Eksekusi Hak Tanggungan pada Kredit Macet
Oleh: Roni Mantiri, SH.
Peraturan hukum mengenai Hak Tanggungan adalah suatu
perangkat hukum yang digunakan ketika terjadinya perikatan (kesepakatan)
pinjam meminjam uang antara Peminjam (Debitur) dengan Pemberi Pinjaman
(Bank).
Didalam prakteknya calon debitur mengajukan permohonan pinjaman kepada bank dengan menyertakan segala bentuk surat-surat, yaitu identitas peminjam, jaminan pinjaman berupa Akta Kepemilikan atas Tanah dan Bangunan serta surat-surat perizinan usaha jika Debiturnya adalah badan hukum.
Jika menurut Bank permohonan yang diajukan oleh Debitur memenuhi kriteria, maka terjadilah kesepakatan pemberian Fasilitas Kredit (Bank Konvensional) atau Pembiayaan (Bank Syariah) kepada Debitur.
Tindak lanjut dari kesepakatan pinjam meminjam tersebut, bank memberikan sejumlah dana (uang) sebagai bentuk pinjaman kepada Debitur, kemudian Debitur memberikan surat-surat kepemilikan tanah/bangunan ataupun benda lainnya sebagai jaminan pelunasan pinjaman. Jaminan berupa tanah dan bangunan biasanya dibebani dengan pemasangan Sertifikat Hak tanggungan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dari kesepakatan Fasilitas Kredit tersebut, Bank memberikan syarat kewajiban agar Debitur membayar pinjaman/kredit dengan sistem angsuran/cicilan setiap bulan dengan tenggang waktu pelunasan antara 1 (satu) s/d 20 (dua puluh) tahun.
Apabila Debitur melakukan pembayaran angsurannya secara tepat waktu sampai dengan adanya pelunasan, maka Bank tentu akan memberikan penilaian bahwa Debitur tersebut adalah debitur/nasabah dengan predikat baik, sehingga kemudian Bank akan lebih percaya untuk kembali memberikan pinjaman kepada Debitur dengan predikat baik tersebut.
Dari semua transaksi pinjam meminjam/kredit tersebut, tentunya ada juga Debitur yang tidak melakukan pembayaran angsuran dengan tepat waktu atau lajimnya disebut Kredit Macet. Oleh karenanya Bank tentu akan berusaha melakukan penagihan kepada Debitur dengan alasan menghindari resiko kredit macet.
Upaya Bank dalam menghindari adanya kredit macet adalah dengan menggunakan aturan kesepakatan atas Jaminan Hak Tanggungan pada sertifikat kepemilikan nasabah jika bentuknya asset tak bergerak (tanah dan bangunan) atau penerapan Jaminan Fidusia jika jaminan berupa benda bergerak (mobil, mesin dan lain-lain).
Terhadap ketentuan pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan pinjaman, negara telah menerbitkan peraturan hukum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-undang tersebut mengatur tentang Jaminan antara Bank dengan Debitur dalam transaksi pinjam meminjam serta peraturan-peraturan tentang tata cara apabila terjadinya keadaan wanprestasi (tidak membayar) apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya.
Didalam praktek, apabila terdapat Debitur yang wanprestasi, biasanya Bank akan mengirimkan Surat Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya diajukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan wanprestasinya debitur.
Apabila telah diperingati secara patut tetapi Debitur tidak juga melakukan pembayaran kewajibanya, maka Bank melalui ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan melakukan proses Lelang terhadap Jaminan Debitur.
Bank biasanya lebih banyak mengajukan permohonan Lelang Jaminan Hak Tanggungan kepada Balai Lelang Swasta. Selanjutnya Balai Lelang Swasta akan meneruskan permohonan tersebut kepada KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) yang merupakan salah satu unit kerja pada Dit. Jend Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI.
Ketika Balai Lelang Swasta bertindak sebagai Fasilitator pelaksanaan Lelang, landasan aturan hukum yang dipakai adalah Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang mengisyaratkan bahwa Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hukum pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Tetapi perlu penulis sampaikan apabila objek lelang Jaminan Hak Tanggungan terdapat perlawanan hukum dari Debitur ataupun pihak lain, maka Balai Lelang Swasta ataupun KPKNL tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi pengosongan atas objek lelang yang sudah dibeli oleh peserta/pembeli lelang.
Bahwa kewenangan pelaksanaan Eksekusi Pengosongan terhadap suatu objek merupakan kewenangan badan peradilan. Sedangkan didalam prakteknya Pengadilan tidak dapat langsung melaksanakan Eksekusi Pengosongan terhadap objek Lelang bermasalah yang dilelang oleh Balai Lelang Swasta. Hal tersebut terjadi karena Pengadilan menganggap bahwa terhadap Objek Lelang yang dijual oleh Balai Lelang Swasta tidak terdapat peletakkan sita (beslag) oleh badan Pengadilan. Sementara prosedur hukum untuk melakukan eksekusi pengosongan mewajibkan harus adanya penetapan sita terlebih dahulu oleh Pengadilan, kemudian dengan dasar itu dapat dilakukan eksekusi pengosongan (H.I.R / R.B.G).
Perlu disampaikan sebenarnya Badan Peradilan adalah pihak yang dapat melakukan proses Lelang pada Jaminan Hak Tanggungan. Hal tersebut merupakan salah satu wewenang Badan Peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugaskan untuk melaksanakan penegakkan peraturan hukum.
Prosedurnya, Pemohon Lelang Eksekusi (Bank) mengajukan permohonan melalui Kepaniteraan Pengadilan, kemudian Pengadilan menerbitkan Surat Anmaning (Peringatan kepada debitur) sebanyak 2 (dua) kali untuk diberi kesempatan melakukan pelunasan pinjaman kepada bank.
Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya meskipun sudah diperingati (anmaning) maka selanjutnya Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap objek lelang lalu meneruskan prosesnya sampai dilakukannya Pelaksanaan Lelang oleh KPKNL sebagai penyelenggara lelang yang difasilitasi oleh Badan Peradilan.
Apabila terhadap objek lelang yang terjual tersebut terdapat pihak-pihak yang tidak mau menyerahkan objek lelang kepada pemenang lelang, maka Pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan memiliki kewenangan untuk melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap objek lelang tersebut.
Pelaksanaan Lelang melalui Pengadilan adalah cara yang tepat dalam mencari kepastian hukum terhadap proses lelang hak tanggungan antara Bank dan Nasabah. Tetapi pada prakteknya terkadang Badan Peradilan terkesan terlalu lambat dalam menjalankan proses lelang tersebut, sehingga kepastian hukum antara Bank dan Nasabah juga ikut terhambat.
Dengan situasi lambatnya proses lelang tersebut tentunya Bank mengalami kerugian karena perputaran keuangan kredit menjadi macet, sedangkan Debitur mengalami kerugian karena harus menanggung beban bunga dan denda akibat keterlambatan proses lelang eksekusi terhadap jaminan hak tanggungan Debitur.
Atas persoalan ini seharusnya Pengadilan dapat menerapkan sistim penanganan yang cepat dan biaya murah terhadap permohonan-permohonan lelang Hak Tanggungan, agar tercipta kepastian hukum antara Bank dengan Debiturnya.
Dengan adanya kepastian hukum yang cepat didalam persoalan kredit macet perbankan, akan mempercepat laju perekonomian, sehingga berdampak positif bagi perkembangan dunia usaha yang sisi positifnya dapat dirasakan oleh semua pihak. ***
Penulis adalah Advokat pada Law Firm Mantiri-DL & Associates
Didalam prakteknya calon debitur mengajukan permohonan pinjaman kepada bank dengan menyertakan segala bentuk surat-surat, yaitu identitas peminjam, jaminan pinjaman berupa Akta Kepemilikan atas Tanah dan Bangunan serta surat-surat perizinan usaha jika Debiturnya adalah badan hukum.
Jika menurut Bank permohonan yang diajukan oleh Debitur memenuhi kriteria, maka terjadilah kesepakatan pemberian Fasilitas Kredit (Bank Konvensional) atau Pembiayaan (Bank Syariah) kepada Debitur.
Tindak lanjut dari kesepakatan pinjam meminjam tersebut, bank memberikan sejumlah dana (uang) sebagai bentuk pinjaman kepada Debitur, kemudian Debitur memberikan surat-surat kepemilikan tanah/bangunan ataupun benda lainnya sebagai jaminan pelunasan pinjaman. Jaminan berupa tanah dan bangunan biasanya dibebani dengan pemasangan Sertifikat Hak tanggungan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dari kesepakatan Fasilitas Kredit tersebut, Bank memberikan syarat kewajiban agar Debitur membayar pinjaman/kredit dengan sistem angsuran/cicilan setiap bulan dengan tenggang waktu pelunasan antara 1 (satu) s/d 20 (dua puluh) tahun.
Apabila Debitur melakukan pembayaran angsurannya secara tepat waktu sampai dengan adanya pelunasan, maka Bank tentu akan memberikan penilaian bahwa Debitur tersebut adalah debitur/nasabah dengan predikat baik, sehingga kemudian Bank akan lebih percaya untuk kembali memberikan pinjaman kepada Debitur dengan predikat baik tersebut.
Dari semua transaksi pinjam meminjam/kredit tersebut, tentunya ada juga Debitur yang tidak melakukan pembayaran angsuran dengan tepat waktu atau lajimnya disebut Kredit Macet. Oleh karenanya Bank tentu akan berusaha melakukan penagihan kepada Debitur dengan alasan menghindari resiko kredit macet.
Upaya Bank dalam menghindari adanya kredit macet adalah dengan menggunakan aturan kesepakatan atas Jaminan Hak Tanggungan pada sertifikat kepemilikan nasabah jika bentuknya asset tak bergerak (tanah dan bangunan) atau penerapan Jaminan Fidusia jika jaminan berupa benda bergerak (mobil, mesin dan lain-lain).
Terhadap ketentuan pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan pinjaman, negara telah menerbitkan peraturan hukum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-undang tersebut mengatur tentang Jaminan antara Bank dengan Debitur dalam transaksi pinjam meminjam serta peraturan-peraturan tentang tata cara apabila terjadinya keadaan wanprestasi (tidak membayar) apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya.
Didalam praktek, apabila terdapat Debitur yang wanprestasi, biasanya Bank akan mengirimkan Surat Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya diajukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan wanprestasinya debitur.
Apabila telah diperingati secara patut tetapi Debitur tidak juga melakukan pembayaran kewajibanya, maka Bank melalui ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan melakukan proses Lelang terhadap Jaminan Debitur.
Bank biasanya lebih banyak mengajukan permohonan Lelang Jaminan Hak Tanggungan kepada Balai Lelang Swasta. Selanjutnya Balai Lelang Swasta akan meneruskan permohonan tersebut kepada KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) yang merupakan salah satu unit kerja pada Dit. Jend Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI.
Ketika Balai Lelang Swasta bertindak sebagai Fasilitator pelaksanaan Lelang, landasan aturan hukum yang dipakai adalah Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang mengisyaratkan bahwa Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hukum pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Tetapi perlu penulis sampaikan apabila objek lelang Jaminan Hak Tanggungan terdapat perlawanan hukum dari Debitur ataupun pihak lain, maka Balai Lelang Swasta ataupun KPKNL tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi pengosongan atas objek lelang yang sudah dibeli oleh peserta/pembeli lelang.
Bahwa kewenangan pelaksanaan Eksekusi Pengosongan terhadap suatu objek merupakan kewenangan badan peradilan. Sedangkan didalam prakteknya Pengadilan tidak dapat langsung melaksanakan Eksekusi Pengosongan terhadap objek Lelang bermasalah yang dilelang oleh Balai Lelang Swasta. Hal tersebut terjadi karena Pengadilan menganggap bahwa terhadap Objek Lelang yang dijual oleh Balai Lelang Swasta tidak terdapat peletakkan sita (beslag) oleh badan Pengadilan. Sementara prosedur hukum untuk melakukan eksekusi pengosongan mewajibkan harus adanya penetapan sita terlebih dahulu oleh Pengadilan, kemudian dengan dasar itu dapat dilakukan eksekusi pengosongan (H.I.R / R.B.G).
Perlu disampaikan sebenarnya Badan Peradilan adalah pihak yang dapat melakukan proses Lelang pada Jaminan Hak Tanggungan. Hal tersebut merupakan salah satu wewenang Badan Peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugaskan untuk melaksanakan penegakkan peraturan hukum.
Prosedurnya, Pemohon Lelang Eksekusi (Bank) mengajukan permohonan melalui Kepaniteraan Pengadilan, kemudian Pengadilan menerbitkan Surat Anmaning (Peringatan kepada debitur) sebanyak 2 (dua) kali untuk diberi kesempatan melakukan pelunasan pinjaman kepada bank.
Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya meskipun sudah diperingati (anmaning) maka selanjutnya Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap objek lelang lalu meneruskan prosesnya sampai dilakukannya Pelaksanaan Lelang oleh KPKNL sebagai penyelenggara lelang yang difasilitasi oleh Badan Peradilan.
Apabila terhadap objek lelang yang terjual tersebut terdapat pihak-pihak yang tidak mau menyerahkan objek lelang kepada pemenang lelang, maka Pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan memiliki kewenangan untuk melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap objek lelang tersebut.
Pelaksanaan Lelang melalui Pengadilan adalah cara yang tepat dalam mencari kepastian hukum terhadap proses lelang hak tanggungan antara Bank dan Nasabah. Tetapi pada prakteknya terkadang Badan Peradilan terkesan terlalu lambat dalam menjalankan proses lelang tersebut, sehingga kepastian hukum antara Bank dan Nasabah juga ikut terhambat.
Dengan situasi lambatnya proses lelang tersebut tentunya Bank mengalami kerugian karena perputaran keuangan kredit menjadi macet, sedangkan Debitur mengalami kerugian karena harus menanggung beban bunga dan denda akibat keterlambatan proses lelang eksekusi terhadap jaminan hak tanggungan Debitur.
Atas persoalan ini seharusnya Pengadilan dapat menerapkan sistim penanganan yang cepat dan biaya murah terhadap permohonan-permohonan lelang Hak Tanggungan, agar tercipta kepastian hukum antara Bank dengan Debiturnya.
Dengan adanya kepastian hukum yang cepat didalam persoalan kredit macet perbankan, akan mempercepat laju perekonomian, sehingga berdampak positif bagi perkembangan dunia usaha yang sisi positifnya dapat dirasakan oleh semua pihak. ***
Penulis adalah Advokat pada Law Firm Mantiri-DL & Associates
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/beritamedia/detail/eksekusi-hak-tanggungan-kredit-macet
Rabu, 19 Oktober 2016
Pengertian Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) Dalam Hukum Perdata
Akibat suatu perbuatan yang bertentangan (melawan) dengan
hukum diatur juga oleh hukum, meskipun akibat itu tidak dikehendaki oleh
yang melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini, siapa yang melakukan
suatu perbuatan yang melawan hukum harus mengganti kerugian yang
diderita oleh yang dirugikan karena
perbuatan itu. Jadi, karena suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukum timbullah suatu perikatan untuk mengganti
kerugian yang diderita oleh yang dirugikan.
Asas tersebut tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Jadi, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum sesuai
dengan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata adalah suatu perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena kesalalahannya
menimbulkan kerugian kepada orang lain.
Seseorang dikatakan melawan hukum apabila perbuatan yang dilakukannya tersebut memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu :
Adanya suatu perbuatan.Perbuatan tersebut melawan
hukum.Adanya kesalahan dari pihak pelaku.Adanya kerugian bagi
korban.Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Perbuatan melawan hukum sendiri dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.Perbuatan melawan hukum tanpa kesengajaan.Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Bentuk perbuatan melawan hukum terbagi menjadi :
Nofeasance, yaitu merupakan tidak berbuat sesuatu yang
diwajibkan oleh hukum.Misfeasance, yaitu perbuatan yang dilakukan secara
salah, dan perbuatan mana merupakan kewajibannya.Malfeasance, yaitu
perbuatan yang dilakukan, padahal pelakunya tidak berhak untuk
melakukannya.
Dalam sejarah hukum, di Indonesia perbuatan melawan hukum
yang disebutkan dalam pasal 1365 KUH Perdata telah diperluas
pengertiannya, dikatakan seseorang melawan hukum, apabila berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (melalaikan sesuatu) dengan :
Melanggar hak orang lain, maksudnya ialah melanggar hak
subyektif orang lain. Menurut Meijers ciri dari hak subyektif adalah
suatu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk
digunakan bagi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang diakui oleh
yurisprudensi adalah hak-hak perorangan yang meliputi kebebasan,
kehormatan, dan nama baik. Serta hak-hak atas harta kekayaan, seperti
hak-hak kebendaan dan hak-hak mutlak lainnya.Bertentangan dengan
kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu. Kewajiban hukum
diartikan sebagai kewajiban yang didasarkan pada hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan yang dimaksud dengan
kewajiban hukum di atas adalah kewajiban hukum menurut undang-undang
atau yang tertulis, seperti perbuatan pidana.Bertentangan dengan baik
kesusilaan maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai kehormatan
orang lain atau barang orang lain. Kesusilaan yang dimaksud adalah
norma-norma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai
norma-norma hukum. Sedangkan asas-asas pergaulan masyarakat dalam arti
perbuatan yang dilakukan harus mempertimbangkan kepentingan sendiri
dengan kepentingan orang lain dan mengikuti apa yang oleh masyarakat
dianggap sebagai hal yang layak dan patut.
Yang dapat dianggap bertentangan dengan kepatutan adalahperbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak, serta perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, di mana menurut manusia normal hal tersebut harus diperhatikan. (dari buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia - Drs. C.S.T. Kansil, SH, Ikhtisar Ilmu Hukum - Muchsin, dan KUH Perdata).
Yang dapat dianggap bertentangan dengan kepatutan adalahperbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak, serta perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, di mana menurut manusia normal hal tersebut harus diperhatikan. (dari buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia - Drs. C.S.T. Kansil, SH, Ikhtisar Ilmu Hukum - Muchsin, dan KUH Perdata).
http://legalstudies71.blogspot.co.id/2015/06/pengertian-perbuatan-melawan-hukum.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar