat dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, dengan ketentuan bahwa dalam hal Kepala Kantor Pertanahan berhalangan atau dalam rangka melayani permohonan pendaftaran tanah yang bersifat massal Kepala Kantor Pertanahan dapat melimpahkan kewenangan menandatangani sertipikat tersebut kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah.Selanjutnya Sertipikat diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya, atau, dalam hal tanah wakaf, kepada nadzirnya.

Bagaimana ? mudah bukan memperoleh Hak Guna Bangunan?. Agar Anda lebih aman dalam proses permohonan Hak Guna Bangunan, cobalah konsultasikan terlebih dahulu dengan Kantor Wilayah Provinsi Badan Pertanahan Nasional di tempat Tanah yang Anda mohonkan tersebut. Biasanya dimasing-masing Provinsi memiliki persyaratan dan prosedur tersendiri dalam penerbitan suatu Sertifikat Hak Guna Bangunan.

Dasar Hukum

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“PP No.24/1997”);Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“PMAN/Perka BPN No.3/1997”);Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah (“Perka BPN No.2/2013”)Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (“Perka No.1/2010”)Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (“PP No.13/2010”)Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Per PMA/Perka BPN No.9/1999”)Keputusan Menteri Negara Agraria No. 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal (“Kepmen Ag No. 21/1994”)

Persyaratan Pemberian Hak Guna Bangunan


Obbie Afri Gultom in Hukum Tanah Perizinan

Persyaratan Pemberian Hak Guna Bangunan – Hak Guna Bangunan pada dasarnya adalah hak atas tanah dimana pemohon hanya bisa memanfaatkan tanah tersebut baik untuk mendirikan bangunan atau untuk keperluan lain, sedang kepemilikan tanah masih milik negara. Hak Guna Bangunan mempunyai batas waktu tertentu, setelah melewati batas tersebut, maka pemegang sertifikat harus mengurus perpanjangan Sertifikat HGB-nya. Untuk mendapatkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan, terdapat Syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu meliputi:

1. Pemohon adalah warga Negara Indonesia atau Badan Hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
2. Mengajukan permohonan dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:

a. Untuk Non Fasilitas Penanaman Modal, meliputi:

1) Mengenai Pemohon:

Jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia;Jika badan hukum : foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Mengenai Tanahnya:

Data yuridis: sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;Data fisik: surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada;

3) Surat lain yang dianggap perlu.

Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon.

b. Untuk Fasilitas Penanam Modal, meliputi:

Foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang;Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;Persetujuan penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;Surat Ukur apabila ada.

Berkenaan dengan persyaratan di atas, penting untuk diingat bahwa:

Pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan di atas maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Dan apabila dalam jangka waktu satu tahun haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum


Dengan demikian apabila pemegang Hak Guna Bangunan tidak lagi memenuhi syarat yang ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka tanah tersebut akan kembali kepada negara.

Sertifikasi Tanah Girik Di Dalam Praktik


Obbie Afri Gultom in Hukum Tanah Perizinan

Sertifikasi Tanah Girik – Beberapa teman menanyakan kepada saya bagaimana caranya mensertifkasi Tanah Girik menjadi Hak Milik. Perlu diketahui, Girik adalah istiliah hak milik atas tanah yang berasal dari Hukum Adat yang belum di konversi. Pensertifikatan tanah girik dalam istilah Hukum tanah disebut juga sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali, hal ini disebabkan karena pada dasarnya Tanah yang pembuktiannya berupa catatan girik tidak dianggap sebagai suatu bukti kepemilikan hak atas tanah melainkan hanya membuktikan bahwa pengelola tanah tersebut telah membayar pajak atas penggarapan tanah tersebut. Berdasarkan konfirmasi dari para teman-teman Notaris, Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk TANAH GARAPAN atau Tanah Girik, dalam prakteknya prosesnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang bersangkutan;Pembuatan surat tidak sengketa dari RT/RW/Lurah d tempat tanah tersebut terletak;Selanjutnya akan dilakukan tinjau lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan tingkat Kabupaten;Kantor Pertanahan nantinya menerbitkan Gambar Situasi baru;Pemohon selanjutnya harus melakukan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan bangunan sesuai dengan luas yang tercantum dalam Gambar Situasi;Selanjutnya Panitia A akan melakukan beberapa Analisa dan pertimbangan;Selanjutnya akan dilakukan Penerbitan SK Pemilikan tanah (SKPT)Selanjutnya Pemohon harus melakukan Pembayaran Uang pemasukan ke negara (SPS)Selanjutnya Kantor Pertanahan akan melakukan Penerbitan Sertifikat tanah.

Adapun yang perlu diingat adalah bahwa untuk proses pensertifikatan tanah tersebut hanya dapat dilakukan jika pada waktu pengecekan di kantor kelurahan setempat dan kantor pertanahan terbukti bahwa tanah tersebut memang belum pernah disertifikatkan dan selama proses tersebut tidak ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan (perihal pemilikan tanah tersebut). Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka proses pensertifikatan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6 bulan sampai dengan 1 tahun.

Berdasarkan hasil konfirmasi saya kepada beberapa teman-teman Notaris,  Tanah Girik bisa langsung menjadi Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha atau Hak Milik, dengan cara membawa SPH kekantor Pertanahan yang berada di Kabupaten tempat tanah tersebut terletak, mengisi form permohonan, untuk selanjutnya menunggu penerbitan Hak atas tanah seperti Hak Milik, HGU atau HGB.

Cara Memperoleh Hak Atas Tanah


Obbie Afri Gultom in Hukum Tanah Perizinan

Cara Memperoleh Hak Atas Tanah – Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Kepmen Ag No. 21/1994 Perolehan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah melalui pemindahan hakatas tanah atau dengan cara penyerahan atau pelepasan ha katas tanah dengan pemberian ganti kerugian kepada yang berhak.  Perolehan tanah oleh perusahaan hanya boleh dilaksanakan di areal yang ditetapkan di dalam izin lokasi.

Perolehan tanah dalam rangka pelaksanaan izin lokasi dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atas tanah atau melalui penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang diikuti dengan pemberian hak dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Perolehan tanah melalui pemindahan hak

Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan apabila tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah ‘yang sama jenisnya’ dengan hak atas tanah yang dilakukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya, dengan ketentuan bahwa apabila perusahaan-perusahaan yang bersangkutan menghendaki, hak atas tanah tersebut dapat juga dilepaskan untuk kemudian dimohon hak sesuai ketentuan yang berlaku.

2. Perolehan tanah melalui penyerahan atau pelepasan hak   

Perolehan tanah melalui penyerahan atau pelepasan hak dilakukan apabila tanah yang diperlukan dipunyai dengan Hak Milik atau hak lain ‘yang tidak sesuai’ dengan jenis hak yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya, dengan ketentuan bahwa jika yang diperlukan adalah tanah dengan Hak Guna Bangunan, maka apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, perolehan tanahnya dapat dilakukan melalui pemindahan hak dengan mengubah hak atas tanah tersebut menjadi Hak Guna Bangunan.

Penyerahan atau pelepasan hak atas tanah untuk keperluan perusahaan dalam rangka pelaksanaan Izin Lokasi dilakukan oleh pemegang hak atau kuasanya dengan pernyataan penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang dibuat di hadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat.

Sebagai tambahan, apabila diperlukan sebelum dilaksanakan penyerahan atau pelepasan hak atas tanah dapat diadakan perjanjian kesediaan menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah yang berisi kesepakatan bahwa, dengan menerima ganti kerugian, pemegang hak bersedia:

Menyerahkan tanah Hak Miliknya sehingga tanah tersebut jatuh pada Negara; atauMelepaskan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakainya sehingga tanah tersebut menjadi tanah Negara, untuk kemudian diberikan kepada perusahaan dengan hak atas tanah yang sesuai dengan keperluan perusahaan tersebut untuk menjalankan usahanya.

Catatan:

Jika tanah yang diperlukan perusahaan merupakan tanah Negara yang dipakai oleh pihak ketiga, maka pihak yang memakai tanah tersebut melepaskan semua hubungannya dengan tanah yang bersangkutan sehingga tanah itu menjadi tanah Negara yang dapat diberikan dengan hak atas tanah yang sesuai kepada perusahaan.


Penyerahan atau pelepasan hak atas tanah melalui penyerahan atau pelepasan hak atas tanah untuk keperluan persahaan ini dilakukan setelah diserahkannya kepada Kantor Pertanahan setempat sertipikat tanah yang bersangkutan, atau jika hak tanah yang bersangkutan berlum bersertipikat, setelah dilakukan inventarisasi dan pengumuman dan penyerahan surat-surat asli bukti kepemilikan tanah yang bersangkutan.

Terhadap tanah yang sudah diserahkan atau dilepaskan haknya, Perusahaan wajib segera mengajukan permohonan hak yang sesuai dengan keperluan usahanya.

Dasar Hukum

Keputusan Menteri Negara Agraria No. 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal (“Kepmen Ag No. 21/1994”)

Kewenangan Pejabat Pemberi Hak Guna Bangunan


Obbie Afri Gultom in Hukum Tanah Perizinan

Kewenangan Pejabat Pemberi Hak Guna Bangunan

Picture Source : www.sekarsion.com

Kewenangan Pejabat Pemberi Hak Guna Bangunan – Bagi Anda yang ingin memperoleh Hak Guna Bangunan untuk usaha atau bisnis Anda, hal yang penting yang Anda harus ketahui adalah mengenai Pejabat Penerbit Hak atas tanah tersebut. Sejak diterbitkannya  Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Hak Atas Tanah , terjadi beberapa perubahan mengenai kewenangan Pejabat Pemberi Hak Guna Bangunan. Peraturan Perundang-undangan kini mengalihaksan sabagian kewenangan dari Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional kepada beberapa unit di bawahnya di masing-masing Provinsi di Indonesia.

Meskipun peraturan ini sudah terbit setahun yang lalu, masih banyak pemohon Hak Guna Bangunan yang belum mengetahui mengenai peralihan kewenangan ini. Alhasil mereka sering salah kaprah dalam proses permohonan penerbitan HGB dengan mengajukannya kepada Kantor Badan Pertanahan Nasional Pusat.

Berdasarkan Perka BPN No.2 /2013, Dalam pemberian keputusan Hak Guna Bangunan terdapat perbedaan pejabat yang mengeluarkannya, adapun kewenangan masing-masing pejabat yang dimaksud sebagai berikut:

1. Kepala Kantor Pertanahan, berwenang memberi keputusan mengenai:

 Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi);Pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi); danPemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.

2. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN), berwenang memberi keputusan mengenai:

Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi);Pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi).

3. Kepala Badan Pertanahan Nasionalmemberi keputusan mengenai pemberian Hak Atas Tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kanwil BPN atau Kepala Kantor Pertanahan.

Sehingga dengan penjelasan di atas diharapkan Anda kini sudah mengetahui kemana harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan Hak atas tanah berupa Hak Guna Bangunan. Sekian.

Dasar Hukum

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Hak Atas Tanah (“Perka BPN No.2/2013“)

Kamis, 15 Februari 2018

Sanksi Bagi Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang Berbuat Curang


Kategori:Hukum Pidana

Apakah penyedia barang dan jasa (vendor) akan dikenakan sanksi dan hukuman apabila melakukan kecurangan, baik untuk pengadaan pihak swasta ataupun BUMN dan Lembaga Negara lainnya?

Jawaban:

Sovia Hasanah, S.H.

Intisari:

Vendor atau penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya.

Kami kurang menandapatkan informasi yang jelas kecurangan seperti apa yang Anda maksud, untuk itu kami berasumsi bahwa kecurangan dilakukan dalam bentuk menyampaikan informasi yang tidak benar dalam kegiatan pengadaan barang atau jasa ke pemerintah.

Dalam melakukan kegiatan pengadaan barang atau jasa, perbuatan atau tindakan penyedia barang atau jasa yang dikenakan sanksi di antaranya adalah membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan danberdasarkan hasil pemeriksaan, ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.

Perbuatan yang dilarang tersebut dapat dikenakan sanksi berupa:

a. sanksi administratif;

b. sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam;

c. gugatan secara perdata; dan/atau

d. pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

 

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Untuk menyederhanakan jawaban, kami asumsikan bahwa penyediaan barang dan jasa yang Anda maksud adalah penyediaan barang dan jasa untuk pemerintah saja.

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa

Kami akan merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah(“Perpres 54/2010”) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“Perpres 35/2011”) kemudian diubah untuk kedua kalinya oleh Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah(“Perpres 70/2012”) kemudian diubah lagi oleh Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“Perpres 172/2014”) dan terkahir kali diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah(“Perpres 4/2015”).

Menurut Pasal 1 angka 1 Perpres 4/2015pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.

Vendor atau penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya.[1]

Penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:[2]

memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan kegiatan/usaha;memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan Barang/Jasa;memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai Penyedia Barang/Jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, termasuk pengalaman subkontrak;ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dikecualikan bagi Penyedia Barang/Jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan dalam Pengadaan Barang/Jasa;dalam hal Penyedia Barang/Jasa akan melakukan kemitraan, Penyedia Barang/Jasa harus mempunyai perjanjian kerja sama operasi/kemitraan yang memuat persentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut;memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil serta kemampuan pada subbidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha non-kecil;memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha non-kecil, kecuali untuk Pengadaan Barang dan Jasa Konsultansi;khusus untuk Pelelangan dan Pemilihan Langsung Pengadaan Pekerjaan Konstruksi memiliki dukungan keuangan dari bank;khusus untuk Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Lainnya, harus memperhitungkan Sisa Kemampuan Paket (SKP) sebagai berikut:

SKP = KP - P

KP = nilai Kemampuan Paket, dengan ketentuan:

untuk Usaha Kecil, nilai Kemampuan Paket (KP) ditentukan sebanyak 5 (lima) paket pekerjaan; danuntuk usaha non kecil, nilai Kemampuan Paket (KP) ditentukan sebanyak 6 (enam) atau 1,2 (satu koma dua) N.

P = jumlah paket yang sedang dikerjakan.

N = jumlah paket pekerjaan terbanyak yang dapat ditangani pada saat bersamaan selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir;

tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani Penyedia Barang/Jasa;memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir;secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri pada Kontrak;tidak masuk dalam Daftar Hitam;memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan jasa pengiriman; danmenandatangani Pakta Integritas.

Perbuatan yang Dilarang Bagi Penyedia Barang atau Jasa

Kecurangan berasal dari kata “curang” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti: berlaku tidak jujur; memiliki sifat tidak lurus hati; tidak adil.

Terkait dengan pertanyaan Anda mengenai kecurangan yang dilakukan oleh penyedia barang atau jasa tersebut, kami kurang mendapatkan informasi yang jelas kecurangan seperti apa yang Anda maksud, untuk itu kami berasumsi bahwa kecurangan tersebut dilakukan dalam bentuk menyampaikan informasi yang tidak benar dalam kegiatan pengadaan barang atau jasa ke pemerintah.

Dalam melakukan kegiatan pengadaan barang atau jasa, perbuatan atau tindakan penyedia barang/jasa yang dikenakan sanksi yaitu:[3]

berusaha mempengaruhi Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (“ULP”)/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan;melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran di luar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan;tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab; dan/atauberdasarkan hasil pemeriksaan, ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.

Jenis Sanksi yang Dapat Diberikan

Perbuatan yang dilarang tersebut dapat dikenakan sanksi berupa:[4]

sanksi administratif;sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam;gugatan secara perdata; dan/ataupelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.

Pemberian sanksi administratif, dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (“PPK”) /Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan. Kemudian pemberian sanksi sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam, dilakukan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuada Pengguna Anggaran (KPA) setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan. Ketentuan mengenai sanksi berupa gugatan secara perdata dan/atau pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[5]

Apabila ditemukan penipuan/32 pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam Daftar Hitam, dan jaminan Pengadaan Barang/Jasa dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/daerah.[6]

Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, ULP:[7]

dikenakan sanksi administrasi;dituntut ganti rugi; dan/ataudilaporkan secara pidana.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahkemudian diubah untuk kedua kalinya oleh Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahkemudian diubah lagi oleh Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan terkahir kali diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Referensi:

Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 8 Februari 2018 pukul 15.24 WIB.

[1] Pasal 1 angka 12 Perpres 4/2015

[2] Pasal 19 ayat (1) Perpres 4/2015

[3] Pasal 118 ayat (1) Perpres 70/2012

[4] Pasal 118 ayat (2) Perpres 70/2012

[5] Pasal 118 ayat (3) (4) dan (5) Perpres 70/2012

[6] Pasal 118 ayat (6) Perpres 70/2012

[7] Pasal 118 ayat (6) Perpres 70/2012

Arti Alat Bukti Tidak Langsung


Kategori:Hukum Perdata

Apa yang dimaksud dengan alat bukti tidak langsung?

Jawaban:

Sovia Hasanah, S.H.

Intisari:

Yang dimaksud dengan alat bukti tidak langsung adalah pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan. Alat bukti yang termasuk ke dalam alat bukti tidak langsung adalah persangkaanpengakuan, dan sumpah.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

 

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Untuk menyederhanakan jawaban, kami asumsikan alat bukti yang Anda tanyakan adalah alat bukti yang ada dalam Hukum Acara Perdata.

Dalam proses peradilan perdata berlakulah Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata mengenal 5 macam alat bukti yang sah, yang diatur dalam Pasal 164 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”), yaitu:

Surat;

Saksi;

Persangkaan;

Pengakuan;

Sumpah.

Selain kelima alat bukti di atas, dikenal juga alat bukti elektronik yang dapat dijumpai pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut undang-undang ini, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan hasil cetaknya merupakan ‘alat bukti hukum yang sah’.

Menurut Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik, Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat.

Bukti Langsung dan Bukti Tidak Langsung

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 557), ditinjau dari sifatnya, alat bukti yang disebut dalam Pasal 164 HIR dapat diklasifikasi menjadi dua:

Alat bukti langsung (direct evidence);

Alat bukti tidak langsung (indirect evidence).

Alat Bukti Langsung

Disebut alat bukti langsung karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan persidangan. Alat buktinya diajukan dan ditampilkan dalam proses pemeriksaan secara fisik. Yang tergolong alat bukti langsung adalah:[1]

Alat bukti surat; dan

Alat bukti saksi.

Pihak yang berkepentingan membawa dan menyerahkan alat bukti surat yang diperlukan di persidangan. Apabila tidak ada alat bukt atau alat bukti itu belum mencukupi mencapai batas minimal, pihak yang berkepentingan dapat menyempurnakannya dengan cara menghadirkan saksi secara fisik di sidang, untuk memberi keterangan yang diperlukan tentang hal yang dialami, dilihat, dan didengar saksi sendiri tentang perkara yang disengketakan.[2]

Secara teoritis, hanya jenis atau bentuk ini yang benar-benar disebut alat bukti karena memiliki fisik yang nyata mempunyai bentuk, dan menyampaikannya di depan persidangan, benar-benar nyata secara konkret.[3]

Alat Bukti Tidak Langsung

Di samping alat bukti langsung, terdapat juga alat bukti tidak langsung. Maksudnya pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan. Yang termasuk pada kelompok ini adalah alat bukti persangkaan (vermoeden).[4]

Lebih lanjut menurut Yahya, begitu juga dengan pengakuan, termasuk alat bukti tidak langsung bahkan dari sifat dan bentuknya, pengakuan tidak tepat disebut alat bukti. Kenapa? Karena pada dasarnya pengakuan bukan berfungsi membuktikan tetapi pembebasan pihak lawan untuk membuktikan hal yang diakui pihak lain. Jika tergugat mengakui dalil penggugat pada dasarnya tergugat bukan membuktikan kebenaran dalil tersebut, tetapi membebaskan penggugat dari kewajiban beban pembuktian untuk membuktikan dalil yang dimaksud.[5]

Sama halnya dengan sumpah, selain digolongkan pada bukti tidak langsung, pada dasarnya tidak tepat disebut sebagai alat bukti, karena sifatnya saja bukan alat bukti. Lebih tepat disebut sebagai kesimpulan dari suatu kejadian. Dalam hal ini, dengan diucapkan sumpah yang menentukan (decisoir eed) atau tambahan (annvulled eed) dari peristiwa pengucapan sumpah itu disimpulkan adanya suatu kebenaran tentang yang dinyatakan dalam lafal sumpah. Jadi sumpah tersebut bukan membuktikan kebenaran tentang apa yang dinyatakan dalam sumpah, tetapi dari sumpah itu disimpulkan kebenaran yang dijelaskan dalam sumpah itu.[6]

Jadi yang dimaksud dengan alat bukti tidak langsung adalah pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan. Alat bukti yang termasuk ke dalam alat bukti tidak langsung adalah persangkaanpengakuan, dan sumpah.

 

Sebagai tambahan informasi, selain dikenal adanya alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung, di beberapa negara dikenal juga kelompok alat bukti nyata atau real evidence. Yakni berupa bukti nyata yang dihadirkan di persidangan seperti closed circuit television recordingyang diputar di sidang pengadilan.[7]

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

Herziene Inlandsch Reglement;

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Referensi:

Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

 

 

[1] Yahya Harahap, hal. 558

[2] Yahya Harahap, hal. 558

[3] Yahya Harahap, hal. 558

[4] Yahya Harahap, hal. 558

[5] Yahya Harahap, hal. 558

[6] Yahya Harahap, hal. 558

[7] Yahya Harahap, hal. 559








m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a824ec03c369/arti-alat-bukti-tidak-langsung