(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)
Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi
tentang alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena
menurut Utrecht, UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum
dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut
Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis.
Berdasarkan sifatnya ini maka UU pidana mengandung kemungkinan akan
dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu yang mungkin
saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan
sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan
demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan
keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana.
Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan
hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah
melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :
1) Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
2) Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Bab I dan Bab II KUHP memuat : “ Alasan-alasan
yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Pembicaraan
selanjutnya akan mengenai alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan
yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan
delik, tidak dapat dipidana. M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam
penjelasannya mengenai alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa
yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya
seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”.
M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig),
yakni :Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit
(pasal 44 KUHP)Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini
di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi
merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk
memperingan hukuman).Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya
seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu:
a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48);
b. Pembelaan terpaksa ataunoodweer (pasal 249);
c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);
d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);
Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :
1. Alasan penghapus pidana yang umum(starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
2. Alasan penghapus pidana yang khusus(starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal :
I. Pasal 166 KUHP :
“Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang
yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri
dst………………………………………” Pasal 164 dan 165 memuat ketentuan : bila seseorang
mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan Negara
dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.
II. Pasal 221 ayat (2) :
menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya”. Disini ia
tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut dari istri, suami
dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan
lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan
dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan
atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :
a) Alasan pembenar(rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan
pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun
perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau
perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.
Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan
darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan
perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan
pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak
dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah
atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat
melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si
pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan,
dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP.
Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.
TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) :
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak
dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya
atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan sebagai
tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak didalam si
pembuat sendiri.
Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab
mengahpuskan kesalahan mekipun perbuatannya tetap melawan hukum,
sehingga dalam hal ini dapat dikatakan suatu alasan penghapus kesalahan.
Untuk membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindakpidana ternyata
tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan
ilmu pengetahuan lain yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic.
Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan catatan
medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka
persidangan. (Mengenai pasal 44 KUHP ini hendaknya dilihat lagi Bab
Kemampuan Bertanggung jawab yang membahas tentang kesalahan dan
pertanggung jawaban pidana).
DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP).
Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana
seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Apa
yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dijumpai dalam KUHP.
Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh
pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat.
Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap
kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang
disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada
tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini bukan
paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat
menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan” menunjukkan, bahwa
menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk
mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam du hal :
1. vis absoluta (paksaan yang absolut).
2. vis compulsive (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolute vis absolutadapat
disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan
tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang
dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah.
Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan
perusakan benda (pasal 406 KUHP).
Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relative (vis complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong)
menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat
mengadakan perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena penagruh
daya paksa”).
Contoh :
A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada
B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B
dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut.
Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk
mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan
surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia
tidak menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap paksaan itu
tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan
nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang
secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari
paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si
pembuat di lain pihak harus ada keseiombangan.
Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan
dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang
sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara
obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si
pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang
mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata lain tak akan ia
lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
Paksaan Dario dalam :
Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26
Juni 1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, orang yang
tak mau masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya
keberatan tetap dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan
ingin mengikuti pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan
yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal ini tidak bisa
diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima puluhan ada perubahan
pandangan.
v Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan
keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa kemungkinannya masuk kedalam
alasan penghapusan pidana yang umum.
v Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas tentara)
bukan keadaan darurat, tanpa melihat sampai di mana si pembuat dapat di
cela atas perbuatannya.
KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 KUHP).
Dalam vis compulsiva (daya paksa
relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan
psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan
oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di
luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Di
Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand (pasa; 52 SGB) dan keadaan darurat disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB.
Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :
I. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :
Contoh klasik : “papan dari carneades”.
Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak
menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan
itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap
berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk
menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga
yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut
(cerita ini berasal dari CICERO).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena
ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan
itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan
ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
II. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Misal :
1. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran
rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan
barang-barangnya.
2. Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang
kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan
penutupan took sudah jam tutup took, sehingga pemilik took dilarang
melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kacamata
tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan
pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam
keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi
oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak
dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat
diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam
keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban
untuk menolong sesame (Arrest ini disebut Arrest optician).
III. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum :
a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut)
diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira
laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan)
terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada
atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar
sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit
dari para pasiennya.
Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :
· Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara)
· Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.
Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih tetap
merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia tetap patuh pada sumpah
kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari,
tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara tinggi
membebaskannya karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26
November 1916).
b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang
bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua tempat, VAN HATTUM dalam hal
351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand sebagai berikut:
Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat berbuat atau
tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain atau
keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia
dororng oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga
ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada
keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang
memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap
undang-undang.
BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER (PASAL 49 AYAT (1)).
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat
dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dialkukan
untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan
sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang
mengancam langsung atau seketika itu juga”. Perbuatan orang yang membela
diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat
diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang
melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara dengan
alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi
kepentingan hukum dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri ini
bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP sehingga untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli hukum pidana .
Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok :
adanya serangan,
Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. melawan hukum
b. seketika dan langsung
c. ditujukan pada diri sendiri / orang lain
d. terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda
ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Syarat pembelaan :
a. seketika dan langsung
b. memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas,
subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain selain membela diri dan
proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.
Serangan itu dapat merupakan tindak pidana,
tapi hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat seperti
tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak merupakan tindak pidana,
misalnya dengan tinju menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di
fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk dimiliki sendiri.
Persoalan yang timbul pada serangan ialah : kapankah ada serangan dan kapankah serangan itu berakhir ?
Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka perbuatan
A tersebut, yakni menunggu belum dapat dikatakan serangan. Kapan
serangan itu ada dan kapan serangan itu berlangsung menurut
Hazewinkel-Suringa, ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah
mengancam seketika dan langsung berarti bahwa serangan itu sedang
berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sebagai contoh : pembunuh
dengan pisau terhunus menyerbu korbannya.
Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak menunjukkan
akan menembak lagi, tetapi B lalu membalas, maka perbuatan b itu
bukanlah perbuatan pembelaan karena terpaksa, karena disini terjadi
serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus dilihat dalam keadaan
yang menyertai perbuatan itu. Terhadap serangan yang tidak melawan
hukum tidak mungkin ada pembelaan darurat.
Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat ?
Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan
antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta
kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan daruart situasi
darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa
dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak
berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan
dengan bukan hak.dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan,
sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.Dalam keadaan darurat
orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan
sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah
ditentukan secara limitative (pasal 49 ayat (1)).Sifat keadaan darurat
tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang
berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan pembenar,
sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang sebagai alasan
pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum.
Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebutputatief noodweer, disini
kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia berada dalam
keadaan di mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus
di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka harus diterangkan
dalam proses verbal.
BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL 49 AYAT 2 KUHP)
(pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak
dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya :
“tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang
diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu
kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”.
Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut :
Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas
subsidairitas dan proporsionalitas seperti yang diisyaratkan dalam
pasala 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu mempunyai
hubungan yang erat, maka syarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49
ayat (1) disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini
pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk
bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh
keadaan.Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari
kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas).
Termasuk disini adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap.kegoncangan
jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain :
antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan
kausal. Yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus
penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah tersinggung.
Disini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan
akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya.
Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan
kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi sabagai alasan pemaaf
sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum.
MENJALANKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG (PASAL 50 KUHP).
Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana
seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan”. Mula-mula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit,
yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti formil, hasil
perundang-undangan dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian pendapat HR
berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang
dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini
persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu
menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai
pelaksanaan. Dalam hala ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi
wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan
ini diberikan suatu kewajiban.
Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu
diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam hukum acara pidana dan
hukum acara perdata dapat dijumpai adannya kewajiban dan
tugas-tugas/wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak,
untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk dapat
menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara patut,
wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa
dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang
hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.
Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang
pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau
berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 KUHP
ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya.
Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat
melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar.
Kadang-kadang dalam melaksanakan peraturan undang-undang dapat
bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini dipakai pedoman :“lex specialis derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Yang diperbolehkan adalah tindakan eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.
MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)).
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak
dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah
jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri,
akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka
jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan
perbuatan yang melawan hukum.
Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh
Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana. Colonel polisi
tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan
polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Bilamanakah
perintah itu dikatakan sah ? apabila perintah itu berdasarkan tugas,
wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan. Anatar
orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan
jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan
bawahan), meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti permintaan
bantuan oleh pamong praja kepada angkatan bersenjata (sesuai pasal 413
KUHP). Dalam pasal 51 inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan
wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan.
Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.
Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah
jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam
keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan
tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :
jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu
sah.perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang
diperintah.
Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari
kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat
umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi
ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi
tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah
dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.
Contoh lainnya :
Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan
untuk mengeluarkan sejumlah uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil,
yang tidak masuk dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu
melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah tersebut tidak
sah karena pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang
bendaharawan tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah
ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan itu dapat dipidana,
karena ia patut menduga bahwa perintah itu tidak sah.
Catatan :
Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidakmendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan).
Contoh lainnya :
Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk
memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini
mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat dipidana, karena
memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota
polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena
perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan
yang melawan hukum, tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia
tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.
Dimuka telah dibicarakan tentang alasan
penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan pemaaf (atau alasan
penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun
ada alasan penghapus pidana, misalnya :
hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);hak yang timbul dari pekerjaan(beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);ijin
atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai
suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau
persetujuan (consent of the victim);mewakili urusan orang lain(zaakwaarneming);tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);tidak adanya kesalahan sama sekali(avas, pada arrest susu dan air).
ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DANAVAS.
Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah
berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat
atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah
jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan
penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana
yang putatief. Dapatkah orang tersebut dipidana ? sesuai dengan
pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana,
apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu.
Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS
merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada
kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa tiada kesalahan sama
sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus,
terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi factual)
atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis).
Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan
atau alasan pemaaf.
http://kitabpidana.blogspot.co.id/2012/04/alasan-dasar-penghapus-pidana.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar