Cari Blog Ini

Rabu, 15 Maret 2017

DISPARITAS PIDANA, suatu teori

“Punisment” menurut H.L. Packer pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan, sebagai berikut:

1.    Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or undesired conduct or offending conduct);

2.    Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar (the deserved infliction of suffering on evildoers / retribution for perceived wrong doing);

Menurut Prof. Sudarto, pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat;  

Menurut Hulsman, hakekat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot de orde reopen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflictoplossing); 

BINSBERGEN berpendapat bahwa ciri hakiki dari pidana adalah suatu pernyataan atau penunjukkan salah oleh penguasa sehubungan dengan suatu tindak pidana (een terechtwijzing door de overheid gegeven terzake van een strafbaar feit). Dasar pembenaran dari pernyataan tersebut menurut Binsbergen adalah tingkah laku si pembuat itu tidak dapat diterima baik untuk mempertahankan lingkungan masyarakat maupun untuk menyelamatkan pembuat sendiri (onduldbaar is, zowel om het behoud van de gemeenschap, als om het behoud van de dader zelf);  

Secara tradisional, teori – teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:

1.    Teori absolute atau teori pembalasan (retributive / vergeldings theorieen);
2.    Teori relative atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorieen);

Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata – mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan;  

Menurut JOHANNES ANDENAES, tujuan utama (primer) dari pidana berdasarkan teori absolut adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh – pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder;

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut, dijelaskan IMMANUEL KANT dalam bukunya “PHILOSOPHY OF LAW”, sebagai beriku:”Pidana tidak pernah dilaksanakan semata – mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan / kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi / keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”;

Immanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatief”, yakni seseorang harus dipidana oleh Hakim / pengadilan karena telah melakukan kejahatan;  

Pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan, melainkan untuk mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid);

HEGEL (penganut teori absolut) berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekwensi dari adanya kejahatan;

Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita – susila, maka pidana merupakan “negation der negation (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran)”;

Teori Hegel tentang pidana dikenal dengan “quasi – mathematic”, yaitu:

-     wrong being (crime) is the negation or right; and

-     punishment is the negation of that negation;

Menurut NIGEL WALKER,  para penganut teori retributive / absolute dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:

1.  Penganut teori retributive yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok dengan kesalahan si pembuat;

2.  Penganut teori retributive yang tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat dibagi dua, yaitu:

a.    Penganut teori retributive yang terbatas (the limiting retributivist), yang berpendapat: pidana tidak harus cocok / sepadan dengan kesalahan; hanya saja  tidak boleh melebihi batas yang cocok / sepadan dengan kesalahan terdakwa;

b.    Penganut teori retributive yang distributive (Retribution in distribution), disingkat dengan sebutan teori distributive, yang berpendapat pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok / sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”;

John Kaplan membagi teori Retribution menjadi 2, yaitu:

a.  Teori pembalasan (the revenge theory);

b.  Teori penebusan dosa (the expiation theory).

Menurut John Kaplan, Teori Pembalasan dan Teori Penebusan Dosa sebenarnya tidak berbeda, tergantung dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana, yaitu apakah pidana itu dijatuhkan karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” atau karena “ia berhutang sesuatu kepada kita”;

Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat telah dibayar kembali (the criminal is paid back), sedangkan penebusan dosa mengundang bahwa si penjahat membayar kembali hutangnya (the criminal pays back);

Johannes Andeneas mengemukakan bahwa retribution atau atonement (penebusan) tidaklah sama dengan revenge (pembalasan dendam). Revenge merupakan suatu pembalasan yang berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang – orang yang simpati kepadanya; sedangkan retribution atau atonement tidak berusaha menenangkan atau menghilangkan emosi – emosi dari para korban tetapi lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan; 

Hukum pidana modern dilihat dari sejarahnya bersumber pada pembalasan dendam pribadi dan secara psikologis konsep tentang retribution secara sadar atau tidak, dapat digunakan sebagai suatu kamuflase (penyamaran) dari hasrat untuk balas dendam;

LEO POLAK (kebangsaan Belanda) secara luas membahas masalah pembalasan dan menyatakan bahwa kesamaan antara sesama manusia membawa akibat bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi antar mereka secara merata. Tiap – tiap kejahatan menggangu usaha pembagian ini. Penderitaan hipotetis (hypothetisch – leed) yang dialami oleh tiap penduduk yang menghormati hukum dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan terhadap suatu kejahatan. Keuntungan yang semula diperoleh seorang penjahat harus diobyektifkan, karena itu teori POLAK disebut TEORI YANG MENGOBJEKTIFKAN  (Objectiverings theorie);

VAN BEMMELEN menyatakan bahwa untuk hukum pidana dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap merupakan fungsi yang sangat penting dalam penerapan hukum pidana yakni memenuhi keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldingsbehoefte);

POMPE yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan, menganggap pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif, dan bukan dalam arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti teori pembalasan.   

CHR. J. ENSCHEDE menganggap pembalasan sebagai batas atas (bovengrens) dari beratnya pidana. Ia berpendapat bahwa tidak perlu pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam lingkungan kebebasan individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam batas – batas pembalasan;

Menurut teori relative, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat;

Menurut Johannes Andenaes, teori relatif dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat  (the theory of social defence)”; 

Menurut Nigel Walker, teori relatif lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive point of view), karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekwensi kejahatan. Oleh karena itu para penganutnya disebut golongan “Reducers (Penganut teori reduktif)”; 

Menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory);

Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori relatif terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan), melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan);

Berkaitan dengan teori relatif, seorang filsuf Romawi terkenal bernama SENECA mengatakan “Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur” (No reasonable man punishers because there has been a wrong doing, but in order that there should be no wrong doing = Tidak seorang normalpun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi dipidana agar tidak ada perbuatan jahat);

Secara karakteristik, perbedaan antara teori retributive dengan teori utilitarian dikemukakan secara terperinci oleh Karl O. Christiansen sebagai berikut:

1.    Ciri – ciri pada teori retribution:

a.    Tujuan pidana adalah semata – mata untuk pembalasan;

b.    Pembalasan adalah tujuan utama, didalamnya tidak mengandung sarana – sarana untuk tujuan lain, misalnya untuk mensejahterakan masyarakat;

c.    Kesalahan merupakan satu – satunya syarat untuk adanya pidana;

d.    Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e.    Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar;

2.    Ciri – ciri pada teori utilitarian:

a.    Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b.    Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c.    Hanya pelanggaran – pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana);

d.    Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

e.    Pidana melihat ke depan (bersifat prosfektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat;

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan, biasa dibedakan antara istilah prevensi spesial (special deterrence) dan prevensi general (general deterrence); 

Maksud prevensi spesial adalah agar ada pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Teori tujuan pidana seperti ini dikenal dengan sebutan REFORMATION atau REHABILITATION THEORY; 

Maksud prevensi general adalah agar ada pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar